Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 April 2020

ANAK ANGKAT DAN HARTA WARISAN


Oleh : Drs.H. Asmu'i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Pengangkatan anak--yang oleh orang Jawa disebut “mupu anak” dan dalam hukum Barat disebut adopsi-- telah sering  dipraktikkan oleh masyarakat.  Mengapa ‘harus’ mengangkat anak, alasan mereka bisa berbeda-beda. Salah satunya, ada yang karena dalam keluarga memang tidak ada anak. Tidak ada anak bisa karena alasan memang belum memperoleh anak atau—bagi yang secara medis divonis mandul-- memang tidak bisa memperoleh anak. Bagi yang belum dengan mengangkat anak diharapkan dapat segera memperoleh keturunan. Tindakan mengangkat anak dimaksudkan sebagai “pancingan” memperoleh katurunan. Bagi yang memang tidak bisa memperolah anak kandung, dengan mengangkat anak, dimaksudkan agar dapat memperoleh sandaran kelak di hari tua.  Ada pula yang mengngkat anak  semata-mata karena alasan kemanusiaan agar dapat lebih mensejahterakan anak di kemudian hari.
Akan tetapi,  apapun tujuan yang menjadi motivasi mengangkat anak banyak masyarakat yang belum sadar, bahwa tindakan tersebut akan berakibat tidak saja sosial tetapi juga berakibat hukum di kemudian hari. Itulah sebabnya terkait dengan ini pernah terbit beberapa aturan mengenai pengangkatan anak, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, SEMA RI Nomor 6 Tahun 1983, Kepurtusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984, SEMA RI Nomor 3 Tahun 2005,  dan terakhir diberlakukan Keputusan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009, selain mencabut Keputusan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial Nomor  2/HUK/1995 merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007. Pada zaman Penjajahan Belanda telah pula terbit Staatsblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan bagi golongan Tionghoa. Lantas, bagaimana menurut  pandangan Islam?
Sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut , pakar  fikih kontemporer sekaligus mantan Rektor Universitas  Al Azhar, bahwa setidaknya ada 2 pengertian pengangkatan anak (adopsi). Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Hanya saja  ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan ( nasab) orang tua angkatnya, dan saling  mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.
Ulama telah sepakat bahwa  hukum Islam tidak mengakui lembaga anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti praktik pengangkatan anak yang dipraktikkan  masyarakat Jahiliyah.
Al Qurthubi dalam tafsirnya, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengemukakan, bahwa sebelum kenabian rasulullah SAW pernah mengangkat seorang anak lak-laki, bernama Zaid anak Haritsah,  menjadi anaknya. Pengangkatan anak tersebut dimumkan sendiri oleh rasulullah SAW di depan kaum Quraisy. Nabi juga menyatakan, bahwa dirinya saling mewarisi. Bahkan, dalam panggilan sehari-hari nama panggilan Zaid ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad, bukan bin Haritsah, ayah kandungnya. Para sahabat pun memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin Muhammad sampai akhirnya turunlah wahyu (Al Qur’an) ayat ke-4 dan ke-5 Surat al Ahzab yang pada pokoknya mengandung larangan memberi status anak angkat sebagai “anak kandung” dengan  segala konsekuensi hukumnya.
Di Indonesia setelah Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberlakukan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. tampaknya ada babak baru mengenai lembaga anak angkat ini. Kompilasi Hukum Islam yang muatannya menjadi materi fikih khas Indonesia secara eksplisit memperkenalkan istilah “anak angkat”. Pada KHI ini anak angkat diberi pengertian: “Anak yang dalam hal pemiliharaan  untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagaimnya beralih dari tanggung jawab nya dari oreang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan ( Pasal 171 huruf h ). Di samping itu, sebagaimana telah disinggung di muka, dewasa ini mengenai pengangkatan anak  ini juga telah diberlakukan PP Nomor 54 Tahun 2007. Muatan aturan hukum dalam PP tersebut tampaknya ikut melegkapi materi hukum yang ada dalam KHI.
Salah satu hal yang sering menjadi pertanyaan masyarakat adalah, apakah anak angkat dapat menjadi ahli waris orang tua angkatnya? Dengan mengacu kepada pengertian anak angkat di atas sebenarnya telah jelas, bahwa anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Sebab, pengangkatan  anak pada hakikatnya hanya tindakan “peralihan tanggung jawab” dari “orang tua asal” kepada “orang tua angkat”. Hal itu sebagaimana telah ditegaskan Pasal 4 PP 54 Tahun 2007 di atas, bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya. Jika hubungan darah dengan orang tua kandung tidak boleh hilang, maka secara a contrario anak angkat tidak boleh membuat hubungan nasab baru dengan orang tua angkatnya. Kalau hal itu terjadi dan secara sengaja dilakukan oleh orang tua angkat, dapat dipandang sebagai tindakan penggelapan asal-usul ketururunan yang dapat diancam pidana, sebagaimana diatur oleh Pasal 278 KUH Pidana. Itu pula sebabnya ketika KHI merumuskan siapa-siapa yang menjadi ahli waris  dan seberapa kadar bagiannya, tidak termasuk di dalamnya, anak angkat. Sebagai konsekuensi, bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan biologis (nasab) dengan orang tua asal, maka hubungan saling mewarisi dengan orang tua asal dan keluarganya juga tidak putus. Dengan kalimat lain, anak angkat tetap mendapat hak waris dari kedua orang tua asal dan keluarganya, sama seperti ketika dia belum berstatus sebagai anak angkat orang lain. Dan, hal demikian berlaku sebaliknya.
Lantas, kaitannya dengan harta peninggalan orang tua angkatnya, bagaimana memberikan keadilan kepada anak angkat ini? Akankah anak yang telah dipelihara bertahun-tahun dengan kasih sayang  dan telah memelihara dan merawat orang tua angkatnya menjelang kematiannya, tidak mendapat bagian harta yang ditinggalkannya?
Ternyata ketika KHI membicarakan lembaga hukum “wasiat”  telah memberikan jalan keluar. Pada Pasal 209 diatur mengenai hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Hubungan dimaksud ialah hubungan saling menerima harta peninggalan melalui lembaga wasiat, dalam hal ini “wasiat wajibah”. Secara sederhana wasiat wajibah dapat diartikan  “wasiat yang secara hukum dinggap (harus) ada sekalipun orang yang akan meninggal tidak pernah berwasiat”. Konsekuensinya, anak angkat dapat memperoleh harta peninggalan orang tua angkatnya melalui lembaga hukum wasiat, bukan jalan waris. Akan tetapi, anak angkat sebenarnya orang yang beruntung. Terkait dengan harta peninggalan, dia akan mendapat bagian harta dari dua jalur. Pertama, dari orang tua asal dan keluarganya melalui “jalur waris” dan kedua, mendapat harta peninggalan orang tua angkatnya melalui jalur “wasiat wajibah”.
Hal ini perlu ditegaskan agar jangan sampai terjadi kekeliruan. Kekeliruan dimaksud ialah kekeliruan  memilih pintu masuk ketika harus berperkara ke Pengadilan Agama. Oleh karena anak angkat bukan ahli waris orang tua angkatnya, maka seorang anak angkat jelas tidak bisa mengajukan gugatan waris kepada almarhum orang tua angkatnya dengan nomenklatur “perkara kewarisan”. Menurut hukum acara, keberadaan anak angkat kaitannya dengan harta warisan orang tua angkatnya bukanlah orang yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara kewarisan. Akan tetapi, sesui dengan ketentuan Pasal 209, kalau dia ingin memiliki harta peninggalan orang tua angkatnya dan bermaksud memperkarakannya, dapat mengajukan gugatan wasiat (wajibah). Bukankah sesuai asas personalitas keislaman mengadili perkara wasiat yang terjadi antara orang Islam juga menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama? Dengan demikian, anak angkat tidak (boleh) menjadi ahli waris orang tua angkatnya tetapi bisa mendapat harta yang ditinggalkannya. Bukan sebagai ahli waris tetapi sebagai penerima wasiat (wajibah), yang menurut Pasal 209 ayat (2) KHI, kadar bagian yang dapat diperoleh paling banyak sepertiga bagian. Wallahu A’lam.

BIO DATA PENULIS
Penulis, saat ini (2020) adalah Hakim pada Pengadilan Agama Lumajang Kelas 1 A. Sebelum bertugas di Bumi Minak Koncar mulai tahun 2016, penulis selama 4 tahun bertugas di Pengadilan Agama Banyuwangi Kelas 1 A. Alumni Strata-1 UIN Sunan Kalijaga Yogya dan Strata-2 UMI Makassar ini mengawali tugasnya sebagai Hakim di Pengadilan Agama Atambua NTT dan kemudian berturut-turut menjadi Wakil Ketua dan Ketua Pengadilan Agama Waingapu Kelas II. Dia mengawali karis sebagai hakim di Pulau Jawa pada tahun 2007 sampai tahun 2011 ketika dimutasi ke di PA Jember.

Rabu, 25 Oktober 2017

Mencari Sang ( Hakim ) Penegak Hukum

Oleh : Drs.H. ASMU'I SYARKOWI, M.H.
Beberapa waktu lalu marak berita kelam mengenai dunia hukum kita. Ada polisi yang biasa menangkap ditangkap, ada jaksa biasanya menuntut dituntut, dan hakim yang biasanya mengadili perkara diadili. Berita tersebut semakin kelam ketika justru pejabat sebuah lembaga tinggi negara di republik ini, sebut saja oknum Hakim MK ikutan ditangkap.  Modusnya hampir sama, soal uang. Sungguh  tragis sekaligus membuat kita miris.
Timbul pertanyaan di benak kita, mengapa bisa terjadi.? Apa yang salah tentang sistem seleksi selama ini. Mengingat, hampir semua para pejabat di negeri ini secara formal telah lolos menempuh serangkaian seleksi yang relatif ketat. Tetapi, masih saja banyak oknum penegak hukum yang bermasalah.
Peristiwa-demi peristiwa diadilinya para oknum penegak hukum itu seolah menambah daftar panjang pertanyaan di masyarakat yang tidak kunjung terjawab selama ini. Perangkat penegak hukum di negeri ini sudah lengkap, ada yang bagian menangkap, ada yang bagian menuntut, dan ada bagian yang mengadili, lalu mengapa anomali hukum masih saja terjadi di setiap lini. Di negeri inipun juga terkenal negeri yang banyak memproduksi undang-undang. Hampir semua Undang-Undang juga mencantumkan sanksi pidananya. Akan tetapi, setiap undang-undang dibuat saat itu pula terlihat celah bagi  pelanggar yang menginginkan dibuat undang-undang baru.. Sehingga, di negeri ini sangat memerlukan jutaan undang-undang guna mempersempit ruang gerak penjahat. Tetapi apa yang terjadi. Semakin banyak undang-undang justru semakin banyak pelaku kejahatan. Lembaga Pemasyarakatanpun di mana-mana sampai harus ‘mbludag’ ( over capacity). Untuk menggambarkan kondisi aturan hukum itu hanya cukup dengan satu kalimat pendek : belum efektif !
Mempertanyakan kenapa suatu aturan hukum tidak efektif memang dapat menimbulkan diskusi yang panjang. Dalam literatur-literatur sosiologi hukum dapat kita ketahui, bahwa telah banyak pakar mewacanakan hal ini. Akan tetapi, kita jadi ingat statmen Prof. Bagir dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan, sebelum menjadi Ketua MA :” Aturan Hukum yang baik  akan menjadi huruf mati (doode letters ) apabila tidak disertai dengan penegak hukum yang baik pula. Bahkan aturan hukum yang kurang baik, kurang sempurna masih mempunyai harapan menjadi instrumen yang adil dan benar karena diterapkan oleh penegak hukum yang baik.“
Selanjutnya beliau menarik semacam kesimpulan bahwa aturan hukum dan penegakan hukum merupakan “two sides of one coin”.
Tentang bagaimana peran sentral penegak hukum kaitannya dengan penegakan hukum ini juga pernah  ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam majalah Gatra edisi 17 Agustus 1996, sebagaimana dikutip ulang oleh Prof. Achmad Ali[1]. Begawan sosiologi hukum dari Universitas Diponegoro itu  mengemukakan,  bahwa penegakan hukum itu erat kaitannya dengan perilaku hukum, khususnya pengak hukum. Menurutnya, hukum itu bukan RINSO yang bisa mencuci sendiri, melainkan sangat bergantung pada perilaku para penegak hukum, seperti polisi dan jaksa. Melalui aktivitas mereka itulah hukum, sebagaimana tertuang dalam  aturan hukum, bukan sekedar lagi huruf yang mati, melainkan menjadi hidup dan memenuhi janji-janji yang dikatakannya sendiri. Sekalipun, seribu kali undang-undang mengatakan bahwa mencuri dilarang dan diancam hukuman, tetapi jika polisi yang seharusnya bertindak tidak menagkap pencuri itu, undang-undang hanya akan tinggal menjadi sebuah karya sastra, bukan hukum.
Oleh karena itu jargon “two sides of one coin”.  Sebenarnya memang bukan hal yang baru. Tetapi dalam implementasinya sangat sulit. Bahkan, absurd, jika akar yeng menjadi penyebabnya tidak dikikis. Akar masalah itu adalah persoalan mentalitas sekaligus moralitas. Mental terimplementasi dalam bentuk komitmen sedangkan moralitas terimplementasi dalam bentuk perilaku baik perilaku yang tampak ( activity ) maupun perilaku yang tidak tampak ( mindset ).
Berbicara mengenai mentalitas dan moralitas ini jelas sangat  terkait dengan rasa keimanan ( religious ) dan integritas keilmuan. Rasa keimanan terkait dengan hubungan nurani sang penegak hukum itu  dengan Tuhan. Keimanan tersebut jelas bukan hanya sebatas pengetahuan verbal yang hanya terlihat dari penguasaannya kepada pengetahuan tentang ketuhanan. Tetapi, lebih dari itu, keimanan yang dimaksud adalah keberhasilan sang penegak hukum menginternalisasi sifat-sifat Tuhan dalam jiwanya. Implementasi dari harapan ini dapat diukur seberapa motivasi penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum dengan penuh tanggung jawab apapun risikonya, termasuk ketakutan kepada Yang Maha Adil jika dia mencoba berperilaku culas dalam menegakkan hukum. Dengan demikian, kelulusan menempuh tes-tes keagamaan dengan keberhasilan memperoleh nilai 10--karena berhasil menjawab seluruh soal-soal ujian  dengan benar--jelas bukan menjadi parameter iman dan tidaknya sang penegak hukum.
Pertanyaan kita adalah, sudahkan para pembuat kebijakan di bidang hukum mencari formula bagaimana memperoleh para penegak hukum yang beriman? Atau memang urusan keimanan itu tidak penting, karena itu menyangkut wilayah abstrak yang sulit diukur.
Penulis sendiri pernah menulis sebuah opini, bahwa mengukur keimanan seseorang memang sulit. Akan tetapi, dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator konkret yang paling mudah dilihat adalah bagaimana praktik kebaragamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tutur katanya, apakah sering berkata bohong atau tidak. Sebab, agama melarang berkata bohong. Apakah pernah berbuat zina? Sebab setiap agama melarang berbuat zina. Apakah pernah mengambil hak orang lain hak, sebab setiap agama melarang mengambil hak orang lain tanpa hak. Dan, yang paling fenomenal standar minimal untuk mengukur keberagamaan seseorang adalah dengan melihat apakah seseorang itu melakukan ritual pokok agama yang dianut dengan setia. Seperti kalau orang Islam apakah dia solat lima waktu dengan baik. Kalau Kristen apakah dia disiplin ke Gereja, kalau orang Hindu apakah dia rajin ke Pura.
Realitas yang terlihat lain. Bagaimana orang yang mengaku Islam dan salat dan puasanya bolong-bolong bisa menjadi penegak hukum. Bagaimana pula orang yang mengaku Kristen tetapi tidak pernah ke Gereja. Sekali lagi, praktik-praktik pengamalan ajaran agama memang tidak otomatis ekuivalen dengan keimanan seseorang, tetapi mengukur keimanan seseorang tanpa melihat praktik pengamalan ajaran agama jelas tidak mungkin. Maka benarlah sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah dalam surat al Ashr, bahwa iman dan amal saleh merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan sama lain. Ketika ada iman mesti ada amal saleh. Mustahil ada amal saleh jika tidak termotivasi oleh iman dalam hati. Rasulullah SAW juga pernah bersabda :”Iman itu dalam keadaan telanjang, bajunya adalah takwa, perhiasannya adalah rasa malu,dan buahnya adalah ilmu.”
Kedua, penegak hukum harus mempunyai integritas keilmuan yang memadai. Keilmuan yang dimaksud adalah bagaimana seorang penegak hukum terus menuntut ilmu dengan belajar apapun. Sekolah dengan strata tertinggi memang penting akan tetapi tidak mutlak. Sebab, untuk menjadi penegak hukum pengetahuan verbal jelas tidak cukup. Apalagi jika motivasi studi hanya sebatas menaikkan grade secara formal, bukan secara substansial. Seperti, yang pernah disindir oleh Prof Bagir Manan[2], bahwa kini banyak yang sekolah dengan strata tertinggi hanya sekedar “ingin mendapat perhatian khusus dari atasan”. 
Di samping tahu banyak soal pengetahuan seorang penegak hukum harus mahir menerapkannya. Dalam tataran ini mengenali masyarakat secara langsung sangatlah penting. Dalam konteks ini bukankah Cicero sudah mengingatkan, bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dengan demikian mengenal denyut nadi kehidupan masyarakat setempat sangat penting. Mengapa?, Inti penegakan hukum adalah menciptakan keadilan dan di setiap masyarakat biasa mempunyai rasa keadilannya sendiri. Sekalipun, tujuan penegakan hukum bukan semata-mata untuk keadilan. Mengenai hal ini Prof. Bustanul Arifin[3] dalam satu bukunya pernah mengingatkan seorang hakim ( penegak hukum ) di samping leaned in law juga harus skilled in law. Dengan kalimat lain,  maksud dari himabauannya itu mantan Hakim Agung ini seorang hakim di samping mempunyai pengetahuan yang memadai juga harus terampil menerapkan pengetahuannya itu ketika bertugas.
Kalau sudah demikian pertanyaan berikutnya adalah sudahkah rekruitmen penegak hukum saat ini mempertimbangkan dua aspek pokok tersebut?
Dengan bahasa lain, Prof. Bagir Manan pernah mengingatkan agar penerimaan penegak hukum hendaknya  menitik beratkan kepada pengalaman sila pertama Pancasila setalah semua persyaratan lain juga telah dipenuhi. Dalam konteks ini memang sudah waktunya Negara merekrut polisi, jaksa, hakim yang benar – benar  mengamalkan ajaran agamanya. Semoga kedepan institusi penegak hukum akan nbenar-benar diisi oleh manusia-manusia pilihan yang di samping mumpuni dari aspek pengetahuan juga mumpuni kesalehannya.





[1] Prof.Dr.H. Achmad Ali, S.H.,M.H., Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT Yasrif Matampone, Jakarta, halaman 216.
[2] Prof.Dr.H.Bagir Manan,  S.H.,M.C.L, Pendidikan Tinggi Hukum Sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan  ( Artikel dalam Varia Veradilan Tahun XXXII Nomor 373 Desember 2016 )
[3] Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, S.H., Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama, Graffity Pers 

Kamis, 29 September 2016

BEBERAPA KETENTUAN BERKENDARAAN DALAM UNDANG-UNDANG LALU LINTAS




Harus kita akui, bahwa kedisiplinan berlalu lintas di Indonesia sangat rendah. Mari kita perhatikan mulai dari kelengkapan kendaraan sampai dengan cara mengendarai mobil atau sepeda motor. Banyak sepeda motor yang tidak berspion, lampu tidak menyala, knalpot sengaja dibikin bising. Ketika kita melihat mobil di jalan, banyak orang mengemudi sembarangan, misalnya bagaimana kalau menempuh kecepatan seenaknya, tidak memperhatikan rambu-rambu, berhenti seenaknya. Tidak jarang akibat ketidak displinan tersebut membuat kita sebagai sesama pengguna kehilangan kenyamanan kita. Tidak jarang ulah pengemudi nakal tersebut dapat membahayakan kita, bahkan beberapa di antaranya ada yang berakibat fatal. Tidak saja untuk orang lain tetapi juga bagi pengendara sendiri. Rasanya kita sepakat jika upaya untuk mendisiplinkan tersebut perlu dibuat aturan yang tidak saja jelas tetapi tegas.
Mulai Januari 2010 ini, UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009 akan efektif berlaku, menggantikan UU Nomor 14 Tahun 1992. Banyak peraturan baru yang harus dicermati jika tak mau disemprit ketika berkendara. Sebab, hingga saat ini tak sedikit yang tak mengetahui aturan-aturan baru yang diberlakukan UU ini. Sanksi pidana dan denda bagi para pelanggarnya pun tak main-main. Jika dibandingkan UU yang lama, UU Lalu Lintas yang baru menerapkan sanksi yang lebih berat. Berikut ini beberapa hal yang sebaiknya diketahui oleh para pengguna kendaraan bermotor, baik roda dua maupun roda empat/lebih:

• Kenakan Helm Standar Nasional Indonesia (SNI)
Jangan lagi mengenakan helm batok. Gunakanlah helm SNI. Selain karena alasan keselamatan, menggunakan helm jenis ini sudah menjadi kewajiban seperti di atur dalam Pasal 57 Ayat (2) dan Pasal 106 Ayat (8). Sanksi bagi pelanggar aturan ini, pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 291). Sanksi yang sama juga akan dikenakan bagi penumpang yang dibonceng dan tidak mengenakan helm SNI.

• Pastikan Perlengkapan Berkendara Komplet
Bagi para pengendara roda empat atau lebih, coba pastikan kelengkapan berkendara Anda. UU Lalu Lintas No 22 Tahun 2009, dalam Pasal 57 Ayat (3) mensyaratkan, perlengkapan sekurang-kurangnya adalah sabuk keselamatan, ban cadangan, segitiga pengaman, dongkrak, pembuka roda, helm, dan rompi pemantul cahaya bagi pengemudi kendaraan bermotor roda empat/lebih yang tak memiliki rumah-rumah dan perlengkapan P3K. Bagaimana jika tak dipenuhi? Sanksi yang diatur bagi pengendara yang menyalahi ketentuan ini akan dikenakan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000, seperti diatur dalam Pasal 278.

• Tak Punya SIM? Denda Rp 1 Juta
Ketentuan yang satu ini mungkin harus menjadi perhatian lebih. Jika selama ini denda bagi pengendara yang tak punya SIM hanya sekitar Rp 20.000, UU Lalu Lintas yang baru tak mau memberikan toleransi bagi pengendara yang tak mengantongi lisensi berkendara. Sanksi pidana ataupun denda yang diterapkan tak lagi ringan. Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan dan tidak memiliki SIM, akan dipidana dengan pidana kurungan empat bulan atau denda paling banyak Rp 1 juta (Pasal 281).

• Konsentrasi dalam Berkendara
Pasal 283 UU Lalu Lintas mengatur, setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan secara tidak wajar dan melakukan kegiatan lain ( MISALNYA, GUYON, PAKAI HP, WALKMAN ) atau dipengaruhi oleh suatu keadaan yang mengakibatkan gangguan konsentrasi dalam mengemudi, dipidana dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan kurungan atau denda paling banyak Rp 750.000

• Perhatikan Pejalan Kaki dan Pesepeda
Para pengendara, baik roda dua maupun roda empat/lebih, harus mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan pesepeda. Bagi mereka yang tidak mengindahkan aturan Pasal 106 Ayat (2) ini, dipidana dengan pidana kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000

Lengkapi kaca spion dan lain-lain
    Pengemudi sepeda motor
Diwajibkan memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, knalpot, dan kedalaman alur ban (diatur Pasal 106 Ayat (3)). Sanksi bagi pelanggarnya diatur Pasal 285 Ayat (1), dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000.
-          Pengemudi roda empat/lebih
Bagi pengendara roda empat/lebih diwajibkan memenuhi persyaratan teknis yang meliputi kaca spion, klakson, lampu utama, lampu mundur, lampu tanda batas dimensi badan kendaraan, lampu gandengan, lampu rem, lampu penunjuk arah, alat pemantul cahaya, alat pengukur kecepatan, kedalaman alur ban, kaca depan, spakbor, bumper, penggandengan, penempelan, dan penghapus kaca. Pasal 285 Ayat (2) mengatur, bagi pelanggarnya akan dikenai sanksi pidana paling lama dua bulan kurungan atau dendan paling banyak Rp 500.000.

Jangan lupa membawa STNK
Setiap bepergian, jangan lupa pastikan surat tanda nomor kendaraan bermotor sudah Anda bawa. Kalau kendaraan baru, jangan lupa membawa surat tanda coba kendaraan bermotor yang ditetapkan Polri. Jika Anda alpa membawanya, sanksi kurungan paling lama dua bulan atau denda paling banyak Rp 500.000 akan dikenakan bagi pelanggarnya (Pasal 288 Ayat (1)).

Jangan lupa membawa SIM yang sah
Pasal 288 Ayat (2) mengatur, bagi setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor di jalan yang tidak dapat menunjukkan SIM yang sah dipidana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan dan/atau denda paling banyak Rp 250.000.
• Pengemudi atau Penumpang Tanpa Sabuk Pengaman, Sanksinya Sama
Ini harus jadi perhatian bagi pengemudi mobil dan penumpangnya. Jangan lupa mengenakan sabuk pengaman selama perjalanan Anda. Selain untuk keselamatan, juga untuk menghindari sanksi pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 seperti diatur dalam Pasal 289.

• Nyalakan Lampu Utama pada Malam Hari
Saat berkendara pada malam hari, pastikan lampu utama kendaraan Anda menyala dengan sempurna. Bagi pengendara yang mengemudikan kendaraannya tanpa menyalakan lampu utama pada malam hari, dipindana dengan pidana kurungan paling lama satu bulan atau denda paling banyak Rp 250.000 (Pasal 293).

Wajib Nyalakan Lampu pada Siang Hari
Para pengendara motor yang berkendara pada siang hari diwajibkan menyalakan lampu utama. Sekarang, sudah bukan sosialisasi lagi. Bagi pelanggarnya akan dipidana dengan pidana kurungan paling lama 15 hari atau denda paling banyak Rp 100.000.

Berbalik Arah, Jangan Lupa Lampu Isyarat!
Setiap pengendara yang akan membelok atau berbalik arah, diwajibkan memberikan isyarat dengan lampu penunjuk arah atau isyarat tangan. Jika melanggar ketentuan ini, Pasal 284 mengatur sanksi kurungan paling banyak satu bulan atau denda Rp 250.000

Sembarangan Pindah Jalur
Para pengemudi yang akan berpindah jalur atau bergerak ke samping, wajib mengamati situasi lalu lintas di depan, samping dan dibelakang kendaraan serta memberikan isyarat. Jika tertangkap melakukan pelanggaran, akan dikenai sanksi paling lama satu bulan kurungan atau denda Rp 250.000 (Pasal 295)

Aturan Belok Kiri
Ini salah satu peraturan baru dalam UU Lalu Lintas yang baru. Pasal 112 ayat (3) mengatur, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri. Bunyi pasal tersebut “Pada persimpangan jalan yang dilengkapi dengan alat pemberi isyarat lalu lintas, pengemudi kendaraan dilarang langsung berbelok kiri, kecuali ditentukan lain oleh rambu lalu lintas atau pemberi isyarat lalu lintas”.
Balapan di Jalanan
Pengendara bermotor yang balapan di jalan akan dikenai pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 3.000.000 (Pasal 297)

Memilih jalur yang benar
Ketentuan mengenai jalur atau lajur merupakan salah satu ketentuan baru yang dimasukkan dalam UU Lalu Lintas Nomor 22 Tahun 2009, yang diatur dalam Pasal 108. Agar menjadi perhatian, selengkapnya bunyi pasal tersebut adalah
(1) Dalam berlalu lintas pengguna jalan harus menggunakan jalur jalan sebelah kiri
(2) Penggunaan jalur jalan sebelah kanan hanya dapat dilakukan jika
a. pengemudi bermaksud akan melewati kendaraan di depannya; atau
b. diperintahkan oleh petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk digunakan    sementara sebagai jalur kiri

(3) Sepeda motor, kendaraan bermotor yang kecepatannya lebih rendah, mobil barang, dan kendaraan tidak bermotor berada pada lajur kiri jalan.
(4) Penggunaan lajur sebelah kanan hanya diperuntukkan bahi kendaraan dengan kecepatan lebih tinggi, akan membelok kanan, mengubah arah atau mendahului kendaraan lain.
Aturan-aturan baru yang diterapkan di UU Lalu Lintas yang baru ini harus menjadi perhatian bagi para pengendara. Selain demi keselamatan, tentunya juga untuk menghindari merogoh kocek cukup dalam karena ditilang. Sanksi denda yang dikenakan lumayan besar jika dibandingkan dengan UU yang lama. Selamat berkendara!
Dan yang lebih penting lagi adanya aturan yang ketat dan sanksi tegas dalam Undang-undang tersebut tidak disalah gunakan oleh bapak-bapak oknum polisi lalu lintas untuk memperkaya diri. Pungutan liar di jalan-jalan oleh oknum poltas kepada para pelanggar aturan berlalu lintas, sebagaimana yang selama ini terjadi, mudah-mudahan tidak lagi. Kita berharap UU lalu litas ini bukan sebagai perangkap rakyat pada saat yang sama kita juga senang jika, ada yang harus ditilang, uang dendanya semuanya masuk ke kas negara. Negara akan mempunyai tambahan masukan (inkam). Kalau mempunyai banyak uang negarapaun bisa segera membangun jalan-jalan layang. Dampaknya pasti luar biasa. Semakin bertambahnya jalan, kemacetan dan kesemrawutan jalan akibat bercampur aduknya pengguna jalan (seperti, sepeda, pejalan kaki, motor, mobil, becak, truk bercampur menjadi satu) akan terkurangi. Dengan jalan yang cukup, lalu lintas ekonomipun semakin lancar. Dengan catatan sekali lagi, jika uang tilang tersebut tidak ditilep para oknum. Lantas, apakah harapan tersebut bisa kita capai? Mari kita lihat dan kita kritisi praktik penegakan aturan lalu lintas ini di lapangan.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Rabu, 02 Juli 2014

MANAKAH YANG URGEN, Nilai UN atau Rekomendasi Sekolah?



Seorang guru mengeluhkan hasil ujian nasional (UN). “Mengapa jadi begini?”, katanya. Dia tampaknya bingung melihat nilai hasil ujian para siswanya. Kebingungannya timbul ketika melihat nilai ujian para siswa yang kacau. Yang sehari-hari pandai  memperolah nilai UN rendah, tetapi yang biasa-biasa atau bahkan yang bodoh memperoleh nilai UN lebih tinggi. Misalnya,  yang sehari-hari pintar mate-metika,  pada UN memeperoleh nilai 6  sedangkan yang bodoh malah memperoleh  nilai 9 bahkan ada yang memperolah nilai 10 ( sempurna ). Kegalauan sang guru tersebut tempaknya dirasakan oleh banyak guru lainnya di hampir semua sekolah. Ironisnya, secara institusi sekolah seperti tidak punya beban moral. Kepentingan pragmatis guna kepentingan-kepentingan jangka pendek mengalahkan beban moral. Yang penting sekolah kami lulus 100 persen dan mendapat pujian masyarakat. Masyarakat tampaknya juga tidak peduli. Penilaian grade sekolah dengan predikat sekolah favorit hanya diukur dari baik tidaknya hasil UN yang diperoleh sekolah.
Memang ada sebagaian pimpinan sekolah tertentu yang melarang siswa dengan perolehan nilai UN tinggi untuk masuk di sekolah favorit. Alasannya, karena siswa tersebut sehari-hari berkualitas rendah. Sekolah akan malu jika kuantitas hasil nilai UN tidak sebanding dengan kualitas senyatanya.  Tampaknya, pihak sekolah  takut jika divonis sebagai sekolah yang culas. Dulu malah sering kita dengar anak yang secara akademis sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri tertentu, ketika UN malah tidak lulus.
Lalu, apa yang salah tentang UN?. Tentunya tulisan ini tidak hendak berpolemik mengenai purlu atau tidaknya UN dipertahankan. Penulis masih sepakat dengan pendapat salah seorang pakar pendidikan kita, Prof.Dr. Arif Rahman, dipertahankan nya pelaksanaan UN sebenarnya ada hal-hal strategis bagi eksistensi negara, yaitu untuk menyatukan kekuatan murid dan guru serta insan yang terlibat dalam dunia pendidikaan dalam suasana NKRI yang menegakkan kebersamaan dan kedaulatan RI. Secara filosofis dan akademis, menurutnya memang tidak ada jenjang pendidikan yang tidak diselesaikan dengan evaluasi. Jadi, adanya evaluasi pendidikan yang berskala nasional, menurutnya sangat urgen.
Kita semua tahu, UN sudah berlalu. Puas atau tidak puas hasil UN harus diterima, tidak hanya oleh pihak sekolah tetapi yang paling merasakan adakah para anak didik. Setelah mengikuti UN ada tahapan berikut yang tidak kalah pentingnya yaitu, mencari sekolah berikutnya. Atau, bagi yang telah lulus SLTA mencari Perguruan Tinggi (PT) tempat studi berikutnya.
Tak pelak, setelah UN ini sejumlah sekolah  favorit menjadi sasaran serbuan para calon siswa baru. Sejumlah sekolah favorit  tampaknya mensyaratkan nilai UN yang cukup tinggi. Anak-anak yang kurang beruntung dengan perolehan nilai UN rendah seperti merasa pupus harapan untuk dapat bersekolah favorit. Pada saat yang sama yang memperoleh UN tinggipun juga merasa tidak “ pede” untuk bersekolah favorit tersebut. Akibatnya, sejumlah sekolah tertentu berusaha dengan segala cara agar para siswanya memperoleh nilai UN yang disyaratkan sekolah favorit tersebut.
Gambaran seperti itu mestinya sudah cukup memberikan pelajaran bagi sekolah-sekolah favorit untuk tidak lagi mempercayai hasil UN. Dengan kalimat lain, pembuatan patokan standar nilai UN tertentu, pada seleksi administrasi, menurut hemat penulis tidak lagi urgen. Kalau hal ini dipaksakan, jika melihat cara perolehan nilai UN selama ini, jelas sangat tidak realistis.
Sebagai gantinya, menurut hemat penulis, di samping dilakukan seleksi tertulis, sekolah perlu meminta rekomendasi sekolah asal. Isi rekomendasi ini pada intinya pihak sekolah menginformasikan kepada sekolah favorit  tujuan, bahwa anak-anak yang bersangkutan  dianggap mampu mengikuti program pendidikan di sekolah tujuan. Dasar pemikirannya adalah, karena sekolah dianggap paling tahu kondisi sebenarnya anak yang bersangkutan.
Bagaimana jika sekolah membuat rekomendasi tersebut berbohong? Misalnya, anak yang diberi rekomenndasi ternyata tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan oleh sekolah favorit tujuan? Apabila ternyata sekolahpun berbohong dengan rekomendasi yang dikeluarkan harus diberi sanksi. Sanksinya, dapat diterapkan semacam vonis. Misalnya, sekolah yang bersangkutan dimasukkan daftar hitam dan kepada yang sudah terlanjur diterima, kalau memang tidak layak, dapat dipindahkan ke sekolah lain dengan grade di bawahnya. Dua sanksi ini kiranya merupakan bentuk sanksi moral yang akan membuat sekolah tidak jujur memberikan rekomnedasi. Karena di samping membuat malu juga membuat tingkat kepercayaan sekolah tersebut di mata masyarakat hilang. Bagi sekolah, hilangnya kepercayaan masyarakat adalah merupakan sanksi terberat.
Akhirnya, penulis mengucapkan selamat kepada para siswa yang dapat diterima di sekolah favorit dan berharap kepada siswa yang belum beruntung untuk tidak kecil hati. Kegagalan masuk sekolah favorit tidak identik dengan kegagalan masa depan.

Jumat, 05 April 2013

Becoming a Professional Judge



I am a religious court judge. I've been a judge for 16 years ago. I want to be a professional judge who in addition also a fair judge. to realize my obsession I've got the following tips:
1.    I will continue to study law, social sciences, psychology and more importantly, continue to deepen my faith.
2.    I continue to study the biography famous judges of the past.
3.    Careful in handling cases.
4.    Not accepting bribes and collusion.
5.    No respecter of persons.



ASAS-ASAS PERADILAN

Risalah Khalifah Umar tentang Peradilan

Yaitu risalah yang dikirimkannya oleh beliau kepada salah seorang walinya, Abu Musa Al-Asy’ari r.a., di mana tercantum di dalamnya pedoman yang diberikan oleh beliau bagaimana seharusnya peradilan dilaksanakan dan bagaimana seorang hakim harus bertingkah laku dalam melaksanakan tugasnya. Berkata Saiyidina Umar Ibnul Khaththab r.a. dalam risalahnya itu: 
Bismillahirrahmanirrahim, dari hamba Allah, Umar Ibnul Khaththab, Amirul-mu’minin kepada Abdullah bin Gais (Abu Musa Al-Asy’asri). 
Assalamu’alaikum, amma ba’du, sesungguhnya peradilan itu adalah suatu kewajiban yang tegas dan suatu sunnah yang berlaku. Pahamilah apa yang aku uraikan bagimu, karena tidak berguna menguraikan kebenaran yang tidak dilaksanakan. 
Berlakulah adil, tidak membeda-bedakan antara sesama manusia, dalam sikapmu, ramah-tamahmu, peradilanmu dan dalam duduk bersamamu, agar supaya tidak timbul dalam hati orang yang berkedudukan perasaan bahwa engkau akan menyebelah ke pihaknya dan di hati orang yang lemah dari pihak dari pihak rakyat jelata rasa putus asa dari keadilanmu. 
Kepada yang menggugat diharuskan mengemukakan bukti dan kepada yang mungkir diharuskan bersumpah. Dan berdamai adalah dimungkinkan di antara sesama orangIslam, kecuali damai yang berakibat menghalalkan barang yang haram dan mengharamkan barang yang halal. 
Janganlah sesuatu keputusan yang engkau telah tetapkan hari ini menghalangimu untuk mengubahnya dan kembali kepada yang benara, setelah engkau pertimbangkan dengan akalmu dan menemui kesalahanmu. Karena kebenaran adalah tetap kebenaran dan kembali kepada kebenaran lebih bik daripada bertahan terus dalam kebathilan dan kesalahan. 
Pahamilah dan pertimbangkanlah benar-benar apa yang beruneg-uneg di dalam dadamu, dari hal-hal yang tidak terdapat nashnya dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah Nabi. Carilah hal-hal yang bersamaan, lalu kiaskan dan tetapkanlah apa yang terdekat kepada tuntunan Allah dan kebenaran. Berilah tenggang waktu bagi seseorang yang menuntut sesuatu hak untuk membawa bukti yang membenarkan tuntutannya itu, sehingga bila ia datang dengan buktinya engkau dapat menyerahkan kepadanya haknya yang dituntut dan kalau tidak, engkau dapat menolak tuntutannya itu. Sikap yang demikian itu akan menghilangkan segala syak wasangka dan kecurigaan serta membikin perkaranya jelas bagi yang tidak mengetahui. 
Orang-orang Islam semuanya adalah layak untuk diterima kesaksiannya dan menjadi saksi satu terhadap yang lain, kecuali mereka yang telah pernah menjalani hukuman dera, yang pernah tercatat memberi kesaksian palsu dan mereka yang diragukan identitasnya dan keabsahan asal keturunannya. Dan Allahlah yang mengetahui isi hati kamu dan akan minta pertanggung jawab dari padamu. 
Jauhkanlah dari padamu rasa jemu dan gelisah serta sikap yang antipati di kala menghadapi orang-orang yang berperkara. Karena menegakkan kebenaran pada tempatnya adalah membenarkan pahala Tuhan dan menjadi bekal yang baik.  Maka barangsiapa mempunyai niat yang sehat dan mengoreksi dirinya, Allah memeliharanya dari apa yang antara dia dan orang-orang. Dan barangsiapa memperlihatkan perilaku yang diketahui oleh Allah bahwa itu bukan sewajarnya. Maka betapa pun dugaanmu tentang pahala Allah yang berupa rezki yang segera dan rahmat yang luas. Wassalam.

Surat Khalifah Umar r.a tersebut  menurut saua bukan sekedar surat biasa. Isinya memuat asas-asas bagaimana sebuah peradilan dilaksanakan. Oleh karena itu, kiranya sampai kini masih tetap relevan dan oleh karenanya dapat menjadi objek kajian hukum pada Fakultas Hukum. Tidak hanya itu, para Hakim malah harus menjiwainya.