Oleh : Drs.H. ASMU'I SYARKOWI, M.H.
Beberapa
waktu lalu marak berita kelam mengenai dunia hukum kita. Ada polisi yang biasa
menangkap ditangkap, ada jaksa biasanya menuntut dituntut, dan hakim yang
biasanya mengadili perkara diadili. Berita tersebut semakin kelam ketika justru
pejabat sebuah lembaga tinggi negara di republik ini, sebut saja oknum Hakim MK
ikutan ditangkap. Modusnya hampir sama,
soal uang. Sungguh tragis sekaligus
membuat kita miris.
Timbul
pertanyaan di benak kita, mengapa bisa terjadi.? Apa yang salah tentang sistem
seleksi selama ini. Mengingat, hampir semua para pejabat di negeri ini secara
formal telah lolos menempuh serangkaian seleksi yang relatif ketat. Tetapi,
masih saja banyak oknum penegak hukum yang bermasalah.
Peristiwa-demi
peristiwa diadilinya para oknum penegak hukum itu seolah menambah daftar
panjang pertanyaan di masyarakat yang tidak kunjung terjawab selama ini.
Perangkat penegak hukum di negeri ini sudah lengkap, ada yang bagian menangkap,
ada yang bagian menuntut, dan ada bagian yang mengadili, lalu mengapa anomali
hukum masih saja terjadi di setiap lini. Di negeri inipun juga terkenal negeri
yang banyak memproduksi undang-undang. Hampir semua Undang-Undang juga
mencantumkan sanksi pidananya. Akan tetapi, setiap undang-undang dibuat saat
itu pula terlihat celah bagi pelanggar
yang menginginkan dibuat undang-undang baru.. Sehingga, di negeri ini sangat
memerlukan jutaan undang-undang guna mempersempit ruang gerak penjahat. Tetapi
apa yang terjadi. Semakin banyak undang-undang justru semakin banyak pelaku
kejahatan. Lembaga Pemasyarakatanpun di mana-mana sampai harus ‘mbludag’
( over capacity). Untuk menggambarkan kondisi aturan hukum itu hanya
cukup dengan satu kalimat pendek : belum efektif !
Mempertanyakan
kenapa suatu aturan hukum tidak efektif memang dapat menimbulkan diskusi yang
panjang. Dalam literatur-literatur sosiologi hukum dapat kita ketahui, bahwa
telah banyak pakar mewacanakan hal ini. Akan tetapi, kita jadi ingat statmen
Prof. Bagir dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan, sebelum menjadi Ketua MA :”
Aturan Hukum yang baik akan menjadi
huruf mati (doode letters ) apabila tidak disertai dengan penegak hukum yang
baik pula. Bahkan aturan hukum yang kurang baik, kurang sempurna masih
mempunyai harapan menjadi instrumen yang adil dan benar karena diterapkan oleh
penegak hukum yang baik.“
Selanjutnya
beliau menarik semacam kesimpulan bahwa aturan hukum dan penegakan hukum
merupakan “two sides of one coin”.
Tentang
bagaimana peran sentral penegak hukum kaitannya dengan penegakan hukum ini juga
pernah ditulis oleh Prof. Satjipto
Rahardjo dalam majalah Gatra edisi 17 Agustus 1996, sebagaimana dikutip ulang
oleh Prof. Achmad Ali[1].
Begawan sosiologi hukum dari Universitas Diponegoro itu mengemukakan,
bahwa penegakan hukum itu erat kaitannya dengan perilaku hukum,
khususnya pengak hukum. Menurutnya, hukum itu bukan RINSO yang bisa mencuci
sendiri, melainkan sangat bergantung pada perilaku para penegak hukum, seperti
polisi dan jaksa. Melalui aktivitas mereka itulah hukum, sebagaimana tertuang
dalam aturan hukum, bukan sekedar lagi
huruf yang mati, melainkan menjadi hidup dan memenuhi janji-janji yang
dikatakannya sendiri. Sekalipun, seribu kali undang-undang mengatakan bahwa
mencuri dilarang dan diancam hukuman, tetapi jika polisi yang seharusnya bertindak
tidak menagkap pencuri itu, undang-undang hanya akan tinggal menjadi sebuah
karya sastra, bukan hukum.
Oleh
karena itu jargon “two sides of one coin”. Sebenarnya memang bukan hal yang baru. Tetapi
dalam implementasinya sangat sulit. Bahkan, absurd, jika akar yeng
menjadi penyebabnya tidak dikikis. Akar masalah itu adalah persoalan mentalitas
sekaligus moralitas. Mental terimplementasi dalam bentuk komitmen sedangkan
moralitas terimplementasi dalam bentuk perilaku baik perilaku yang tampak ( activity
) maupun perilaku yang tidak tampak ( mindset ).
Berbicara
mengenai mentalitas dan moralitas ini jelas sangat terkait dengan rasa keimanan ( religious )
dan integritas keilmuan. Rasa keimanan terkait dengan hubungan nurani sang
penegak hukum itu dengan Tuhan. Keimanan
tersebut jelas bukan hanya sebatas pengetahuan verbal yang hanya terlihat dari
penguasaannya kepada pengetahuan tentang ketuhanan. Tetapi, lebih dari itu,
keimanan yang dimaksud adalah keberhasilan sang penegak hukum menginternalisasi
sifat-sifat Tuhan dalam jiwanya. Implementasi dari harapan ini dapat diukur
seberapa motivasi penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum dengan penuh
tanggung jawab apapun risikonya, termasuk ketakutan kepada Yang Maha Adil jika
dia mencoba berperilaku culas dalam menegakkan hukum. Dengan demikian,
kelulusan menempuh tes-tes keagamaan dengan keberhasilan memperoleh nilai 10--karena
berhasil menjawab seluruh soal-soal ujian
dengan benar--jelas bukan menjadi parameter iman dan tidaknya sang
penegak hukum.
Pertanyaan
kita adalah, sudahkan para pembuat kebijakan di bidang hukum mencari formula
bagaimana memperoleh para penegak hukum yang beriman? Atau memang urusan
keimanan itu tidak penting, karena itu menyangkut wilayah abstrak yang sulit
diukur.
Penulis
sendiri pernah menulis sebuah opini, bahwa mengukur keimanan seseorang memang
sulit. Akan tetapi, dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator konkret
yang paling mudah dilihat adalah bagaimana praktik kebaragamaan seseorang dalam
kehidupan sehari-hari. Bagaimana tutur katanya, apakah sering berkata bohong
atau tidak. Sebab, agama melarang berkata bohong. Apakah pernah berbuat zina?
Sebab setiap agama melarang berbuat zina. Apakah pernah mengambil hak orang
lain hak, sebab setiap agama melarang mengambil hak orang lain tanpa hak. Dan,
yang paling fenomenal standar minimal untuk mengukur keberagamaan seseorang
adalah dengan melihat apakah seseorang itu melakukan ritual pokok agama yang dianut
dengan setia. Seperti kalau orang Islam apakah dia solat lima waktu dengan
baik. Kalau Kristen apakah dia disiplin ke Gereja, kalau orang Hindu apakah dia
rajin ke Pura.
Realitas yang
terlihat lain. Bagaimana orang yang mengaku Islam dan salat dan puasanya
bolong-bolong bisa menjadi penegak hukum. Bagaimana pula orang yang mengaku
Kristen tetapi tidak pernah ke Gereja. Sekali lagi, praktik-praktik pengamalan
ajaran agama memang tidak otomatis ekuivalen dengan keimanan seseorang, tetapi
mengukur keimanan seseorang tanpa melihat praktik pengamalan ajaran agama jelas
tidak mungkin. Maka benarlah sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah dalam surat
al Ashr, bahwa iman dan amal saleh merupakan 2 hal yang tidak dapat
dipisahkan sama lain. Ketika ada iman mesti ada amal saleh. Mustahil ada amal
saleh jika tidak termotivasi oleh iman dalam hati. Rasulullah SAW juga pernah
bersabda :”Iman itu dalam keadaan telanjang, bajunya adalah takwa,
perhiasannya adalah rasa malu,dan buahnya adalah ilmu.”
Kedua, penegak
hukum harus mempunyai integritas keilmuan yang memadai. Keilmuan yang dimaksud
adalah bagaimana seorang penegak hukum terus menuntut ilmu dengan belajar
apapun. Sekolah dengan strata tertinggi memang penting akan tetapi tidak
mutlak. Sebab, untuk menjadi penegak hukum pengetahuan verbal jelas tidak cukup.
Apalagi jika motivasi studi hanya sebatas menaikkan grade secara formal,
bukan secara substansial. Seperti, yang pernah disindir oleh Prof Bagir Manan[2],
bahwa kini banyak yang sekolah dengan strata tertinggi hanya sekedar “ingin
mendapat perhatian khusus dari atasan”.
Di samping
tahu banyak soal pengetahuan seorang penegak hukum harus mahir menerapkannya.
Dalam tataran ini mengenali masyarakat secara langsung sangatlah penting. Dalam
konteks ini bukankah Cicero sudah mengingatkan, bahwa di mana ada
masyarakat di situ ada hukum. Dengan demikian mengenal denyut nadi kehidupan
masyarakat setempat sangat penting. Mengapa?, Inti penegakan hukum adalah
menciptakan keadilan dan di setiap masyarakat biasa mempunyai rasa keadilannya
sendiri. Sekalipun, tujuan penegakan hukum bukan semata-mata untuk keadilan. Mengenai
hal ini Prof. Bustanul Arifin[3]
dalam satu bukunya pernah mengingatkan seorang hakim ( penegak hukum ) di
samping leaned in law juga harus skilled in law. Dengan kalimat
lain, maksud dari himabauannya itu
mantan Hakim Agung ini seorang hakim di samping mempunyai pengetahuan yang
memadai juga harus terampil menerapkan pengetahuannya itu ketika bertugas.
Kalau
sudah demikian pertanyaan berikutnya adalah sudahkah rekruitmen penegak hukum
saat ini mempertimbangkan dua aspek pokok tersebut?
Dengan bahasa
lain, Prof. Bagir Manan pernah mengingatkan agar penerimaan penegak hukum
hendaknya menitik beratkan kepada
pengalaman sila pertama Pancasila setalah semua persyaratan lain juga telah
dipenuhi. Dalam konteks ini memang sudah waktunya Negara merekrut polisi,
jaksa, hakim yang benar – benar mengamalkan
ajaran agamanya. Semoga kedepan institusi penegak hukum akan nbenar-benar diisi
oleh manusia-manusia pilihan yang di samping mumpuni dari aspek pengetahuan juga
mumpuni kesalehannya.
[1] Prof.Dr.H. Achmad Ali, S.H.,M.H., Menjelajahi Kajian Empiris
Terhadap Hukum, PT Yasrif Matampone, Jakarta, halaman 216.
[2] Prof.Dr.H.Bagir Manan, S.H.,M.C.L, Pendidikan Tinggi Hukum
Sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan
( Artikel dalam Varia Veradilan Tahun XXXII Nomor 373 Desember 2016 )
[3] Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, S.H., Kedudukan dan Kewenangan
Peradilan Agama, Graffity Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar