Tampilkan postingan dengan label khotbah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label khotbah. Tampilkan semua postingan

Senin, 29 November 2010

SIFAT AMARAH

Para hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah

Mengawali khutbah siang hari ini, perkenankanlah khatib mengajak kita semua untuk senantiasa bersyukur kapada Allah SWT. Selanjutnya rasa syukur tersebut marilah kita wujudkan dengan kesediaan kita untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Dalam arti menjalankan semua perintah Allah dan sebaliknya menjauhi larangan Allah SWT. Karena hanya dengan takwa itulah setiap manusia, termasuk kita, akan menjadi orang yang mulia dalam pandangan Allah SWT.

Ma’asyiral muslimin

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temukan kejadian demi kejadian yang kelihatannya sepele tetapi kemudian berubah menjadi persoalan besar atau bahkan berakibat sangat fatal. Penyebabnya memang bermacam-macam. Salah satu diantaranya yang akan kita sampaikan di sini adalah karena adanya sifat amarah pada manusia.

Ma’asyiral muslimin

Marah merupakan perasaan kejiwaan berupa rasa tidak senang terhadap sesuatu yang biasanya diekspresikan dalam bentuk ucapan, tindakan, dan sikap atau sikap, ucapan dan tindakan sekaligus.

Dalam kehidupan sehari marah timbul biasanya akibat seseorang tidak senang melihat atau merasakan sesuatu terjadi dan ketidaksenangan tersebut akhirnya menekan perasaan atau emosi yang secara phisik biasanya ditandai dengan naiknya tekanan darah. Sehingga, apabila sesutu yang tidak disenangi tersebut terjadi dan menekan perasaan, muncullah marah tersebut.

Seseorang tidak menginginkan anaknya bermain di jalan. Tetapi anak tersebut bermain juga. Maka marahlah orang tersebut. Kita tidak menginginkan seseorang mengotori masjid. Tetapi tiba-tiba datang anak-anak yang mengotori masjid. Maka marahlah kita.

Seorang suami tidak menginginkan istrinya diganggu. Tiba-tiba ada orang jahil mengganggu. Maka marahlah si suami tersebut.

Selanjutnya, perasaan marah tersebut biasanya diwjudkan dalam bentuk sikap, kata-kata, dan/atau perbuatan.

Ketika marah harus diwujudkan dalam bentuk ucapan itulah sangat memungkinkan terjadinya hal hal yng membahayakan baik kepada yang bersangkutan atau orang lain atau mungkin bagi kedua-duanya.

Sebagai contoh seorang bisa menyakiti orang lain hanya karena marah akibat kalah berebut uang 1000 rupiah. Akibat tindakan tersebut bisa juga berbalik membahayakan diri sendiri ketika orang yang disakiti tersebut membalas untuk menyakiti. Dengan alasan pembalasan lebih kejam, bisa saja akibat marah tersebut berubah menjadi malapetaka ketika kedua-duanya saling bersitegang dan bertindak lebih jauh seperti kedua-duanya berkelai dengan saling membawa senjata tajam. Akibat marah karena mempertahankan uang seribu, yang menurut ukuran normal sepele, bisa berakibat fatal karena dengan perkaleaian yang saling memanfaatkan senjata tajam tersebut risiko saling kehilangan nyawapun sangat mungkin terjadi.

Melalui tayangan mas media sering kita baca dan kita saksikan, seseorang tega menghabisi nyawa saudaranya hanya karena tersinggung akibat ucapan yang dilontarkan. Anak menghabisi nyawa orang tua hanya karena tidak dibelikan sepeda motor. Beberapa bulan yang lalu di Surabaya seorang bocah cerdas juga harus mati di tangan kedua orang tuanya Di harian Pos Kupang juga pernah diberitakan seorang anak balita juga harus kehilangan nyawa akibat dianiaya oleh kandungnya sendiri. Lagi-lagi hal itu akibat amarah yang tidak terkendali.

Maasyiral muslimin

Gambaran beberapa contoh peristiwa tadi hanya untuk memeberikan peringatan kepada kita bahwa perasaan marah yang tidak terkendali bisa berakibat fatal terhadap diri sendiri atau orang lain atau bahkan mungkin juga bisa berakibat buruk kepada masyarakat luas. Oleh karena sifat marah tersebut bisa dialami oleh siapa saja, maka akibat fatal marahpun juga sangat mungkin menimpa siapa saja, termasuk tentunya kita semua.

Mengingat bahaya yang ditimbulkan sifat amarah itulah agama kita perlu mengingatkan secara khusus mengenai hal tersebut.

Al Qur’an memberikan peringatan, bahwa mengendalikan marah menjadi salah satu ciri orang yang bertakwa. Oleh Al Qur’an orang yang sanggup mengendalikan marah disebut al kadhimin al ghaidho. Dan, orang yang biasa sanggup mengendalikan marah tersebut termasuk salah satu kelompok orang yang dijanjikan masuk surga.

Allah brfirman dalam surat Ali Imran ayat 133-134 :

Artinya : Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan bersegera kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu, orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit,dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Orang yang kuat itu bukanlah orang yang dapat berkelai, tetapi orang kuat adalah yang dapat menguasai dirinya di waktu marah.

Dalam kitab shahih-nya, al Bukhary meriwayatkan bahwa, seorang laki-laki suatu ketika datang kepada rasulullah SAW agar ia diberi wasiyat. Rasulullah SAW berwasiyat kepada laki-laki tersebut dengan hanya mengatakan :

“Janganlah suka marah”

Wasiyat singkat tersebut beliau ulang sampai tiga kali.

Rasulullah SAW juga pernah berulang-ulang menasihati sahabat Mu’awiyah.

“Wahai Mu’awiyah jauhkan olehmu sifat amarah. Karena amarah itu dapat merusak iman seseorang sebagaimana makanan pahit merusakkan madu yang manis.”

Untuk mengatasi marah yang sedang melanda yang mungkin melanda manusia, rasullah SAW juga mengingatkan kita. Kata beliau, bahwa marah itu berasal dari syaitan dan syaitan dijadikan dari api. Api hanya bisa padam oleh air. Oleh karena itu, kata rasulullah SAW, apabila seseorang sedang marah handaknya segera mengambil air wudlu ( berwudlu ).

Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman :

Wahai anak Adam, sebutlah namaku (Allah) ketika engkau marah agar aku ingat pula kepadamu. Dengan demikian apabila engkau marah Aku tidak menimpakan adzab kepadamu.

Dari sabda rasulullah tersebut diperoleh pelajaran bahwa marah bisa menyebabkan datangnya adzab Allah. Adzab Allah yang paling mungkin terjadi adalah hal-hal yang bisa fatal akibat rasa marah kita. Agar hal-hal buruk dan fatal tersebut tidak terjadi, saat rasa marah mulai merasuki perasaan kita, kita diperintahkan untuk segera meneyebut asma Allah ketika marah tersebut datang.

Siakh Abu al-Laits As-Samarqandy dalam Tanbihul Ghafilin juga menulis sebuah hadits, bahwa dalam suatu kesempatan rasulullah SAW pernah memberikan nasihat dengan sabdanya :

Artinya : Bahwasanya amarah itu merupakan segumpal bara dari neraka. Jika salah seorang di antara kalian mendapati amarah itu ketika sedang berdiri, maka duduklah dan apabila mendapati amarah tersebut sedang dalam keadaan duduk, maka berbaringlah.

Para sufi sangat menaruh perhatian pada sifat marah ini dengan menyebutnya sebagai ghadlob.

Oleh kaum sufi ghadlab ( marah ) dikelompokkan ke dalam sifat-sifat tercela yang bisa menimbulkan maksiyat bathin.

Dalam pandangan sufi marah menjadi salah satu ukuran baik tidaknya seseorang. Ketika kita ingin mengetahui seseorang itu baik atau buruk maka perlu dilihat ketika orang tersebut sedang dalam keadaan marah, bukan di saat dalam suasana riang.

Selanjutnya, apakah hubungan marah dengan ketakwaan kita yang merupakan inti setiap khutbah Jum’at?

Para sufi berpandangan bahwa penyebab marah adalah karena seseorang lupa kepada Allah. Kalau dia ingat Allah tidak mungkin seseorang akan marah. Sebab, hanya Allahlah yang berhak marah ketika ada seseorang berbuat salah atau maksiyat.

Oleh karena itu ketika seorang mukmin sedang marah lantas ingat kepada Allah, mestinya marahnya bisa segera hilang. Ketika sudah menyebut asma Allah, tetapi tetap saja rasa marah meluap-luap maka sebanernya perlu kita pertanyakan ketakwaan kita.

Suatu ketika Umar Bin Khattab sedang meluap-luap amarahnya. Tetapi tiba-tiba luluh saat mendengar bacaan Al Qur’an, yang tidak lain adalah kalam Allah.

Kaum sufi juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk menghilangkan marah yang terlanjur menjadi sifat kita sehari-hari, kita harus selalu mengingat kesabaran yang dimiliki oleh para rasul, nabi-nabi, para wali dan orang-orang salih.

Kesabaran yang dimiliki senantiasa sanggup mengalahkan perasaan marah yang mungkin datang sewaktu-waktu.

Suatu ketika Junaid Al Baghdady, seorang sufi, pernah disiram oleh orang dengan air cucian ikan tatkala ia keluar dari masjid sehabis salat Jum’at. Dengan tidak bereaksi sedikitpun beliau langsung pulang ke rumah berganti pakaian dengan pakaian istrinya. Beliaupun kemudian mengerjakan salat.

Sikap beliau itu tampaknya sejalan dengan sikap rasulullah SAW, yaitu ketika rasullah SAW tidak pernah ambil peduli terhadap wanita tua yang meludahi setiap beliau pergi ke masjid. Satu-satunya kepedulian rasulullah SAW kepada wanita jahat tersebut ialah ketika rasulullah SAW menjadi penjenguk pertama saat wanita tua malang itu jatuh sakit.

AKHIRNYA, mudah-mudahan khutbah ini dapat mengingatkan kita semua akan bahaya amarah, berikut dapat menjadikan kita tergolong orang-orang yang pandai mengendalikan amarah. Amin.

Waingapu, 3 September 2004



§ Teks khutbah ini disampaikan di sampaikan di Masjid At-Taqwa Kemalaputi pada tanggal 3 September 2004

SIFAT HASUD

Maasyiral muslimin

Mengawali khutbah siang hari ini perkenankan khatib mengajak kita semua untuk meningkatkan takwa kepada Allah SWT, yaitu menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Seruan ini senantiasa diserukan oleh setiap khatib pada setiap jum’at tidak lain karena pentingnya takqwa ini. Takwa menjadi sesuatu yang sangat penting kerana takwa merupakan inti keberagamaan seseorang. Maka tidak heran jika Allah menegaskan bahwa hanya dengan ukuran takwa itulah tinggi rendahnya derajat seseorang di mata Allah diukur. Karena pentingnya takwa itu pulalah mengapa seruan takwa ini menjadi seruan wajib mingguan yanag harus diucapkan oleh setiap khatib dalam khutbahnya.

Mudah-mudahan seruan takwa setiap jumat ini bukan merupakan formalitas belaka. Tetapi menjadi seruan yang benar dihayati oleh setiap kita yang hadir shalat jum’at. Dalam rangka menuju tkwa itu pulalah khutbah tentang sifat hasud berikut disampaikan.

Ma’asyiral muslimin

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluq sempurna, Akan tetapi dibalik kesempurnaan tersebut manusia tetaplah makhluq yang memiliki kekurangan. Sebabnya adalah karena di samping manusia bisa mempunyai sifat-sifat yang baik bisa pula memiliki sifat-sifat tercela. Sifat tercela ini terkadang begitu menguasai manusia sehingga terwujud dalam perilaku yang jahat yang merugikan, bahkan mencelakaan orang lain. Dalam ajaran Islam, khususnya yang telah dicontohkan oleh para sufi, mengetahui sifat-sifat tercela bagi masing manusia ini amat penting. Bahkan, menurut tuntutan mereka membicarakan sifat-sifat tercela ini lebih penting untuk didahulukan. Sebab, hanya dengan mengetahui sifat-sifat tercela, sekaligus bahaya sifat tercela itulah, seseoranag dapat berusaha membersihan diri dari sifat-sifat tercela tersebut. Usaha menghindar dari sifat tercela tersebut dalam tradisi sufi disebut takhliyah. Yaitu, usaha membersihkan diri dan jiwa. Berikut jiwa yang telah bersih tersebut diisi dengan latihan membiasakan diri sifat-sifat terpuji.

Salah satu sifat tercela yang harus dilenyapkan dari jiwa setiap orang adalah sifat hasud.

Sifat hasud dalam bahasa Indonesia biasa juga dikenal dengan sifat dengki atau irihati.

Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, salah seorang pakar mengenai dunia tasawuf mendefinisikan Hasad atau hasud,

yaitu membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang lain tersebut terhapus.

Dengan kata lain, orang hasud adalah orang yang tidak senang jika orang lain mendapat nikmat Allah. Bahkan tidak hanya sekedar tidak senang, orang yang di hatinya ada sifat hasud, juga selalu gelisah jika nakmat itu masih dinikmati orang lain tersebut. Oleh karena itu dia selalu menginginkan agar nikmat tersebut hilang darinya.

Mengenai bahaya hasud ini rasulullah mengingatkan dengan sabdanya. Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :Hasud itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.

Menurut hadits tersebut, seorang akan percuma berbuat kebaikan selama di hatinya masih terdapat sifat hasud, sebab sebanyak apapun kebaikan yang dilakukan, selama masih ada sifat dengki, pahala kebaikan tersebut akan musnah. Dalam hadits, musnahnya pahala kebaikan tersebut digambarkan seperti kaya bakar kering yang dalam waktu singkat musnah karena terbakar api.

Itulah sebabnya, mengapa dalam tradisi sufi tidak ada kejahatan tersembunyi yang lebih besar dan merugikan diri sendiri kecuali sifat hasud atau dengki.

Rasulullah SAW juga pernah bersabda agar kita waspada terhadap orang yang dengki atau hasud ini

Ketahuilah sesunggahnya pada nikmat-nikmat Allah itu terdapat musuh. Para sahabat bertanya. Siapa musuh-musuh nikmat Allah itu. Rasulullahpun menjawab : Musuh-musuh nikmat Allah adalah orang-orang yang dihatinya ada persaan dengki terhadap kemulyaan yang diberikan oleh Allah.

Sifat hasud tersebut dapat merugikan diri sendiri sebab sebelum hasud tersebut mencapai maksudnya, orang yang dihatinya ada sifat hasud akan membinasakan dirinya dengan lima hal, Kelima hal itu adalah :

Pertama, orang hasud akan berlarut-larut dalam penderitaan batin.

Kedua, orang yang dengki akan mendapat musibah yang tidak dapat ditolong.

Ketiga, orang yang dengki atau hasud akan memperoleh murka Allah.

Keempat, dan kelima, orang yang dengki atau hasud akan ditutup dari pintu hidayat dan taufiq.

Al Faqih Abul Laits berkata :

Tiga kelompok orang yang tidak akan dikabulkan do’anya,yaitu orang yang suka makan barang haram, orang yang suka menggunjing orang lain, dan orang yang dalam hatinya ada perasaan dengki terhadap sesame muslim.

Sebagian ahli hikmah juga mengatakan, bahwa sifat dengki adalah sifat yang pertama yang menyebabkan durhaka kepada Allah di langit, yaitu sebagaimana yang ditunjukkan oleh Iblis ketka dia dengki dengan Nabi Adam dan menyebabkan Iblis durhaka kepada Allah karena tidak mau memenuhi peritah Allah untuk bersujud kepada Adam.

Sifat Hasud juga merupakan sifat pertama yang meneyebabkan perbuatan durhaka di bumi, yaitu sebagaimana yang dilakaukan oleh Qabil ketika ia membunuh saudaranya Habil karena dengki kepadanya. Dalam kisah tercatat bahwa Qabil dengki kepada Habil karena Habil dikawinkan dengan wanita yang lebih cantik.

Karena bahaya sifat hasud yang bisa merusak tidak saja terhadap urusan pahala, tetapi juga urusan pergaulan hidup inilah, mengapa sebabnya para sufi mengingatkan kita agar membersihkan hati kita dari sifat hasud atau dengki ini.

Syaikh Hasan al Bashri salah seorang sufi besar juga mengingatkan kita :

Hai anak Adam janganlah engkau hasud atau dengki terhadap saudaramu. Jika ia beroleh kemuliaan dari Allah, maka mengapa engkau dengki terhadap orang ayang telah dimuliyakan Tuhan itu.

Sebaliknya, jika ia beroleh sesuatu yang bukan diridai Allah, maka apakah layak kamu dengki atau iri hati terhadap orang yang akan masuk neraka ?

Mudah-mudahkan, khutbah ini menjadi bahan renungan kita dalam rangka menuju taqwa kepada Allah SWT, Amin

Artinya : Sebagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka bisa mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Baqarah : 109 )

1. MEMAKMURKAN MESJID (I)


Pertama-tama, marilah kita panjatkan syukur ke hadlirat Allah SWT atas rahhmat dan nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita, sehingga pada siang hari ini kita masih berkesempatan menghadiri masjid ini untuk menunaikan sebagian perintah-Nya berupa ibadah jum’at dalam keadaan sehat wal afiat.

Selawat serta salam semoga snantiasa tercurah ke haribaan baginda rasulullah Muhammad SAW yang sangat kita harapkan syafaatnya kelak di akherat.

Selanjutnya, sebagai khatib perkenankanlah mengajak kepada kita semua untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Taqwa dalam arti yang sebenarnya, yaitu : menjalankan semua perintah Allah dan senantiasa berusaha menjauhi larangan-Nya.

Kita tentunya yakin, bahwa, sesuai dengan janji Allah, hanya dengan taqwalah setiap manusia dapat memperoleh derajat paling mulia di sisi Allah dan hanya dengan takwalah manusia akan mendapat anugerah yang tidak disangka-sangka sebelumnya dan akan mendapatkan jalan keluar setiap kesulitan hidup yang dialami.

Ma’asyiral muslimin....!

Dalam rangka meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT, ada baiknya kita renungkan kembali firman Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah ayat 17 dan 18.

Allah SWT berfirman :

Artinya :“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya dan mereka kekal dalam neraka”.

“Hanyalah yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut ( kepada siapapun ) selain kepada Allah, maka mereka diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Adapun asbabanun Nuzul Ayat tersebut, menurut Al Wakhidy sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Ali Ash Shabuny dalam Rawai’ul Bayan adalah sebagai berikut :

“Ketika perang badar usai, ada sekelompok pembesar Quraisy ditawan oleh kaum muslimin. Di antara mereka ada yang bernama Al Abbas bin Abdul Muthallib yang tidak lain adalah pamanda rasulullah SAW sendiri. Kemudian para sahabat menghadap para tawanan tersebut dan mencela mereka karena tetap berada dalam kemusyrikan. Sayyidina Alipun mencela Al Abbas salah seorang tawanan, yang juga pamannya sendiri disebabkan kegiatannya memerangi rasulullah dan memutuskan hubungan sanak keluarga. Mendengar dirinya dicela, al Abbaspun segera menjawab : “ Kalian semua hanya bisa menyebut kejahatan-kejahatan kami dan menutup-nutupi kebaikan kami”.Para sahabatpun bertanya :”Apakah kalian mempunyai kebaikan?”. Para tawanan tersebut menjawab : “Ya, karena kamilah yang memakmurkan masjidil haram dan memberi penutup Ka’bah serta memberi minum para jama’ah haji.

Ketika para tawanan tersebut menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan karena merasa telah memakmurkan masjid itulah, maka turunlah ayat tersebut yang pada pokoknya memberitahukan ketidakpantasan orang musyrik memakmurkan masjid. Dan sebaliknya, pada hakekatnya yang berhak memakmurkan mesjid hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.

Ma’asyiral Muslimin...!

Mungkin kita bertanya, apakah yang dimaksud dengan memakmurkan mesjid dalam ayat tersebut.

Segolongan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan mesjid, adalah membangun dan mendirikan mesjid serta memperbaiki yang rusak. Menurut Ashabuni, memakmurkan masjid dengan cara demikian adalah masuk dalam kategori memakmurkan masjid secara fisik (material ). Memakmurkan masjid dengan cara demikian menurut ajaran agama kita akan mendapat balasan berupa istana di surga. Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Barang siapa membangun masjid walau hanya berupa galiannya tukang pahat kayu, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah istana di surga.

Meskipun Jumhur Ulama membolehkan orang kafir ikut berpartisipasi pada kegiatan pembangunan masjid, sudah barang tentu hadits tersebut tidak berlaku bagi mereka. Sebab, menurut keyakinan kita, setiap amal kebaikan yang tidak dilandasi dengan iman, maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Segolongan mufassir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan masjid dalam ayat tersebut, adalah memakmurkan dengan cara melakukan salat dan ibadah serta melakukan apa saja guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Cara memakmurkan masjid seperti ini disebut memakmurkan masjid secara batin ( spiritual ).

Terlepas dari adanya dua pendapat tersebut, perintah memakmurkan masjid memang bisa mencakup kedua-duanya, yaitu memakmurkan masjid secara fisik dan memakmurkan mamsjid secara spiritual.

Ketika belum ada masjid atau ketika masjid belum selesai dibangun, maka dalam rangka memakmurkan masjid menuntut kita untuk peduli dalam kegiatan pembangunan masjid. Kepedulian tersebut kita wujudkan dengan keikutsertaan kita dalam kegiatan pembangunan, dengan cara memberikan apa yang kita miliki, mungkin berupa tenaga, pikiran, dan sebagian harta. Atau ketiga-tiganya sekaligus. Yang pasti sekecil apapun kita dituntut untuk memeberi andil pada kegiatan pembangunan masjid.

Setelah kegiatan pembangunan masjid selesai, maka dalam rangka memakmurkan masjid, sudah barang tentu menuntut kita untuk mengiiisi masjid dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Dan, kegiatan ibadah yang paling penting untuk kita perhatikan adalah kegiatan salat berjamaah di masjid, terutama bagi yang berada di sekitar masjid. Sebab Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Tidak sempurna shalat orang yang berada di sekitar masjid, kecuali apabila dilakukannya di masjid.

Dengan kata lain, dapat kita katakan, bahwa shalat orang yang bertetangga dengan masjid bisa sempurna hanya apabila dilakukan di masjid.

Akan tetapi, salat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah menyangkut shalat fardlu atau salat wajib. Sedangkan untuk salat sunnat, malah lebih baik dikerjakan di rumah kita masing-masing. Hal ini ditunjukkan oleh rasulullah SAW sesuai dengan sabdanya :

Artinya : Paling utamanya salat adalah salat seseorang yang dilakukan di rumah, kecuali salat wajib.

Adapun rahasianya, mengapa rumah kita, harus juga kita gunakan untuk melakukan salat sunnat adalah dalam rangka memberi syi’ar rumah sehingga dapat dibedakan antara rumah orang Islam dan bukan Islam.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Cahayailah rumah kalian dengan salat dan bacaan Al Qur’an.

Ma’asyiral Muslimin ...!

Melihat kenyataan yang ada akhir-akhir ini, kita memang patut bersedih. Banyak masjid yang dibangun dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan limpahan dana, tetapi ketika masjid sudah indah, malah jarang kita jamah. Sering kita dapati di beberapa tempat, seorang imam harus adzan sendiri, kemudian karena tak seorangpun yang datang, harus iqamat sendiri, dan akhirnya harus salat sendirian pula.

Kebanyakan kita mungkin beranggapan bahwa bagi kaum muslimin, telah cukup hadir di masjid setiap hari Jum’at yang hanya seminggu sekali ini.

Anggapan demikian sudah barang tentu, kurang dapat dibenarkan. Sebab, ada saatnya kita harus memakmurkan masjid dengan cara tertentu. Dan, cara memakmurkan masjid setelah masjid ada, adalah menggunakannya untuk shalat berjamaah. Shalat berjamaah tersebut tidak sebatas salat Jum’at, tetapi, sebagaimana sabda rasulullah SAW di muka, adalah juga termasuk shalat lima waktu. Khususnya, bagi orang yang berada di sekitar masjid.

Kita memang belum bisa seperti Abdullah bin Umi Maktum yang meskipun dia buta dan tempat tinggalnya jauh dari masjid, tetapi dengan setia memenuhi perintah rasulullah SAW selalu berjama’ah di masjid hanya karena ia masih mendengar suara adzan dari masjid. Kita juga masih belum bisa memenuhi harapan Khalifah Umar yang akan menyuruh untuk menarik setiap orang yang tidak mau berjama’ah di masjid.

Akan tetapi, ada baiknya kita belajar. Kalau tidak bisa setiap lima waktu bisa berjama’ah di masjid, paling tidak satu waktu dalam sehari kita jadikan salat wajib kita di masjid. Jika masih belum bisa, paling tidak dalam satu minggu, selain hari Jum’at, satu waktu saja kita mengikuti salat berjama’ah di masjid.

KH Abdullah Gymnastiar pernah bilang, dalam berbuat, mulailah dari yang kecil. Dan yang kecil itu, dalam hal ini, antara lain adalah, belajar mengunjungi masjid untuk melakukan salat berjama’ah, walau hanya 1 kali dalam sehari atau seminggu, selain hari jum’at.

Jika kita bisa demikian, insya Allah kehidupan kampung kita akan penuh sejahtera dan keberkahan Allah akan diturunkan kepada kita. Sebab, dengan berjama’ah di masjid kita akan saling bertemu dengan saudara kaum muslimin yang lain. Dengan saling bertemu, kita bisa saling membagi rasa antara sesama. Dengan saling membagi rasa, kita akan saling mengetahui problem yang menimpa kaum muslimin. Dengan menegetahui problem kaum muslimin, kita akan melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar. Dan apabila kita mau duduk bermusyawarah antar sesama kaum muslimin dengan penuh semangat kekeluargaan dan kasih sayang, maka Insya Allah Rahmat Allah akan turun kepada kita. Sebab, sebagaimana ditulis oleh Al Sayyid Sabiq, rasulullah SAW bersabda :

tangan Allah akan senantiasa menaungi jama’ah

Dan yang lebih penting, di akherat nanti, insya Allah kita akan digolongkan oleh Allah ke dalam salah satu kelompok orang yang akan mendapat naungan di saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah di padang mahsyar. Salah satu kelompok tersebut, sesuai dengan sabda rasulullah SAW, adalah :

“Orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid.

Ma’asyiral muslimin ...!

Sebagai akhir khutbah ini, marilah kita renungkan sebuah kejadian yang dialami oleh ulama masa lampau :

“Suatu ketika Imam Abi Hatim rahimahullah pernah tidak berjama’ah di masjid satu kali. Kemudian beberapa kawannya mengunjunginya. Ketika melihat, hanya beberapa orang saja yang datang menjenguknya, Imam Abu Hatim tersebut seketika menangis tersedu-sedu sambil menggerutu dalam hati: ”Seandainya salah seorang anakku meninggal, pasti separo penduduk negeri ini datang mengunjungiku. Akan tetapi, ketika aku lalai tidak berjama’ah di masjid, hanya beberapa orang saja yang mau menjengukku. Pada hal, seandainya semua anakku meninggal, bagiku terasa lebih ringan dibanding hilangnya kesempatanku untuk berjama’ah di masjid.

Marilah kisah tersebut kita renungkan dan kita maknai sendiri. Semoga kita tergolong kelompok orang-orang yang bisa memakmurkan masjid. Amin ya rabbal alamin.

1. MEMAKMURKAN MESJID (I)

Pertama-tama, marilah kita panjatkan syukur ke hadlirat Allah SWT atas rahhmat dan nikmat yang telah dianugerahkan kepada kita, sehingga pada siang hari ini kita masih berkesempatan menghadiri masjid ini untuk menunaikan sebagian perintah-Nya berupa ibadah jum’at dalam keadaan sehat wal afiat.

Selawat serta salam semoga snantiasa tercurah ke haribaan baginda rasulullah Muhammad SAW yang sangat kita harapkan syafaatnya kelak di akherat.

Selanjutnya, sebagai khatib perkenankanlah mengajak kepada kita semua untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Taqwa dalam arti yang sebenarnya, yaitu : menjalankan semua perintah Allah dan senantiasa berusaha menjauhi larangan-Nya.

Kita tentunya yakin, bahwa, sesuai dengan janji Allah, hanya dengan taqwalah setiap manusia dapat memperoleh derajat paling mulia di sisi Allah dan hanya dengan takwalah manusia akan mendapat anugerah yang tidak disangka-sangka sebelumnya dan akan mendapatkan jalan keluar setiap kesulitan hidup yang dialami.

Ma’asyiral muslimin....!

Dalam rangka meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT, ada baiknya kita renungkan kembali firman Allah SWT sebagaimana termaktub dalam surat At Taubah ayat 17 dan 18.

Allah SWT berfirman :

Artinya :“Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan masjid-masjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya dan mereka kekal dalam neraka”.

“Hanyalah yang memakmurkan masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan salat, menunaikan zakat dan tidak takut ( kepada siapapun ) selain kepada Allah, maka mereka diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”.

Adapun asbabanun Nuzul Ayat tersebut, menurut Al Wakhidy sebagaimana dikutip oleh Dr. Muhammad Ali Ash Shabuny dalam Rawai’ul Bayan adalah sebagai berikut :

“Ketika perang badar usai, ada sekelompok pembesar Quraisy ditawan oleh kaum muslimin. Di antara mereka ada yang bernama Al Abbas bin Abdul Muthallib yang tidak lain adalah pamanda rasulullah SAW sendiri. Kemudian para sahabat menghadap para tawanan tersebut dan mencela mereka karena tetap berada dalam kemusyrikan. Sayyidina Alipun mencela Al Abbas salah seorang tawanan, yang juga pamannya sendiri disebabkan kegiatannya memerangi rasulullah dan memutuskan hubungan sanak keluarga. Mendengar dirinya dicela, al Abbaspun segera menjawab : “ Kalian semua hanya bisa menyebut kejahatan-kejahatan kami dan menutup-nutupi kebaikan kami”.Para sahabatpun bertanya :”Apakah kalian mempunyai kebaikan?”. Para tawanan tersebut menjawab : “Ya, karena kamilah yang memakmurkan masjidil haram dan memberi penutup Ka’bah serta memberi minum para jama’ah haji.

Ketika para tawanan tersebut menyebut-nyebut kebaikan-kebaikan karena merasa telah memakmurkan masjid itulah, maka turunlah ayat tersebut yang pada pokoknya memberitahukan ketidakpantasan orang musyrik memakmurkan masjid. Dan sebaliknya, pada hakekatnya yang berhak memakmurkan mesjid hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah SWT.

Ma’asyiral Muslimin...!

Mungkin kita bertanya, apakah yang dimaksud dengan memakmurkan mesjid dalam ayat tersebut.

Segolongan mufassir berpendapat bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan mesjid, adalah membangun dan mendirikan mesjid serta memperbaiki yang rusak. Menurut Ashabuni, memakmurkan masjid dengan cara demikian adalah masuk dalam kategori memakmurkan masjid secara fisik (material ). Memakmurkan masjid dengan cara demikian menurut ajaran agama kita akan mendapat balasan berupa istana di surga. Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Barang siapa membangun masjid walau hanya berupa galiannya tukang pahat kayu, maka Allah akan membangunkan baginya sebuah istana di surga.

Meskipun Jumhur Ulama membolehkan orang kafir ikut berpartisipasi pada kegiatan pembangunan masjid, sudah barang tentu hadits tersebut tidak berlaku bagi mereka. Sebab, menurut keyakinan kita, setiap amal kebaikan yang tidak dilandasi dengan iman, maka amal tersebut tidak akan diterima oleh Allah SWT.

Segolongan mufassir berpendapat, bahwa yang dimaksud dengan memakmurkan masjid dalam ayat tersebut, adalah memakmurkan dengan cara melakukan salat dan ibadah serta melakukan apa saja guna mendekatkan diri kepada Allah SWT. Cara memakmurkan masjid seperti ini disebut memakmurkan masjid secara batin ( spiritual ).

Terlepas dari adanya dua pendapat tersebut, perintah memakmurkan masjid memang bisa mencakup kedua-duanya, yaitu memakmurkan masjid secara fisik dan memakmurkan mamsjid secara spiritual.

Ketika belum ada masjid atau ketika masjid belum selesai dibangun, maka dalam rangka memakmurkan masjid menuntut kita untuk peduli dalam kegiatan pembangunan masjid. Kepedulian tersebut kita wujudkan dengan keikutsertaan kita dalam kegiatan pembangunan, dengan cara memberikan apa yang kita miliki, mungkin berupa tenaga, pikiran, dan sebagian harta. Atau ketiga-tiganya sekaligus. Yang pasti sekecil apapun kita dituntut untuk memeberi andil pada kegiatan pembangunan masjid.

Setelah kegiatan pembangunan masjid selesai, maka dalam rangka memakmurkan masjid, sudah barang tentu menuntut kita untuk mengiiisi masjid dengan kegiatan-kegiatan ibadah. Dan, kegiatan ibadah yang paling penting untuk kita perhatikan adalah kegiatan salat berjamaah di masjid, terutama bagi yang berada di sekitar masjid. Sebab Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Tidak sempurna shalat orang yang berada di sekitar masjid, kecuali apabila dilakukannya di masjid.

Dengan kata lain, dapat kita katakan, bahwa shalat orang yang bertetangga dengan masjid bisa sempurna hanya apabila dilakukan di masjid.

Akan tetapi, salat yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah menyangkut shalat fardlu atau salat wajib. Sedangkan untuk salat sunnat, malah lebih baik dikerjakan di rumah kita masing-masing. Hal ini ditunjukkan oleh rasulullah SAW sesuai dengan sabdanya :

Artinya : Paling utamanya salat adalah salat seseorang yang dilakukan di rumah, kecuali salat wajib.

Adapun rahasianya, mengapa rumah kita, harus juga kita gunakan untuk melakukan salat sunnat adalah dalam rangka memberi syi’ar rumah sehingga dapat dibedakan antara rumah orang Islam dan bukan Islam.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Cahayailah rumah kalian dengan salat dan bacaan Al Qur’an.

Ma’asyiral Muslimin ...!

Melihat kenyataan yang ada akhir-akhir ini, kita memang patut bersedih. Banyak masjid yang dibangun dengan susah payah, dengan cucuran keringat dan limpahan dana, tetapi ketika masjid sudah indah, malah jarang kita jamah. Sering kita dapati di beberapa tempat, seorang imam harus adzan sendiri, kemudian karena tak seorangpun yang datang, harus iqamat sendiri, dan akhirnya harus salat sendirian pula.

Kebanyakan kita mungkin beranggapan bahwa bagi kaum muslimin, telah cukup hadir di masjid setiap hari Jum’at yang hanya seminggu sekali ini.

Anggapan demikian sudah barang tentu, kurang dapat dibenarkan. Sebab, ada saatnya kita harus memakmurkan masjid dengan cara tertentu. Dan, cara memakmurkan masjid setelah masjid ada, adalah menggunakannya untuk shalat berjamaah. Shalat berjamaah tersebut tidak sebatas salat Jum’at, tetapi, sebagaimana sabda rasulullah SAW di muka, adalah juga termasuk shalat lima waktu. Khususnya, bagi orang yang berada di sekitar masjid.

Kita memang belum bisa seperti Abdullah bin Umi Maktum yang meskipun dia buta dan tempat tinggalnya jauh dari masjid, tetapi dengan setia memenuhi perintah rasulullah SAW selalu berjama’ah di masjid hanya karena ia masih mendengar suara adzan dari masjid. Kita juga masih belum bisa memenuhi harapan Khalifah Umar yang akan menyuruh untuk menarik setiap orang yang tidak mau berjama’ah di masjid.

Akan tetapi, ada baiknya kita belajar. Kalau tidak bisa setiap lima waktu bisa berjama’ah di masjid, paling tidak satu waktu dalam sehari kita jadikan salat wajib kita di masjid. Jika masih belum bisa, paling tidak dalam satu minggu, selain hari Jum’at, satu waktu saja kita mengikuti salat berjama’ah di masjid.

KH Abdullah Gymnastiar pernah bilang, dalam berbuat, mulailah dari yang kecil. Dan yang kecil itu, dalam hal ini, antara lain adalah, belajar mengunjungi masjid untuk melakukan salat berjama’ah, walau hanya 1 kali dalam sehari atau seminggu, selain hari jum’at.

Jika kita bisa demikian, insya Allah kehidupan kampung kita akan penuh sejahtera dan keberkahan Allah akan diturunkan kepada kita. Sebab, dengan berjama’ah di masjid kita akan saling bertemu dengan saudara kaum muslimin yang lain. Dengan saling bertemu, kita bisa saling membagi rasa antara sesama. Dengan saling membagi rasa, kita akan saling mengetahui problem yang menimpa kaum muslimin. Dengan menegetahui problem kaum muslimin, kita akan melakukan musyawarah untuk mencari jalan keluar. Dan apabila kita mau duduk bermusyawarah antar sesama kaum muslimin dengan penuh semangat kekeluargaan dan kasih sayang, maka Insya Allah Rahmat Allah akan turun kepada kita. Sebab, sebagaimana ditulis oleh Al Sayyid Sabiq, rasulullah SAW bersabda :

tangan Allah akan senantiasa menaungi jama’ah

Dan yang lebih penting, di akherat nanti, insya Allah kita akan digolongkan oleh Allah ke dalam salah satu kelompok orang yang akan mendapat naungan di saat tidak ada naungan kecuali naungan Allah di padang mahsyar. Salah satu kelompok tersebut, sesuai dengan sabda rasulullah SAW, adalah :

“Orang yang hatinya selalu terpaut dengan masjid.

Ma’asyiral muslimin ...!

Sebagai akhir khutbah ini, marilah kita renungkan sebuah kejadian yang dialami oleh ulama masa lampau :

“Suatu ketika Imam Abi Hatim rahimahullah pernah tidak berjama’ah di masjid satu kali. Kemudian beberapa kawannya mengunjunginya. Ketika melihat, hanya beberapa orang saja yang datang menjenguknya, Imam Abu Hatim tersebut seketika menangis tersedu-sedu sambil menggerutu dalam hati: ”Seandainya salah seorang anakku meninggal, pasti separo penduduk negeri ini datang mengunjungiku. Akan tetapi, ketika aku lalai tidak berjama’ah di masjid, hanya beberapa orang saja yang mau menjengukku. Pada hal, seandainya semua anakku meninggal, bagiku terasa lebih ringan dibanding hilangnya kesempatanku untuk berjama’ah di masjid.

Marilah kisah tersebut kita renungkan dan kita maknai sendiri. Semoga kita tergolong kelompok orang-orang yang bisa memakmurkan masjid. Amin ya rabbal alamin.

Senin, 06 September 2010

SIFAT HASUD

Oleh : Asmu’i Syarowi
Maasyiral muslimin
Mengawali khutbah siang hari ini perkenankan khatib mengajak kita semua untuk meningkatkan takwa kepada Allah SWT, yaitu menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya. Seruan ini senantiasa diserukan oleh setiap khatib pada setiap jum’at tidak lain karena pentingnya takqwa ini. Takwa menjadi sesuatu yang sangat penting kerana takwa merupakan inti keberagamaan seseorang. Maka tidak heran jika Allah menegaskan bahwa hanya dengan ukuran takwa itulah tinggi rendahnya derajat seseorang di mata Allah diukur. Karena pentingnya takwa itu pulalah mengapa seruan takwa ini menjadi seruan wajib mingguan yanag harus diucapkan oleh setiap khatib dalam khutbahnya.
Mudah-mudahan seruan takwa setiap jumat ini bukan merupakan formalitas belaka. Tetapi menjadi seruan yang benar dihayati oleh setiap kita yang hadir shalat jum’at. Dalam rangka menuju tkwa itu pulalah khutbah tentang sifat hasud berikut disampaikan.

Ma’asyiral muslimin
Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluq sempurna, Akan tetapi dibalik kesempurnaan tersebut manusia tetaplah makhluq yang memiliki kekurangan. Sebabnya adalah karena di samping manusia bisa mempunyai sifat-sifat yang baik bisa pula memiliki sifat-sifat tercela. Sifat tercela ini terkadang begitu menguasai manusia sehingga terwujud dalam perilaku yang jahat yang merugikan, bahkan mencelakaan orang lain. Dalam ajaran Islam, khususnya yang telah dicontohkan oleh para sufi, mengetahui sifat-sifat tercela bagi masing manusia ini amat penting. Bahkan, menurut tuntutan mereka membicarakan sifat-sifat tercela ini lebih penting untuk didahulukan. Sebab, hanya dengan mengetahui sifat-sifat tercela, sekaligus bahaya sifat tercela itulah, seseoranag dapat berusaha membersihan diri dari sifat-sifat tercela tersebut. Usaha menghindar dari sifat tercela tersebut dalam tradisi sufi disebut takhliyah. Yaitu, usaha membersihkan diri dan jiwa. Berikut jiwa yang telah bersih tersebut diisi dengan latihan membiasakan diri sifat-sifat terpuji.
Salah satu sifat tercela yang harus dilenyapkan dari jiwa setiap orang adalah sifat hasud.
Sifat hasud dalam bahasa Indonesia biasa juga dikenal dengan sifat dengki atau irihati.
Prof. Dr. Abu Bakar Aceh, salah seorang pakar mengenai dunia tasawuf mendefinisikan Hasad atau hasud,
yaitu membenci nikmat Tuhan yang dianugerahkan kepada orang lain dengan keinginan agar nikmat orang lain tersebut terhapus.
Dengan kata lain, orang hasud adalah orang yang tidak senang jika orang lain mendapat nikmat Allah. Bahkan tidak hanya sekedar tidak senang, orang yang di hatinya ada sifat hasud, juga selalu gelisah jika nakmat itu masih dinikmati orang lain tersebut. Oleh karena itu dia selalu menginginkan agar nikmat tersebut hilang darinya.
Mengenai bahaya hasud ini rasulullah mengingatkan dengan sabdanya. Rasulullah SAW bersabda :

Artinya :Hasud itu memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.
Menurut hadits tersebut, seorang akan percuma berbuat kebaikan selama di hatinya masih terdapat sifat hasud, sebab sebanyak apapun kebaikan yang dilakukan, selama masih ada sifat dengki, pahala kebaikan tersebut akan musnah. Dalam hadits, musnahnya pahala kebaikan tersebut digambarkan seperti kaya bakar kering yang dalam waktu singkat musnah karena terbakar api.
Itulah sebabnya, mengapa dalam tradisi sufi tidak ada kejahatan tersembunyi yang lebih besar dan merugikan diri sendiri kecuali sifat hasud atau dengki.
Rasulullah SAW juga pernah bersabda agar kita waspada terhadap orang yang dengki atau hasud ini


Ketahuilah sesunggahnya pada nikmat-nikmat Allah itu terdapat musuh. Para sahabat bertanya. Siapa musuh-musuh nikmat Allah itu. Rasulullahpun menjawab : Musuh-musuh nikmat Allah adalah orang-orang yang dihatinya ada persaan dengki terhadap kemulyaan yang diberikan oleh Allah.

Sifat hasud tersebut dapat merugikan diri sendiri sebab sebelum hasud tersebut mencapai maksudnya, orang yang dihatinya ada sifat hasud akan membinasakan dirinya dengan lima hal, Kelima hal itu adalah :
Pertama, orang hasud akan berlarut-larut dalam penderitaan batin.
Kedua, orang yang dengki akan mendapat musibah yang tidak dapat ditolong.
Ketiga, orang yang dengki atau hasud akan memperoleh murka Allah.
Keempat, dan kelima, orang yang dengki atau hasud akan ditutup dari pintu hidayat dan taufiq.
Al Faqih Abul Laits berkata :

Tiga kelompok orang yang tidak akan dikabulkan do’anya,yaitu orang yang suka makan barang haram, orang yang suka menggunjing orang lain, dan orang yang dalam hatinya ada perasaan dengki terhadap sesame muslim.
Sebagian ahli hikmah juga mengatakan, bahwa sifat dengki adalah sifat yang pertama yang menyebabkan durhaka kepada Allah di langit, yaitu sebagaimana yang ditunjukkan oleh Iblis ketka dia dengki dengan Nabi Adam dan menyebabkan Iblis durhaka kepada Allah karena tidak mau memenuhi peritah Allah untuk bersujud kepada Adam.
Sifat Hasud juga merupakan sifat pertama yang meneyebabkan perbuatan durhaka di bumi, yaitu sebagaimana yang dilakaukan oleh Qabil ketika ia membunuh saudaranya Habil karena dengki kepadanya. Dalam kisah tercatat bahwa Qabil dengki kepada Habil karena Habil dikawinkan dengan wanita yang lebih cantik.
Karena bahaya sifat hasud yang bisa merusak tidak saja terhadap urusan pahala, tetapi juga urusan pergaulan hidup inilah, mengapa sebabnya para sufi mengingatkan kita agar membersihkan hati kita dari sifat hasud atau dengki ini.
Syaikh Hasan al Bashri salah seorang sufi besar juga mengingatkan kita :


Hai anak Adam janganlah engkau hasud atau dengki terhadap saudaramu. Jika ia beroleh kemuliaan dari Allah, maka mengapa engkau dengki terhadap orang ayang telah dimuliyakan Tuhan itu.
Sebaliknya, jika ia beroleh sesuatu yang bukan diridai Allah, maka apakah layak kamu dengki atau iri hati terhadap orang yang akan masuk neraka ?
Mudah-mudahkan, khutbah ini menjadi bahan renungan kita dalam rangka menuju taqwa kepada Allah SWT, Amin




Artinya : Sebagian besar ahli Kitab menginginkan agar mereka bisa mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang timbul dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Al Baqarah : 109 )

Senin, 22 Juni 2009

MENCINTAI AKHIRAT

Ma’asyiral muslimin
Melalui layar televisi dapat kita saksikan bahwa saat ini saudara-saudara kita di Ibu kota Jakarta sedang bergulat menghadapi banjir. Banjir yang hampir terjadi tiap tahun tersebut kini seolah mencapai klimaksnya. Luapan air Ciliwung yang terjadi di awal 2007 ini juga disebut-sebut sebagai lebih dahsyat dari pada yang terjadi tahun 2002. Sebab daerah-daerah yang pada tahun 2002 tidak terjamah banjir, kini ikut menikmati kiriman air bah yang dating dari Bogor. Sekitar 70 persen Propinsi DKI Jakarta terendam air. Terlihat di sana-sini rumah-rumah terendam hinga mencapai batas atap rumah yang berlantai satu. Tidak hanya rumah orang miskin tetapi juga rumah-rumah orang kaya. Dengan keadaan seperti itu dapat kita pastikan bahwa ketinggian air sudah mencapai lebih dari 4 meter. Sebuah ketinggian air yang sudah barang tentu sangat membahayakan jiwa orang-orang yang tidak dapat berenang, seperti balita dan orang-orang yang telah lanjut usia. Ternyata musibah ini tidak hanya menimbulkan korban jiwa tetapi juga menimbulkan kerugian harta benda yang luar biasa besar.
Bagi kita di sini, yang hanya bisa melihat musibah banjir lewat berita, kadang terbersit di hati, kalau sudah seperti itu apa enaknya hidup di Jakarta. Karena Jakarta merupakan symbol kemewahan dunia untuk ukuran Indonesia, kitapun mungkin juga perlu berfikir, bahwa kalau musibah demi musibah terjadi seperti itu, apapula enaknya hidup di dunia. Ternyata di balik kemewahan dunia ada ancaman musibah yang sewaktu-waktu, tanpa kita duga, akan datang dengan tiba-tiba, baik di waktu siang ataupun malam.
Ma’asyiral muslimin
Peristiwa banjir yang tarjadi dan peristiwa musibah-musibah lain yang pernah terjadi pada akhirnya juga mengingatkan kita akan sebuah firman Allah dalam Al Qur’an.
PAllah berfirman dalam surat adh Dhuha ayat 4:

Artinya : Dan sungguhnya akhir itu lebih baik dari pada permulaan.

Yang dimaksud dengan al akhirat menurut sebagian mufassir adalah kehidupan akhirat Sedangkan, maksud al Ula dalam ayat tersebut tidak lain dalah kehidupan dunia. Dengan demikian, sesuai dengan dhahir ayat, ayat tersebut memberikan petunjuk sekaligus merupakan penegasan Allah kepada kita, bahwa kehidupan akhirat adalah lebih baik dari pada kehidupan dunia.
Oleh karena kehidupan akhirat lebih baik dari pada kehidupan dunia, maka mempersiapkan keperluan untuk akhirat adalah sikap yang sungguh sangat bijaksana. Rasulullah SAW pernah menyebut orang yang tekun mempersiapkan kehidupan sesudah mati merupakan orang yang cerdas.
Rasulullah bersabda :

Artinya : orang cerdas adalah orang yang dapat mengendalikan hawa nafsunya dan orang yang tekun beramal untuk keperluan setelah mati.

Mengapa keperluan setelah mati perlu dipersiapkan. Tidak lain, karena setelah kita mati kesempatan untuk beramal sudah tidak ada lagi. Sementara hanya amal saleh kita semua sajalah yang akan dapat menyertai kita dan menolong kita ketika menghadapi semua yang terjadi di alam akhirat ini.
Rasulullah SAW dalam salah satu haditsnya pernah mengingatkan kita, bahwa ketika manusia mati hanya ada tiga hal yang mengantarkan ke kuburnya, yaitu keluarganya, hartanya, dan amalnya. Dua di antaranya akan kembali sedangkan yang satu akan mengikutinya. Dua yang akan kembali adalah keluarga dan hartanya. Selanjutnya, hanya amalnyalah yang akan mengikutinya ke dalam kubur. Amal itu pulalah yang menolong atau akan mencelakannya ketika harus mengalami kehidupan sesudah mati di alam kubur.
Selanjutnya setelah sampai ke alam akhirat hanya ada dua pilihan, yaitu apakah termasuk yang oleh Al Qur’an disebut sebagai fariqun fil jannah atau sebaliknya kedalam kelompok fariqun fis sa’ir. Tidak ada pilihan ketiga dan keempat. Apalagi pilihan yang kelima dan seterusnya.
Ma’asyiral mulimin
Masing-masing kita sebenarnya sudah mengetahui bahwa kehidupan akhirat itu pasti ada dan kehidupan akhirat merupakan kehidupan yang tidak ada akhirnya. Hanya saja, pengetahuan kita, khususnya tentang akhirat mungkin belum ke tingkat ainul yaqin apalagi haqqul yaqin.
Agar pengetahuan kita tentang akhirat dapat ke tingkat ilmul yaqin atau bahkan haqqul yaqin tidak ada cara lain kecuali dengan terus menerus mengasah keimanan kita kepada Allah SWT..
Cara mengasah iman tersebut tidak ada cara lain, kecuali dengan terus menerus mendekatkan diri kepada Allah dengan memperbanyak amal soleh. Usaha atau latihan itulah yang biasanya dalam istilah para sufi disebut riyadlah. Sebab, kita semua tahu, bahwa iman memang bisa bertambah dan berkurang. Iman bisa bertambah karena amal saleh. Sebaliknya, bisa berkurang karena maksiyat yang kita lakukan.
Dalam sebuah hadits rasulullah juga pernah menjelaskan, bahwa ketika seorang hamba mendekat kepada-Nya. Allah akan mendekat lebih dekat lagi. Tetapi ketika seorang hamba tersebut menjauh maka Allahpun akan menjauh pula. Itulah sebabnya dalam tradisi sufi ada konsep fafirru ilallah yang maksudnya, kurang lebih, berisi himbauan, agar kita segera berlari menuju Allah. Dengan cara berlari menuju Allah, diharapkan Allahpun lebih cepat lagi mendekat kepada kita.
Ma’asyiral muslimin
Agar kita dapat mempersiapkan kehidupan akhirat dengan sebaik-baiknya, maka tidak ada cara lain kecuali dari sekarang kita harus mulai belajar mencintai akhirat.
Agar dapat mencintai kehidupan akhirat, ada baiknya kita juga perlu mengetahui sifat-sifat kelemahan kehidupan dunia yang oleh Allah SWT dan rasulullah SAW serta para Ulama ahli hikmah telah diberikan gambarannya.
Allah SWT menggambarkan bahwa kehidupan dunia laksana tanaman yang subur akibat disirami air yang cukup. Akan tetapi, tanaman yang subur dan indah tersebut sewaktu-waktu akan menjadi kering bahkan tak berbekas sama sekali, akibat diterbangkan oleh angin.
Dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 45 Allah berfirman :



Artinya : Dan berilah perumpamaan kepada mereka, bahwa kehidupan dunia adalah seperti air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi. Kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan angin. Dan, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.

Lebih jelas, perumpamaan serupa juga dapat kita baca, antara lain, dalam surat Yunus ayat 23, Surat Al Hadid ayat 20.
Rasulullah SAW juga telah memberikan gambaran kehidupan dunia antara lain melalaui salah satu sabdanya .
Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Dunia merupakan penjara bagi orang-orang mukmin dan surga bagi orang-orang kafir.
Menurut Al Faqih Abul Laits As Samarqandi dalam salah satu kitabnya, bahwa maksud hadits tersebut adalah bahwa bagi seorang mukmin kenikmatan dan kelapangan yang dirasakan, selagi masih di dunia masih saja seperti di penjara. Karena kenikmatan dan kelapangan tersebut masih belum seberapa dibanding dengan kenikmatan dan kelapangan yang akan diterima di surga nanti. Sebab, kata al Faqih Abul Laits, ketika akan wafat kepada setiap orang mukmin, akan diperlihatkan surga. Pada saat melihat kemulyaan surga itulah, dia menyadari bahwa kenikmatan kehidupan dunia itu ternyata masih seperti dalam penjara.
Sebaliknya, kepada orang kafir, ketika akan mati akan diperlihatkan neraka dengan segala isinya. Ketika melihat neraka dengan dahsyatnya siksa itulah, dia menyadari bahwa kesengsaraan hidup di dunia itu ternyata masih seperti di surga.
Dengan kalimat lain, maksud hadits tersebut bukan berarti orang mukmin tidak boleh bahagia di dunia atau bahkan sebaliknya harus selalu menempuh hidup sengsara di dunia. Juga bukan berarti orang kafir boleh hidup semaunya, berfoya-foya seperti layaknya di surga.
Maksudnya, adalah apapun macamnya kenikmatan kehidupan dunia, bagi seorang beriman, masih seperti di penjara. Sebab, apapun namanya kenikmatan selagi masih di dunia, tidak ada kenikmatan yang tanpa batas dan sama sekali tidak sebanding dengan kenikmatan yang dijanjikan Allah kepadanya.
Sebaliknya, apapun namanya kesengsaraan hidup, bagi orang kafir, selagi masih di dunia masih dapat dianggap seperti di surga. Sebab, bagi orang kafir masih ada kesengsaraan yang sebenarnya yaitu ketika harus menerima adzab Allah kelak di akhirat akibat kekafirannya.
Kepada kita, agar kita tidak terlalu mencintai dunia, Luqmanul Hakim, juga pernah menasihati kita, lewat nasihat yang ditujukan kepada putranya :


Wahai anakku, sesungguhnya kehidupan dunia adalah sebuah lautan yang dalam. Telah banyak orang yang tenggelam di dalamnya, maka buatlah kapal di atasnya dengan mempertebal taqwamu kepada Allah SWT.

Ma’asyiral muslimin
Inti pesan khutbah yang telah kami uraikan tadi adalah agar kita mulai saat ini belajar mencintai akhirat. Mencintai akhirat perlu kita latih sebab akhirat adalah sesuatu yang belum terjadi yang karenanya kebanyakan kita melupakan. Pada hal, ke akhirat itulah kita semua akan kembali untuk selama-lamanya.
Akhirnya, semoga khutbah ini menjadi salah satu bahan renungan sebagai upaya kita untuk belajar mencintai akhirat yang dalam praktiknya kita wujudkan dengan semakin mempertebal ketakwaan kita kepada Allah SWT.
------------------------------------------------------------------