Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Judul itu hanya sebuah contoh
penulisan kata yang sering menjadi persoalan ‘khilafiyah’ dalam praktik sehari-hari.
Praktik ketidakteraturan pemilihan kosa kata itu sampai saat ini masih terus berlangsung.
Yang menjadi pertanyaan kita, mengapa hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat
umum tetapi juga di kalangan kaum intelektual?. Banyak kita jumpai dalam
dokumen-dokumen ilmiyah, seperti makalah, skripsi, tesis, bahkan disertasi yang
masih menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti
pemilihan kata yang tidak standar. Anehnya, hal itu terjadi setelah 89 tahun
sejak terpilihnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tahun 1928. Lahirnya
sumpah pemuda pada tahun itu disebut-sebut sebagai lahirnya bahasa Indonesia.
Akan tetapi, secara resmi bahasa Indonesia baru dinyatakan resmi negara adalah
sejak tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sejak disahkannya UUD 1945. Pada Pasal 36
secara tegas dinyatakan : “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”
Dalam praktik setelah Indonesia
merdeka Bahasa Indonesia memang terus mengalami perkembangan. Kita pernah
mengalami beberapa tahapan ‘aliran’ dalam bahasa Indonesia. Beberapa ejaan bahasa Indonesia pernah kita
pakai. Yang pertama, pada era 1901 sampai 1947 kita pernah memakai ejaan Van Ophuysen. Berikut, ejaan yang
dipelopori oleh Prof.Charles van Ophuysen ini kemudian mengalami
beberapa kali pergantian sebelum akhirnya kita kenal ejaan yang disempurnakan
seperti sekarang yang secara resmi dipakai pada tanggal 17 Agustus 1972
berdasarkan putusan presiden Nomor 57
Tahun 1972.
Sebagai bahasa nasional Bahasa Indonesia merupakan
indentatas nasional sekaligus sebagai kebanggan bangsa. Itulah sebabnya pada
seminar politik Bahasa Indonesia tanggal 25-28 Februari 1975 di Jakarta dinyatakan,
bahwa Bahasa Indonesia selain sebagai bahasa resmi kenegaraan harus digunakan
sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan dan sebagai alat pengembangan
kebudayaan nasional.
Pada waktu kita masih di bangku sekolah SD sampai
SLTA, jika ingin naik kelas, nilai Bahasa Indonesia adalah termasuk salah satu
mata pelajaran yang tidak boleh mendapatkan nilai rapor merah. Di perguruan
tinggi (strata-1) bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah wajib di semua
fakultas.
Tetapi apakah tingkat kepedulian
kita telah sebanding dengan urgensi eksistensi bahasa Indonesia?. Tenyata
belum. Upaya guru Bahasa Indonesia dan pemerintah dalam memasyaratkan pemakaian
bahasa Indonesia yang baik dan benar tampaknya belum maksimal. Contoh judul di
atas menjadi salah satu buktinya. Sering
kita menggunakan, membuat, atau menuliskan istilah-istilah kata yang tidak
baku. Dalam tata pergaulan yang meliputi
bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya sering kita jumpai contoh kekacauan
itu. Dalam beberapa kasus kekeliruan itu terjadi akibat sikap egoisme sektoral,
seperti dalih bahasa hukum, bahasa ilmiyah atau sejumlah alasan pembenar
lainya.
Mengenai hal ini pernah dikeluhkan
oleh mendiang Prof. Sutan Takdir Ali Sjahbana. Beliau mengeluhkan kita, antara
lain karena sering menggunakan istilah-istilah yang tidak ada dalam kamus.
Pembuatan akronim sering tidak memakai kaidah dan berakibat membingungkan. Banyak
orang luar negeri bingung mempelajari bahasa Indonesia. Mereka sering tidak mengetahui
banyak istilah yang tidak terdapat dalam kamus, seperti satu kata akibat
pembuatan akronim-akronim yang tidak standar. Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) sebagai acuan kita menuliskan kata berikut ejaannya sering kita abaikan.
Dalam perkembangan terakhir, di era teknologi
informasi yang pesat ini, kekacauan itu semakin marak. Penulisan-penulisan
kalimat atau penggunaan kata Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin sering
dilanggar. Ironisnya, dunia akademik tampaknya juga kurang peduli. Banyak penyusun
karya ilmiyah dalam bentuk naskah akademik yang masih belum bisa membedakan
istilah yang telah mengalami pembakuan dan belum. Masih banyak sarjana atau
bahkan pembimbing--sebuah karya akademik yang berkualifikasi karya ilmiyah--yang
perlu dipertanyakan kemampuannya berbahasa Indonesia. Banyak kita jumpai sebuah karya ilmiyah sulit
difahami hanya lantaran pembuatan kalimat-kalimat yang tidak efektif,
disebabkan oleh pembuatnya yang masih belum dapat membedakan jenis kalimat,
seperti kalimat pasif atau kalimat aktif, kalimat langsung atau kalimat tidak
langsung, tidak jelas subjek dan predikatnya, tidak dapat membedakan induk
kalimat dan frasa. Mereka tidak sadar bahwa kalimat semrawut yang digunakan juga
menunjukkan kekacauan logika berfikir.
Hal ini tentu sangat barbahaya.
Letak bahayanya adalah ketika masyarakat menganggap hal itu sebagai suatu
kebenaran. Pemerintah dan dunia pendidikan harus concern memerangi
fenomena ini. Upaya pemerintah sebelum era reformasi dengan mencanangkan bulan
oktober sebagai bulan bahasa dan memilih tokoh-tokoh tertentu sebagai role
model kiranya perlu kita contoh. Kalau tidak, kita khawatir kekacauan yang
terjadi akibat ketidakpedulian kita terhadap fenomena di atas, semakin
menjadi-jadi. Yang kita khawatirkan berikutnya adalah suatu saat bahasa
Indonesia akan kehilangan ruhnya, sehingga salah satu identitas bangsapun
secara pelan hilang tanpa kita sadari. Ingat jargon : “Bahasa Menunjukkan Bangsa”