Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label PENDIDIKAN. Tampilkan semua postingan

Rabu, 25 Oktober 2017

APOTEK ATAU APOTIK?


Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Judul itu hanya sebuah contoh penulisan kata yang sering menjadi persoalan ‘khilafiyah’ dalam praktik sehari-hari. Praktik ketidakteraturan pemilihan kosa kata itu sampai saat ini masih terus berlangsung. Yang menjadi pertanyaan kita, mengapa hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat umum tetapi juga di kalangan kaum intelektual?. Banyak kita jumpai dalam dokumen-dokumen ilmiyah, seperti makalah, skripsi, tesis, bahkan disertasi yang masih menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti pemilihan kata yang tidak standar. Anehnya, hal itu terjadi setelah 89 tahun sejak terpilihnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tahun 1928. Lahirnya sumpah pemuda pada tahun itu disebut-sebut sebagai lahirnya bahasa Indonesia. Akan tetapi, secara resmi bahasa Indonesia baru dinyatakan resmi negara adalah sejak tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sejak disahkannya UUD 1945. Pada Pasal 36 secara tegas dinyatakan : “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”
Dalam praktik setelah Indonesia merdeka Bahasa Indonesia memang terus mengalami perkembangan. Kita pernah mengalami beberapa tahapan ‘aliran’ dalam bahasa Indonesia.  Beberapa ejaan bahasa Indonesia pernah kita pakai. Yang pertama, pada era 1901 sampai 1947 kita pernah memakai ejaan  Van Ophuysen. Berikut, ejaan yang dipelopori oleh Prof.Charles van Ophuysen ini kemudian mengalami beberapa kali pergantian sebelum akhirnya kita kenal ejaan yang disempurnakan seperti sekarang yang secara resmi dipakai pada tanggal 17 Agustus 1972 berdasarkan putusan presiden  Nomor 57 Tahun 1972.
Sebagai bahasa nasional Bahasa Indonesia merupakan indentatas nasional sekaligus sebagai kebanggan bangsa. Itulah sebabnya pada seminar politik Bahasa Indonesia tanggal 25-28 Februari 1975 di Jakarta dinyatakan, bahwa Bahasa Indonesia selain sebagai bahasa resmi kenegaraan harus digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan dan sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional.
Pada waktu kita masih di bangku sekolah SD sampai SLTA, jika ingin naik kelas, nilai Bahasa Indonesia adalah termasuk salah satu mata pelajaran yang tidak boleh mendapatkan nilai rapor merah. Di perguruan tinggi (strata-1) bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah wajib di semua fakultas.
Tetapi apakah tingkat kepedulian kita telah sebanding dengan urgensi eksistensi bahasa Indonesia?. Tenyata belum. Upaya guru Bahasa Indonesia dan pemerintah dalam memasyaratkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar tampaknya belum maksimal. Contoh judul di atas  menjadi salah satu buktinya. Sering kita menggunakan, membuat, atau menuliskan istilah-istilah kata yang tidak baku.  Dalam tata pergaulan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya sering kita jumpai contoh kekacauan itu. Dalam beberapa kasus kekeliruan itu terjadi akibat sikap egoisme sektoral, seperti dalih bahasa hukum, bahasa ilmiyah atau sejumlah alasan pembenar lainya.
Mengenai hal ini pernah dikeluhkan oleh mendiang Prof. Sutan Takdir Ali Sjahbana. Beliau mengeluhkan kita, antara lain karena sering menggunakan istilah-istilah yang tidak ada dalam kamus. Pembuatan akronim sering tidak memakai kaidah dan berakibat membingungkan. Banyak orang luar negeri bingung mempelajari bahasa Indonesia. Mereka sering tidak mengetahui banyak istilah yang tidak terdapat dalam kamus, seperti satu kata akibat pembuatan akronim-akronim yang tidak standar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai acuan kita menuliskan kata berikut ejaannya sering kita abaikan.
Dalam perkembangan terakhir, di era teknologi informasi yang pesat ini, kekacauan itu semakin marak. Penulisan-penulisan kalimat atau penggunaan kata Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin sering dilanggar. Ironisnya, dunia akademik tampaknya juga kurang peduli. Banyak penyusun karya ilmiyah dalam bentuk naskah akademik yang masih belum bisa membedakan istilah yang telah mengalami pembakuan dan belum. Masih banyak sarjana atau bahkan pembimbing--sebuah karya akademik yang berkualifikasi karya ilmiyah--yang perlu dipertanyakan kemampuannya berbahasa Indonesia.  Banyak kita jumpai sebuah karya ilmiyah sulit difahami hanya lantaran pembuatan kalimat-kalimat yang tidak efektif, disebabkan oleh pembuatnya yang masih belum dapat membedakan jenis kalimat, seperti kalimat pasif atau kalimat aktif, kalimat langsung atau kalimat tidak langsung, tidak jelas subjek dan predikatnya, tidak dapat membedakan induk kalimat dan frasa. Mereka tidak sadar bahwa kalimat semrawut yang digunakan juga menunjukkan kekacauan logika berfikir.

Hal ini tentu sangat barbahaya. Letak bahayanya adalah ketika masyarakat menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran. Pemerintah dan dunia pendidikan harus concern memerangi fenomena ini. Upaya pemerintah sebelum era reformasi dengan mencanangkan bulan oktober sebagai bulan bahasa dan memilih tokoh-tokoh tertentu sebagai role model kiranya perlu kita contoh. Kalau tidak, kita khawatir kekacauan yang terjadi akibat ketidakpedulian kita terhadap fenomena di atas, semakin menjadi-jadi. Yang kita khawatirkan berikutnya adalah suatu saat bahasa Indonesia akan kehilangan ruhnya, sehingga salah satu identitas bangsapun secara pelan hilang tanpa kita sadari. Ingat jargon : “Bahasa Menunjukkan Bangsa”

Senin, 01 Desember 2014

URGENSI ORGANISASI MAHASISWA EKSTRA KAMPUS


Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Banyuwangi)

Dulu belajar di Perguruan Tinggi  (PT) seolah ‘monopoli’  kelas masyarakat tertentu. Alasan yang umum,  di samping  kuliah biayanya mahal dan jauh, belajar di PT terkesan angker. Hanya orang berduit dan punya nyali minat belajar saja yang bisa kuliah di PT. Itulah sebabnya tidak semua kamapung ada mahasiswa. Menjadi mahasiswa menjadi kebanggan tersendiri, karena tidak semua pemuda bisa menjadi mahasiswa.  Kalaupun ada,  yang secara ekonomi lemah dapat, masuk PT pastilah termasuk pemuda pilihan, dan biasanya yang semacam inilah yang relatif sukses. Kenekatannya kuliah dengan modal sangu pas-pasan, justru mendorong untuk belajar lebih keras meraih cita-cita.
Kini kesempatan  belajar di PT hampir milik semua kalangan. Hampir semua lulusan SLTA menginginkan kuliah. Di samping tuntutan zaman masuk PT  seolah dipermudah. Kesempatan kuliah juga semakin terbuka karena hampir di setiap kabupaten ada PT. Tetapi, seberapa jauh kulatitas mahasiswa sekarang dibanding dengan tempo dulu? Jika parameternya indeks prestasi (IP) mahasiswa sekarang mungkin rata-rata relatif unggul dibanding dahulu. Akan tetapi, hanya itukah parameternya? Jelas bukan.
Memperbincangkan eksistensi mahasiswa pada hakikatnya adalah memperbincangkan esksistensi pemuda. Telah banyak tulisan, banyak tokoh, dan banyak karya seni yang pada pokoknya memeberi perhatian sosok pemuda ini. Di era pra-kemerdekaan peran angkatan muda dalam perjuangan sangat kental.  Terbentuknya Budi Utomo 20 Mei 1908 yang belakangan diabadikan sebagai Hari Kabangkitan Nasional yang menginspirasi tokoh-tokoh politik merintis perjuangan-perjuangan melawan pemerintah kolonial, adalah bukti nyata kebesaran peran pemuda. Di era orde lama pada dekade 50-an dan 60-an, angkatan muda juga menunjukkan kepeloporannya. Peristiwa di penghujung 1965 dan di awal 1966 yang tergambung dalam aksi-aksi KAMI- KAPPI  yang menumbangkan tirani penguasa saat itu juga bukti nyata kiprah pemuda. Pada era orde baru yang terkenal dengan politik stabilitasnya peran pemuda dalam kegiatan ‘kritis’ terhadap penguasa itu secara sistematis dan massif dikurangi bahkan dikekang habis. Tugas mahasiswa adalah  mencari ilmu dan oleh karenanya harus belajar demi pembangunan. Bagitulah kira-kira maksudnya.  Konsep Normalisasi Kegiatan Kampus ( NKK ) zaman Menteri Daoed Joesoef dan ‘transpolitisasi’ zaman Menteri Nugroho Notosusanto adalah bukti historis  mengenai hal itu. Sampailah pada puncaknya bisul akibat kekakngan itu meletus. Apalagi, setelah semakin banyak saja aktivis pemuda diciduk, bahkan ada yang tidak pernah pulang dan hilang sampai sekarang. Sekitar Mei 1997 kekuasaan orde baru tumbang. Untuk yang kesekian kalinya mahasiswa dengan gerakan reformasinya berperan besar menumbangkan rezim kekuasaan yang lebih dari 30 tahun itu. 
Singkat cerita perubahan-perubahan besar yang terjadi dinegeri ini adalah tidak bisa lepas dari kiprah mahasiswa. Kehadirannya  melawan ketidakadilan dan kesewenangan yang terjadi di negeri ini telah menorehkan tinta emas sejarah. Kekompakan mereka dalam mengekspresikan ‘perjuangan’ bahkan tanpa harus terbelenggu pada isu SARA. Pertanyaannya, apakah dalam konteks sekarang kiprah tersebut masih urgen?
Problem bangsa ini tampaknya tidak kunjung habis. Korupsi, kolusi, nepotisme di negeri ini sudah sedemikian menggurita. Sekalipun setiap hari ada gerakan melawannya tetapi seolah tidak pernah ada habisnya. Kita lihat semakin hari semakin banyak pejabat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi semakin berani pula para koruptor beraksi. KPK semakin garang tetapi penjahat negara juga semakin jalang. Pada saat yang sama juga banyak kebijakan penyelenggaraan negara yang tidak pro rakyat. Laju pemilik mewah semakin deras pada saaat yang sama masih banyak orang desa yang susah membeli beras.  Kekayaan pejabat dan orang kaya menumpuk, akan tetapi setiap musim tanam hampir semua petani sulit mendapatkan pupuk. Ketimpangan-ketimpamngan tersebut harus ada yang mengontrol secara terus menerus. Dalam konteks inilah peran pemuda bernama mahasiswa ugen Bersama dengan media sosial lain, peran mahasiswa sangat diperlukan. Mata kuliah yang cenderung hanya beriorientasi keilmuan ( scientific oriented ) terkadang kurang dapat memberikan iklim pola fikir kritis terhadap lingkungan. Mencari wahana pengasah diri guna semakin menajamkan sikap kritis mutlak diperlukan.
Dengan demikian, menjadi mahasiswa tentu juga tidak sekedar berlomba meraih IP tinggi. Lebih dari itu, mahasiswa harus menaikkan indeks kepekaannya. Belajar berorganisasi yang baik dan kepeduliannya terhadap bahan bacaan di luar kurikulum  yang seharusnya, adalah suatu keniscayaan. Hal-hal semacam inilah nantinya yang akan membuatnya mandiri setamat dari PT, bahkan pada saat nantinya tidak mendapat bagian ‘kue’ menjadi PNS. Tokoh-tokoh politisi seperti Akbar Tanjung ( Golkar ), Slamet Effendy Yusuf ( Golkar ), Romahurmudzy ( PPP), Andi Arif ( mantan jubir presiden ), Budiman Sujatmiko ( PDIP) Adian Napitupulu ( PDIP)  dan tokoh lain yang kini berkiprah di DPR adalah beberapa contoh mantan aktivis mahasiswa yang tidak pernah bercita-cita menjadi PNS.

SEKOLAH YANG MENJADI KEBUN SURGA BAGI MURID




Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
( Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A )

Menurut Prof. Moh. Surya, ada empat level guru dalam dunia pendidikan kita. Tiap level memiliki kapasitas yang berbeda. Keempat level itu ialah :
1.      Guru Aktual, yaitu guru yang datang ke sekolah, ikut PLPG, terima  gaji dan sertifikasi setiap bulan tetapi batinnya sebenarnya belum menjadi guru. Ia melaksanakan tugasnya semata-mata karena tuntutan formal guru.
2.      Guru Harmonis, yaitu guru yang bisa mengajar dengan baik, tekun, rajin, bagus, tetapi batinnya tidak ingin menjadi guru. Dia masih mencari kesempatan untuk keluar dari guru. Ia tampil sebagai guru dengan kemampuan memanipulasi kondisi dirinya untuk tampil sebagai guru yang  baik. Dengan demikian ia tampak harmonis sebagai  guru. Kadang-kadang ada konflik antara kondisi pribadinya dengan tuntutan sebagai guru, namun dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak harmonis. Dengan istilah lain, mungkin guru ini, dalam dunia seni peran, dapat disebut sebagai aktor yang baik. Dia mampu memberikan kepuasan kepada penonton ( baca : murid ) tetapi belum tentu kepada dirinya.
3.      Guru Karakter, yaitu guru yang tempil pernuh dengan karakternya.   Sosok guru ini mewujud dengan basis karakter yang melekat dalam dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kepribadiannya yang telah terbentuk sejak kecil dan bukan terbentuk oleh sebuah rekayasa akademik seperti pelatihan-pelatihan atau PLPG misalnya. Dengan demikian, tampilan kinerjanya sebagai guru sesuai, serasi, selaras, dan seimbang  berkat karakter yang melekat  dalam dirinya. Penampilannya sebagai seorang guru sekaligus menampilkan kualitas karakternya.
4.      Guru Qalbu, yaitu guru yang penampilannya berbasis kualitas qalbu atau hatinya. Tulus ikhlas menjadi guru adalagh bagian dari kebajikan yang tertanam dalam qalbunya. Sosok guru pada level ini merupakan puncak dari semua level guru yang ada.  Guru pada level ini selalu berkomuniksi dengan hati ketika mendidik.
Mendidik dengan hati juga kemampaun guru untuk memberikan keyakainan kepada setiap  murid, bahwa mereka mempu berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan yang terbaik. Guru yang mendidik dengan hati juga tidak hanya pandai mengajarkan ilmu kepada murid tetapi harus pula siap mendengar secara reflektif setiap apapun yang diucapkan oleh anak murid. Mendidik dengan hati artinya seorang pendidik dalam menyampaikan keilmuan juga harus memiliki, antara lain,  keikhlasan dan kecintaan serta mengedepankan sikap bersahabat, menyenangkan, empati, konsistensi terhadap komitmen, antusias, santun, dan sabar. Dalam konteks ini, seorang guru yang mendidik dengan hati menjauhi celaan dan makian. Dia sadar betul oleh ucapan Dorothy Law Nolte, yaitu : “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki, Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelai. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia ( hanya ) belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menentukan cinta dalam kehidupan.”
Akan tetapi, seorang guru adalah termasuk manusia juga. Dia bukanlah malaikat yang tidak bisa terpengaruh oleh lingkungan dan hanya siap melakukan apa saja yang menjadi sekenario Tuhan. Sosok guru masih terikat dengan hukum-hukum kamanusian yang berlaku bagi orang kebanyakan. Salah satu yang masih tersisa di antara problem kemanusiaan yang dialami oleh guru, setelah kehidupannya relatif sejahtera, adalah lingkungan sekolah tempat guru berkiprah. Sudahkah sekolah memberikan iklim yang baik bagi para pendidik ini. Realitas menunjukkan, bahwa birokrasi apapun di negeri ini, kadang-kadang kurang atau bahkan tidak sama sekali, memberikan ruang dan waktu bagi potensi pegawai yang baik atau yang ingin baik. Kita sering menyaksikan, ada pegawai jujur malah disingkirkan, ada polisi baik malah tidak mendapat jabatan, hakim yang baik malah terpinggirkan, atau jaksa jujur terisolir. Intinya, seorang pegawai yang baik tidak bisa berkembang karena kondisi lingkungan yang mendukung. Logika-logika ideal masih dikalahkan oleh logika-logika sosial yang berbasis okonomis prosedural. Dalam konteks sekolah, mungkin banyak guru yang ingin menjadi guru dalam arti sebenarnya seperti di atas, tetapi justru manajemen sekolah yang tidak memungkinkan untuk itu. Selalu saja idealisme beberapa guru yang baik kalah populer dengan rutinitas sekolah yang bernuansa kehidupan hedonis dan populis. Target-terget prestasi  tertentu yang harus dicapai demi popularitas sekolah dengan ‘mengeksploitasi’ guru masih terus berlangsung sampai saat ini. Seragamisasi pakaian sekolah tidak lagi dimaksudkan sebagai upaya membuat simbol kebersamaan antar siswa, tetapi sudah menjadi komoditi kelompok tertentu dalam sekolahan. Sehingga, tidak boleh ada seragam sekolah yang tahun depan dipakai adiknya karena harus ganti corak dan warnanya. Dan, celakanya hal-hal  ini mengalahkan keinginan untuk memajukan guru. Pihak manajemen tampaknya sangat lupa, bahwa ketika sekolah harus menjadi “kebun surga ilmu” bagi seluruh murid, kebun surga itu adalah jiwa-jiwa  para guru yang ada yang menjadi sumber para murid menimba ilmu. Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi kita.

IAIN DAN ANIMO MASYARAKAT



Dunia pergururan tinggi di tanah air kita sampai saat ini  manjadi dua kelompok yaitu pergururan Tinggi Umum  (PTU) dan Perguruan Tinggi Agama (PTA). Kategorisasi PT secara dikhotomis menjadi dua kelompok tersebut menyebabkan dunia perguraan tinggi di Negara Pancasila ini seperti terbagi menjadi 2 madzhab besar yang sulit disatukan. Kesan yang selama ini mengemuka yang menjadi pembeda 2 macam PT tersebut antara lain : 1. PTU terutama yang negeri dianggap sebagai perguruan tinggi kelas 1 sedangkan PTA merupakan perguruan tinggi kelas 2. PTA dengan grade nomor wahid sekalipun dikesankan selalu di bawah PTU. Keberadaan PTU seperti UGM, UI, UNAIR dan ITB lebih populer dibanding UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah dan UIN Sunan Ampel. 3. Mahasiswa yang masuk PTA selalu dikesankan sebagai mahaswa limbah dari PTU sehingga kualitas SDM mahasiswa PTA juga dikesankan sebagai kualitas dengan grade di bawah kualitas SDM mahasiswa PTU. 3 Dalam dunia  kerja Alumni PTU seolah mendapat  pasar lebih luas dibanding alumni PTA yang umumnya hanya melayani institusi-institusi di Kementerian Agama.
Tiga hal yang dikesankan sebagian masyarakat tersebut tentu terasa menyakitkan sebagian insan-insan yang berkecimpung di dunia PTA. Akibatnya, bagi sebagian mahasiswa dan alumni, cibiran  terhadap dunia PTA ini menyababkan mereka tidak “pede” .
Pertanyaan kita adalah mengapa semua ini bisa terjadi. Apa akar masalahnya?
Dalam salah satu tulisannya Dr. Muchtar Na’im pernah mengemukakan, bahwa hal ini akibat dualisme dan dikhotomi pendidikan dari sistem pendidikan warisan zaman Kolonial Belanda. Pemerintah Koloniallah yang membedakan pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama di pihak lain. Menurutnya, dampak dari sistem pendidikan yang dualistis tersebut sangat jauh dan sebagiannya ada yang bersifat fundamental, yaitu : 1)  Arti agama direduksi hanya sebatas hal yang berkaitan dengan aspek teologi Islam seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah agama  selama ini. 2) Sekolah agama telah terkotakkan ke dalam kubu tersenndiri  dan menjadi eksklusif. 3) Sumber masukan sekolah agama dan PTA rata-rata ber IQ rendah dan dari kelompok residual, dan oleh karena masukannya dari residual maka mutu tamatannya adalah  medioker ( tergolong kelas dua). 
Ironisnya, dikhotomi dunia perguruan tinggi tersebut seperti mendapat legitimasinya ketika pada tahun 1950 Presiden Soekarno menetapkan berdirinya Universitas Gajah Mada  yang diperuntukkan bagi golongan nasional dan dalam waktu bersamaan menetapkan Perguruan Tingga Agama Islam Negeri ( PTAIN ) Yogyakarta yang diperuntukkan bagi umat Islam.
Untuk mengatasi hal ini beliau mengajukan konsep pendidikan terpadu, yaitu intregrasi pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
Terlepas dari sinyelamen tersebut, tampaknya kini kondisinya sudah lain. Sekalipun belum sampai mengikis habis kesan akibat dualisme pendidikan agama tersebut, secara lambat tapi pasti ada kecenderungan menghilang. Tampilnya sejumlah intelektual muslim--yang tidak hanya piawai di dunia akademik, tetapi juga pergulatan politik kenegaraan--seperti Nurcholis Madjid, Azumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan Fachry Ali tampaknya ikut andil mengikis kesan negatif tersebut. Dengan kata lain, alumni PTA kalau mau juga bisa tampil di pentas kompetisi. Peningkatan status STAIN menjadi IAIN, dan berikut UIN kiranya merupakan jawaban atas tuntutan yang menginginkan pengintegrasian atas dikhotomi pengetahuan umum dan pengetahuan agama yang selama ini berlangsung. Dibukanya Jurusan-jurusan umum--yang selama ini dikesankan sebagai jurusan yang boleh dimiliki PTU--di  PTA, seperti kedokteran, biologi, ekonomi, di samping upaya menjawab tantangan zaman yang lebih penting, adalah upaya internalisasi agama pada cabang pengetahuan yang selama ini seolah tak berakar menjadi mempunyai ruh karena tidak tercabut dari akarnya. Kalau dulu orang belajar mengenal organ tubuh hanya sebatas organ secara inderawi tetapi PTA mencoba mengenal organ tubuh juga dari sisi non inderawi. Integrasi sudut pandang ini menjadi penting di kemudian ketika segenap upaya inderawi tidak berhasil digunakan sebagai penyingkap suatu objek, manusia harus melihatnya dari sudut non inderawi, yaitu bahwa di balik yang inderawi, ada Dzat pencipta organ tubuh ini dan Dzat itulah yang Maha Mengetahui. Manusia hanya tidak diberikan pengetahuan kecuali hanya sedikit saja ( wama utiitum minal ‘ilmi illa qalilan ). Oleh karena itu dengan pengetahuan yang hanya sedikit itu, manusia jangan sombong, jangan adigang- adiguno,  tidak mau berbagi, dan  tidak mau mengembangkan diri. Inilah contoh maksud internalisasi agama ke dalam pengetahuan ini. Konsep dasar yang ingin dicapai setiap ilmuwan apapun keluaran PTA masa kini dengan segenap prodinya, adalah bagaimana ilmu yang dimiliki disamping memberi manfaat bagi diri sendiri juga dapat memberi manfaat bagi orang lain, karena ilmu juga merupakan sebagian amanah Allah SWT. Atau, meminjam istilah Rhoma Irama, : ….kalau jadi pejabat menjadi pejabat yang takwa…kalau jadi pedagang, jadi pedagang yang takwa , kalau jadi politisi , jadi politisi yang takwa, dst.
Tampilan PTA yang terus berkembang mengikuti dinamika zaman tersebut  tampaknya tidak sia-sia. Dari tahun ketahun, tampaknya animo masyarakat masuk ke PTA juga semakin tinggi. Calon mahasiswa yang masuk juga tidak lagi sepenuhnya limbah dari PTU Negeri. Peluang ini tentu sekaligus menjadi tantangan insan-insan pengelola PTA, khususnya para dosen agar terus mengasah diri dangan meningkatkan kuantitas dan kualitas ilmu yang dimiliki. Upaya peningkatan derajat akademik, seperti studi strata-2 dan Strata-3, tidak hanya dipandang sebagai upaya memperoleh grade  akademik yang ujung-ujungnya hanya bermotif ekonomis, seperti segera memperoleh jabatan tertentu atau guru besar, yang tidak memberikan andil apa-apa bagi kemajuan bangsa atau bahkan bagi almamaternya sendiri.
Catatan : Tulisan ini sengaja dibuat untuk didedikasikan buat STAIN Jember yang sekarang telah berubah status menjadi IAIN Jember. Tinggal satu tahap lagi menuju UIN Jember, semoga.

Rabu, 02 Juli 2014

MANAKAH YANG URGEN, Nilai UN atau Rekomendasi Sekolah?



Seorang guru mengeluhkan hasil ujian nasional (UN). “Mengapa jadi begini?”, katanya. Dia tampaknya bingung melihat nilai hasil ujian para siswanya. Kebingungannya timbul ketika melihat nilai ujian para siswa yang kacau. Yang sehari-hari pandai  memperolah nilai UN rendah, tetapi yang biasa-biasa atau bahkan yang bodoh memperoleh nilai UN lebih tinggi. Misalnya,  yang sehari-hari pintar mate-metika,  pada UN memeperoleh nilai 6  sedangkan yang bodoh malah memperoleh  nilai 9 bahkan ada yang memperolah nilai 10 ( sempurna ). Kegalauan sang guru tersebut tempaknya dirasakan oleh banyak guru lainnya di hampir semua sekolah. Ironisnya, secara institusi sekolah seperti tidak punya beban moral. Kepentingan pragmatis guna kepentingan-kepentingan jangka pendek mengalahkan beban moral. Yang penting sekolah kami lulus 100 persen dan mendapat pujian masyarakat. Masyarakat tampaknya juga tidak peduli. Penilaian grade sekolah dengan predikat sekolah favorit hanya diukur dari baik tidaknya hasil UN yang diperoleh sekolah.
Memang ada sebagaian pimpinan sekolah tertentu yang melarang siswa dengan perolehan nilai UN tinggi untuk masuk di sekolah favorit. Alasannya, karena siswa tersebut sehari-hari berkualitas rendah. Sekolah akan malu jika kuantitas hasil nilai UN tidak sebanding dengan kualitas senyatanya.  Tampaknya, pihak sekolah  takut jika divonis sebagai sekolah yang culas. Dulu malah sering kita dengar anak yang secara akademis sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri tertentu, ketika UN malah tidak lulus.
Lalu, apa yang salah tentang UN?. Tentunya tulisan ini tidak hendak berpolemik mengenai purlu atau tidaknya UN dipertahankan. Penulis masih sepakat dengan pendapat salah seorang pakar pendidikan kita, Prof.Dr. Arif Rahman, dipertahankan nya pelaksanaan UN sebenarnya ada hal-hal strategis bagi eksistensi negara, yaitu untuk menyatukan kekuatan murid dan guru serta insan yang terlibat dalam dunia pendidikaan dalam suasana NKRI yang menegakkan kebersamaan dan kedaulatan RI. Secara filosofis dan akademis, menurutnya memang tidak ada jenjang pendidikan yang tidak diselesaikan dengan evaluasi. Jadi, adanya evaluasi pendidikan yang berskala nasional, menurutnya sangat urgen.
Kita semua tahu, UN sudah berlalu. Puas atau tidak puas hasil UN harus diterima, tidak hanya oleh pihak sekolah tetapi yang paling merasakan adakah para anak didik. Setelah mengikuti UN ada tahapan berikut yang tidak kalah pentingnya yaitu, mencari sekolah berikutnya. Atau, bagi yang telah lulus SLTA mencari Perguruan Tinggi (PT) tempat studi berikutnya.
Tak pelak, setelah UN ini sejumlah sekolah  favorit menjadi sasaran serbuan para calon siswa baru. Sejumlah sekolah favorit  tampaknya mensyaratkan nilai UN yang cukup tinggi. Anak-anak yang kurang beruntung dengan perolehan nilai UN rendah seperti merasa pupus harapan untuk dapat bersekolah favorit. Pada saat yang sama yang memperoleh UN tinggipun juga merasa tidak “ pede” untuk bersekolah favorit tersebut. Akibatnya, sejumlah sekolah tertentu berusaha dengan segala cara agar para siswanya memperoleh nilai UN yang disyaratkan sekolah favorit tersebut.
Gambaran seperti itu mestinya sudah cukup memberikan pelajaran bagi sekolah-sekolah favorit untuk tidak lagi mempercayai hasil UN. Dengan kalimat lain, pembuatan patokan standar nilai UN tertentu, pada seleksi administrasi, menurut hemat penulis tidak lagi urgen. Kalau hal ini dipaksakan, jika melihat cara perolehan nilai UN selama ini, jelas sangat tidak realistis.
Sebagai gantinya, menurut hemat penulis, di samping dilakukan seleksi tertulis, sekolah perlu meminta rekomendasi sekolah asal. Isi rekomendasi ini pada intinya pihak sekolah menginformasikan kepada sekolah favorit  tujuan, bahwa anak-anak yang bersangkutan  dianggap mampu mengikuti program pendidikan di sekolah tujuan. Dasar pemikirannya adalah, karena sekolah dianggap paling tahu kondisi sebenarnya anak yang bersangkutan.
Bagaimana jika sekolah membuat rekomendasi tersebut berbohong? Misalnya, anak yang diberi rekomenndasi ternyata tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan oleh sekolah favorit tujuan? Apabila ternyata sekolahpun berbohong dengan rekomendasi yang dikeluarkan harus diberi sanksi. Sanksinya, dapat diterapkan semacam vonis. Misalnya, sekolah yang bersangkutan dimasukkan daftar hitam dan kepada yang sudah terlanjur diterima, kalau memang tidak layak, dapat dipindahkan ke sekolah lain dengan grade di bawahnya. Dua sanksi ini kiranya merupakan bentuk sanksi moral yang akan membuat sekolah tidak jujur memberikan rekomnedasi. Karena di samping membuat malu juga membuat tingkat kepercayaan sekolah tersebut di mata masyarakat hilang. Bagi sekolah, hilangnya kepercayaan masyarakat adalah merupakan sanksi terberat.
Akhirnya, penulis mengucapkan selamat kepada para siswa yang dapat diterima di sekolah favorit dan berharap kepada siswa yang belum beruntung untuk tidak kecil hati. Kegagalan masuk sekolah favorit tidak identik dengan kegagalan masa depan.