Senin, 01 Desember 2014

SEKOLAH YANG MENJADI KEBUN SURGA BAGI MURID




Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
( Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A )

Menurut Prof. Moh. Surya, ada empat level guru dalam dunia pendidikan kita. Tiap level memiliki kapasitas yang berbeda. Keempat level itu ialah :
1.      Guru Aktual, yaitu guru yang datang ke sekolah, ikut PLPG, terima  gaji dan sertifikasi setiap bulan tetapi batinnya sebenarnya belum menjadi guru. Ia melaksanakan tugasnya semata-mata karena tuntutan formal guru.
2.      Guru Harmonis, yaitu guru yang bisa mengajar dengan baik, tekun, rajin, bagus, tetapi batinnya tidak ingin menjadi guru. Dia masih mencari kesempatan untuk keluar dari guru. Ia tampil sebagai guru dengan kemampuan memanipulasi kondisi dirinya untuk tampil sebagai guru yang  baik. Dengan demikian ia tampak harmonis sebagai  guru. Kadang-kadang ada konflik antara kondisi pribadinya dengan tuntutan sebagai guru, namun dapat dimanipulasi sedemikian rupa sehingga tampak harmonis. Dengan istilah lain, mungkin guru ini, dalam dunia seni peran, dapat disebut sebagai aktor yang baik. Dia mampu memberikan kepuasan kepada penonton ( baca : murid ) tetapi belum tentu kepada dirinya.
3.      Guru Karakter, yaitu guru yang tempil pernuh dengan karakternya.   Sosok guru ini mewujud dengan basis karakter yang melekat dalam dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kepribadiannya yang telah terbentuk sejak kecil dan bukan terbentuk oleh sebuah rekayasa akademik seperti pelatihan-pelatihan atau PLPG misalnya. Dengan demikian, tampilan kinerjanya sebagai guru sesuai, serasi, selaras, dan seimbang  berkat karakter yang melekat  dalam dirinya. Penampilannya sebagai seorang guru sekaligus menampilkan kualitas karakternya.
4.      Guru Qalbu, yaitu guru yang penampilannya berbasis kualitas qalbu atau hatinya. Tulus ikhlas menjadi guru adalagh bagian dari kebajikan yang tertanam dalam qalbunya. Sosok guru pada level ini merupakan puncak dari semua level guru yang ada.  Guru pada level ini selalu berkomuniksi dengan hati ketika mendidik.
Mendidik dengan hati juga kemampaun guru untuk memberikan keyakainan kepada setiap  murid, bahwa mereka mempu berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan yang terbaik. Guru yang mendidik dengan hati juga tidak hanya pandai mengajarkan ilmu kepada murid tetapi harus pula siap mendengar secara reflektif setiap apapun yang diucapkan oleh anak murid. Mendidik dengan hati artinya seorang pendidik dalam menyampaikan keilmuan juga harus memiliki, antara lain,  keikhlasan dan kecintaan serta mengedepankan sikap bersahabat, menyenangkan, empati, konsistensi terhadap komitmen, antusias, santun, dan sabar. Dalam konteks ini, seorang guru yang mendidik dengan hati menjauhi celaan dan makian. Dia sadar betul oleh ucapan Dorothy Law Nolte, yaitu : “Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki, Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelai. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia ( hanya ) belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menentukan cinta dalam kehidupan.”
Akan tetapi, seorang guru adalah termasuk manusia juga. Dia bukanlah malaikat yang tidak bisa terpengaruh oleh lingkungan dan hanya siap melakukan apa saja yang menjadi sekenario Tuhan. Sosok guru masih terikat dengan hukum-hukum kamanusian yang berlaku bagi orang kebanyakan. Salah satu yang masih tersisa di antara problem kemanusiaan yang dialami oleh guru, setelah kehidupannya relatif sejahtera, adalah lingkungan sekolah tempat guru berkiprah. Sudahkah sekolah memberikan iklim yang baik bagi para pendidik ini. Realitas menunjukkan, bahwa birokrasi apapun di negeri ini, kadang-kadang kurang atau bahkan tidak sama sekali, memberikan ruang dan waktu bagi potensi pegawai yang baik atau yang ingin baik. Kita sering menyaksikan, ada pegawai jujur malah disingkirkan, ada polisi baik malah tidak mendapat jabatan, hakim yang baik malah terpinggirkan, atau jaksa jujur terisolir. Intinya, seorang pegawai yang baik tidak bisa berkembang karena kondisi lingkungan yang mendukung. Logika-logika ideal masih dikalahkan oleh logika-logika sosial yang berbasis okonomis prosedural. Dalam konteks sekolah, mungkin banyak guru yang ingin menjadi guru dalam arti sebenarnya seperti di atas, tetapi justru manajemen sekolah yang tidak memungkinkan untuk itu. Selalu saja idealisme beberapa guru yang baik kalah populer dengan rutinitas sekolah yang bernuansa kehidupan hedonis dan populis. Target-terget prestasi  tertentu yang harus dicapai demi popularitas sekolah dengan ‘mengeksploitasi’ guru masih terus berlangsung sampai saat ini. Seragamisasi pakaian sekolah tidak lagi dimaksudkan sebagai upaya membuat simbol kebersamaan antar siswa, tetapi sudah menjadi komoditi kelompok tertentu dalam sekolahan. Sehingga, tidak boleh ada seragam sekolah yang tahun depan dipakai adiknya karena harus ganti corak dan warnanya. Dan, celakanya hal-hal  ini mengalahkan keinginan untuk memajukan guru. Pihak manajemen tampaknya sangat lupa, bahwa ketika sekolah harus menjadi “kebun surga ilmu” bagi seluruh murid, kebun surga itu adalah jiwa-jiwa  para guru yang ada yang menjadi sumber para murid menimba ilmu. Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar