Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
( Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A )
Menurut Prof. Moh.
Surya, ada empat level guru dalam dunia pendidikan kita. Tiap level memiliki
kapasitas yang berbeda. Keempat level itu ialah :
1. Guru
Aktual, yaitu guru yang datang ke sekolah, ikut PLPG, terima gaji dan sertifikasi setiap bulan tetapi
batinnya sebenarnya belum menjadi guru. Ia melaksanakan tugasnya semata-mata
karena tuntutan formal guru.
2. Guru
Harmonis, yaitu guru yang bisa mengajar dengan baik, tekun, rajin, bagus,
tetapi batinnya tidak ingin menjadi guru. Dia masih mencari kesempatan untuk
keluar dari guru. Ia tampil sebagai guru dengan kemampuan memanipulasi kondisi
dirinya untuk tampil sebagai guru yang
baik. Dengan demikian ia tampak harmonis sebagai guru. Kadang-kadang ada konflik antara
kondisi pribadinya dengan tuntutan sebagai guru, namun dapat dimanipulasi
sedemikian rupa sehingga tampak harmonis. Dengan istilah lain, mungkin guru ini,
dalam dunia seni peran, dapat disebut sebagai aktor yang baik. Dia mampu
memberikan kepuasan kepada penonton ( baca : murid ) tetapi belum tentu kepada
dirinya.
3. Guru
Karakter, yaitu guru yang tempil pernuh dengan karakternya. Sosok guru ini mewujud dengan basis karakter
yang melekat dalam dirinya sebagai bagian dari keseluruhan kepribadiannya yang
telah terbentuk sejak kecil dan bukan terbentuk oleh sebuah rekayasa akademik
seperti pelatihan-pelatihan atau PLPG misalnya. Dengan demikian, tampilan
kinerjanya sebagai guru sesuai, serasi, selaras, dan seimbang berkat karakter yang melekat dalam dirinya. Penampilannya sebagai seorang
guru sekaligus menampilkan kualitas karakternya.
4. Guru
Qalbu, yaitu guru yang penampilannya berbasis kualitas qalbu atau hatinya.
Tulus ikhlas menjadi guru adalagh bagian dari kebajikan yang tertanam dalam
qalbunya. Sosok guru pada level ini merupakan puncak dari semua level guru yang
ada. Guru pada level ini selalu
berkomuniksi dengan hati ketika mendidik.
Mendidik dengan hati juga kemampaun
guru untuk memberikan keyakainan kepada setiap
murid, bahwa mereka mempu berprestasi, bisa berkreasi, dan melakukan
yang terbaik. Guru yang mendidik dengan hati juga tidak hanya pandai
mengajarkan ilmu kepada murid tetapi harus pula siap mendengar secara reflektif
setiap apapun yang diucapkan oleh anak murid. Mendidik dengan hati artinya
seorang pendidik dalam menyampaikan keilmuan juga harus memiliki, antara
lain, keikhlasan dan kecintaan serta
mengedepankan sikap bersahabat, menyenangkan, empati, konsistensi terhadap
komitmen, antusias, santun, dan sabar. Dalam konteks ini, seorang guru yang
mendidik dengan hati menjauhi celaan dan makian. Dia sadar betul oleh ucapan
Dorothy Law Nolte, yaitu : “Jika anak
dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki, Jika anak dibesarkan dengan
permusuhan, ia belajar berkelai. Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia
belajar rendah diri. Jika anak dibesarkan dengan penghinaan, ia ( hanya )
belajar menyesali diri. Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar
menahan diri. Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai. Jika anak dibesarkan
dengan sebaik-baik perlakukan, ia belajar berlaku adil. Jika anak dibesarkan
dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan. Jika anak dibesarkan dengan
dukungan, ia belajar menyenangi dirinya. Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang
dan persahabatan, ia belajar menentukan cinta dalam kehidupan.”
Akan tetapi,
seorang guru adalah termasuk manusia juga. Dia bukanlah malaikat yang tidak
bisa terpengaruh oleh lingkungan dan hanya siap melakukan apa saja yang menjadi
sekenario Tuhan. Sosok guru masih terikat dengan hukum-hukum kamanusian yang
berlaku bagi orang kebanyakan. Salah satu yang masih tersisa di antara problem
kemanusiaan yang dialami oleh guru, setelah kehidupannya relatif sejahtera,
adalah lingkungan sekolah tempat guru berkiprah. Sudahkah sekolah memberikan
iklim yang baik bagi para pendidik ini. Realitas menunjukkan, bahwa birokrasi
apapun di negeri ini, kadang-kadang kurang atau bahkan tidak sama sekali,
memberikan ruang dan waktu bagi potensi pegawai yang baik atau yang ingin baik.
Kita sering menyaksikan, ada pegawai jujur malah disingkirkan, ada polisi baik
malah tidak mendapat jabatan, hakim yang baik malah terpinggirkan, atau jaksa
jujur terisolir. Intinya, seorang pegawai yang baik tidak bisa berkembang
karena kondisi lingkungan yang mendukung. Logika-logika ideal masih dikalahkan
oleh logika-logika sosial yang berbasis okonomis prosedural. Dalam konteks
sekolah, mungkin banyak guru yang ingin menjadi guru dalam arti sebenarnya seperti
di atas, tetapi justru manajemen sekolah yang tidak memungkinkan untuk itu. Selalu
saja idealisme beberapa guru yang baik kalah populer dengan rutinitas sekolah yang
bernuansa kehidupan hedonis dan populis. Target-terget prestasi tertentu yang harus dicapai demi popularitas
sekolah dengan ‘mengeksploitasi’ guru masih terus berlangsung sampai saat ini.
Seragamisasi pakaian sekolah tidak lagi dimaksudkan sebagai upaya membuat simbol
kebersamaan antar siswa, tetapi sudah menjadi komoditi kelompok tertentu dalam
sekolahan. Sehingga, tidak boleh ada seragam sekolah yang tahun depan dipakai
adiknya karena harus ganti corak dan warnanya. Dan, celakanya hal-hal ini mengalahkan keinginan untuk memajukan
guru. Pihak manajemen tampaknya sangat lupa, bahwa ketika sekolah harus menjadi
“kebun surga ilmu” bagi seluruh murid, kebun surga itu adalah jiwa-jiwa para guru yang ada yang menjadi sumber para
murid menimba ilmu. Semoga tulisan ini menjadi bahan refleksi kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar