Tampilkan postingan dengan label peradilan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label peradilan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 25 Agustus 2016

Mengapa Perlu Itsbat Nikah ?



Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
( Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)

Beberapa waktu lalu di berbagai daerah semarak dilaksanakan istbat nikah masal. Dengan dukungan pemerintah daerah setempat tampaknya  program itu sangat sukses. Pengadilan Agama seperti mendapat pekerjaan ekstra.
Istilah itsbat nikah memang telah lama dikenal, terutama dalam kitab-kitab fikih klasik. Sekalipun demikian, oleh karena masalah itsbat adalah masalah fikih qadha’i,  implementsinya  akan bersentuhan dengan  peradilan.
Dalam tradisi hukum Indonesia, istilah itsbat baru dikenal luas ketika pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991, yang antara lain, berisi perintah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI).  Dalam KHI, yang oleh para pakar Hukum Islam disebut sebagai  fikih Indonesia ini, pada Pasal  7 ayat 3 dikemukakan : “Itsbat nikah dapat diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan : a. Adanya perkawinan dalam raangka penyelesaian perceraian, b. Hilangnya akta nikah, c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum belakuknya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidk mempunyai halangan  perkawinan menurut  Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974;
Dewasa ini, realitas itsbat nikah dilatarbelakangi oleh banyaknya masyarakat yang telah merasa menikah secara hukum Islam sebagaimana diatur oleh Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi belum dicatat sebagaimana diamanatkan oleh ayat 2 pada pasal yang sama. Padahal, pada saat yang sama, kini kebutuhan akan kepastian, bahwa sahnya perkawinan sekaligus dengan bukti akte nikah sangat diperlukan. Banyak transaksi, lalu lintas komunikasi baik yang menyangkut kepentingan regional maupun internasional, keberadaan akta nikah sebagai bukti adanya perkawinan sah mutlak diperlukan. Sebagai contoh, saat dilakukan program e-KTP. Salah satu syarat dapat diterbitkannya KTP elektronik berikut dokumen kependudukan lainnya, seperti kartu keluarga (KK), bagi yang telah menikah dan bermaksud memasukkan anak-anaknya dalam kartu keluarga harus mempuynyai akta nikah. Masyarakat yang belum mempunyai akta nikah, pdahal telah merasa menikah sahpun, kemudian berbondong-bondong ke Pengadilan Agama.  Booming para pengaju perkara isbat itu tampaknya tidak dapat ditangani dengan cara biasa. Diperlukan waktu ekstra untuk menyelesaikan problem perkawinan masyarakat itu.
Mahkamah Agung tampaknya segera merespon fenomena ini. Segera kemudian diterbitkan SEMA Nomor 03/Bua.6/Hs/SP/III/2014 tentang Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah dalam Pelayanan Terpadu. Sesuai dengan namanya tujuan utama diterbitkannya SEMA ini adalah demi malaksanakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan dan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tetang Persyaratan  dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara nasional guna memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa penting yang dialami penduduk. Pada saat yang sama realitas menunjukkan masih banyak pasangan suami istri yang pernikahannya belum tercatat, padahal telah menikah secara sah menurut hukum Islam sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kaitannya dengan praktik peradilan, setidaknya ada 3 yang menarik dalam SEMA ini yaiu: pertama, sidang dapat dilaksanakan di  luar gedung pengadilan; kedua, sidang dapat dilaksanakan dengan hakim tunggal; dan ketiga, putusan hakim bisa langsung mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde );
Di samping untuk keperluan hal-hal di atas sebenarnya banyak manfaat isbat nikah. Aspek hukum lain, seperti hukum waris. Sebagai contoh, dua orang suami istri sebut saja A dan B mempunyai anak sebut saja C. Oleh karena, perkawinan A dan B ‘belum sah’, maka C hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan B ( ibunya) sedangkan A hanyalah berstatus sebagai ayah biologis. Apabila kemudian A meninggal maka C tidak akan mendapat warisan dari A. Tetapi jika sebelumnya atau kemudian  status perkawinan A dan  B diistbaatkan oleh pengadilan, maka C adalah anak sah A dan B. Konsekuensinya, apabila A meninggal C mendapat warisan dari A sebagai anak. Dampak isbat nikah dalam kasus ini sangat antagonis karena dari yang semula bukan ahli waris menjadi ahli waris. Putusan isbat nikah memberikan legitimasi keabsahan perkawinan seseorang—beserta akibat hukumnya--dari sejak kapan perkawinan dilakukan menurut Pasal 2 ayat 1 Tahun 1974 dilakukan.  Orang yang belum pernah menikah menurut aturan tersebut tidak boleh dimintakan isbat.
Isbat nikah masal sangat berbeda dengan nikah masal. Nikah masal pada hakikatnya seperti nikah biasa. Akibat hukumnya, berlaku sejak pernikahan tersebut dilaksanakan.  Konsekuensinya, bila sebelumnya pasangan tadi telah melahirkan anak, secara hukum anak tersebut hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu yang melahirkannya. Dalam konteks ini, lembaga isbat nikah bisa berbahaya. Yaitu, ketika pengadilan harus mengesahkan perkawinan seseorang yang sejatinya belum pernah melaksanakan pernikahan sah. Ini bisa terjadi kalau pengaju perkara lihai sedangkan pengadilan, dalam hal ini hakim, juga tidak cermat. Atau bisa saja, pengadilan ‘ditipu’ oleh seseorang yang minta perkakwinannya diisbatkan pengadilan, padahal, orang tersebut sebenarnya masih terikat perkawinan sah dengan wanita atau laki-laki lain, seperti seorang yang menikah lagi dengan perempuan atau laki-laki lain, dengan cara menyembunyikan status perkawinannya dengan istri/suami sahnya (mengaku lajang), sebagaimana dimaksud Pasal 279 KUHPidana. Kalaupun dia berhasil mengelabuhi pengadilan agama tetapi bukan berarti msalahnya selesai. Ancaman pidana menantinya.

Pesan yang ingin disampaikan dari tulisan ini terkandung 2 hal. Pertama, bagi siapa saja yang telah merasa menikah sah menurut ketentuan agama Islam tetapi belum tercatat oleh KUA yang berwenang, segeralah mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama. Jangan menikah baru di KUA karena akibat hukumnya akan berbeda. Kedua, jangan mencoba ‘mempermainkan’ lembaga isbat nikah. Sebab, bisa-bisa mendatangkan kesulitan di kemudian hari.  Tidak hanya akan mendatangkan persoalan pidana tetapi juga rusaknya stabilitas keluarga.

Senin, 01 Desember 2014

MENGADILI HAKIM ( Sekelumit Refleksi tentang Kinerja Hakim)




(H. Asmu’i Syarkowi / Hakim PA Jember)

Suatu hal yang sudah menjadi salah satu doktrin yang berlaku di dunia peradilan adalah bahwa putusan Hakim dianggap tidak berbeda dengan putusan Tuhan ( Judicium dei ). Hal ini disebabkan oleh realita, bahwa putusan Hakim, pada skala tertentu,  juga mengandung penyiksaan, merampas kebebasan seseorang, dan bahkan merampas jiwa. Pada hal,  pada hakikatnya tindakan tersebut adalah wilayah kompetensi Tuhan. Doktrin ini telah diakomodasi dalam tradisi dunia peradilan kita, yaitu adanya kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dicantumkan pada setiap kepala putusan Hakim.
Mengingat realitas kedudukan sang  Hakim yang mulia itulah mengapa di manapun di dunia ini, tidak ada aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang memberikan peluang untuk mengadili Hakim ketika menjalankan fungsi peradilan. Di Pakistan terdapat penegasan yang menyatakan : No judge is liable in civil action for anything done in good faith ( tidak seorangpun Hakim dapat dituntut pertanggungjawaban perdata atas tindakan yang dilakukannya dengan iktikad baik ). Di Amerika Serikat--sebuah negara yang penegakan hukumnya menjadi kiblat dunia--Hakim juga memiliki kekebalan terhadap tuntutan ganti rugi. Bahkan, terhadap iktikad tidak baik ( bad faith ) sekalipun. Di negeri yang berjuluk The Uncle Sam itu Hakim mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dia tidak hanya berwenang menyensor  undang-undang di negara-negara bagian, tetapi juga bebas (namun teratur dan terukur ), untuk melakukan intrepretasi-interpretasi.  Maka tidak heran jika di negara, yang kini juga berjuluk polisi dunia ini, terdapat pameo : Law is what the court do ( Hukum adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan ). Berbicara pengadilan, maka maksudnya adalah Hakim. Itu pulalah sebabnya, di negara tersebut juga ada semboyan : The King is dead, long live the Judge (Raja sudah mati, panjang umur Sang Hakim ).
Di Malaysia sebagaimana tertuang dalam section 14 court of judicature act 1696, juga demikian. Menurut aturan tersebut seorang Hakim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan digugat secara perdata di depan pengadilan atas tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan tersebut melampaui batas kewenangan.
Bagaimana di negara kita ? Di negara kita, Hakim juga diberikan  kedudukan yang luar biasa terhormat. Secara konstitusional, Hakim bukan hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis, tetapi juga memiliki hak imunitas yang total ( total personal immunity right ). Hak imunitas tersebut merupakan konsekuensi dari eksistensi kebebasan kekuasaan kehakiman itu. Penjabarannya antar lain sebagai berikut :
  1. Salah atau benar suatu putusan yang dijatuhkan Hakim, harus dianggap benar dan adil apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
  2. Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan.
Secara gamblang immunitas Hakim tersebut telah dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Dalam SEMA ini dinyatakan, bahwa pertanggungjawaban berdasar Pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan Hakim melaksanakan peradilan, tidak dapat dituntut secara perdata.  Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya, ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan terhadap Hakim walaupun ia salah melaksanakan tugas peradilan. Ketentuan dalam SEMA tersebut, sekali lagi, perlu mendapat tambahan penjelasan, yaitu : SELAMA HAKIM MENGADILI MENURUT HUKUM sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang ( Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 ) dan/ atau dengan iktikad baik, steril dari motif-motif yang bersifat pragmatis, seperti tindakan memperkaya diri dengan mempermainkan kasus.
Dalam rangka menghormati kedudukan penting dan kehormatan Hakim, undang-undang memberikan juga keistimewaan yuridis. Semua Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. ( Vide :Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 1989 terakhir sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 ) .
Persoalannya, apakah dengan demikian masyarakat lantas dikesampingkan hak-haknya untuk tetap memperoleh keadilan?. Atau, bagaimana cara ‘melawan putusan’ Hakim yang dianggap tidak adil atau bahkan sewenang-wenang?.
Ternyata, ada hak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan  untuk ditempuh oleh siapapun yang merasa dianiaya oleh putusan Hakim. Hak tersebut adalah menempuh upaya hukum, dalam hal ini verzet, darden verzet, banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Mekanisme ini sebenarnya sudah menjadi standar dalam praktik dunia peradilan kita. Atau, apabila masyarakat memang mencium ada indikasi keculasan yang secara sadar dilakukan oleh Hakim, kini masyarakat dapat menempuh langkah yang bersifat administratif, yaitu dengan melaporkan oknum Hakim tersebut kepada atasannya. Pimpinan akan menindaklanjuti dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Pengawasan --yang oleh Mahkamah Agung telah dicanangkan penggalakannya sejak tahun 2006-- itu, sebenarnya kini semakin memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan kontrol. Tidak hanya kepada kinerja Hakim, tetapi juga kinerja peradilan secara menyeluruh. Malahan saat ini pengawasan itu kini berlapis. Tidak hanya oleh institusi yang mengindukinya ( baca : Mahkamah Agung ), tetapi juga Komisi Yudisial (KY ), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), dan Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK). Masyarakat luas, termasuk media dapat melaporkan apapun yang dirasa menyimpang kepada institusi-institusi tersebut. Mau apa lagi?
            Akan tetapi, pada saat kita gemes dengan kinerja Hakim, kitapun patut sadar, bahwa sejatinya Hakim adalah manusia juga. Sebagai manusia dia juga terikat dengan hukum-hukum kebiasaan yang berlaku bagi manusia pada umumnya. Dia bisa benar sekaligus bisa salah. Dia bisa teliti akan tetapi juga bisa lalai. Sebagai pegawai dia juga bisa stress karena tekanan tuntutan kebutuhan primer sehari-hari dan iklim kerja yang kurang kondusif. Padahal, pada saat yang sama dia dituntut tetap bekerja secara standar. Ukurannya adalah profesionalitas kinerja. Ketika dalam menjalankan fungsinya, ternyata dia kebetulan berada pada situasi lemah secara manusiawi, maka sudah dapat dipastikan out put kinerjanya tidak optimal. Atau, mungkin merugikan masyarakat. Dalam skala yang lebih luas kerugian masyarakat tersebut tidak jarang berubah menjadi keresahan atau keguncangan. Dalam situasi demikian biasanya masyarakatpun melampiaskan kekecewaan atau bahkan kemarahan dengan cara masing-masing. Tidak jarang mereka melakukannya dengan cara kekerasan. Sang Hakimpun menjadi salah satu sasaran utamanya. Akan tetapi, pengetahuan kita tentang imunitas Hakim yang sudah mejadi pakem setiap negara hukum di atas,  mestinnya tetap harus membuat masyarakat berkepala dingin. Maksudnya, sejengkel apapun dalam menyikapi ‘kelaliman Hakim’, masyarakat harus tetap bersikap secara terhormat. Tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang justru melanggar hukum, seperti melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan terhadap Hakim dan institusinya.. Melakukan kekerasan terhadap Hakim akibat  pelaksanaan tugas peradilan, disamping tindakan ilegal, juga berlawanan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang sudah berlaku secara universal seperti diuraikan di atas.
Lantas di mana letak jargon : “Semua warga negara sama di hadapan hukum“. Di negara kita jargon hukum ini hanya berlaku bagi Hakim dalam kaitannya sebagai warga negara biasa. Kenakalan Hakim dalam memainkan kasus termasuk dalam konteks ini. Bukan kaitannya dengan Hakim ketika melaksanaan fungsi peradilan seperti diuraikan di muka. Sebagai warga negara biasa, misalnya dia juga terikat dengan hukum privat, seperti hukum perdata, dan hukum publik, seperti hukum pidana. Dalam bidang-bidang hukum ini, semua warga negara harus diperlakukan sama. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk terhadap Hakim. Bahkan, ketika Hakim melakukan pelanggaran hukum publik—seperti apabila Hakim terbukti telah melakukan tindak pidana tertentu--tersebut, sang Hakim mestinya mendapat hukuman lebih dibanding warga negara biasa. ‘Ganjaran istimewa’ tersebut diberikan karena Hakim adalah sosok manusia yang dianggap tahu tentang hukum. Seorang yang tahu hukum sangat tidak pantas melanggar hukum. Tuhanpun lebih marah apabila ada orang alim melakukan dosa ketimbang orang awam. Ibnu Ruslan, dalam Al-Zubad, mengatakan : Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa lebih dulu sebelum para penyembah berhala”.Bukankah begitu?.
Jember, Mei 2010
Referensi
  1. Hukum Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, S.H.
  2. Kumpulan SEMA Mahkamah Agung oleh Mahkamah Agung
  3. Menguak Tabir Hukum karya Prof.Dr. Ahmad Ali, S.H.,M.H.
  4. Mengenal Hukum oleh Prof.Dr. Sudikno Mertokesumo, S.H.
  5. Pengadilan dan Masyarakat oleh Prof.Dr.Ahmad Ali, S.H.M.H.

Rabu, 06 Juni 2012

Perceraian dan Akibatnya Terhadap Anak


Membina rumah tangga yang bahagia menjadi dambaan setiap manusia. Harapan ini dimulai sejak ketika mau memilih pasangan.  Seorang pria membuat sejumlah kreteria tentang calon pasangan hidupnya, demikian juga seorang wanita. Seorang pria misalnya membuat criteria calon pendampingnya yaitu memilih wanita yang di samping cantik ( menarik ) harus lemah lembut, cerdas, tidak suka keluyuran. Seorang wanita misalnya, membuat criteria seorang calonnya  yang di samping tampan haruslah bertanggung jawab, setia, ngayomi, punya penghasilan tetap. Masing-masing orang tentu bisa berbeda tentang criteria yang diajukan, akan tetapi semua dengan satu tujuan yaitu rumah tangga yang akan dibentuk nanti bisa bahagia, kaken-kaken, ninen-ninen, dan mimi lan mintuno.
Namun apakah semua idaman setiap orang itu bisa terwujud? Jelas, tidak. Faktanya  banyak keluarga yang gagal di tengah jalan.  Banyak pasangan yang bercerai, sekalipun perceraian itu tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. Kita tidak menyangka, gemerlap pesta perkawinan yang dibuat oleh dua keluarga besar suami istri  akhirnya tidak cukup mampu membendung keinginan kedua insan bernama suami istri itu bercerai. Biaya yang mahal yang dikeluarkan sekedar menghelat pesta pernikahan, banyaknya tamu terhormat yang harus dihadirkan waktu resepsi, dan segenap jerih payah memilih dan mempersiapkan calon pasangan seolah tidak cukup ampuh untuk menghapus keinginan menghakhiri perkawinan. Rumah tangga yang sampai tahap ini biasanya sudah sampai kepada situasi sangat darurat.
Kebaikan apapun yang pernah dibuat atau janji apapun yang akan diucapkan tidak akan mampu menggoyahkan niat bercerai. Akhirnya Pengadilan Agama menjadi kantor pilihan pertama untuk melegalkan perceraian itu.
Di balik upaya perceraian itu ada satu hal yang sering dilupakan oleh salah satu pihak atau bahkan kedua-duanya, yaitu masalah anak-anak yang dilahirkan akibat perkawinan mereka. Kebanyakan suami atau istri tidak peduli atau tidak berpikir panjang  akibat perceraian yang ditempuh bagi anak-anaknya. Atau, mungkin mereka sudah mempertimbangkannya akan tetapi karena perceraian dipandang lebih darurat maka perceraianlah yang dipilih.” Toh, anak tetaplah anak”. ( bersambung )

Senin, 04 Oktober 2010

Tentang GUGUN dan PERCERAIANNYA

Gugun Gondrong belum resmi bercerai dengan istrinya, Anna Marissa, karena mengajukan banding. Gugun setuju hak asuh anaknya jatuh ke tangan Anna, namun ia memberikan syarat. Apa itu?

Syarat tersebut berupa pendidikan agama yang harus dijalani oleh sang anak. Syarat tertulis dalam perjanjian hak asuh anak Gugun dan Anna, Lionel Guna Evan Cuervo, di Pengadilan Agama Jakarta Selatan. Dalam syrat tertulis itu disebutkan Lionel harus dididik secara muslim. Jika syarat itu dilanggar, maka Lionel akan diambil dan dirawat oleh orangtua Gugun.

Di lain sisi, pihak Anna menduga alasan Gugun mengajukan banding karena takut Lionel tidak dididik secara muslim. Gugun khwatir Lionel memeluk agama lain selain Islam. Hal itu dikarenakan Anna adalah seorang mualaf saat menikahi Gugun, namun keluarga besarnya masih memeluk agama lain.

"Saya menduga ada maksud lain, karena dalam draft perjanjian hak asuh itu Lionel harus dididik secara muslim," jelas pengacara Anna, Petrus Bala Pattyona saat dihubungi detikhot via ponselnya, Selasa (14/9/2010).

Sebenarnya, Anna menyayangkan hakim Pengadilan Agama Jakarta Selatan menyetujui perjanjian yang menyebutkan anaknya harus dididik secara muslim. Kalau tidak pihak keluarga Gugun akan mengambil alih pengasuhan Lionel.

"Itu sama saja melanggar hak asasi manusia kan. Masa soal memilih agama saja pakai dipaksa. Lagi pula itu perjanjian yang tidak bisa disahkan, karena itu belum terjadi. Masa harus diikat dengan hukum," jelas Petrus.
(http://www.detikhot.com/read/2010/09/14/141141/1440308/230/gugun-gondrong-beri-syarat-agama-bila-anak-diasuh-anna-marissa)

Rabu, 21 Oktober 2009

Di Balik Tingginya Angka Perceraian di PA Jember

Oleh : Asmu’i Syarkowi
Jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama ( PA ) Jember cukup tinggi. Setidaknya, apabila kita bandingkan dengan kasus serupa di kabupaten yang ada di Jawa Timur. Sesuai dengan data statistic tahun 2008 jumlah kasus percereaian di PA Jember berjumlah 4.331 perkara. Secara nasional, ternyata jumlah tersebut menempati urutan ketiga setelah Kabupaten Indramayu dan Banyuwangi. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan jumlah kasus tersebut cenderung meningkat. Coba perhatikan, pada tahun 2005 jumlah kasus perceraian yang masuk di PA Jember berjumlah 2.899 kasus. Pada tahun 2006 berjumlah 3.072 kasus. Pada tahun 2007 berjumlah 3.247 kasus. Dan, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.331 kasus .
Fenomena tersebut tentu saja ironis. Mengapa ? Sebab setiap muslim pasti tahu, bahwa perkara halal yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian. Kalimat tersebut adalah penggalan pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya. Hadits tersebut mengandung maksud antara lain, bahwa seorang yang telah menikah agar tetap mengusahakan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya. Sebagai alasan, di samping karena lembaga perkawinan merupakan sesuatu perjanjian yang berdimensi ketuhanan (baca : sakral ), juga disebabkan oleh kompleksnya dampak dari suatu perceraian. Dampak negatif perceraian tidak hanya membuat goncaangan jiwa bagi pelaku, tetapi juga bagi anak-anak. Banyak peneletian menunjukkan bahwa maraknya anak-anak yang menjadi masalah sosial, seperti suka tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, atau kini bahkan menjadi korban keganasan psikotropika, antara lain, disebabkan karena perceraian kedua orang tuanya (broken marriage ). Dalam contoh lain, kita dapat memberikan ilustrasi. Seorang suami istri bercerai dengan 4 orang anak yang masih kecil-kecil. Mantan suami tersebut lantas tidak mempedulikan keempat anaknya. Tinggallah mantan istri ( janda tersebut ) harus merawat membesarkan keempat anaknya. Sanak keluarganya juga tidak dapat berbuat banyak karena mereka sendiri juga harus bergulat menghadapi hidup yang serba sulit ini. Pada situasi demikian, apa yang akan dilakukan si janda tersebut? Pikiran untuk segera mendapatkan uang yang cukup dan dalam waktu cepat pastilah selalu menyelimuti dirinya. Selanjutnya kita dapat menebak. Si janda tersebut ada yang bersabar dan ada yang tidak bersabar. Bagi yang bersabar mungkin masih dapat terjaga dari perilaku negative. Akan tetapi, bagi yang tidak dapat bersabar ke mana lagi akan bebrbuat. Beberapa perikaku yang boleh dibilang nekat biasanya akan dilakoninya. Ketika kebutuhan mendasar seorang ibu dan anak-anaknya terus mendesak, sekalipun dulu dapat bersabar, pada akhirnya sipapun akan berbuat nekat juga. Sabar ada batasnya, kalimat ini pada kenyataannya sangat pas untuk mereka. Terjerumusnya janda menjadi wanita susila ( WTS ), menjadi korban kekerasan akibat menjadi TKW, isu perdagangan perempuan, adalah beberapa contoh kisah pilu akibat tekanan hidup yang sebagiannya disebabkan oleh kehancuran mahligai rumah tangga. Satu hal lagi, disadari atau tidak pihak perempuan adalah yang banyak menanggung risiko akibat terjadinya perceraian.
Menyadari dampak perceraian yang demikian, itulah kenapa Negara perlu mengaturnya. Tujuannya agar seseorang tidak serta merta melakukan perceraian. Kepedulian negara tersebut diwujudkan dengan menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam peraturan-peraturan perundangan tersebut antara lain diatur : seseorang yang ingin bercarai haruslah mempunyai alasan-alasan, yaitu : a. salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yanag sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.
Para praktisi hukum pada umumnya berpendapat, bahwa Pasal 19 huruf f tersebut merupakan ketentuan keranjang sampah. Artinya, keempat alasan sebelumnya baru akan ditempuh oleh seseorang yang akan bercerai ketika pada rumah tangganya telah terjadi seperti yang tergambar dalam Pasal 19 huruf ( f ) tersebut. Yaitu, berakibat perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak dapat diharapkan akan rukun lagi.
Di sinilah peran Pengadilan Agama. Sebagai salah satu peradilan negara--yang sebenarnya tidak hanya mempunyai kewenangan mengurus perceraian—PA, secara subjektif akan menilai apakah kehidupan rumah tangga sudah sampai ke tingkat tidak dapat diharapkan rukun lagi. Berbeda dengan peradilan perdata pada umumnya, dalam kasus perceraian, Pengadilan Agama tidak berposisi sebagai pemutus siapa yang salah dan siapa yang benar. Juga, bukan sebagai penentu siapa yang kalah dan siapa yang menang. Alasannya, urusan rumah tangga adalah urusan batin seseorang. Ketika kemelut sudah demikian parahnya yang menyebabkan salah satu pihak sudah tidak mau menerima kehadiran yang lain, biasanya Pengadilan Agama memang mengabulkannya dengan memutus cerai pasangan suami istri tersebut. Hanya saja, bagaimana agar masing-masing pihak setelah bercerai, khususnya pihak perempuan dan anak-anaknya dapat memperoleh hak-haknya, seperti uang pesangon ( mut’ah ), nafkah lampau yang belum terbayar, nafkah selama tiga bulan kedepan ( nafkah iddah ) seperti dalam kasus cerai talak. Undang-undang juga memberikan aturan mengenai jaminan masa depan anak sampai anak tersebut dewasa juga perlu dituntaskan. Yang terakhir inilah yang biasanya tidak disadari oleh suami pelaku perceraian. Secara filosofis, hak-hak tersebut perlu diberikan dengan membebankan kepada mantan suami adalah guna meminimalisasi dampak negatif perceraian seperti di muka.
Di balik fenomena tingginya perceraian ini, kitapun patut bertanya, mengapa bisa demikian ?.
Alasan perceraian, secara yuridis, memang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini oleh penjelasan Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 tersebut. Akan tetapi, secara empiris penyebab perceraian adalah karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran karena faktor ekonomi. Karena ekonomi wanita menjadi TKW. Akibat suami ditinggal dalam waktu lama, suami berselingkuh. Perselingkuhan, juga dilakukan oleh istri dengan sesama TKI di luar negeri. Atau, setelah menjadi TKW dan berhasil si suami yang ‘ndeso’ digugat cerai dengan alasan tidak mampu memberi nafkah. Siapapun yang menjadi sebab, akibat kesulitan ekonomi muaranya satu, yaitu terjadinya perceraian.
Tetapi apakah pemicu perceraian tersebut murni masalah ekonomi?. Dari hasil pemeriksaan kasus-kasus yang ada diperoleh data, bahwa masalah ekonomi dimaksud sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ada masalah lain yang menyertai. Masalah tersebut adalah semakin berubahnya gaya hidup. Kecenderungan meniru gaya hidup ala orang kaya dan selebriti seperti yang terlihat di televisi menyebabkan tingginya standar gaya hidup. Daftar keinginan seolah dibiarkan bebas lepas tanpa melihat kemampuan yang ada.
Perubahan gaya hidup tersebut juga menimbulkan dampak terjadinya degradasi moral suami atau istri atau kedua-duanya sekaligus. Sebagai contoh Sumirah ( bukan nama sebenarnya ) yang ndeso bisa diceraikan suaminya hanya gara-gara sering menerima SMS atau telpon dari lelaki lain saat menjelang tidur.
Dari beberapa contoh pemicu perceraian tersebut akhirnya kita tahu, bahwa meminimalisasi perceraian dengan dengan segala akibat negatifnya bukan hanya menjadi tugas Pengadilan Agama, tetapi juga menjadi tugas aparat pemerintah dan para tokoh agama. Mengenai langkah kongkrit apa yang perlu dilakukan, memang sumonggo kerso.
Jember, 5 Mei 2009

Rabu, 27 Mei 2009

MENGADILI HAKIM
(H. Asmu’i Syarkowi / Hakim PA Jember)

Suatu hal yang sudah menjadi salah satu doktrin yang berlaku di dunia peradilan adalah bahwa putusan hakim dianggap tidak berbeda dengan putusan Tuhan ( Judicium dei ). Hal ini disebabkan oleh realita, bahwa putusan hakim, pada skala tertentu, juga mengandung penyiksaan. Pada hal, pada hakikatnya tindakan tersebut adalah wilayah kompetensi Tuhan. Doktrin ini telah diakomodasi dalam tradisi dunia peradilan kita, yaitu adanya kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” pada setiap kepala putusan hakim.
Mengingat realitas kedudukan hakim yang mulia tersebut, itulah sebabnya mengapa di manapun di dunia ini, tidak ada aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang memberikan peluang untuk mengadili hakim ketika menjalankan fungsi peradilan. Di Pakistan terdapat penegasan yang menyatakan : No judge is liable in civil action for anything done in good faith ( tidak seorangpun hakim dapat dituntut pertanggungjawaban perdata atas tindakan yang dilakukannya dengan iktikad baik ). Di Amerika Serikat--sebuah negara yang penegakan hukumnya menjadi kiblat dunia--hakim juga memiliki kekebalan terhadap tuntutan ganti rugi. Bahkan, terhadap iktikad tidak baik ( bad faith ) sekalipun. Di negeri yang berjuluk The Uncle Sam itu hakim mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dia tidak hanya berwenang menyensor undang-undang di negara-negara bagian, tetapi juga bebas (namun teratur dan terukur ), untuk melakukan intrepretasi-interpretasi. Maka tidak heran jika di negara, yang kini juga berjuluk polisi dunia ini, terdapat pameo : Law is what the court do ( Hukum adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan ). Berbicara pengadilan, maka maksudnya adalah hakim. Itu pulalah sebabnya, di negara tersebut juga ada semboyan : The King is dead, long live the Judge (Raja sudah mati, panjang umur Sang Hakim ).
Di Malaysia sebagaimana tertuang dalam section 14 court of judicature act 1696, juga demikian. Menurut aturan tersebut seorang hakim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan digugat secara perdata di depan pengadilan atas tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan tersebut melampaui batas kewenangan.
Bagaimana di negara kita ? Di negara kita, hakim juga diberikan kedudukan yang luar biasa terhormat. Secara konstitusional, hakim bukan hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis, tetapi juga memiliki hak imunitas yang total ( total personal immunity right ). Hak imunitas tersebut merupakan konsekuensi dari eksistensi kebebasan kekuasaan kehakiman itu. Penjabarannya antar lain sebagai berikut :
a. Salah atau benar suatu putusan yang dijatuhkan hakim, harus dianggap benar dan adil apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
b. Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan.
Secara gamblang immunitas hakim tersebut telah dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Dalam SEMA ini dinyatakan, bahwa pertanggungjawaban berdasar Pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan hakim melaksanakan peradilan, tidak dapat dituntut secara perdata. Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya, ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan terhadap hakim walaupun ia salah melaksanakan tugas peradilan.
Dalam rangka menghormati kedudukan penting dan kehormatan hakim, undang-undang memberikan juga keistimewaan yuridis. Semua hakim hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. ( Vide :Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 3 Tahun 2006 ) .
Persoalannya, apakah dengan demikian masyarakat lantas dikesampingkan hak-haknya untuk tetap memperoleh keadilan?. Atau, bagaimana cara ‘melawan putusan’ hakim yang dianggap tidak adil atau bahkan sewenang-wenang?.
Ternyata, ada hak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk ditempuh oleh siapapun yang merasa dianiaya oleh putusan hakim. Hak tersebut adalah menempuh upaya hukum, dalam hal ini verzet, darden verzet, banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Menanisme ini sebenarnya sudah menjadi standar dalam praktik dunia peradilan kita. Atau, apabila masyarakat memang mencium ada indikasi keculasan yang secara sadar dilakukan oleh hakim, kini masyarakat dapat menempuh langkah yang bersifat administratif, yaitu dengan melaporkan oknum hakim tersebut kepada atasannya. Pimpinan akan menindaklanjuti dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Pengawasan --yang oleh Mahkamah Agung telah dicanangkan penggalakannya sejak tahun 2006-- itu, sebenarnya kini semakin memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan kontrol. Tidak hanya kepada kinerja hakim, tetapi juga kinerja peradilan secara menyeluruh. Mau apa lgi?.
Memang, walaupun keberadaannya demikian terhormat, sejatinya hakim adalah manusia juga. Sebagai manusia dia juga terikat dengan hukum-hukum kebiasaan yang berlaku bagi manusia pada umumnya. Dia bisa benar sekaligus bisa salah. Dia bisa teliti akan tetapi juga bisa lengah. Sebagai pegawai dia juga bisa stress karena iklim kerja yang dirasa kurang kondusif, karena gajinya tidak cukup untuk menutup kebutuhan hidup yang melangit, atau karena urusan tetek bengek birokrasi lainnya. Akan tetapi, pada saat yang sama dia dituntut tetap bekerja secara standar. Ukurannya adalah profesionalitas kinerja. Ketika dalam menjalankan fungsinya, ternyata dia kebetulan berada pada situasi lemah secara manusiawi, maka sudah dapat dipastikan out put kinerjanya tidak optimal. Atau, mungkin merugikan masyarakat. Dalam skala yang lebih luas kerugian masyarakat tersebut tidak jarang berubah menjadi keresahan atau keguncangan. Dalam situasi demikian biasanya masyarakatpun melampiaskan kekecewaan dengan cara masing-masing. Tidak jarang mereka melakukannya dengan cara kekerasan. Sang hakimpun menjadi salah satu sasaran utamanya.
Akan tetapi, pengetahuan kita tentang imunitas hakim yang sudah mejadi pakem setiap negara hukum di atas, mestinnya tetap harus membuat masyarakat berkepala dingin. Maksudnya, sejengkel apapun dalam menyikapi ‘kekejaman hakim’, masyarakat harus bersikap secara terhormat. Tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang justru melanggar hukum, seperti melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan terhadap hakim dan institusinya.. Melakukan kekerasan terhadap hakim akibat pelaksanaan tugas peradilan, disamping tindakan ilegal, juga berlawanan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang sudah berlaku secara universal.
Lantas di mana letak jargon : “Semua warga negara sama di hadapan hukum“. Di negara kita jargon hukum ini hanya berlaku bagi hakim dalam kaitannya sebagai warga negara biasa. Bukan kaitannya dengan Hakim ketika melaksanaan fungsi peradilan. Sebagai warga negara biasa, misalnya dia juga terikat dengan hukum privat, seperti hukum perdata, dan hukum publik, seperti hukum pidana. Dalam bidang-bidang hukum ini, semua warga negara harus diperlakukan sama. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk terhadap Hakim. Bahkan, ketika hakim melakukan pelanggaran hukum publik—seperti apabila hakim terbukti telah melakukan tindak pidana tertentu--tersebut, sang Hakim mestinya mendapat hukuman lebih dibanding warga negara biasa. ‘Ganjaran istimewa’ tersebut diberikan karena Hakim adalah sosok manusia yang dianggap tahu tentang hukum. Mengapa ? Jelas, seorang yang tahu hukum tidak pantas melanggar hukum. Tuhanpun lebih marah apabila ada orang alim melakukan dosa. Ibnu Ruslan, dalam Al-Zubad, mengatakan : Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa lebih dulu sebelum para penyembah berhala”.Bukankah begitu?.
Jember, Mei 2009