(H.
Asmu’i Syarkowi / Hakim PA Jember)
Suatu hal yang sudah menjadi salah satu doktrin yang berlaku di dunia
peradilan adalah bahwa putusan Hakim dianggap tidak berbeda dengan putusan
Tuhan ( Judicium dei ). Hal ini disebabkan oleh realita, bahwa putusan Hakim,
pada skala tertentu, juga mengandung
penyiksaan, merampas kebebasan seseorang, dan bahkan merampas jiwa. Pada hal, pada hakikatnya tindakan tersebut adalah
wilayah kompetensi Tuhan. Doktrin ini telah diakomodasi dalam tradisi dunia peradilan
kita, yaitu adanya kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa” yang dicantumkan pada setiap kepala putusan Hakim.
Mengingat realitas kedudukan sang
Hakim yang mulia itulah mengapa di manapun di dunia ini, tidak ada
aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang memberikan peluang untuk
mengadili Hakim ketika menjalankan fungsi peradilan. Di Pakistan terdapat penegasan yang
menyatakan : No judge is liable in civil action for anything done in good
faith ( tidak seorangpun Hakim dapat dituntut pertanggungjawaban
perdata atas tindakan yang dilakukannya dengan iktikad baik ). Di Amerika
Serikat--sebuah negara yang penegakan hukumnya menjadi kiblat dunia--Hakim juga
memiliki kekebalan terhadap tuntutan ganti rugi. Bahkan, terhadap iktikad tidak
baik ( bad faith ) sekalipun. Di negeri yang berjuluk The Uncle Sam
itu Hakim mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dia tidak hanya berwenang
menyensor undang-undang di negara-negara
bagian, tetapi juga bebas (namun teratur dan terukur ), untuk melakukan
intrepretasi-interpretasi. Maka tidak
heran jika di negara, yang kini juga berjuluk polisi dunia ini, terdapat pameo
: Law is what the court do ( Hukum adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan
). Berbicara pengadilan, maka maksudnya adalah Hakim. Itu pulalah sebabnya,
di negara tersebut juga ada semboyan : The King is dead, long live the Judge
(Raja sudah mati, panjang umur Sang Hakim ).
Di Malaysia
sebagaimana tertuang dalam section 14 court of judicature act 1696, juga
demikian. Menurut aturan tersebut seorang Hakim tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dan digugat secara perdata di depan pengadilan atas tindakan
yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan
tersebut melampaui batas kewenangan.
Bagaimana di negara kita ? Di negara kita, Hakim juga diberikan kedudukan yang luar biasa terhormat. Secara
konstitusional, Hakim bukan hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis,
tetapi juga memiliki hak imunitas yang total ( total personal immunity right
). Hak imunitas tersebut merupakan konsekuensi dari eksistensi kebebasan
kekuasaan kehakiman itu. Penjabarannya antar lain sebagai berikut :
- Salah atau benar suatu putusan yang dijatuhkan Hakim, harus dianggap benar dan adil apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
- Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan.
Secara gamblang
immunitas Hakim tersebut telah dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung (
SEMA ) Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Dalam SEMA ini dinyatakan,
bahwa pertanggungjawaban berdasar Pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan Hakim
melaksanakan peradilan, tidak dapat dituntut secara perdata. Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas
dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada
dasarnya dan pada umumnya, ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat
diterapkan terhadap Hakim walaupun ia salah melaksanakan tugas peradilan.
Ketentuan dalam SEMA tersebut, sekali lagi, perlu mendapat tambahan penjelasan,
yaitu : SELAMA HAKIM MENGADILI MENURUT HUKUM sebagaimana diamanatkan oleh
Undang-undang ( Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 ) dan/ atau dengan iktikad
baik, steril dari motif-motif yang bersifat pragmatis, seperti tindakan
memperkaya diri dengan mempermainkan kasus.
Dalam rangka
menghormati kedudukan penting dan kehormatan Hakim, undang-undang memberikan juga
keistimewaan yuridis. Semua Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas
perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali
dalam hal : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau b.
disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman
mati, atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap
keamanan negara. ( Vide :Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 1989 terakhir sebagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 ) .
Persoalannya, apakah dengan demikian masyarakat lantas dikesampingkan hak-haknya
untuk tetap memperoleh keadilan?. Atau, bagaimana cara ‘melawan putusan’ Hakim
yang dianggap tidak adil atau bahkan sewenang-wenang?.
Ternyata, ada
hak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan untuk ditempuh oleh siapapun yang merasa dianiaya
oleh putusan Hakim. Hak tersebut adalah menempuh upaya hukum, dalam hal ini
verzet, darden verzet, banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Mekanisme ini
sebenarnya sudah menjadi standar dalam praktik dunia peradilan kita. Atau, apabila
masyarakat memang mencium ada indikasi keculasan yang secara sadar dilakukan
oleh Hakim, kini masyarakat dapat menempuh langkah yang bersifat administratif,
yaitu dengan melaporkan oknum Hakim tersebut kepada atasannya. Pimpinan akan
menindaklanjuti dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Pengawasan --yang
oleh Mahkamah Agung telah dicanangkan penggalakannya sejak tahun 2006-- itu,
sebenarnya kini semakin memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan
kontrol. Tidak hanya kepada kinerja Hakim, tetapi juga kinerja peradilan secara
menyeluruh. Malahan saat ini pengawasan itu kini berlapis. Tidak hanya oleh
institusi yang mengindukinya ( baca : Mahkamah Agung ), tetapi juga Komisi
Yudisial (KY ), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK). Masyarakat luas, termasuk
media dapat melaporkan apapun yang dirasa menyimpang kepada institusi-institusi
tersebut. Mau apa lagi?
Akan tetapi, pada saat kita gemes
dengan kinerja Hakim, kitapun patut sadar, bahwa sejatinya Hakim adalah manusia
juga. Sebagai manusia dia juga terikat dengan hukum-hukum kebiasaan yang
berlaku bagi manusia pada umumnya. Dia bisa benar sekaligus bisa salah. Dia
bisa teliti akan tetapi juga bisa lalai. Sebagai pegawai dia juga bisa stress
karena tekanan tuntutan kebutuhan primer sehari-hari dan iklim kerja yang kurang
kondusif. Padahal, pada saat yang sama dia dituntut tetap bekerja secara
standar. Ukurannya adalah profesionalitas kinerja. Ketika dalam menjalankan
fungsinya, ternyata dia kebetulan berada pada situasi lemah secara manusiawi,
maka sudah dapat dipastikan out put kinerjanya tidak optimal. Atau,
mungkin merugikan masyarakat. Dalam skala yang lebih luas kerugian masyarakat
tersebut tidak jarang berubah menjadi keresahan atau keguncangan. Dalam situasi
demikian biasanya masyarakatpun melampiaskan kekecewaan atau bahkan kemarahan dengan
cara masing-masing. Tidak jarang mereka melakukannya dengan cara kekerasan.
Sang Hakimpun menjadi salah satu sasaran utamanya. Akan tetapi, pengetahuan
kita tentang imunitas Hakim yang sudah mejadi pakem setiap negara hukum di
atas, mestinnya tetap harus membuat
masyarakat berkepala dingin. Maksudnya, sejengkel apapun dalam menyikapi
‘kelaliman Hakim’, masyarakat harus tetap bersikap secara terhormat. Tidak
dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang justru melanggar hukum, seperti
melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan terhadap Hakim dan
institusinya.. Melakukan kekerasan terhadap Hakim akibat pelaksanaan tugas peradilan, disamping
tindakan ilegal, juga berlawanan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang sudah
berlaku secara universal seperti diuraikan di atas.
Lantas di mana letak jargon : “Semua warga negara sama di hadapan hukum“.
Di negara kita jargon hukum ini hanya berlaku bagi Hakim dalam kaitannya
sebagai warga negara biasa. Kenakalan Hakim dalam memainkan kasus termasuk
dalam konteks ini. Bukan kaitannya dengan Hakim ketika melaksanaan fungsi
peradilan seperti diuraikan di muka. Sebagai warga negara biasa, misalnya dia
juga terikat dengan hukum privat, seperti hukum perdata, dan hukum publik,
seperti hukum pidana. Dalam bidang-bidang hukum ini, semua warga negara harus
diperlakukan sama. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk terhadap Hakim.
Bahkan, ketika Hakim melakukan pelanggaran hukum publik—seperti apabila Hakim
terbukti telah melakukan tindak pidana tertentu--tersebut, sang Hakim mestinya
mendapat hukuman lebih dibanding warga negara biasa. ‘Ganjaran istimewa’
tersebut diberikan karena Hakim adalah sosok manusia yang dianggap tahu tentang
hukum. Seorang yang tahu hukum sangat tidak pantas melanggar hukum. Tuhanpun
lebih marah apabila ada orang alim melakukan dosa ketimbang orang awam. Ibnu
Ruslan, dalam Al-Zubad, mengatakan : Orang alim yang tidak
mengamalkan ilmunya akan disiksa lebih dulu sebelum para penyembah berhala”.Bukankah
begitu?.
Jember, Mei 2010
Referensi
- Hukum Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, S.H.
- Kumpulan SEMA Mahkamah Agung oleh Mahkamah Agung
- Menguak Tabir Hukum karya Prof.Dr. Ahmad Ali, S.H.,M.H.
- Mengenal Hukum oleh Prof.Dr. Sudikno Mertokesumo, S.H.
- Pengadilan dan Masyarakat oleh Prof.Dr.Ahmad Ali, S.H.M.H.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar