Senin, 01 Desember 2014

MENGADILI HAKIM ( Sekelumit Refleksi tentang Kinerja Hakim)




(H. Asmu’i Syarkowi / Hakim PA Jember)

Suatu hal yang sudah menjadi salah satu doktrin yang berlaku di dunia peradilan adalah bahwa putusan Hakim dianggap tidak berbeda dengan putusan Tuhan ( Judicium dei ). Hal ini disebabkan oleh realita, bahwa putusan Hakim, pada skala tertentu,  juga mengandung penyiksaan, merampas kebebasan seseorang, dan bahkan merampas jiwa. Pada hal,  pada hakikatnya tindakan tersebut adalah wilayah kompetensi Tuhan. Doktrin ini telah diakomodasi dalam tradisi dunia peradilan kita, yaitu adanya kalimat : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang dicantumkan pada setiap kepala putusan Hakim.
Mengingat realitas kedudukan sang  Hakim yang mulia itulah mengapa di manapun di dunia ini, tidak ada aturan baik tertulis maupun tidak tertulis, yang memberikan peluang untuk mengadili Hakim ketika menjalankan fungsi peradilan. Di Pakistan terdapat penegasan yang menyatakan : No judge is liable in civil action for anything done in good faith ( tidak seorangpun Hakim dapat dituntut pertanggungjawaban perdata atas tindakan yang dilakukannya dengan iktikad baik ). Di Amerika Serikat--sebuah negara yang penegakan hukumnya menjadi kiblat dunia--Hakim juga memiliki kekebalan terhadap tuntutan ganti rugi. Bahkan, terhadap iktikad tidak baik ( bad faith ) sekalipun. Di negeri yang berjuluk The Uncle Sam itu Hakim mempunyai kedudukan yang sangat kuat. Dia tidak hanya berwenang menyensor  undang-undang di negara-negara bagian, tetapi juga bebas (namun teratur dan terukur ), untuk melakukan intrepretasi-interpretasi.  Maka tidak heran jika di negara, yang kini juga berjuluk polisi dunia ini, terdapat pameo : Law is what the court do ( Hukum adalah apa yang dilakukan oleh pengadilan ). Berbicara pengadilan, maka maksudnya adalah Hakim. Itu pulalah sebabnya, di negara tersebut juga ada semboyan : The King is dead, long live the Judge (Raja sudah mati, panjang umur Sang Hakim ).
Di Malaysia sebagaimana tertuang dalam section 14 court of judicature act 1696, juga demikian. Menurut aturan tersebut seorang Hakim tidak dapat dimintai pertanggungjawaban dan digugat secara perdata di depan pengadilan atas tindakan yang dilakukan dalam melaksanakan fungsi peradilan tanpa mempersoalkan apakah tindakan tersebut melampaui batas kewenangan.
Bagaimana di negara kita ? Di negara kita, Hakim juga diberikan  kedudukan yang luar biasa terhormat. Secara konstitusional, Hakim bukan hanya diberi kebebasan bertindak tidak demokratis, tetapi juga memiliki hak imunitas yang total ( total personal immunity right ). Hak imunitas tersebut merupakan konsekuensi dari eksistensi kebebasan kekuasaan kehakiman itu. Penjabarannya antar lain sebagai berikut :
  1. Salah atau benar suatu putusan yang dijatuhkan Hakim, harus dianggap benar dan adil apabila putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum tetap; dan
  2. Hakim tidak dapat dituntut dan dipersalahkan atas pelaksanaan menjalankan fungsi dan kewenangan peradilan.
Secara gamblang immunitas Hakim tersebut telah dipertegas oleh Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 9 Tahun 1976 tanggal 16 Desember 1976. Dalam SEMA ini dinyatakan, bahwa pertanggungjawaban berdasar Pasal 1365 KUH Perdata atas kesalahan Hakim melaksanakan peradilan, tidak dapat dituntut secara perdata.  Meskipun hal itu tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, tetapi dari pendekatan ilmu hukum, pada dasarnya dan pada umumnya, ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, tidak dapat diterapkan terhadap Hakim walaupun ia salah melaksanakan tugas peradilan. Ketentuan dalam SEMA tersebut, sekali lagi, perlu mendapat tambahan penjelasan, yaitu : SELAMA HAKIM MENGADILI MENURUT HUKUM sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang ( Pasal 5 ayat 1 UU Nomor 4 Tahun 2004 ) dan/ atau dengan iktikad baik, steril dari motif-motif yang bersifat pragmatis, seperti tindakan memperkaya diri dengan mempermainkan kasus.
Dalam rangka menghormati kedudukan penting dan kehormatan Hakim, undang-undang memberikan juga keistimewaan yuridis. Semua Hakim dapat ditangkap atau ditahan hanya atas perintah Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung, kecuali dalam hal : a. Tertangkap tangan melakukan tindak pidana kejahatan, atau b. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, atau c. disangka telah melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara. ( Vide :Pasal 25 UU Nomor 7 Tahun 1989 terakhir sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 50 Tahun 2009 ) .
Persoalannya, apakah dengan demikian masyarakat lantas dikesampingkan hak-haknya untuk tetap memperoleh keadilan?. Atau, bagaimana cara ‘melawan putusan’ Hakim yang dianggap tidak adil atau bahkan sewenang-wenang?.
Ternyata, ada hak yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan  untuk ditempuh oleh siapapun yang merasa dianiaya oleh putusan Hakim. Hak tersebut adalah menempuh upaya hukum, dalam hal ini verzet, darden verzet, banding, kasasi, atau peninjauan kembali. Mekanisme ini sebenarnya sudah menjadi standar dalam praktik dunia peradilan kita. Atau, apabila masyarakat memang mencium ada indikasi keculasan yang secara sadar dilakukan oleh Hakim, kini masyarakat dapat menempuh langkah yang bersifat administratif, yaitu dengan melaporkan oknum Hakim tersebut kepada atasannya. Pimpinan akan menindaklanjuti dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya. Pengawasan --yang oleh Mahkamah Agung telah dicanangkan penggalakannya sejak tahun 2006-- itu, sebenarnya kini semakin memberikan ruang kepada masyarakat untuk melakukan kontrol. Tidak hanya kepada kinerja Hakim, tetapi juga kinerja peradilan secara menyeluruh. Malahan saat ini pengawasan itu kini berlapis. Tidak hanya oleh institusi yang mengindukinya ( baca : Mahkamah Agung ), tetapi juga Komisi Yudisial (KY ), Dewan Perwakilan Rakyat ( DPR ), dan Komisi Pemberantasan Korupsi  (KPK). Masyarakat luas, termasuk media dapat melaporkan apapun yang dirasa menyimpang kepada institusi-institusi tersebut. Mau apa lagi?
            Akan tetapi, pada saat kita gemes dengan kinerja Hakim, kitapun patut sadar, bahwa sejatinya Hakim adalah manusia juga. Sebagai manusia dia juga terikat dengan hukum-hukum kebiasaan yang berlaku bagi manusia pada umumnya. Dia bisa benar sekaligus bisa salah. Dia bisa teliti akan tetapi juga bisa lalai. Sebagai pegawai dia juga bisa stress karena tekanan tuntutan kebutuhan primer sehari-hari dan iklim kerja yang kurang kondusif. Padahal, pada saat yang sama dia dituntut tetap bekerja secara standar. Ukurannya adalah profesionalitas kinerja. Ketika dalam menjalankan fungsinya, ternyata dia kebetulan berada pada situasi lemah secara manusiawi, maka sudah dapat dipastikan out put kinerjanya tidak optimal. Atau, mungkin merugikan masyarakat. Dalam skala yang lebih luas kerugian masyarakat tersebut tidak jarang berubah menjadi keresahan atau keguncangan. Dalam situasi demikian biasanya masyarakatpun melampiaskan kekecewaan atau bahkan kemarahan dengan cara masing-masing. Tidak jarang mereka melakukannya dengan cara kekerasan. Sang Hakimpun menjadi salah satu sasaran utamanya. Akan tetapi, pengetahuan kita tentang imunitas Hakim yang sudah mejadi pakem setiap negara hukum di atas,  mestinnya tetap harus membuat masyarakat berkepala dingin. Maksudnya, sejengkel apapun dalam menyikapi ‘kelaliman Hakim’, masyarakat harus tetap bersikap secara terhormat. Tidak dibenarkan melakukan tindakan-tindakan yang justru melanggar hukum, seperti melakukan tindakan-tindakan yang mengarah kepada kekerasan terhadap Hakim dan institusinya.. Melakukan kekerasan terhadap Hakim akibat  pelaksanaan tugas peradilan, disamping tindakan ilegal, juga berlawanan dengan prinsip-prinsip negara hukum yang sudah berlaku secara universal seperti diuraikan di atas.
Lantas di mana letak jargon : “Semua warga negara sama di hadapan hukum“. Di negara kita jargon hukum ini hanya berlaku bagi Hakim dalam kaitannya sebagai warga negara biasa. Kenakalan Hakim dalam memainkan kasus termasuk dalam konteks ini. Bukan kaitannya dengan Hakim ketika melaksanaan fungsi peradilan seperti diuraikan di muka. Sebagai warga negara biasa, misalnya dia juga terikat dengan hukum privat, seperti hukum perdata, dan hukum publik, seperti hukum pidana. Dalam bidang-bidang hukum ini, semua warga negara harus diperlakukan sama. Tidak boleh ada diskriminasi, termasuk terhadap Hakim. Bahkan, ketika Hakim melakukan pelanggaran hukum publik—seperti apabila Hakim terbukti telah melakukan tindak pidana tertentu--tersebut, sang Hakim mestinya mendapat hukuman lebih dibanding warga negara biasa. ‘Ganjaran istimewa’ tersebut diberikan karena Hakim adalah sosok manusia yang dianggap tahu tentang hukum. Seorang yang tahu hukum sangat tidak pantas melanggar hukum. Tuhanpun lebih marah apabila ada orang alim melakukan dosa ketimbang orang awam. Ibnu Ruslan, dalam Al-Zubad, mengatakan : Orang alim yang tidak mengamalkan ilmunya akan disiksa lebih dulu sebelum para penyembah berhala”.Bukankah begitu?.
Jember, Mei 2010
Referensi
  1. Hukum Acara Perdata oleh M. Yahya Harahap, S.H.
  2. Kumpulan SEMA Mahkamah Agung oleh Mahkamah Agung
  3. Menguak Tabir Hukum karya Prof.Dr. Ahmad Ali, S.H.,M.H.
  4. Mengenal Hukum oleh Prof.Dr. Sudikno Mertokesumo, S.H.
  5. Pengadilan dan Masyarakat oleh Prof.Dr.Ahmad Ali, S.H.M.H.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar