Senin, 01 Desember 2014

KHITTAH 1926 NU DALAM ANCAMAN?




Oleh : H. Asmu'i Syarkowi
Pada Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini ditandai keluarnya NU dari PPP yang sebelumnya sebagai wadah penyaluran resmi aspirasi politik bersama partai-partai Islam lain ( Parmusi, Perti, PSII ). Muktamar yang mengambil tempat di Pesantren Salafiyyah Syafi'iyyah Sukorejo ini para pengurus NU 'ijma' untuk kembali ke khittah NU 1926 yang berarti NU secara organisatoris mengikuti garis ketika NU pada awal didirikan, yaitu 31 Januari 1926. Khittah 1926 NU ini mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan lain-lain. Memang ada sementara pihak urusan khittah ini terkait dengan urusan politik. Tapi hal ini segera diluruskan oleh salah sesepuh NU. Menurut Kyai Muchit Muzadi, salah seorang sesepuh NU, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan lain-lain.

Dengan demikian jelaslah bahwa cakupan khittah 1926 lebih hanya sekedar urusan politik, seperti bagaimana hubungan NU dengan partai politik peserta pemilu. Bahkan dengan PKB sekalipun yang dari pertama partai ini mengklaim sebagai partai yang secara resmi lahir dari NU. Tetapi memang harus diakui, realitas politik di tanah air memang sedang mengundang perhatian bangsa Indonesia. Euforia reformasi yang diikuti oleh euforia politik berikut diikuti pula dengan euforia pendirian parpol, mau tidak mau menjadikan panggung politik menjadi tontonan yang paling menarik dibanding urusan bangsa Indonesia lainnya.
NU sebagai ormas keagamaan terbesar tidak saja menjadi rebutan banyak kalangan, tetapi bahkan, juga tidak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian bermain di panggung politik. Para elite NU yang sebelumnya banyak terlibat politik praktis, tampaknya hanya sedikit yang bisa mengekang syahwat politik mereka. Kembali ke khittah 1926 yang dikumandangkan pada tahun 1984 pada era orde baru di Pesantren mendiang Kyai As'ad seolah tidak pernah ada.
 Dengan berbagai dalih mereka tetap saja melakukan aksi dukung-mendukung partai tertentu. Pada tahapan pemilihan presiden lebih seru lagi. Para capres-cawapres tidak mau menyia-nyiakan masa NU. Alasannya jelas. Mengingat masa NU sangat besar, maka menguasai NU sama halnya menguasai kunci kemenangan. Sistem paternalistik dangan nuansa feodalistik hubungan kaum nahdhiyyin dengan tokohnya ( baca :Kyai ) menyebabkan para tokoh tersebut sering menjadi sasaraan kampanye tidak resmi para calon. Dengan alasan meminta do’a dan restu para calon tidak mengenal lelah bersafari dari tokoh satu ke tokoh lainnya. Merekapun disambut dengan gegap gempita karena tamu. Dalam ajaran Islam menghormati tamu wajib hukumnya.
Kondisi seperti inilah tampaknya yang menjadi sebab perbedaan sikap politik para tokoh. Mau mendukung siapa, tergantung siapa yang lebih pandai mendekati. Pada saat yang sama janji-janji para calon tampaknya juga ada yang bisa 'menyihir' sebagian tokoh NU. Dengan dalih atas nama pribadi para tokoh ini tidak segan-segan secara vulgar mendukung calon tertentu. Para tokoh ini lupa bahwa dalam dirinya juga melekat sebagai pengurus aktif NU. Selanjutnya, mudah ditebak. Suara NU terpecah. Tidak jarang pada skala tertentu polarisasi sikap politik para tokoh NU membingungkan kaum nahdhiyyin pada tataran akar rumput. Bahkan tidak jarang, pada skala tertentu menimbulkan ketegangan antara sesama kaum nahdhiyyin atau antar pesantren yang satu dengan pesantren lainnya.

Pada pemilihan presiden ( pilpres) kali ini memang hanya 2 calon. Ibarat gadis, dua calon ini sama-sama cantik dan seksinya. Dua calon ini sama-sama bernafsu menguasai massa NU. Salah satu pihak sudah ada yang berhasil mendekati para tokoh NU. Sejumlah nama beken di NU pun dengan tidak sungkan-sungkan telah menunjukkan keberpihakan politik.  Pertanyaan kita adalah, apakah sikap beliau-beliau itu sudah mempertimbangkan dampaknya bagi ummat nahdhiyyin pada tataran akar rumput? Dan, yang lebih penting lagi, dari sudut khittah 1926, apakah sikap dan tindakan tersebut tidak bertentangan? Untuk orang sekelas mantan Ketua PBNU, pengurus Muslimat NU, dan Ketua GP Ansor pasti sudah sangat memahami arti Khittah NU 1926. Jadi,  hati nurani beliaulah yang bisa menjawab.
Wallahu a'lam
BIODATA PENULIS
Nama                                      : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir               : Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP                                          : 150 246 129
Pangkat, gol./ruang              : Pembina Tkt. I, IV/b
Pendidikan                            : S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum UMI Makassar 2001
Hobby                                    : Pemerhati masalah Seni dan  sosial (hukum dan pendidikan)
Pengalaman Tugas               : - Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2001-2004
- Ketua Pengadilan Agama Waingapu 2004-2007
- Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A
Sekarang                                : Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A
                                                  
Alamat Kantor                       : Pengadilan Agama Banyuwangi
Jl. A Yani Banyuwangi
Alamat e-Mail                       : asmui.15@mail.com

Nomor Rekening  : 0021-01-052182-50-3 (BRITAMA BANK BRI CAB.JEMBER
                                                                                AN. ASMU’I,DRS.H)
NPWP                                     : 08.767.281.2-628.000


Tidak ada komentar:

Posting Komentar