Oleh
: H. Asmu'i Syarkowi
Pada
Muktamar Ke-27 tahun 1984 secara resmi NU kembali ke Khittah NU 1926. Ini
ditandai keluarnya NU dari PPP yang sebelumnya sebagai wadah penyaluran resmi
aspirasi politik bersama partai-partai Islam lain ( Parmusi, Perti, PSII ).
Muktamar yang mengambil tempat di Pesantren Salafiyyah Syafi'iyyah Sukorejo ini
para pengurus NU 'ijma' untuk kembali ke khittah NU 1926 yang berarti NU secara
organisatoris mengikuti garis ketika NU pada awal didirikan, yaitu 31 Januari
1926. Khittah 1926 NU ini mencakup tujuan pendirian NU, gerakan-gerakan NU dan
lain-lain. Memang ada sementara pihak urusan khittah ini terkait dengan urusan
politik. Tapi hal ini segera diluruskan oleh salah sesepuh NU. Menurut Kyai
Muchit Muzadi, salah seorang sesepuh NU, Khittah NU 1926 merupakan dasar agama
warga NU, akidahnya, syariatnya, tasawufnya, faham kenegaraannya, dan
lain-lain.
Dengan
demikian jelaslah bahwa cakupan khittah 1926 lebih hanya sekedar urusan
politik, seperti bagaimana hubungan NU dengan partai politik peserta pemilu.
Bahkan dengan PKB sekalipun yang dari pertama partai ini mengklaim sebagai
partai yang secara resmi lahir dari NU. Tetapi memang harus diakui, realitas
politik di tanah air memang sedang mengundang perhatian bangsa Indonesia. Euforia
reformasi yang diikuti oleh euforia politik berikut diikuti pula dengan euforia
pendirian parpol, mau tidak mau menjadikan panggung politik menjadi tontonan
yang paling menarik dibanding urusan bangsa Indonesia lainnya.
NU
sebagai ormas keagamaan terbesar tidak saja menjadi rebutan banyak kalangan,
tetapi bahkan, juga tidak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian bermain di
panggung politik. Para elite NU yang
sebelumnya banyak terlibat politik praktis, tampaknya hanya sedikit yang bisa
mengekang syahwat politik mereka. Kembali ke khittah 1926 yang dikumandangkan
pada tahun 1984 pada era orde baru di Pesantren mendiang Kyai As'ad seolah
tidak pernah ada.
Dengan berbagai dalih mereka tetap saja
melakukan aksi dukung-mendukung partai tertentu. Pada tahapan pemilihan
presiden lebih seru lagi. Para capres-cawapres
tidak mau menyia-nyiakan masa NU. Alasannya jelas. Mengingat masa NU sangat
besar, maka menguasai NU sama halnya menguasai kunci kemenangan. Sistem
paternalistik dangan nuansa feodalistik hubungan kaum nahdhiyyin dengan
tokohnya ( baca :Kyai ) menyebabkan para tokoh tersebut sering menjadi sasaraan
kampanye tidak resmi para calon. Dengan alasan meminta do’a dan restu para
calon tidak mengenal lelah bersafari dari tokoh satu ke tokoh lainnya.
Merekapun disambut dengan gegap gempita karena tamu. Dalam ajaran Islam
menghormati tamu wajib hukumnya.
Kondisi
seperti inilah tampaknya yang menjadi sebab perbedaan sikap politik para tokoh.
Mau mendukung siapa, tergantung siapa yang lebih pandai mendekati. Pada saat
yang sama janji-janji para calon tampaknya juga ada yang bisa 'menyihir'
sebagian tokoh NU. Dengan dalih atas nama pribadi para tokoh ini tidak
segan-segan secara vulgar mendukung calon tertentu. Para
tokoh ini lupa bahwa dalam dirinya juga melekat sebagai pengurus aktif NU.
Selanjutnya, mudah ditebak. Suara NU terpecah. Tidak jarang pada skala tertentu
polarisasi sikap politik para tokoh NU membingungkan kaum nahdhiyyin pada
tataran akar rumput. Bahkan tidak jarang, pada skala tertentu menimbulkan
ketegangan antara sesama kaum nahdhiyyin atau antar pesantren yang satu dengan
pesantren lainnya.
Pada
pemilihan presiden ( pilpres) kali ini memang hanya 2 calon. Ibarat gadis, dua
calon ini sama-sama cantik dan seksinya. Dua calon ini sama-sama bernafsu
menguasai massa
NU. Salah satu pihak sudah ada yang berhasil mendekati para tokoh NU. Sejumlah
nama beken di NU pun dengan tidak sungkan-sungkan telah menunjukkan
keberpihakan politik. Pertanyaan kita
adalah, apakah sikap beliau-beliau itu sudah mempertimbangkan dampaknya bagi
ummat nahdhiyyin pada tataran akar rumput? Dan, yang lebih penting lagi, dari
sudut khittah 1926, apakah sikap dan tindakan tersebut tidak bertentangan? Untuk
orang sekelas mantan Ketua PBNU, pengurus Muslimat NU, dan Ketua GP Ansor pasti
sudah sangat memahami arti Khittah NU 1926. Jadi, hati nurani beliaulah yang bisa menjawab.
Wallahu
a'lam
BIODATA PENULIS
Nama :
Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
Tempat & Tgl Lahir :
Banyuwangi, 15 Oktober 1962
NIP :
150 246 129
Pangkat, gol./ruang :
Pembina Tkt. I, IV/b
Pendidikan :
S-1 Fak. Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga 1988
S-2 Ilmu Hukum Fak Hukum
UMI Makassar 2001
Hobby :
Pemerhati masalah Seni dan sosial (hukum
dan pendidikan)
Pengalaman Tugas : -
Hakim Pengadilan Agama Atambua 1997-2001
-Wakil Ketua Pengadilan
Agama Waingapu 2001-2004
- Ketua Pengadilan Agama
Waingapu 2004-2007
- Hakim Pengadilan Agama
Jember Klas I A
Sekarang :
Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A
Alamat Kantor : Pengadilan Agama Banyuwangi
Jl. A Yani Banyuwangi
Alamat e-Mail :
asmui.15@mail.com
Nomor Rekening : 0021-01-052182-50-3 (BRITAMA BANK BRI
CAB.JEMBER
AN.
ASMU’I,DRS.H)
NPWP :
08.767.281.2-628.000
Tidak ada komentar:
Posting Komentar