Oleh
: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim
Pengadilan Agama Banyuwangi)
Seorang pejabat
mengeluhkan anak semata wayangnya.
Siapapun kita pasti
pilu ketika mengetahui, apalagi
mengalami sendiri, problem orang tua tadi. Dia menghadapi persoalan yang sangat
dilematis. Di satu sisi ingin melakukan tindakan kekerasan dari sekedar memberi pelajaran kepada si anak
sampai sekedar melampiaskan kekesalan selama ini. Di sisi lain, tindakan ini
tidak dapat dilakukan manakala dia ingat aspek hukum. Sebagaimana kita ketahui
saat ini sudah ada 2 undang-undang yang memberikan proteksi keberadaan anak,
yaitu Undang-Undang Tentang Perlindungan
Anak ( UU Nomor 23 Tahun 2002 ) dan Undang-Undang Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( UU
Nomor 23 Tahun 2004 ). Bayang-bayang sanksi hukum membuatnya mengurungkan semua niyatnya, sekecil apapun, untuk melakukan perbuatan melawan hukum, berupa tindakan kekerasan
kepada buah hatinya yang memang selama ini disayangi. Kekesalannya semakin
bertambah ketika (oknum ) Ustad pada kesempatan khutbah Jum’at mengkritiknya.
Menurut sang Ustad, anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah
yang menyebabkan anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Pendek kata, dengan
mengutip hadits tersebut sang Ustad ingin mengatakan, bahwa anak menjadi nakal,
bandel dan menjengkelkan kerena perilaku
kedua orang tuanya.
Dia pasti tidak
sependapat dengan sang ustad yang sok tahu itu. Hipotesis sang ustad masih
harus ditambah tuduhan, bahwa anak yang nakal tersebut lantaran sering diberi
makanan yang tidak halal. Dalam pandangannya, sang ustad di samping sok tahu
juga seorang hakim yang tidak adil. Ustad hanya memandang kenakalan anak dari
satu faktor. Padahal, banyak faktor yang menyebabkan si anak menjadi nakal
seperti faktor lingkungan pergaulan, faktor ekonomi, faktor sekolahan, faktor
kemajuan teknologi. Faktor-faktor itu bisa berdiri sendiri dan bisa saling
berkaitan. Misalnya, saat ini hampir
semua anak remaja memegang handphone (HP).
Dengan HP anak bisa berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan teman yang ternyata
kurang baik. Dengan HP anak bisa berselancar di dunia maya tanpa ada yang bisa
menghalangi. Dengan HP anak dapat berjanji untuk saling bertemu dengan teman
spesialnya jam berapa saja tanpa diketahui kedua orang tuanya. Sang Ustad tidak
sampai berfikir sejauh ini karena dia belum pernah punya HP Android. Atau, bahkan
malah belum mengenal dunia dengan segala kebaikan dan keburukannya melaui
internet.
Sikap sang Ustad tadi kadang-kadang
juga menjadi mindset kita. Kita lupa, bahwa di antara problem
mendasar yang paling sulit dihadapi manusia adalah ketika
menghadapi keluarga. Bahkan, para
rasulpun pernah punya pengalaman mempunyai problem menghadapi keluarga ini. Pengertian keluarga sudah pasti termasuk di dalamnya adalah anak. Nabi Nuh AS sampai harus ditegur Allah ketika
beliau larut dalam kesedihan lantaran
anak yang dikasihinya harus mati tenggelam karena tidak menuruti
nasihat-nasihatnya. Kalau memang menghadapi
keluarga itu mudah mungkin Allah tidak perlu memerintahkan agar kita
disuruh menjaga diri dan keluarga dari api neraka ( Surat al Tahrim ayat 6 ). Kalau menjadikan anak baik itu mudah mungkin Allah
tidak sampai megingatkan bahwa anak adalah “fitnah” ( Surat al-Taghabun ayat 15 ). Kalau potensi
menjengkelkan yang disebabkan perilaku anak itu tidak ada, mungkin Allah juga
tidak pernah mengajarkan agar kita berdoa mohon agar menjadikan anak keturunan
kita sebagai penyejuk hati ( Surat al-
Furqan ayat 74 ). Rasulullah SAW
juga mengajarkan agar orang tua memberikan hak-hak anak, seperti memberikan
nama yang baik, memberikan pendidikan yang baik, mengajari berenang dan memanah, tidak memberikan makanan kecuali yang baik-baik. Akan tetapi, rasulullah SAW
tidak memberikan garansi, bahwa jika hak-hak anak tersebut telah diberikan lantas akan tumbuh sesuai dengan keinginan kita.
Urusan apakah dia beriman atau kafir,
termasuk menjadi baik atau buruk merupakan, sepenuhnya adalah hak prerogatif
Allah SWT.
Dalam konteks ini benar
juga kata Kahlil Gibran : “Anakmu adalah
bukan anakmu. Engkau hanya menguasai raganya tetapi bukan jiwanya”.Yang penting, ketika
sebagian kita kebetulan mendapat ganjaran anak nakal kita tetap bersikap dan
bertindak sesuai standar ajaran agama. Keberhasilan dan kegagalan bukan domein manusia. Yang lebih kita
khawatirkan sebenarnya adalah bukan datangnya ujian, tetapi bersikap dan
bertindak salah ketika menghadapi ujian. Na’udzu
billah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar