Selasa, 18 Agustus 2015

ANAK DAN HAK PREROGATIF ALLAH



Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi)
Seorang pejabat mengeluhkan anak semata wayangnya.
Siapapun kita pasti pilu ketika mengetahui,  apalagi mengalami sendiri, problem orang tua tadi. Dia menghadapi persoalan yang sangat dilematis. Di satu sisi ingin melakukan tindakan kekerasan  dari sekedar memberi pelajaran kepada si anak sampai sekedar melampiaskan kekesalan selama ini. Di sisi lain, tindakan ini tidak dapat dilakukan manakala dia ingat aspek hukum. Sebagaimana kita ketahui saat ini sudah ada 2 undang-undang yang memberikan proteksi keberadaan anak, yaitu Undang-Undang  Tentang Perlindungan Anak ( UU Nomor 23 Tahun 2002 ) dan Undang-Undang  Pengapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga ( UU Nomor 23 Tahun 2004 ). Bayang-bayang sanksi hukum  membuatnya mengurungkan semua  niyatnya, sekecil apapun,  untuk melakukan  perbuatan melawan hukum, berupa tindakan kekerasan kepada buah hatinya yang memang selama ini disayangi. Kekesalannya semakin bertambah ketika (oknum ) Ustad pada kesempatan khutbah Jum’at mengkritiknya. Menurut sang Ustad, anak dilahirkan dalam keadaan suci. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan anak sebagai Yahudi, Nasrani atau Majusi. Pendek kata, dengan mengutip hadits tersebut sang Ustad ingin mengatakan, bahwa anak menjadi nakal, bandel dan  menjengkelkan kerena perilaku kedua orang tuanya.
Dia pasti tidak sependapat dengan sang ustad yang sok tahu itu. Hipotesis sang ustad masih harus ditambah tuduhan, bahwa anak yang nakal tersebut lantaran sering diberi makanan yang tidak halal. Dalam pandangannya, sang ustad di samping sok tahu juga seorang hakim yang tidak adil. Ustad hanya memandang kenakalan anak dari satu faktor. Padahal, banyak faktor yang menyebabkan si anak menjadi nakal seperti faktor lingkungan pergaulan, faktor ekonomi, faktor sekolahan, faktor kemajuan teknologi. Faktor-faktor itu bisa berdiri sendiri dan bisa saling berkaitan.  Misalnya, saat ini hampir semua anak remaja memegang handphone (HP). Dengan HP anak bisa berkomunikasi dengan siapapun, termasuk dengan teman yang ternyata kurang baik. Dengan HP anak bisa berselancar di dunia maya tanpa ada yang bisa menghalangi. Dengan HP anak dapat berjanji untuk saling bertemu dengan teman spesialnya jam berapa saja tanpa diketahui kedua orang tuanya. Sang Ustad tidak sampai berfikir sejauh ini karena dia belum pernah punya HP Android. Atau, bahkan malah belum  mengenal dunia  dengan segala kebaikan dan keburukannya melaui internet.
Sikap sang Ustad tadi kadang-kadang juga menjadi mindset  kita. Kita lupa, bahwa di antara problem mendasar yang paling sulit dihadapi manusia  adalah  ketika menghadapi keluarga.  Bahkan, para rasulpun pernah punya pengalaman mempunyai problem menghadapi keluarga ini.  Pengertian keluarga sudah pasti  termasuk di dalamnya adalah anak.  Nabi Nuh AS sampai harus ditegur Allah ketika beliau larut dalam kesedihan  lantaran anak yang dikasihinya harus mati tenggelam karena tidak menuruti nasihat-nasihatnya. Kalau memang  menghadapi  keluarga itu mudah mungkin Allah tidak perlu memerintahkan agar kita disuruh menjaga diri dan keluarga dari api neraka ( Surat al Tahrim ayat 6 ). Kalau menjadikan anak baik itu mudah mungkin Allah tidak sampai megingatkan bahwa anak adalah “fitnah” ( Surat al-Taghabun ayat 15 ). Kalau potensi menjengkelkan yang disebabkan perilaku anak itu tidak ada, mungkin Allah juga tidak pernah mengajarkan agar kita berdoa mohon agar menjadikan anak keturunan kita sebagai penyejuk hati ( Surat al- Furqan ayat 74 ).  Rasulullah SAW juga mengajarkan agar orang tua memberikan hak-hak anak, seperti memberikan nama yang baik, memberikan pendidikan yang baik, mengajari berenang dan memanah,  tidak memberikan makanan kecuali  yang baik-baik. Akan tetapi, rasulullah SAW tidak memberikan garansi, bahwa jika hak-hak anak tersebut  telah diberikan lantas akan tumbuh  sesuai dengan keinginan kita.
Urusan apakah dia beriman atau kafir, termasuk menjadi baik atau buruk merupakan, sepenuhnya adalah hak prerogatif Allah SWT.
Dalam konteks ini benar juga kata Kahlil Gibran : “Anakmu adalah bukan anakmu. Engkau hanya menguasai raganya tetapi  bukan jiwanya”.Yang penting, ketika sebagian kita kebetulan mendapat ganjaran anak nakal kita tetap bersikap dan bertindak sesuai standar ajaran agama. Keberhasilan dan kegagalan bukan domein manusia. Yang lebih kita khawatirkan sebenarnya adalah bukan datangnya ujian, tetapi bersikap dan bertindak salah ketika menghadapi ujian. Na’udzu billah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar