Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Banyuwangi)
Dulu belajar di Perguruan Tinggi (PT) seolah ‘monopoli’ kelas masyarakat tertentu. Alasan yang
umum, di samping kuliah biayanya mahal dan jauh, belajar di PT
terkesan angker. Hanya orang berduit dan punya nyali minat belajar saja yang
bisa kuliah di PT. Itulah sebabnya tidak semua kamapung ada mahasiswa. Menjadi
mahasiswa menjadi kebanggan tersendiri, karena tidak semua pemuda bisa menjadi
mahasiswa. Kalaupun ada, yang secara ekonomi lemah dapat, masuk PT pastilah
termasuk pemuda pilihan, dan biasanya yang semacam inilah yang relatif sukses.
Kenekatannya kuliah dengan modal sangu pas-pasan, justru mendorong untuk
belajar lebih keras meraih cita-cita.
Kini kesempatan
belajar di PT hampir milik semua kalangan. Hampir semua lulusan SLTA
menginginkan kuliah. Di samping tuntutan zaman masuk PT seolah dipermudah. Kesempatan kuliah juga
semakin terbuka karena hampir di setiap kabupaten ada PT. Tetapi, seberapa jauh
kulatitas mahasiswa sekarang dibanding dengan tempo dulu? Jika parameternya
indeks prestasi (IP) mahasiswa sekarang mungkin rata-rata relatif unggul dibanding
dahulu. Akan tetapi, hanya itukah parameternya? Jelas bukan.
Memperbincangkan eksistensi mahasiswa pada hakikatnya
adalah memperbincangkan esksistensi pemuda. Telah banyak tulisan, banyak tokoh,
dan banyak karya seni yang pada pokoknya memeberi perhatian sosok pemuda ini.
Di era pra-kemerdekaan peran angkatan muda dalam perjuangan sangat kental. Terbentuknya Budi Utomo 20 Mei 1908 yang
belakangan diabadikan sebagai Hari Kabangkitan Nasional yang menginspirasi tokoh-tokoh
politik merintis perjuangan-perjuangan melawan pemerintah kolonial, adalah
bukti nyata kebesaran peran pemuda. Di era orde lama pada dekade 50-an dan
60-an, angkatan muda juga menunjukkan kepeloporannya. Peristiwa di penghujung
1965 dan di awal 1966 yang tergambung dalam aksi-aksi KAMI- KAPPI yang menumbangkan tirani penguasa saat itu
juga bukti nyata kiprah pemuda. Pada era orde baru yang terkenal dengan politik
stabilitasnya peran pemuda dalam kegiatan ‘kritis’ terhadap penguasa itu secara
sistematis dan massif dikurangi bahkan dikekang habis. Tugas mahasiswa
adalah mencari ilmu dan oleh karenanya
harus belajar demi pembangunan. Bagitulah kira-kira maksudnya. Konsep Normalisasi Kegiatan Kampus ( NKK )
zaman Menteri Daoed Joesoef dan ‘transpolitisasi’ zaman Menteri Nugroho Notosusanto
adalah bukti historis mengenai hal itu.
Sampailah pada puncaknya bisul akibat kekakngan itu meletus. Apalagi, setelah
semakin banyak saja aktivis pemuda diciduk, bahkan ada yang tidak pernah pulang
dan hilang sampai sekarang. Sekitar Mei 1997 kekuasaan orde baru tumbang. Untuk
yang kesekian kalinya mahasiswa dengan gerakan reformasinya berperan besar
menumbangkan rezim kekuasaan yang lebih dari 30 tahun itu.
Singkat cerita perubahan-perubahan besar yang terjadi
dinegeri ini adalah tidak bisa lepas dari kiprah mahasiswa. Kehadirannya melawan ketidakadilan dan kesewenangan yang
terjadi di negeri ini telah menorehkan tinta emas sejarah. Kekompakan mereka
dalam mengekspresikan ‘perjuangan’ bahkan tanpa harus terbelenggu pada isu
SARA. Pertanyaannya, apakah dalam konteks sekarang kiprah tersebut masih urgen?
Problem bangsa
ini tampaknya tidak kunjung habis. Korupsi, kolusi, nepotisme di negeri ini
sudah sedemikian menggurita. Sekalipun setiap hari ada gerakan melawannya
tetapi seolah tidak pernah ada habisnya. Kita lihat semakin hari semakin banyak
pejabat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi semakin berani pula
para koruptor beraksi. KPK semakin garang tetapi penjahat negara juga semakin
jalang. Pada saat yang sama juga banyak kebijakan penyelenggaraan negara yang
tidak pro rakyat. Laju pemilik mewah semakin
deras pada saaat yang sama masih banyak
orang desa yang susah membeli beras. Kekayaan pejabat dan orang kaya menumpuk, akan tetapi setiap musim tanam
hampir semua petani sulit mendapatkan pupuk.
Ketimpangan-ketimpamngan tersebut harus ada yang mengontrol secara terus
menerus. Dalam konteks inilah peran pemuda bernama mahasiswa ugen Bersama
dengan media sosial lain, peran mahasiswa sangat diperlukan. Mata kuliah yang
cenderung hanya beriorientasi keilmuan (
scientific oriented ) terkadang kurang dapat memberikan iklim pola fikir
kritis terhadap lingkungan. Mencari wahana pengasah diri guna semakin
menajamkan sikap kritis mutlak diperlukan.
Dengan demikian,
menjadi mahasiswa tentu juga tidak sekedar berlomba meraih IP tinggi. Lebih
dari itu, mahasiswa harus menaikkan indeks kepekaannya. Belajar berorganisasi
yang baik dan kepeduliannya terhadap bahan bacaan di luar kurikulum yang seharusnya, adalah suatu keniscayaan.
Hal-hal semacam inilah nantinya yang akan membuatnya mandiri setamat dari PT,
bahkan pada saat nantinya tidak mendapat bagian ‘kue’ menjadi PNS. Tokoh-tokoh
politisi seperti Akbar Tanjung ( Golkar ), Slamet Effendy Yusuf ( Golkar ),
Romahurmudzy ( PPP), Andi Arif ( mantan jubir presiden ), Budiman Sujatmiko (
PDIP) Adian Napitupulu ( PDIP) dan tokoh
lain yang kini berkiprah di DPR adalah beberapa contoh mantan aktivis mahasiswa
yang tidak pernah bercita-cita menjadi PNS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar