Senin, 01 Desember 2014

URGENSI ORGANISASI MAHASISWA EKSTRA KAMPUS


Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Banyuwangi)

Dulu belajar di Perguruan Tinggi  (PT) seolah ‘monopoli’  kelas masyarakat tertentu. Alasan yang umum,  di samping  kuliah biayanya mahal dan jauh, belajar di PT terkesan angker. Hanya orang berduit dan punya nyali minat belajar saja yang bisa kuliah di PT. Itulah sebabnya tidak semua kamapung ada mahasiswa. Menjadi mahasiswa menjadi kebanggan tersendiri, karena tidak semua pemuda bisa menjadi mahasiswa.  Kalaupun ada,  yang secara ekonomi lemah dapat, masuk PT pastilah termasuk pemuda pilihan, dan biasanya yang semacam inilah yang relatif sukses. Kenekatannya kuliah dengan modal sangu pas-pasan, justru mendorong untuk belajar lebih keras meraih cita-cita.
Kini kesempatan  belajar di PT hampir milik semua kalangan. Hampir semua lulusan SLTA menginginkan kuliah. Di samping tuntutan zaman masuk PT  seolah dipermudah. Kesempatan kuliah juga semakin terbuka karena hampir di setiap kabupaten ada PT. Tetapi, seberapa jauh kulatitas mahasiswa sekarang dibanding dengan tempo dulu? Jika parameternya indeks prestasi (IP) mahasiswa sekarang mungkin rata-rata relatif unggul dibanding dahulu. Akan tetapi, hanya itukah parameternya? Jelas bukan.
Memperbincangkan eksistensi mahasiswa pada hakikatnya adalah memperbincangkan esksistensi pemuda. Telah banyak tulisan, banyak tokoh, dan banyak karya seni yang pada pokoknya memeberi perhatian sosok pemuda ini. Di era pra-kemerdekaan peran angkatan muda dalam perjuangan sangat kental.  Terbentuknya Budi Utomo 20 Mei 1908 yang belakangan diabadikan sebagai Hari Kabangkitan Nasional yang menginspirasi tokoh-tokoh politik merintis perjuangan-perjuangan melawan pemerintah kolonial, adalah bukti nyata kebesaran peran pemuda. Di era orde lama pada dekade 50-an dan 60-an, angkatan muda juga menunjukkan kepeloporannya. Peristiwa di penghujung 1965 dan di awal 1966 yang tergambung dalam aksi-aksi KAMI- KAPPI  yang menumbangkan tirani penguasa saat itu juga bukti nyata kiprah pemuda. Pada era orde baru yang terkenal dengan politik stabilitasnya peran pemuda dalam kegiatan ‘kritis’ terhadap penguasa itu secara sistematis dan massif dikurangi bahkan dikekang habis. Tugas mahasiswa adalah  mencari ilmu dan oleh karenanya harus belajar demi pembangunan. Bagitulah kira-kira maksudnya.  Konsep Normalisasi Kegiatan Kampus ( NKK ) zaman Menteri Daoed Joesoef dan ‘transpolitisasi’ zaman Menteri Nugroho Notosusanto adalah bukti historis  mengenai hal itu. Sampailah pada puncaknya bisul akibat kekakngan itu meletus. Apalagi, setelah semakin banyak saja aktivis pemuda diciduk, bahkan ada yang tidak pernah pulang dan hilang sampai sekarang. Sekitar Mei 1997 kekuasaan orde baru tumbang. Untuk yang kesekian kalinya mahasiswa dengan gerakan reformasinya berperan besar menumbangkan rezim kekuasaan yang lebih dari 30 tahun itu. 
Singkat cerita perubahan-perubahan besar yang terjadi dinegeri ini adalah tidak bisa lepas dari kiprah mahasiswa. Kehadirannya  melawan ketidakadilan dan kesewenangan yang terjadi di negeri ini telah menorehkan tinta emas sejarah. Kekompakan mereka dalam mengekspresikan ‘perjuangan’ bahkan tanpa harus terbelenggu pada isu SARA. Pertanyaannya, apakah dalam konteks sekarang kiprah tersebut masih urgen?
Problem bangsa ini tampaknya tidak kunjung habis. Korupsi, kolusi, nepotisme di negeri ini sudah sedemikian menggurita. Sekalipun setiap hari ada gerakan melawannya tetapi seolah tidak pernah ada habisnya. Kita lihat semakin hari semakin banyak pejabat ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetapi semakin berani pula para koruptor beraksi. KPK semakin garang tetapi penjahat negara juga semakin jalang. Pada saat yang sama juga banyak kebijakan penyelenggaraan negara yang tidak pro rakyat. Laju pemilik mewah semakin deras pada saaat yang sama masih banyak orang desa yang susah membeli beras.  Kekayaan pejabat dan orang kaya menumpuk, akan tetapi setiap musim tanam hampir semua petani sulit mendapatkan pupuk. Ketimpangan-ketimpamngan tersebut harus ada yang mengontrol secara terus menerus. Dalam konteks inilah peran pemuda bernama mahasiswa ugen Bersama dengan media sosial lain, peran mahasiswa sangat diperlukan. Mata kuliah yang cenderung hanya beriorientasi keilmuan ( scientific oriented ) terkadang kurang dapat memberikan iklim pola fikir kritis terhadap lingkungan. Mencari wahana pengasah diri guna semakin menajamkan sikap kritis mutlak diperlukan.
Dengan demikian, menjadi mahasiswa tentu juga tidak sekedar berlomba meraih IP tinggi. Lebih dari itu, mahasiswa harus menaikkan indeks kepekaannya. Belajar berorganisasi yang baik dan kepeduliannya terhadap bahan bacaan di luar kurikulum  yang seharusnya, adalah suatu keniscayaan. Hal-hal semacam inilah nantinya yang akan membuatnya mandiri setamat dari PT, bahkan pada saat nantinya tidak mendapat bagian ‘kue’ menjadi PNS. Tokoh-tokoh politisi seperti Akbar Tanjung ( Golkar ), Slamet Effendy Yusuf ( Golkar ), Romahurmudzy ( PPP), Andi Arif ( mantan jubir presiden ), Budiman Sujatmiko ( PDIP) Adian Napitupulu ( PDIP)  dan tokoh lain yang kini berkiprah di DPR adalah beberapa contoh mantan aktivis mahasiswa yang tidak pernah bercita-cita menjadi PNS.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar