Dunia pergururan tinggi di tanah air kita sampai saat
ini manjadi dua kelompok yaitu
pergururan Tinggi Umum (PTU) dan
Perguruan Tinggi Agama (PTA). Kategorisasi PT secara dikhotomis menjadi dua
kelompok tersebut menyebabkan dunia perguraan tinggi di Negara Pancasila ini
seperti terbagi menjadi 2 madzhab besar yang sulit disatukan. Kesan yang selama
ini mengemuka yang menjadi pembeda 2 macam PT tersebut antara lain : 1. PTU
terutama yang negeri dianggap sebagai perguruan tinggi kelas 1 sedangkan PTA
merupakan perguruan tinggi kelas 2. PTA dengan grade nomor wahid sekalipun
dikesankan selalu di bawah PTU. Keberadaan PTU seperti UGM, UI, UNAIR dan ITB
lebih populer dibanding UIN Sunan Kalijaga, UIN Syarif Hidayatullah dan UIN
Sunan Ampel. 3. Mahasiswa yang masuk PTA selalu dikesankan sebagai mahaswa
limbah dari PTU sehingga kualitas SDM mahasiswa PTA juga dikesankan sebagai
kualitas dengan grade di bawah kualitas SDM mahasiswa PTU. 3 Dalam dunia kerja Alumni PTU seolah mendapat pasar lebih luas dibanding alumni PTA yang
umumnya hanya melayani institusi-institusi di Kementerian Agama.
Tiga hal yang dikesankan sebagian masyarakat tersebut tentu terasa
menyakitkan sebagian insan-insan yang berkecimpung di dunia PTA. Akibatnya,
bagi sebagian mahasiswa dan alumni, cibiran
terhadap dunia PTA ini menyababkan mereka tidak “pede” .
Pertanyaan kita adalah mengapa semua ini bisa terjadi. Apa akar
masalahnya?
Dalam salah satu tulisannya Dr. Muchtar Na’im pernah
mengemukakan, bahwa hal ini akibat dualisme dan dikhotomi pendidikan dari
sistem pendidikan warisan zaman Kolonial Belanda. Pemerintah Koloniallah yang
membedakan pendidikan umum di satu pihak dan pendidikan agama di pihak lain.
Menurutnya, dampak dari sistem pendidikan yang dualistis tersebut sangat jauh
dan sebagiannya ada yang bersifat fundamental, yaitu : 1) Arti agama direduksi hanya sebatas hal yang
berkaitan dengan aspek teologi Islam seperti yang diajarkan di sekolah-sekolah
agama selama ini. 2) Sekolah agama telah
terkotakkan ke dalam kubu tersenndiri
dan menjadi eksklusif. 3) Sumber masukan sekolah agama dan PTA rata-rata
ber IQ rendah dan dari kelompok residual, dan oleh karena masukannya dari
residual maka mutu tamatannya adalah
medioker ( tergolong kelas dua).
Ironisnya, dikhotomi dunia perguruan tinggi tersebut
seperti mendapat legitimasinya ketika pada tahun 1950 Presiden Soekarno
menetapkan berdirinya Universitas Gajah Mada
yang diperuntukkan bagi golongan nasional dan dalam waktu bersamaan
menetapkan Perguruan Tingga Agama Islam Negeri ( PTAIN ) Yogyakarta yang
diperuntukkan bagi umat Islam.
Untuk mengatasi hal ini beliau mengajukan konsep
pendidikan terpadu, yaitu intregrasi pendidikan umum dan pendidikan keagamaan.
Terlepas dari sinyelamen tersebut, tampaknya kini
kondisinya sudah lain. Sekalipun belum sampai mengikis habis kesan akibat
dualisme pendidikan agama tersebut, secara lambat tapi pasti ada kecenderungan
menghilang. Tampilnya sejumlah intelektual muslim--yang tidak hanya piawai di dunia
akademik, tetapi juga pergulatan politik kenegaraan--seperti Nurcholis Madjid,
Azumardi Azra, Komarudin Hidayat, dan Fachry Ali tampaknya ikut andil mengikis
kesan negatif tersebut. Dengan kata lain, alumni PTA kalau mau juga bisa tampil
di pentas kompetisi. Peningkatan status STAIN menjadi IAIN, dan berikut UIN
kiranya merupakan jawaban atas tuntutan yang menginginkan pengintegrasian atas
dikhotomi pengetahuan umum dan pengetahuan agama yang selama ini berlangsung.
Dibukanya Jurusan-jurusan umum--yang selama ini dikesankan sebagai jurusan yang
boleh dimiliki PTU--di PTA, seperti
kedokteran, biologi, ekonomi, di samping upaya menjawab tantangan zaman yang
lebih penting, adalah upaya internalisasi agama pada cabang pengetahuan yang
selama ini seolah tak berakar menjadi mempunyai ruh karena tidak tercabut dari
akarnya. Kalau dulu orang belajar mengenal organ tubuh hanya sebatas organ
secara inderawi tetapi PTA mencoba mengenal organ tubuh juga dari sisi non
inderawi. Integrasi sudut pandang ini menjadi penting di kemudian ketika
segenap upaya inderawi tidak berhasil digunakan sebagai penyingkap suatu objek,
manusia harus melihatnya dari sudut non inderawi, yaitu bahwa di balik yang
inderawi, ada Dzat pencipta organ tubuh ini dan Dzat itulah yang Maha
Mengetahui. Manusia hanya tidak diberikan pengetahuan kecuali hanya sedikit
saja ( wama utiitum minal ‘ilmi illa
qalilan ). Oleh karena itu dengan pengetahuan yang hanya sedikit itu,
manusia jangan sombong, jangan adigang-
adiguno, tidak mau berbagi, dan tidak
mau mengembangkan diri. Inilah contoh maksud internalisasi agama ke dalam
pengetahuan ini. Konsep dasar yang ingin dicapai setiap ilmuwan apapun keluaran
PTA masa kini dengan segenap prodinya, adalah bagaimana ilmu yang dimiliki
disamping memberi manfaat bagi diri sendiri juga dapat memberi manfaat bagi
orang lain, karena ilmu juga merupakan sebagian amanah Allah SWT. Atau,
meminjam istilah Rhoma Irama, : ….kalau
jadi pejabat menjadi pejabat yang takwa…kalau jadi pedagang, jadi pedagang yang
takwa , kalau jadi politisi , jadi politisi yang takwa, dst.
Tampilan PTA yang terus berkembang mengikuti dinamika
zaman tersebut tampaknya tidak sia-sia.
Dari tahun ketahun, tampaknya animo masyarakat masuk ke PTA juga semakin
tinggi. Calon mahasiswa yang masuk juga tidak lagi sepenuhnya limbah dari PTU
Negeri. Peluang ini tentu sekaligus menjadi tantangan insan-insan pengelola
PTA, khususnya para dosen agar terus mengasah diri dangan meningkatkan
kuantitas dan kualitas ilmu yang dimiliki. Upaya peningkatan derajat akademik,
seperti studi strata-2 dan Strata-3, tidak hanya dipandang sebagai upaya
memperoleh grade akademik yang
ujung-ujungnya hanya bermotif ekonomis, seperti segera memperoleh jabatan
tertentu atau guru besar, yang tidak memberikan andil apa-apa bagi kemajuan
bangsa atau bahkan bagi almamaternya sendiri.
Catatan : Tulisan ini sengaja dibuat
untuk didedikasikan buat STAIN Jember yang sekarang telah berubah status
menjadi IAIN Jember. Tinggal satu tahap lagi menuju UIN Jember, semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar