Oleh : Drs.H. ASMU’I
SYARKOWI, M.H.
(Hakim Pengadilan
Agama Banyuwangi Klas I A)
Penetapan Budi Gunawan ( BG
) sebagai calon tunggal Kapolri tampaknya masih menjadi kontroversi yang belum
berakhir. Pencalonan itu menurut salah
seorang pengamat bernuansa politis sebab di kalangan POLRI sebenarnya ada empat
figur lain yang juga layak menjadi KPOLRI, yaitu : Komjen Dwi Priyatno ( 56
tahun ), Komjen Badrodin Haiti ( 57 tahun ),
Komjen Putut Eko Bayuseno ( 54
tahun ) , dan Komjen Suhardi Alius ( 52 tahun). Ketika Presiden ‘tiba-tiba’
mengusulkan hanya satu nama dan ternyata bermasalah kitapun bertanya-tanya.
Mengapa presiden memilih sikap seperti ini. Apalagi, sikap itu diambil tanpa sebelumnya
terdengar setelah meminta ‘fatwa’ KPK. Berbeda ketika beliau mengawali memimpin
negeri ini. Segera setelah dinyatakan
memenangi pilpres, mantan Gubernur DKI ini terlihat sangat berobsesi
agar para calon pembantunya bebas dari kasus korupsi. Untuk itu dia
berkolaborasi dengan lembaga “anti rasywah” KPK. Sekalipun, waktunya sangat
singkat KPK pun sangat antusias meraih
uluran sang Presiden. Padahal, dalam ketatanegaraan kita sama sekali tidak dikenal keharusan
presiden meminta ‘pendapat MK’ untuk mengangkat menteri-menterinya. Itu perlu dilakukan
dalam rangka memperoleh pembantu yang bersih
dari korupsi. Itulah sebabnya, hampir semua kita berpendapat, bahwa tindakan
sang Presiden waktu itu sebagai langkah maju dan karena itu pulalah langkah ini
sanggup merebut simpati rakyat. Para pengamatpun banyak yang mengelu-elukannya.
Mereka mengganggap langkah presiden sebagai langkah yang sangat briliyan
sekaligus komit dengan pemberantasan korupsi yang menjadi musuh rakyat sejak
lama. Sejuta harapan ditunggu oleh rakyat. Gerbong kabinet bersihnya diharapkan bisa
membawa lebih 250 juta rakyat Indonesia menuju ke alam Indonesia baru yang penuh kesejahteraan.
Keceriaan rakyat itu kini untuk sementara harus berakhir.
Pasalnya, Presiden sudah terlanjur mengusulkan Jenderal yang secara resmi
menjadi tersangka kasus korupsi. Segera setelah itu, DPR pun, kecuali Fraksi
Demokrat, seperti berjamaah mengamini usulan Presiden. Yang menjadi tanda tanya
besar dan hal ini harus dicermati oleh Presiden, mengapa Koalisi Merah Putih (
KPM) yang selama ini bersebarangan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sepertinya malah lebih bersemangat mendukung
BG menjadi Kapolri. Koalisi Merah Putih tampaknya bermain dalam kontroversi
ini. KMP bisa saja berpendapat tugas DPR hanyalah melakukan fit and propertest untuk mengetahui visi
dan misi calon. Apabila ternyata
berdasarkan tes tersebut menurut KMP layak itupun belum final sebab pemegang
kunci terakhir di tangan sang Presiden. Masalah apakah yang bersangkutan
tersaangkut masalah hukum tentu bukan ranah DPR. Sebab DPR bukan lembaga hukum,
tetapi lembaga politik. Dari sisi politik, sikap KMP meluluskan BG sebagai
calon Kapolri justru menguntungkan. Seperti sedang menendang bola api ke gawang
Presiden. Presiden akan berada posisi dilematis. Dipegang akan membakar dirinya
di lepas akan masuk gawang yang berarti maksud lain KMP juga berhasil, yaitu
terbentuknya opini politis bahwa presiden tidak konsisten. Menolak sendiri pilihannya.
Terlepas dari benar atau
tidaknya dugaan kita terhadap sikap KMP tersebut, yang jelas sebagaimana
dikemukakan oleh salah seorang pengamat bahwa pilihan Jokowi terhadap BG
sebenarnya bukan pilihan hati Jokowi. Pilihan tersebut seperti dipaksakan oleh
kekuatan yang selama ini mendukung
Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum BG adalah dua kali menjadi ajudan orang nomor
1 di PDIP sewaktu menjadi Wakil Presiden dan
( 1999-2001 ) dan ketika menjadi Presiden ( 2001-2004) .( vide : Opini
Jawa Pos 19/01/15). Bahkan BG lah yang disebut-sebut yang berperan besar dalam
penentuan duet Jokowi dan JK ( Tempo, 12-18 Januari 2015 ). Kekuatan politis
ini sepertinya berhutang budi dan oleh karenanya ‘menekan’ presiden untuk
memberinya penghargaan dengan menjadikannya sebagai orang nomor satu di Korp Bhayangkara.
Betapa kuatnya tekanan itu sehingga Kapolri yang ada harus berhenti sebelum
waktunya, termasuk menafikan kesempatan empat komjen lainnya.
Jika sikap KMP dengan
meluluskan BG dalam fit and propertest sudah cukup membuat Presiden dalam
posisi dilematis, maka sesungguhnya ada kondisi dilematis lain yang lebih sirius,
yaitu : Tetap melantik BG atau membatalkan. Di satu sisi, Presiden harus tetap melantik BG
karena sudah lolos dari DPR dengan risiko ‘dikutuk’ oleh rakyat sebab
menjadikan unsure pimpinan penegak hukum orang yang sedang bermasalah secara
hukum, yaitu korupsi yang menjadi musuh rakyat. Di sisi lain, Presiden
membatalkan usulannya, yaitu membatalkan melantik BG dengan risiko akan
dimarahi ‘sahabat-sahabat’nya karena seperti kacang yang lupa kulitnya.
Intgritas Jokowi sebagai pemimpin dipertaruhkan di sini. Bagaimana menyikapi
hal ini dengan tepat. Wallahu A’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar