Oleh : Drs.H. Asmu'i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Pengangkatan anak--yang
oleh orang Jawa disebut “mupu anak” dan dalam hukum Barat disebut adopsi--
telah sering dipraktikkan oleh
masyarakat. Mengapa ‘harus’ mengangkat
anak, alasan mereka bisa berbeda-beda. Salah satunya, ada yang karena dalam
keluarga memang tidak ada anak. Tidak ada anak bisa karena alasan memang belum
memperoleh anak atau—bagi yang secara medis divonis mandul-- memang tidak bisa
memperoleh anak. Bagi yang belum dengan mengangkat anak diharapkan dapat segera
memperoleh keturunan. Tindakan mengangkat anak dimaksudkan sebagai “pancingan”
memperoleh katurunan. Bagi yang memang tidak bisa memperolah anak kandung,
dengan mengangkat anak, dimaksudkan agar dapat memperoleh sandaran kelak di
hari tua. Ada pula yang mengngkat
anak semata-mata karena alasan kemanusiaan
agar dapat lebih mensejahterakan anak di kemudian hari.
Akan tetapi, apapun tujuan yang menjadi motivasi mengangkat
anak banyak masyarakat yang belum sadar, bahwa tindakan tersebut akan berakibat
tidak saja sosial tetapi juga berakibat hukum di kemudian hari. Itulah sebabnya
terkait dengan ini pernah terbit beberapa aturan mengenai pengangkatan anak, seperti
Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, SEMA RI Nomor 6 Tahun
1983, Kepurtusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984, SEMA RI Nomor 3
Tahun 2005, dan terakhir diberlakukan
Keputusan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009, selain mencabut Keputusan Menteri
Sosial Nomor 13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial Nomor 2/HUK/1995 merupakan penjabaran dari
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007. Pada zaman Penjajahan Belanda
telah pula terbit Staatsblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan bagi golongan
Tionghoa. Lantas, bagaimana
menurut pandangan Islam?
Sebagaimana
dikemukakan oleh Mahmud Syaltut , pakar
fikih kontemporer sekaligus mantan Rektor Universitas Al Azhar, bahwa setidaknya ada 2
pengertian pengangkatan anak (adopsi). Pertama, mengambil anak orang
lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan
status “anak kandung” kepadanya. Hanya saja ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya
sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak
sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai
nama keturunan ( nasab) orang tua angkatnya, dan saling mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak
lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.
Ulama telah sepakat
bahwa hukum Islam tidak mengakui lembaga
anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti praktik pengangkatan anak yang
dipraktikkan masyarakat Jahiliyah.
Al
Qurthubi dalam tafsirnya, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an,
mengemukakan, bahwa sebelum kenabian rasulullah SAW pernah mengangkat seorang
anak lak-laki, bernama Zaid anak Haritsah, menjadi anaknya. Pengangkatan anak tersebut
dimumkan sendiri oleh rasulullah SAW di depan kaum Quraisy. Nabi juga
menyatakan, bahwa dirinya saling mewarisi. Bahkan, dalam panggilan sehari-hari
nama panggilan Zaid ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad, bukan bin Haritsah,
ayah kandungnya. Para sahabat pun memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin
Muhammad sampai akhirnya turunlah wahyu (Al Qur’an) ayat ke-4 dan ke-5 Surat al
Ahzab yang pada pokoknya mengandung larangan memberi status anak angkat
sebagai “anak kandung” dengan segala
konsekuensi hukumnya.
Di Indonesia setelah Kompilasi
Hukum Islam (KHI) diberlakukan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. tampaknya ada
babak baru mengenai lembaga anak angkat ini. Kompilasi Hukum Islam yang
muatannya menjadi materi fikih khas Indonesia secara eksplisit memperkenalkan
istilah “anak angkat”. Pada KHI ini anak angkat diberi pengertian: “Anak
yang dalam hal pemiliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagaimnya beralih dari tanggung
jawab nya dari oreang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan ( Pasal 171 huruf h ). Di samping itu, sebagaimana telah
disinggung di muka, dewasa ini mengenai pengangkatan anak ini juga telah diberlakukan PP Nomor 54 Tahun
2007. Muatan aturan hukum dalam PP tersebut tampaknya ikut melegkapi materi
hukum yang ada dalam KHI.
Salah satu hal yang
sering menjadi pertanyaan masyarakat adalah, apakah anak angkat dapat menjadi
ahli waris orang tua angkatnya? Dengan mengacu kepada pengertian anak angkat di
atas sebenarnya telah jelas, bahwa anak angkat tidak menjadi ahli waris dari
orang tua angkatnya. Sebab, pengangkatan anak pada hakikatnya hanya tindakan “peralihan
tanggung jawab” dari “orang tua asal” kepada “orang tua angkat”. Hal itu sebagaimana
telah ditegaskan Pasal 4 PP 54 Tahun 2007 di atas, bahwa pengangkatan anak
tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya. Jika hubungan
darah dengan orang tua kandung tidak boleh hilang, maka secara a contrario
anak angkat tidak boleh membuat hubungan nasab baru dengan orang tua angkatnya.
Kalau hal itu terjadi dan secara sengaja dilakukan oleh orang tua angkat, dapat
dipandang sebagai tindakan penggelapan asal-usul ketururunan yang dapat diancam
pidana, sebagaimana diatur oleh Pasal 278 KUH Pidana. Itu pula sebabnya ketika
KHI merumuskan siapa-siapa yang menjadi ahli waris dan seberapa kadar bagiannya, tidak termasuk
di dalamnya, anak angkat. Sebagai konsekuensi, bahwa pengangkatan anak tidak
memutus hubungan biologis (nasab) dengan orang tua asal, maka hubungan saling
mewarisi dengan orang tua asal dan keluarganya juga tidak putus. Dengan kalimat
lain, anak angkat tetap mendapat hak waris dari kedua orang tua asal dan
keluarganya, sama seperti ketika dia belum berstatus sebagai anak angkat orang
lain. Dan, hal demikian berlaku sebaliknya.
Lantas, kaitannya dengan harta
peninggalan orang tua angkatnya, bagaimana memberikan keadilan kepada anak
angkat ini? Akankah anak yang telah dipelihara bertahun-tahun dengan kasih
sayang dan telah memelihara dan merawat
orang tua angkatnya menjelang kematiannya, tidak mendapat bagian harta yang
ditinggalkannya?
Ternyata ketika KHI
membicarakan lembaga hukum “wasiat”
telah memberikan jalan keluar. Pada Pasal 209 diatur mengenai hubungan
hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Hubungan dimaksud ialah
hubungan saling menerima harta peninggalan melalui lembaga wasiat, dalam hal
ini “wasiat wajibah”. Secara sederhana wasiat wajibah dapat diartikan “wasiat yang secara hukum dinggap (harus) ada
sekalipun orang yang akan meninggal tidak pernah berwasiat”. Konsekuensinya,
anak angkat dapat memperoleh harta peninggalan orang tua angkatnya melalui
lembaga hukum wasiat, bukan jalan waris. Akan tetapi, anak angkat sebenarnya
orang yang beruntung. Terkait dengan harta peninggalan, dia akan mendapat
bagian harta dari dua jalur. Pertama, dari orang tua asal dan keluarganya
melalui “jalur waris” dan kedua, mendapat harta peninggalan orang tua angkatnya
melalui jalur “wasiat wajibah”.
Hal ini perlu
ditegaskan agar jangan sampai terjadi kekeliruan. Kekeliruan dimaksud ialah
kekeliruan memilih pintu masuk ketika
harus berperkara ke Pengadilan Agama. Oleh karena anak angkat bukan ahli waris
orang tua angkatnya, maka seorang anak angkat jelas tidak bisa mengajukan gugatan
waris kepada almarhum orang tua angkatnya dengan nomenklatur “perkara
kewarisan”. Menurut hukum acara, keberadaan anak angkat kaitannya dengan harta
warisan orang tua angkatnya bukanlah orang yang mempunyai kedudukan hukum (legal
standing) dalam perkara kewarisan. Akan tetapi, sesui dengan ketentuan
Pasal 209, kalau dia ingin memiliki harta peninggalan orang tua angkatnya dan
bermaksud memperkarakannya, dapat mengajukan gugatan wasiat (wajibah). Bukankah
sesuai asas personalitas keislaman mengadili perkara wasiat yang terjadi antara
orang Islam juga menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama? Dengan demikian,
anak angkat tidak (boleh) menjadi ahli waris orang tua angkatnya tetapi bisa
mendapat harta yang ditinggalkannya. Bukan sebagai ahli waris tetapi sebagai
penerima wasiat (wajibah), yang menurut Pasal 209 ayat (2) KHI, kadar bagian
yang dapat diperoleh paling banyak sepertiga bagian. Wallahu A’lam.
BIO DATA PENULIS
Penulis, saat ini (2020) adalah Hakim pada Pengadilan Agama Lumajang Kelas 1 A. Sebelum bertugas di Bumi Minak Koncar mulai tahun 2016, penulis selama 4 tahun bertugas di Pengadilan Agama Banyuwangi Kelas 1 A. Alumni Strata-1 UIN Sunan Kalijaga Yogya dan Strata-2 UMI Makassar ini mengawali tugasnya sebagai Hakim di Pengadilan Agama Atambua NTT dan kemudian berturut-turut menjadi Wakil Ketua dan Ketua Pengadilan Agama Waingapu Kelas II. Dia mengawali karis sebagai hakim di Pulau Jawa pada tahun 2007 sampai tahun 2011 ketika dimutasi ke di PA Jember.
Semoga bermanfaat
BalasHapus