Drs.H. ASMU'I SYARKOWI, M.H.
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam
memberi ketentuan, bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah yang menurut syari’at Islam
sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bertujuan
mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah, dan rahmah;
Adanya unsur ikatan batin, di samping ikatan lahir, merupakan unsur yang
paling esensi. Unsur itulah yang melandasi unsur-unsur lain. Apabila, unsur ikatan batin ini sudah tidak ada lagi,
maka pada hakikatnya perkawinan itu sebenarnya sudah tidak ada lagi. Sebab,
unsur lain seperti terbentuknya rumah
tangga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin akan
terwujud, jika ikatan batin antara suami istri tidak ada. Ketidakbolehan adanya
paksaan bagi masing-masing yang akan melaksanakan pernikahan adalah juga
membuktikan pentingnya keberadaan unsur ikatan batin ini.
Dalam ranagka mencapai tujuan perkawinan, undang-undang telah menetapkan
sejumlah asas-asas atau prinsip-prinsip kerkawinan. Salah satu asas penting
dalam undang-undang adalah prinsip untuk “mempersukar terjadinya perceraian”.
Mahkamah Agung lewat berbagai ‘kebijakannya’ telah ‘menghimbau’ yang pada
pokoknya agar para hakim ‘tidak mudah mengabulkan perceraian’, misalnya melalui
Peraturan Mahkamah Agug Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi. Dalam perma ini
pada pokoknya setiap perkara yang masuk, termasuk perkara perceraian, selain
perkara tertentu, wajib menempuh mediasi. Tujuannya, selain dalam rangka
memaksimalkan implementasi Pasal 130 HIR, adalah untuk agar perkara yang masuk
ke pengadilan dapat selesai tanpa harus berakhir dengan putusan hakim. Konteksnya
dengan perceraian, agar meningkatnya kasus perceraian dari sisi kuantitas dapat
ditekan sedemikian rupa. Terakhir Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat
Edaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno
Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi
Pengadilan. Salah satu isi edaran tersebut yang menyangkut bidang hukum
keluarga adalah, bahwa perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah
pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah
terbukti.
Sebagaimana kita ketahui, pada saat yang sama peraturan
perundang-undangan telah menetapkan sejumlah alasan yang dapat dijadikan alasan
mengajukan perceraian. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975,
sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, telah menyebut 6 item alasan perceraian yaitu : a. salah satu
pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang
sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena
karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman
penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit
dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri; f. Antara suami dan istri terus menerus
terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga. Kaitannya dengan edaran di atas, tampaknya hanya alasan
pada huruf (f) saja yang singkron dengan ‘kebijaksanaan’ Mahkamah Agung.
Tampaknya, Mahkamah Agung berusaha menafikan semua alasan perceraian yang
ada dalam undang-undang selain alasan perceraian yang tercantum dalam huruf (f)
PP Nomor 9 Tahun 1975.
Mengingat begitu selektif dan ketatnya alasan perceraian, lantas mengapa
dari tahun ke tahun angka perceraian cenderung meningkat? Dari data statistik
perkara yang dikatahui dari laporan tahunan, hampir di semua Pengadilan Agama kasus
perceraian mengalami kanaikan dari sisi kuantitas. Mengapa?
Keabadian ikatan perkawinan dalam bentuk keutuhan rumah tangga pasti
menjadi dambaan setiap pasangan yang menikah. Akan tetapi, dalam perkembangan
berikutnya karena alasan tertentu memang bisa saja ikatan batin tersebut
terlepas, sehingga apabila hal ini terjadi pada hakikatnya ikatan perkawinan
itu juga sudah tidak ada lagi. Memang belum ada penelitihan yang bersifat
nasional, yang secara spisifik, menemukan faktor-faktor dominan penyebab
terjadinya perceraian. Akan tetapi, dari pengalaman empiris para hakim yang
diketahui selama persidangan tampak pasangan itu tidak bahagia dengan
pasangannya. Karena tidak bahagia itulah akhirnya mencari sejumlah alasan.
Bahkan, alasan itu terkesan dicari-cari. Pertanyaan berikutnya mengapa tidak
bahagia?
Beberapa ilustrasi dapat digunakan membantu menjawab. Ada pasangan yang
hidup dengan penghasilan pas-pasan. Suami hanya bekerja sebagai buruh istri
hanya ibu rumah tangga. Mereka bisa
memelihara keharmonisan rumah tangga. Rumah tanggapun langgeng. Ada pasangan
yang hidup sangat berkecukupan, suami istri berpenghasilan lebih dari cukup
tetapi rumah tangganya harus kandas di tengah jalan. Dari dua ilustrasi ini
dapat disimpulkan, bahwa kebahagiaan memang bukan soal materi. Kekurangan materi
dan hidup kekurangan tampaknya bukan
menjadi alasan tidak bahagia, apalagi harus bercerai. Sebaliknya,
kelebihan materi juga bukan jaminan sebuah perkawinan dapat bertahan.
Persoalannya hanyalah menyangkut urusan hati. Karena menyangkut urusan hati
inilah, saat ini dalam kasus perceraian Pengadilan tidak lagi melihat siapa yang
salah atau pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Akan tetapi, adanya
fakta mengenai telah benar pecahnya rumah tangga yang menjadi pertimbangan
hakim. Berbeda dengan jaman dulu pemicu terjadinya perselisihan dan
pertengkaran tidak boleh sebagai pengaju gugatan. Misalnya, seorang istri yang
selingkuh tidak boleh sebagai pengaju perceraian.
Terlepas dari persoalan di atas, yang kita khawatirkan adalah apabila
maraknya perceraian ini disebabkan dari adanya gejala gaya hidup hedonis.
Hedonis adalah sebuah gaya hidup yang timbul akibat munculnya aliran hedonisme.
Pengertian hedonisme semula berasal dari Bahasa Yunani “hedone” yang
berarti “kepuasan”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, “Hedonism”
diartikan sebagai “the belief that pleasure should be the main aim in life.“
Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme
ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi
manusia?" Hal ini diawali dengan
Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir
manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa
yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos
memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila
tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan
tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain
bernama Epikuros
(341-270 SM). Menurutnya,
tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun
demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena
tidak hanya mencakup kesenangan badani saja—seperti Kaum Aristippos--,
melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, hedonis tampaknya muncul dengan modus
gaya hidup asal bahagia. Yang menjadi
pemicu lebih banyak karena faktor globalisasi informasi. Globalisasi informasi
telah menempatkan dunia dan isinya seperti sebuah bola kecil yang dapat dilihat
dari semua sisi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan globalisasi informasi,
kita dapat melihat ‘keindahan’ isi dunia ( bisa lewat dunia maya atau dunia
nyata). Keindahan yang ditawarkan sering membuat kita untuk memimpikan dan
kemudian berusaha meraihnya tanpa adanya
kemauan mengukur diri. Kemudian tampaknya, banyak manusia belum siap menyikapi hal itu,
termasuk para suami dan istri. Dalam konteks perceraian, pasangan yang telah
‘terusik’ dengan gaya hidup hedonis ini akhirnya terkesan mencari-cari alasan untuk bercerai.
Kecukupan materi, paras ayu dan ganteng bukan lagi jaminan bagi kelanggengan
rumah tangga. Istri minta cerai karena masalah nafkah tetapi bukan karena
kurang makan dan minum, serta tempat tinggal atau suami tidak punya
penghasilan. Orang tidak senang dengan pasangannya, dan kemudian bertengkar
terus, bukan karena pasangannya tidak cantik atau tidak tampan. Suami sering
marah dan berbuat kekerasan kepada istrinya bukan karena istrinya tidak patuh.
Pendek kata, semua alasan perceraian terkesan dicari-cari karena obsesi
kebahagiaan yang berlebihan yang dirasa tidak didapatkan dari pasangan. Mereka
tidak sadar, bahwa apa yang ada pada diri pasangannya mungkin pemberian terbaik
dari Allah SWT yang belum tentu dapat diperolah dari pasangan baru, apabila
mereka menikah lagi. Kiranya segmen inilah yang sering luput dari pengamatan
kita dan perlu menjadi bahan kajian para pembuat kebijakan dan tokoh agama
untuk menekan angka perceraian. Oleh karena itu, apapun pemikiran dan upaya ke
arah itu tanpa mencermati hal terakhir ini, mungkin akan sia-sia. Ibarat
memberikan obat kepada pasien sebelum mendiagnosisnya. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar