Kamis, 29 September 2016

Di Balik MTQ dan PESPARAWI

Sudah lama pembangunan nasional kita di bidang agama mencanangkan ‘doktrin’ Tri Kerukunan Baragama. Manfaatnyapun tampaknya telah dirasakan semua pihak selama lebih kurang tiga dasa warsa. Lebih tegas mungkin dapat kita katakan, bahwa kapan lagi kalau masa itu bukan pada masa Orde Baru (OB). Dengan tanpa menutupi ‘dosa-dosa’ pemerintahan OB, adanya  kenyataan manis, seperti  tidak pernah munculnya konflik horisontal bernuansa agama kiranya perlu diakui oleh siapapun. Satu-satunya persoalan kehidupan keagamaan yang paling menonjol waktu itu paling hanya soal hubungan agama dengan pemerintah. Tapi persoalan inipun juga telah mendapat ‘penyelesian secara tuntas’ dari pemerintah yang berkuasa waktu itu.
            Akan tetapi, kini kurukunan umat beragama  ini tampaknya sedang mengalami ujian yang berat. Dimulai dari kasus Ambon kemudian Poso yang menguras banyak energi tidak saja pemerintah tetapi juga kita semua. Konflik internal umat baragama, seperti pelarangan ajaran Ahmadiyah juga sudah berubah menjadi konflik terbuka. Semuanya terjadi sedemikian  anarkis sekaligus menyeramkan.
Terlepas dari apapun motivasi dan penyebab yang menjadi pemicunya kejadian-kejadian konflik antar umat beragama dan interen umat beragama tersebut sudah cukup membuat kita untuk berkesimpulan, bahwa capaian pembangunan di bidang agama tersebut ternyata rapuh. Kekaguman dunia luar terhadap situasi kerukunan kehidupan beragama kita kini seolah sirna begitu saja.
Menghadapi fenomena tersebut opini anak-anak bangsapun bermacam-macam. Secara ekstrim opini tersebut dapat kita kelompokkan menjadi 2 macam.
Pertama, yang pro OB dan yang kontra OB. Yang pro OB tentunya berpandangan bahwa konflik itu terjadi memang akibat hilangnya sendi-sendi kehidupan berbangsa ala OB sebagai akibat euphoria reformasi yang sedang bergulir. Salah satunya ditandai dengan hilangnya penghormatan terhadap institusi-institusi kenegaraan yang selama ini dibangun. Sebagai contoh, kini di negeri ini siapa pemimpin bangsa yang ‘ditakuti’, termasuk terhadap presiden sekalipun. Akibatnya, antara lain, kini banyak  orang berbicara dan berbuat seenaknya. Hal itu terjadi begitu saja seolah tanpa ada yang merasa bertanggung jawab, baik secara hukum maupun moral. Ironisnya, semua itu dilakukan dengan dalih kebebasan dan demokrasi.
Sebaliknya bagi yang kontra OB tentu tidak berpandangan demikian. Melainkan,  hal itu itu terjadi justru akibat sistem berbangsa dan bernegara yang dibangun pemerintah OB. Dengan cara yang represif dan otoriter pemerintah OB memang berhasil menekan bibit konflik tersebut,. Akan tetapi, ibarat bom waktu, ketika  rezim jatuh justru meledak dengan dahsyatnya di mana-mana, termasuk ledakan konflik horisontal bernuansa agama tersebut.
Terlepas dari adanya  pro dan kontra tersebut, tampaknya selama ini ada sesuatu yang kita lupakan. Apa itu ?.  Sesuatu itu tidak lain adalah bahwa selama ini kita kurang atau mungkin tidak pernah sama sekali, meluangkan waktu  untuk mendialogkan ajaran agama kita masing-masing. Dialog yang dimaksud tentu bukan dialog untuk mencari pihak siapa yang paling salah dan paling benar atau yang setengah salah dan setengah benar. Tetapi, sekedar mencari sesuatu yang positif. Untuk hal itu, cara pandang terhadap eksistensi agama dengan kacamata mayoritas dan minoritas, sebagaimana yang selama ini terjadi, harus kita buang jauh-jauh.
Setidaknya ada dua hal yang perlu kita capai dalam dialog ini, yaitu : Pertama, pengenalan jati diri masing-masing.
Sebagai ilustrasi, kalau saya ditanya siapa Tuhanmu. Sebagai seorang muslim tentu saya akan mengatakan bahwa Tuhanku adalah Allah. La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah). Dia  tempat meminta. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tidak satupun makhluk yang dapat dipersamakan dengan-Nya. Keyakinan ini akan saya pertahankan kapanpun dan di manapun. Sehingga, untuk sebuah keyakinan keimanan itu saya akan fanatik. Akan tetapi, saya harus sadar bahwa di kanan kiri saya terdapat kenyataan ada yang berkeyakinan lain. Kristen misalnya, Keyakinan mereka justru sangat bertolak belakang dengan saya. Dan,  keyakinan mereka itu tentu juga mereka pandang sebagai paling benar. Bahkan, untuk itu mereka juga perlu fanatik.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah saya akan menghadapi kenyataan itu. Akankah saya memaksakan keyakinan saya kepada mereka ?. Jelas tidak mungkin. Agama saya sendiri tidak pernah boleh memaksakan keyakinan kepada orang Kristen atau kepada pemeluk agama-gama lain. La ikraha fid din ( Tidak ada paksaan dalam beragama ).  Ini salah satu prinsip utama dalam berkeyakainan menurut Islam sebagaimana diajarkan Al Qur’an. Tegas bukan ? Dan tentu masih banyak prinsip serupa dalam al Qur’an. Di samping, orang Kristenpun juga tidak mungkin bisa dipaksa untuk berkayakinan  seperti agama saya.
            Perbedaan  itulah yang akhirnya menimbulkan apa yang disebut jati diri sebuah agama. Jati diri Islam di satu pihak dan jati diri Kristen di pihak lain. Kalau jati diri ini tidak ada tentu  mengapa harus ada Islam dan Kristen. Dan, untuk sebuah jati diri ini siapapun, tanpa terkecuali, harus menghormatinya. Selanjutnya, masing-masing agama tersebut sudah barang tentu punya sejumlah daftar  untuk sebuah jati diri dan  menjadi sesuatu yang pamali untuk direndahkan apalagi dihina oleh siapapun. Untuk hal itu mereka bisa marah dan bahkan rela mati demi membela sejumlah daftar bagi jati diri tersebut.
Dari ilustrasi tersebut kiranya dapat ditemukan kalimat kunci yaitu, bahwa mengetahui sejumlah daftar pamali masing-masing agama bagi masing-masing  pemeluk agama sangat penting. Pengetahuan itu tidak untuk diperdebatkan lebih lanjut, tetapi sekedar diketahui dan berikut untuk dihormati. Sebagai contoh, orang Islam tidak boleh marah jika ada Bapak Pastor atau Pendeta  berbicara tentang Trinitas dan saudara saya  umat Kristiani juga tidak perlu tersinggung jika ada Ustadz berbicara tentang Ke Esaan Allah sepanjang hal itu dilakukan untuk kepentingan wilayah ‘kapling’ masing-masing.
Target inilah yang tampaknya belum dicapai atau bahkan upaya mencapai target itu selama ini mungkin belum pernah dilakukan oleh para tokoh agama. Atau, sudah dilakukan tetapi salah dalam membuat paradigma dialog untuk sebuah keyakinan agama.
Umat Islam banyak yang buta terhadap jati diri ajaran agama Kristen dan mungkin sebaliknya. Jika selama ini kita mengenal  pepatah : Tak kenal maka tak sayang, maka untuk konteks ini pepatah tersebut dapat kita ubah menjadi : Tak kenal maka tak hormat. Padahal, mengetahui tidak berarti mengimani. Orang Islam tidak perlu takut kafir hanya karena mengetahui isi Al Kitab dan orang Kristenpun tidak perlu takut kuwalat karena megetahui isi Al Qur’an.
Kedua, mencari titik temu.
            Agama merupakan sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya. (Vide : Kamus Besar Bahasa Indonesia , halaman 12 ). Ketika ajaran agama berhubungan dengan persoalan keimanan tampaknaya tidak mungkin diganggu gugat lagi. Akan tetapi, ketika agama bersentuhan dengan tata pergaulan hidup, baik antar sesama manusia maupun dengan lingkungannya, mau tidak mau harus membentuk diri menjadi kemasan yang bisa terlihat indah oleh siapapun. Kemasan menarik inilah yang saya maksudkan sebagai prinsip-prinsip universal setiap agama yang hadir di muka bumi ini. Prinsip-prinsip ini pulalah yang nantinya akan menjadi sebuah titik temu agama-agama tersebut yang mestinya secara ideal tidak saja dirasakan oleh pemeluk suatu agama tetapi juga oleh pemeluk agama lain. Sebagai contoh, ajaran berbuat baik, saling menghormati, larangan berbuat kerusakan, dan sejumlah ajaran moral luhur lain, tidak hanya menjadi monopoli Islam tetapi tentunya juga menjadi ajaran Kristen sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci masing-masing.  Implementasinya dalam kehidupan sehari-hari, antara lain, orang Islam bisa merasa nyaman berada di lingkungan Kristen dan orang Kristenpun juga bisa hidup aman dan damai di komunitas Islam.

MTQ dan Pesparawi dalam harapan
Kini kita sedang menyongsong perhelatan bernuansa relegius dari Umat Islam dan Ummat Kristiani. Ummat Islam dengan MTQ-nya dan Umat Kristiani dengan Pesparawi-nya. Harus kita yakini, bahwa even tersebut secara kontekstual sebenarnya merupakan perintah Tuhan sebagai upaya menebarkan pesan-pesan ajaran suci sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan Al Kitab kepada ummat manusia.
 Di Kabupaten Sumba Timur kegiatan MTQ yang berlangsung pada tanggal 20 Mei sampai dengan 23 Mei 2006,  tidak hanya melibatkan Ummat Islam tetapi juga melibatkan ummat Kristiani. Tentunya, kita juga berharap kegiatan Pesparawi ini juga akan melibatkan ummat Islam.
            Secara kasat mata dua acara tersebut memang perlombaan. Konsekuensi sebuah perlomabaan tentu akan menimbulkan pihak juara dan tidak juara. Akan tetapi, kiranya kita juga sepakat, bahwa momen tersebut bisa lebih dari sekedar lomba. Lebih dari itu, merupakan wahana pencerahan umat yang diharapkan dapat dijadikan tolok ukur untuk mengukur sejauh mana pemahaman umat terhadap ajaran agama yang diyakini. Pemahaman yang dimaksud tentu bukan sekedar pemahaman secara verbalistis yang sama sekali tidak terkait dengan persoalan aktual sebagaimana yang selama ini menimpa sebagian besar para pemeluk agama.
            Mungkin harapan seperti itu terlalu klasik. Akan tetapi, melihat berbagai gejala kihudupan di masyarakat--seperti ada orang Islam tidak mau ke Masjid dan ada juga orang Kristen yang kurang bersemangat ke gereja serta peristiwa lain, misalnya isu sara dengan modus konflik antar ummat beragama atau antar interen umat beragama--tampaknya harapan tersebut masih akan tetap aktual. Setidaknya, even MTQ dan Pesparawi tersebut dapat dijadikan sebagai sarana refresing dan ajang evaluasi secara periodik terhadap ‘kesepakatan’ kita untuk hidup secara berdampingan dalam perbedaan atau hidup secara berbeda tetapi berdampingan. Bukan karena sekedar basa-basi. Akan tetapi, memang berangkat dari sebuah ketulusan yang secara sadar kita yakini bahwa semuanya bersumber dari ajaran suci dari agama yang  kita yakini masing-masing.  Lantunan ayat suci Al Qur’an yang dibaca sang Qari’/ Qari’ah dan ritme indah kidung-kidung rohani yang dikumandangkan oleh para peserta Pesparawi harus dianggap sebagai representasi upaya membumikan ajaran Kitab Suci kepada ummat manusia. Sekali lagi, bukan sebatas lomba, apalagi hura-hura belaka.
Akhirnya, dengan menyadari keluhuran misi yang diemban tersebut, dari sisi praktis, perhelatan itu juga diharapkan akan menimbulkan persatuan dan kesatuan yang karenanya misi dari tri kerukunan umat beragama tersebut dapat lebih mantap. Bukan sebaliknya, malah sebagai ajang penyebab saling bermusuhan seperti, misalnya  hanya karena MTQ atau Pesparawi menjadi pertikaian peserta yang satu dengan peserta yang lain atau antar peserta dengan dewan juri. Hanya demi sebuah piala atau hadiah yang mungkin tidak seberapa, misalnya.
Persoalan-persoalan aktual yang dialami oleh setiap umat beragama sebagai dampak kehidupan yang semakin mengglobal harus menjadi visi bersama, khusunya para perserta MTQ dan Pesparawi serta orang yang terlibat di dalamnya. Semua pihak perlu menyadari bahwa ketika agama hanya sebatas menjadi ritual yang bersifat ritinitas belaka tanpa mampu menyentuh persoalan aktual yang semakin beragam ini cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh umatnya. Kita tentunya tidak menginginkan even  MTQ dan Pesparawi terjebak kedalam kegiatan semacam itu. Semoga.

                                                                                                  Waingapu, Mei 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar