Sudah lama pembangunan nasional kita di bidang agama
mencanangkan ‘doktrin’ Tri Kerukunan Baragama. Manfaatnyapun tampaknya telah
dirasakan semua pihak selama lebih kurang tiga dasa warsa. Lebih tegas mungkin
dapat kita katakan, bahwa kapan lagi kalau masa itu bukan pada masa Orde Baru
(OB). Dengan tanpa menutupi ‘dosa-dosa’ pemerintahan OB, adanya kenyataan manis, seperti tidak pernah munculnya konflik horisontal
bernuansa agama kiranya perlu diakui oleh siapapun. Satu-satunya persoalan
kehidupan keagamaan yang paling menonjol waktu itu paling hanya soal hubungan
agama dengan pemerintah. Tapi persoalan inipun juga telah mendapat ‘penyelesian
secara tuntas’ dari pemerintah yang berkuasa waktu itu.
Akan tetapi,
kini kurukunan umat beragama ini
tampaknya sedang mengalami ujian yang berat. Dimulai dari kasus Ambon kemudian
Poso yang menguras banyak energi tidak saja pemerintah tetapi juga kita semua.
Konflik internal umat baragama, seperti pelarangan ajaran Ahmadiyah juga sudah
berubah menjadi konflik terbuka. Semuanya terjadi sedemikian anarkis sekaligus menyeramkan.
Terlepas dari apapun motivasi dan penyebab yang menjadi
pemicunya kejadian-kejadian konflik antar umat beragama dan interen umat
beragama tersebut sudah cukup membuat kita untuk berkesimpulan, bahwa capaian
pembangunan di bidang agama tersebut ternyata rapuh. Kekaguman dunia luar
terhadap situasi kerukunan kehidupan beragama kita kini seolah sirna begitu
saja.
Menghadapi fenomena tersebut opini
anak-anak bangsapun bermacam-macam. Secara ekstrim opini tersebut dapat kita
kelompokkan menjadi 2 macam.
Pertama, yang pro
OB dan yang kontra OB. Yang pro OB tentunya berpandangan bahwa konflik itu
terjadi memang akibat hilangnya sendi-sendi kehidupan berbangsa ala OB sebagai
akibat euphoria reformasi yang sedang
bergulir. Salah satunya ditandai dengan hilangnya penghormatan terhadap
institusi-institusi kenegaraan yang selama ini dibangun. Sebagai contoh, kini
di negeri ini siapa pemimpin bangsa yang ‘ditakuti’, termasuk terhadap presiden
sekalipun. Akibatnya, antara lain, kini banyak
orang berbicara dan berbuat seenaknya. Hal itu terjadi begitu saja
seolah tanpa ada yang merasa bertanggung jawab, baik secara hukum maupun moral.
Ironisnya, semua itu dilakukan dengan dalih kebebasan dan demokrasi.
Sebaliknya bagi yang kontra OB tentu tidak berpandangan
demikian. Melainkan, hal itu itu terjadi
justru akibat sistem berbangsa dan bernegara yang dibangun pemerintah OB.
Dengan cara yang represif dan otoriter pemerintah OB memang berhasil menekan
bibit konflik tersebut,. Akan tetapi, ibarat bom waktu, ketika rezim jatuh justru meledak dengan dahsyatnya
di mana-mana, termasuk ledakan konflik horisontal bernuansa agama tersebut.
Terlepas dari adanya pro dan kontra tersebut, tampaknya selama ini
ada sesuatu yang kita lupakan. Apa itu ?.
Sesuatu itu tidak lain adalah bahwa selama ini kita kurang atau mungkin
tidak pernah sama sekali, meluangkan waktu
untuk mendialogkan ajaran agama kita masing-masing. Dialog yang dimaksud
tentu bukan dialog untuk mencari pihak siapa yang paling salah dan paling benar
atau yang setengah salah dan setengah benar. Tetapi, sekedar mencari sesuatu
yang positif. Untuk hal itu, cara pandang terhadap eksistensi agama dengan
kacamata mayoritas dan minoritas, sebagaimana yang selama ini terjadi, harus
kita buang jauh-jauh.
Setidaknya ada dua hal yang perlu kita
capai dalam dialog ini, yaitu : Pertama,
pengenalan jati diri masing-masing.
Sebagai ilustrasi, kalau saya ditanya
siapa Tuhanmu. Sebagai seorang muslim tentu saya akan mengatakan bahwa Tuhanku
adalah Allah. La ilaha illallah (Tidak ada Tuhan selain Allah).
Dia tempat meminta. Dia tidak beranak
dan tidak diperanakkan. Tidak satupun makhluk yang dapat dipersamakan
dengan-Nya. Keyakinan ini akan saya pertahankan kapanpun dan di manapun.
Sehingga, untuk sebuah keyakinan keimanan itu saya akan fanatik. Akan tetapi,
saya harus sadar bahwa di kanan kiri saya terdapat kenyataan ada yang berkeyakinan
lain. Kristen misalnya, Keyakinan mereka justru sangat bertolak belakang dengan
saya. Dan, keyakinan mereka itu tentu
juga mereka pandang sebagai paling benar. Bahkan, untuk itu mereka juga perlu
fanatik.
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimanakah saya akan
menghadapi kenyataan itu. Akankah saya memaksakan keyakinan saya kepada mereka
?. Jelas tidak mungkin. Agama saya sendiri tidak pernah boleh memaksakan
keyakinan kepada orang Kristen atau kepada pemeluk agama-gama lain. La
ikraha fid din ( Tidak ada paksaan dalam beragama ). Ini salah satu prinsip utama dalam
berkeyakainan menurut Islam sebagaimana diajarkan Al Qur’an. Tegas bukan ? Dan tentu masih banyak prinsip serupa dalam
al Qur’an. Di samping, orang Kristenpun juga tidak mungkin bisa
dipaksa untuk berkayakinan seperti agama
saya.
Perbedaan itulah yang akhirnya menimbulkan apa yang
disebut jati diri sebuah agama. Jati diri Islam di satu pihak dan jati diri
Kristen di pihak lain. Kalau jati diri ini tidak ada tentu mengapa harus ada Islam dan Kristen. Dan,
untuk sebuah jati diri ini siapapun, tanpa terkecuali, harus menghormatinya.
Selanjutnya, masing-masing agama tersebut sudah barang tentu punya sejumlah daftar untuk sebuah jati diri dan menjadi sesuatu yang pamali untuk
direndahkan apalagi dihina oleh siapapun. Untuk hal itu mereka bisa marah dan
bahkan rela mati demi membela sejumlah daftar bagi jati diri tersebut.
Dari ilustrasi tersebut kiranya dapat
ditemukan kalimat kunci yaitu, bahwa mengetahui sejumlah daftar pamali masing-masing
agama bagi masing-masing pemeluk agama
sangat penting. Pengetahuan itu tidak untuk diperdebatkan lebih lanjut, tetapi
sekedar diketahui dan berikut untuk dihormati. Sebagai contoh, orang Islam
tidak boleh marah jika ada Bapak Pastor atau Pendeta berbicara tentang Trinitas dan saudara
saya umat Kristiani juga tidak perlu
tersinggung jika ada Ustadz berbicara tentang Ke Esaan Allah sepanjang hal itu
dilakukan untuk kepentingan wilayah ‘kapling’ masing-masing.
Target inilah yang tampaknya belum dicapai atau bahkan upaya
mencapai target itu selama ini mungkin belum pernah dilakukan oleh para tokoh
agama. Atau, sudah dilakukan tetapi salah dalam membuat paradigma dialog untuk
sebuah keyakinan agama.
Umat Islam banyak yang buta terhadap jati diri ajaran agama
Kristen dan mungkin sebaliknya. Jika selama ini kita mengenal pepatah : Tak kenal maka tak sayang,
maka untuk konteks ini pepatah tersebut dapat kita ubah menjadi : Tak
kenal maka tak hormat. Padahal, mengetahui tidak berarti mengimani.
Orang Islam tidak perlu takut kafir hanya karena mengetahui isi Al Kitab dan
orang Kristenpun tidak perlu takut kuwalat karena megetahui isi Al
Qur’an.
Kedua, mencari titik temu.
Agama
merupakan sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang
Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya. (Vide :
Kamus Besar Bahasa Indonesia , halaman 12 ). Ketika ajaran agama
berhubungan dengan persoalan keimanan tampaknaya tidak mungkin diganggu gugat
lagi. Akan tetapi, ketika agama bersentuhan dengan tata pergaulan hidup, baik
antar sesama manusia maupun dengan lingkungannya, mau tidak mau harus membentuk
diri menjadi kemasan yang bisa terlihat indah oleh siapapun. Kemasan menarik
inilah yang saya maksudkan sebagai prinsip-prinsip universal setiap agama yang
hadir di muka bumi ini. Prinsip-prinsip ini pulalah yang nantinya akan menjadi
sebuah titik temu agama-agama tersebut yang mestinya secara ideal tidak saja
dirasakan oleh pemeluk suatu agama tetapi juga oleh pemeluk agama lain. Sebagai
contoh, ajaran berbuat baik, saling menghormati, larangan berbuat kerusakan,
dan sejumlah ajaran moral luhur lain, tidak hanya menjadi monopoli Islam tetapi
tentunya juga menjadi ajaran Kristen sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci
masing-masing. Implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari, antara lain, orang Islam bisa merasa nyaman berada di
lingkungan Kristen dan orang Kristenpun juga bisa hidup aman dan damai di
komunitas Islam.
MTQ dan Pesparawi dalam harapan
Kini kita sedang menyongsong perhelatan
bernuansa relegius dari Umat Islam dan Ummat Kristiani. Ummat Islam dengan
MTQ-nya dan Umat Kristiani dengan Pesparawi-nya. Harus kita yakini, bahwa even
tersebut secara kontekstual sebenarnya merupakan perintah Tuhan sebagai upaya
menebarkan pesan-pesan ajaran suci sebagaimana termaktub dalam Al Qur’an dan Al
Kitab kepada ummat manusia.
Di
Kabupaten Sumba Timur kegiatan MTQ yang berlangsung pada tanggal 20 Mei sampai
dengan 23 Mei 2006, tidak hanya
melibatkan Ummat Islam tetapi juga melibatkan ummat Kristiani. Tentunya, kita
juga berharap kegiatan Pesparawi ini juga akan melibatkan ummat Islam.
Secara kasat
mata dua acara tersebut memang perlombaan. Konsekuensi sebuah perlomabaan tentu
akan menimbulkan pihak juara dan tidak juara. Akan tetapi, kiranya kita juga
sepakat, bahwa momen tersebut bisa lebih dari sekedar lomba. Lebih dari itu,
merupakan wahana pencerahan umat yang diharapkan dapat dijadikan tolok ukur
untuk mengukur sejauh mana pemahaman umat terhadap ajaran agama yang diyakini.
Pemahaman yang dimaksud tentu bukan sekedar pemahaman secara verbalistis yang
sama sekali tidak terkait dengan persoalan aktual sebagaimana yang selama ini
menimpa sebagian besar para pemeluk agama.
Mungkin
harapan seperti itu terlalu klasik. Akan tetapi, melihat berbagai gejala
kihudupan di masyarakat--seperti ada orang Islam tidak mau ke Masjid dan ada
juga orang Kristen yang kurang bersemangat ke gereja serta peristiwa lain,
misalnya isu sara dengan modus konflik antar ummat beragama atau antar interen
umat beragama--tampaknya harapan tersebut masih akan tetap aktual. Setidaknya,
even MTQ dan Pesparawi tersebut dapat dijadikan sebagai sarana refresing dan
ajang evaluasi secara periodik terhadap ‘kesepakatan’ kita untuk hidup secara berdampingan dalam perbedaan atau hidup secara berbeda tetapi berdampingan.
Bukan karena sekedar basa-basi. Akan tetapi, memang berangkat dari sebuah
ketulusan yang secara sadar kita yakini bahwa semuanya bersumber dari ajaran
suci dari agama yang kita yakini masing-masing. Lantunan ayat suci Al Qur’an yang dibaca sang
Qari’/ Qari’ah dan ritme indah kidung-kidung rohani yang dikumandangkan oleh
para peserta Pesparawi harus dianggap sebagai representasi upaya membumikan
ajaran Kitab Suci kepada ummat manusia. Sekali lagi, bukan sebatas lomba,
apalagi hura-hura belaka.
Akhirnya, dengan menyadari keluhuran misi
yang diemban tersebut, dari sisi praktis, perhelatan itu juga diharapkan akan
menimbulkan persatuan dan kesatuan yang karenanya misi dari tri kerukunan umat
beragama tersebut dapat lebih mantap. Bukan sebaliknya, malah sebagai ajang
penyebab saling bermusuhan seperti, misalnya
hanya karena MTQ atau Pesparawi menjadi pertikaian peserta yang satu
dengan peserta yang lain atau antar peserta dengan dewan juri. Hanya demi
sebuah piala atau hadiah yang mungkin tidak seberapa, misalnya.
Persoalan-persoalan aktual yang dialami oleh setiap umat
beragama sebagai dampak kehidupan yang semakin mengglobal harus menjadi visi
bersama, khusunya para perserta MTQ dan Pesparawi serta orang yang terlibat di
dalamnya. Semua pihak perlu menyadari bahwa ketika agama hanya sebatas menjadi ritual
yang bersifat ritinitas belaka tanpa mampu menyentuh persoalan aktual yang
semakin beragam ini cepat atau lambat akan ditinggalkan oleh umatnya. Kita
tentunya tidak menginginkan even MTQ dan
Pesparawi terjebak kedalam kegiatan semacam itu. Semoga.
Waingapu, Mei 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar