Kamis, 25 Agustus 2016

ZAKAT DALAM PIKIRAN AWAM


Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
Pukul 06.00 pagi hari itu sudah berdesak-desakan ribuan orang, terutama kaum perempuan, termasuk perempuan renta. Tujuannya satu, ingin mendapat ‘berkah’ pundi-pundi zakat  dari sang dermawan. Sang dermawan yang lebih dikenal dengan Haji Syaikon  tampak kualahan ketika pada saatnya masyarakat datang menyerbu kediamannya. ‘Aparat’ keprcayaannyapun kemudian  juga tidak mampu memberikan pengamanan ketika gejala-gejala insiden mulai terjadi. Semakin lama semakin tidak terkendali hingga akhirnya  tragedipun terjadi dan kemudian diketahui  21 orang harus meregang nyawa pada siang hari tanggal 15 September 2008. Sang putrapun  (H. Farouk) sebagai ketua panitia pembagian zakat tersebut, kemudian harus mendapat ganjaran hukuman penjara selama tiga tahun, karena dinilai lalai, sehingga menimbulkan korban jiwa. Suatu tragedi religi memilukan yang akan tetap terus dikenang sekaligus sebuah ironi. Ironi karena ingin menjalankan syari’at berujung penjara. Bahkan, pemegang otoritas keulamaan tertinggi  di negeri ini ( baca : MUI ) perlu memberikan label haram atas  ‘kegiatan amal soleh’ sang haji dermawan tersebut.
Kejadian memilukan di Pasuruan tersebut sekedar mengingatkan kita, bahwa implementasi syari’at zakat tampaknya tetap menjadi pemikiran untuk terus diwacanakan. Pengumpulan dan pendistribusiannya seprtinya terus menyisakan sejumlah persoalan, setidaknya sampai saat ini. Sebab, sejatinya pendistribusian zakat ala Haji Sayikhon sampai saat inipun masih terjadi.
Sebagai salah satu aspek ajaran agama zakat merupakan lembaga hukum Islam yang sangat penting. Sebab, di samping sebagai salah satu rukun Islam yang berdimensi vertikal ( hablun minallah ) juga berdomensi horisontal ( hablun minan nas ). Itulah sebabnya dalam Al Qur’an kata “zakat” diulang-ulang puluhan kali. Menurut Abbas Kararah, dalam kitabnya Al Din Wa al Zakat sebagaimana dikutip oleh Prof. Masjfuk Zuhdi, bahwa di dalam Al Qur’an kewajiban zakat diwajibkan bersama kewajiban salat pada 82 tempat. Ketika rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh Abu Bakar as Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk diperangi. Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat.
Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang tidak hanya penting tetapi ternyata juga  bernilai strategis. Karenanya pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf. Di negara kita, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-Undang (UU) Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011.
Sebagai implementasi dari UU tersebut, kinipun telah menjamur lembaga-lembaga amil-amil yang  siap menerima dan konon siap menyalurkannya sesuai syari’at. Lembaga-lembaga itu, beberapa di antaranya memang bonafide. Cara penerimaannyapun telah menggunakan media modern seperti membuka rekening di berbagai lembaga keuangan. Tetapi apakah hal ini dapat menaikkan animo masyarakat untuk menyetor zakat lewat media tersebut?.
Memang belum ada penelitian terbuka mengenai hal ini. Akan tetapi, dengan masih banyaknya wajib zakat (muzakki) yang lebih suka membagikan zakatnya secara langsung, setidaknya mencuatkan hipotesis, bahwa di mata muzakki kredibilitas lembaga kolektor zakat masih dipertanyakan. Masyarakat masih gamang terhadap akurasi penyaluran yang mereka lakukan. Pada saat yang sama, kaum kerabat dan tetangga sekitar muzakki, guru ngaji, ustad madrasah diniyah, para janda, yayasan yatim piatu yang berdomisili di sekitar muzakki telah lama menanti aliran zakat dari muzakki tersebut. Pada saat demikian muzakkipun berfikir kemana harta zakat akan disalurkan : ke lembaga amil dengan risiko para kerabat dan tetangga tidak mendapat bagian atau disalurkan sendiri secara langsung dengan risiko bisa menimbulkan insiden?. Dalam konteks inilah pikiran yang bersifat pragmatis tersebut ala H.Syaikhon sepenuhnya juga tidak bisa dilasalahkan. Sebab, Al Qur’an juga tegas-tegas menyatakan bahwa penyaluran sedekah ( termasuk zakat) harus lebih diprioritaskan untuk sanak kerabat dan tetangga dekat.. Maksud ini pasti tidak mungkin terpenuhi jika zakat disetor via rekening milik lembaga amil tertentu yang keberadaannya biasanya di luar kota setempat. Di samping itu juga terdapat doktrin kitab-kitab fikih, yaitu adanya larangan memindahkan zakat dari negeri muzakki, apabila di daerah muzakki masih terdapat mustahiq ( orang yang berhak menerima). Dalam konteks sekarang larangan itu dapat dimaknai sebagai larangan memindahkan zakat dari kampung halaman muzakki jika di sekitar muzakki masih ada mustahiq.
 Sebenarnya, hal ini bisa dijembatani dengan meningkatkan pemberdayaan peran masyarakat setempat melalui pembentukan Lembaga Amil Zakat ( LAZ) sebagaimana maksud Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2011 di bawah kontrol aparat pemerintah setempat. Akan tetapi, secara formil lembaga ini sangat sulit diwujudkan sebab di samping persyaratannya  yang ketat ( Pasal 18 UU Nomor 21 Tahun 2011)  juga akan menimbulkan highcost.  Semakin banyak yang terlibat akan semakin banyak biaya yang dikeluarkan. Muzakki juga berfikir jangan sampai harta zakat bernasib seperti dana bandes ( Bantuan Desa ), raskin ( Beras untuk rakyat miskin ), atau dana untuk masyarakat sejenis lainnya.
Dengan demikian dalam pikiran muzakki awam, menyetor zakat ke Lembaga Amil Zakat resmi dirasa kurang aman. Sabaliknya, menyerahkan zakat secara langsung ke mustahiq dirasa lebih aman dan nyaman. Aman, karena dana zakat tidak berkurang sepeserpun dan nyaman karena dapat bersilaturrahmi secara langsung dengan saudara-saudara yang kurang beruntung.  Kalupun kemudian terjadi insiden seperti insiden H. Syaikhon hanyalah sebuah musibah yang bisa menimpa siapa saja yang apabila telah tiba saatnya tidak seorangpun bisa menolaknya.

Terlepas setuju atau tidak, itulah pikiran masyarakat ( baca : muzakki ) awam namun terlihat realistis. Hal ini jelas merupakan tantangan bagi para pembuat kebijakan baik pemerintah maupun para pemuka agama untuk terus mencari formula yang tepat mengenai pengumpulan dan pendistribusian zakat yang di samping memenuhi standar syari’at juga akuntabel. Walluhu A’lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar