Oleh : H. Asmu’i
Syarkowi
Pukul 06.00 pagi hari
itu sudah berdesak-desakan ribuan orang, terutama kaum perempuan, termasuk
perempuan renta. Tujuannya satu, ingin mendapat ‘berkah’ pundi-pundi zakat dari sang dermawan. Sang dermawan yang lebih
dikenal dengan Haji Syaikon tampak
kualahan ketika pada saatnya masyarakat datang menyerbu kediamannya. ‘Aparat’
keprcayaannyapun kemudian juga tidak
mampu memberikan pengamanan ketika gejala-gejala insiden mulai terjadi. Semakin
lama semakin tidak terkendali hingga akhirnya
tragedipun terjadi dan kemudian diketahui 21 orang harus meregang nyawa pada siang hari
tanggal 15 September 2008. Sang putrapun (H. Farouk) sebagai ketua panitia pembagian
zakat tersebut, kemudian harus mendapat ganjaran hukuman penjara selama tiga
tahun, karena dinilai lalai, sehingga menimbulkan korban jiwa. Suatu tragedi religi
memilukan yang akan tetap terus dikenang sekaligus sebuah ironi. Ironi karena ingin
menjalankan syari’at berujung penjara. Bahkan, pemegang otoritas keulamaan
tertinggi di negeri ini ( baca : MUI )
perlu memberikan label haram atas
‘kegiatan amal soleh’ sang haji dermawan tersebut.
Kejadian memilukan di Pasuruan tersebut
sekedar mengingatkan kita, bahwa implementasi syari’at zakat tampaknya tetap
menjadi pemikiran untuk terus diwacanakan. Pengumpulan dan pendistribusiannya seprtinya
terus menyisakan sejumlah persoalan, setidaknya sampai saat ini. Sebab,
sejatinya pendistribusian zakat ala Haji Sayikhon sampai saat inipun masih
terjadi.
Sebagai salah satu aspek ajaran agama
zakat merupakan lembaga hukum Islam yang sangat penting. Sebab, di samping
sebagai salah satu rukun Islam yang berdimensi vertikal ( hablun minallah
) juga berdomensi horisontal ( hablun minan nas ). Itulah sebabnya dalam
Al Qur’an kata “zakat” diulang-ulang puluhan kali. Menurut Abbas Kararah, dalam kitabnya
Al Din Wa al Zakat sebagaimana dikutip oleh Prof. Masjfuk Zuhdi, bahwa
di dalam Al Qur’an kewajiban zakat diwajibkan bersama kewajiban salat pada 82
tempat. Ketika rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh
Abu Bakar as Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk
diperangi. Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat.
Keadaan
tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang tidak
hanya penting tetapi
ternyata juga bernilai strategis. Karenanya pula, di negara-negara Islam
zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya,
di samping wakaf. Di negara kita, sebagai negara yang berpenduduk muslim
terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah menaruh kepedulian
terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah
ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-Undang
(UU) Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diganti dengan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011.
Sebagai implementasi dari UU tersebut, kinipun
telah menjamur lembaga-lembaga amil-amil yang
siap menerima dan konon siap menyalurkannya sesuai syari’at. Lembaga-lembaga
itu, beberapa di antaranya memang bonafide. Cara penerimaannyapun telah menggunakan
media modern seperti membuka rekening di berbagai lembaga keuangan. Tetapi
apakah hal ini dapat menaikkan animo masyarakat untuk menyetor zakat lewat
media tersebut?.
Memang belum ada
penelitian terbuka mengenai hal ini. Akan tetapi, dengan masih banyaknya wajib
zakat (muzakki) yang lebih suka membagikan zakatnya secara langsung,
setidaknya mencuatkan hipotesis, bahwa di mata muzakki kredibilitas
lembaga kolektor zakat masih dipertanyakan. Masyarakat masih gamang terhadap
akurasi penyaluran yang mereka lakukan. Pada saat yang sama, kaum kerabat dan
tetangga sekitar muzakki, guru ngaji, ustad madrasah diniyah, para janda,
yayasan yatim piatu yang berdomisili di sekitar muzakki telah lama menanti
aliran zakat dari muzakki tersebut. Pada saat demikian muzakkipun berfikir
kemana harta zakat akan disalurkan : ke lembaga amil dengan risiko para kerabat
dan tetangga tidak mendapat bagian atau disalurkan sendiri secara langsung
dengan risiko bisa menimbulkan insiden?. Dalam konteks inilah pikiran yang
bersifat pragmatis tersebut ala H.Syaikhon sepenuhnya juga tidak bisa
dilasalahkan. Sebab, Al Qur’an juga tegas-tegas menyatakan bahwa penyaluran
sedekah ( termasuk zakat) harus lebih diprioritaskan untuk sanak kerabat dan
tetangga dekat.. Maksud ini pasti tidak mungkin terpenuhi jika zakat disetor
via rekening milik lembaga amil tertentu yang keberadaannya biasanya di luar
kota setempat. Di samping itu juga terdapat doktrin kitab-kitab fikih, yaitu
adanya larangan memindahkan zakat dari negeri muzakki, apabila di daerah
muzakki masih terdapat mustahiq ( orang yang berhak menerima). Dalam konteks
sekarang larangan itu dapat dimaknai sebagai larangan memindahkan zakat dari
kampung halaman muzakki jika di sekitar muzakki masih ada mustahiq.
Sebenarnya, hal ini bisa dijembatani dengan
meningkatkan pemberdayaan peran masyarakat setempat melalui pembentukan Lembaga
Amil Zakat ( LAZ) sebagaimana maksud Pasal 17 UU Nomor 21 Tahun 2011 di bawah kontrol
aparat pemerintah setempat. Akan tetapi, secara formil lembaga ini sangat sulit
diwujudkan sebab di samping persyaratannya
yang ketat ( Pasal 18 UU Nomor 21 Tahun 2011) juga akan menimbulkan highcost. Semakin banyak yang terlibat akan semakin
banyak biaya yang dikeluarkan. Muzakki juga berfikir jangan sampai harta zakat
bernasib seperti dana bandes ( Bantuan Desa ), raskin ( Beras untuk rakyat
miskin ), atau dana untuk masyarakat sejenis lainnya.
Dengan demikian dalam
pikiran muzakki awam, menyetor zakat ke Lembaga Amil Zakat resmi dirasa kurang
aman. Sabaliknya, menyerahkan zakat secara langsung ke mustahiq dirasa lebih
aman dan nyaman. Aman, karena dana zakat tidak berkurang sepeserpun dan nyaman
karena dapat bersilaturrahmi secara langsung dengan saudara-saudara yang kurang
beruntung. Kalupun kemudian terjadi
insiden seperti insiden H. Syaikhon hanyalah sebuah musibah yang bisa menimpa siapa
saja yang apabila telah tiba saatnya tidak seorangpun bisa menolaknya.
Terlepas setuju atau
tidak, itulah pikiran masyarakat ( baca : muzakki ) awam namun terlihat realistis.
Hal ini jelas merupakan tantangan bagi para pembuat kebijakan baik pemerintah
maupun para pemuka agama untuk terus mencari formula yang tepat mengenai
pengumpulan dan pendistribusian zakat yang di samping memenuhi standar syari’at
juga akuntabel. Walluhu A’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar