Oleh
: H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim
Pengadilan Agama Lumajang Klas I A)
Beberapa waktu yang lalu mencuat wacana seputar lesbian, gay,
biseksual, dan transgender yang lazim disingkat LGBT. Persoalan tersebut
menjadi kontroversial ketika ternyata ada sejumlah tokoh yang nota bene
orang terdidik dengan terus terang mendukung eksistensinya. LGBT tidak
bertentangan dengan al-Qur’an karena tidak ada satu teks-pun yang secara
tegas melarangnya, begitu katanya. Isu HAM juga dijadikan salah satu argumentasinya.
Padahal, pada saat yang sama hampir mayoritas masyarakat menganggap bahwa LGBT
adalah perilaku menyimpang. Kontroversi inipun secara vulgar juga pernah
dijadikan salah satu topik diskusi terbuka di salah satu stasiun TV swasta
bergengsi di negeri ini.
Terlepas
dari adanya pro dan kontra terhadap eksistensi LGBT, bagaimana pendangan
terhadapnya dari sisi ilmu jiwa agama ( psychoreligy )?
ADANYA suara-suara yang menghalalkan perkawinan sejenis
(homoseksual dan lesbian) sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit,
emosi yang tidak stabil dan nalar yang sakit. Demikian dikatakan pakar
kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof.
DR. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater. Profesor ini, sebagaimana tertuang dalam
bukunya, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, menyebutkan
bahwa penyakit homo/lesbi ini bisa diobati. Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan
melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan
keluarga di rumah dan pergaulan sosial. “Homoseksual dapat dicegah dan
diubah orientasi seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat
hidup wajar lagi (heteroseksual).”
Prof.
Dadang Hawari mengimbau, bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau
lesbian dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar
dapat dicarikan jalan keluarnya, sehingga dapat menjalani hidup ini dan menikah
dengan wajar.
Sementara
itu dikatakan Peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin, LGBT (lesbian, gay,
biseksual, dan transgender) termasuk masalah yang jelas-jelas menyimpang, baik
ditinjau dari akal sehat maupun ajaran agama. Bahkan QS. Al’Araf: 80-84 secara
gamblang menjelaskan perbuatan laknat ini yang tidak mungkin ditafsirkan selain
perilaku homoseksual.
Dalam
pandangan ulama klasik, sebagaimana dalam tafsir Al Kasysyaf, al-Imam
Zamakhsyary (wafat 1143 M) menjelaskan makna “al-fahisyah” dalam QS.
Al-A’raf : 80 tersebut sebagai tindak kejahatan yang melampaui batas akhir
keburukan. Sedangkan ayat ata’tuna al-fahisyata (mengapa kalian
mengerjakan perbuatan fahisyah itu) adalah bentuk pertanyaan yang
bersifat pengingkaran dan membawa konsekuensi yang sangat buruk. Sebab,
perbuatan faahisyah itu tidak pernah dilakukan siapapun sebelum kaum Nabi Luth.
Maka janganlah mengawali suatu perbuatan dosa yang belum dilakukan kaum manapun
di dunia ini. Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa mendapati orang yang
melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah kedua-duanya, baik
subjek maupun objeknya,” (HR. Tirmidzi).
Mengomentari
berbagai teks-teks agama tersebut Henri akhirnya berkomentar: “Maka hukuman
bagi perilaku seksual yang menyimpang dan menyalahi hukuman dan hikmah
penciptaan, seperti homo dan lesbi dalam Islam adalah sangat jelas dan tidak
perlu diperdebatkan lagi. Itulah kejahilan yang hakiki, yaitu memandang baik
sesuatu yang mestinya buruk dan memandang buruk hal yang semestinya baik.”
Oleh
karena itu, dengan mengacu kepada pendapat psikhiater dan teks-teks agama
tersebut, jelaslah, bahwa LGBT bukanlah fitrah tetapi tidak lebih dari salah
satu bentuk penyakit dari penyakit-penyakit pada umumnya. Sebagai penyakit dapat masuk ke berbagai stadium dari yang
rendah sampai yang tinggi. Dan, yang pasti, ada garansi dari yang ahli di bidangnya, bisa
diobati. Hanya saja, penyakit itu bisa menjadi sesuatu yang alamiyah seolah
fitrah apabila tidak disadari oleh pengidapnya. Apalagi, jika sampai pengidap
tersebut sudah pada tahap menikmatinya. Ini pula yang membedakan LGBT dengan
penyakit pada umumnya.
Atau,
jika dengan memakai pendekatan perintah
dan larangan, LGBT jelas menjadi salah satu bentuk larangan Allah seperti
larangan berzina, larangan mencuri, dan larangan berjudi. Seorang yang sudah
terbiasa berzina atau melakukan larangan-larangan itu akan menjadi terbiasa dan
pada tahap tertentu akan menikmatinya. Seorang yang residivis akan terus
melakukan tindak kriminal karena sudah demikian menikmatinya, sekalipun sadar
hal itu dilarang.
Pertanyaan
kita, mengapa kelompok yang dahulu kita anggap sebagai a-sosial ini kini
seolah mendapatkan tempat?
Tidak dapat dipungkiri arus globalisasi dengan segala
kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi ikut menjadi biangnya. Informasi
apapun, baik yang positif maupun negatif mempunyai peluang yang sama untuk kita
serap atau bahkan menguasai pikiran kita. Persoalannya, tinggal bagaimana sikap
kita, mau memilah dan memilih atau
tidak. Untuk anak-anak kita, memilihkan pendidikan dengan basis agama yang kuat, akan sangat membantu
anak memilah dan memilih setiap
informasi yang masuk. Proteksi diri ( selfprotection ) anak hanya akan
diharapkan dari model pendidikan demikian.
Semoga
kita dan anak keturunan kita terlindung darinya, amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar