Selasa, 07 Juni 2016

ASPEK-ASPEK LITIGASI PERKARA ZAKAT MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN


Oleh : Drs. H. Asmu’i Syarkowi, M.H.[1]
(e-mail : asmui.15@gmail.com )

A.   PENDAHULUAN
Zakat merupakan lembaga hukum Islam yang sangat penting. Sebab, di samping sebagai salah satu rukun Islam yang berdimensi vertikal ( hablun minallah ) juga berdimensi horisontal ( hablun minan nas ). Itulah sebabnya dalam Al Qur’an penyebutan kata “zakat” diulang-ulang puluhan kali. Menurut Abbas Kararah, dalam kitabnya Al Din Wa al Zakat sebagaimana dikutip oleh Prof. Masjfuk Zuhdi, bahwa di dalam Al Qur’an kewajiban zakat diwajibkan bersama kewajiban salat pada 82 tempat.[2] Ketika rasulullah SAW wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh Abu Bakar as Shiddiq ada sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk diperangi. Mereka itu adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat.
Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama Islam yang sangat penting dan karenanya tidak dapat diabaikan oleh setiap kaum muslimin. Karenanya pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf. Di negara kita, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam, juga telah menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat yang kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011[3]. Entah bagaimana ceritanya dalam undang-undang tersebut sama sekali tidak disinggung ‘peran’ Pengadilan Agama kaitannya dengan penegakan hukumnya. Undang-undang tentang peradilan Agama memang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009. Akan tetapi sejauh mana keterkaitan Undang-Undang Peradilan Agama ini dengan Undang-undang zakat dari segi penegakan hukumnya tampaknya belum sepenuhnya tersosialisasi dengan baik. Parameternya adalah sejak undang-undang zakat diundangkan belum ada satu kasuspun yang masuk menjadi kasus hukum di Pengadilan Agama. Menurut hemat penulis, ketiadaan kasus yang masuk di pengadilan bukan berarti tidak ada persoalan di masyarakat, tetapi karena faktor kebelumtahuan masyarakat pencari keadilan pada tataran teknis beracara.
Makalah berikut dimaksudkan untuk mengajak para pembaca untuk mewacanakan hal tersebut dengan harapan menjadi salah satu bahan acuan Pengadilan Agama melaksanakan kewenangan mengadili perkara zakat  di satu pihak dan memberikan pencerahan bagi masyarakat pencari keadilan, di pihak lain.
B.   RUMUSAN MASALAH
Untuk memulai dan menyelesaikan pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi di masyarakat, salah satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada pengadilan. Permintaan pemeriksaan atas persengkataan yang terjadi ke pengadilan, dalam bentuk surat permohonan atau gugatan, inilah yang kemudian menjadi perkara pengadilan. Tanpa ada permintaan salah satu pihak agar pengadilan melakukan pemeriksaan tidak mungkin pengadilan ikut campur sengketa yang tidak diajukan di pengadilan.[4] Kaitannya dengan kewenangan zakat ini, penulis mengemukan rumusan masalah yang perlu dibahas sebagai berikut:
1.      Masalah apakah yang berpotensi diajukan ke Pengadilan Agama?
2.      Termasuk perkara apakah perkara zakat itu?
3.      Bagaimana teknik beracaranya?

C.   SELUK BELUK ZAKAT
1.    Pengertian Zakat dan dasar Hukumnya
Menurut Bahasa Zakat berarti al-namuwu, al barakah, dan katsrat al-khair[5]. Menurut Istilah : Sebutan untuk kadar harta tertentu yang ditasarufkan kepada ashnaf dengan syarat-syarat  tertentu.[6]
Al Qardhawi, mendefinisikan zakat sebagai berikut :
Hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT pada harta-harta orang Islam untuk diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an, seperti fakir, miskin, dan lain-lain sebagai rasa syukur kepada nikmat Allah SWT, cara untuk bertaqarub kepadanya, pembersihan jiwa dan harta.[7].
Dari definisi tersebut setidaknya ada 5 unsur zakat, yaitu:[8]
a.       Hak tertentu.  Maksudnya, hak itu telah ditentukan bentuk dan kadarnya, yaitu 2,5 persen, 5 persen, 10 persen sehingga kalau ada seruan untuk mengambil zakat itu lebih dari kadar yang ditentukan maka kelebihannya itu bukan zakat. Kadar persentasi tersebut dikeluarkan setelah mencapai nisab misalnya senilai 85 gram emas. Nilai harta itu yang dihitung tersebut setelah dipotong seluruh kebutuhan pokok pemilik harta dan nafkah semua orang yang menjadi tanggungannya. Kebutuhan pokok itu meliputi : perumahan, perabot, pakaian, kendaraan, buku/kitab, alat-alat ketrampilan dalam batas yang sekedar mencukupi.[9]
b.      Zakat diiwajibkan Allah SWT.
Sekalipun zakat diwajibkan akan tetapi pemenuhannya tetap mempertimbangkan sumber penghasilan, beban tanggungan, hutang, dan lain-lain.[10]
c.       Zakat diambil dari harta orang Islam.
Maksudnya harta milik non Islam tidak wajib dizakati sekalipun harta itu berada ditangan orang Islam. Oleh karena itu dalam konsep Islam Muzakki dapat mengontrol pemanfaatannya. Malahan, tidak salah jika zakat itu dibagi sendiri oleh muzakki.[11]
d.       Zakat diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an.
e.       Zakat dikeluarkan  sebagai sarana bertqarrub kepada Allah SWT.
2.    Harta Yang Wajib dizakati
Dalam sejarah zakat dapat diketahui bahwa zaman rasulullah SAW zakat hanya diwajibkan atas 5 macam harta saja, yaitu : emas/perak, barang perniagaan, binatang-binatang yang mencari makan sendiri ( unta, sapi, dan kambing ), tanaman dari tumbuh-tumbuhan dan barang logam dan barang simpanan Jahiliyah. Pembicaraan mengenai kadar nisab serta kadar yang wajib pada tiap-tiap nisab semuanya menganai 5 macam harta tersebut[12]
Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan jenis barang yang menurut pendapat ulama ( baca : Ulama Kontemporer ) wajib dizakati pula.
Terlepas dari perbedaan tersebut di Indonesia, tentang harta yang wajib dizakati telah secara limitatif disebutkan dalam UU Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 4 ayat (2) yaitu :
a.       Emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.      Uang dan surat berharga lainnya;
c.       Perniagaan
d.      Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e.       Peternakan dan perikanan;
f.       Pertambangan
g.      Perindustrian;
h.      Pendapatan dan jasa;
i.        Rikaz.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah[13] benda yang wajib dizakati selain zakat fitrah adalah sebagaimana tertuang pada Pasal 670 sampai dengan 680 yaitu :
a.       Emas Perak
b.      Uang dan yang senilai dengannya
c.       Zakat perdagangan
d.      Zakat Pertanian
e.       Zakat Pendapatan
f.       Zakat Madu dan sesuatu yang dihasilkan dari binatang
g.      Zakat Profesi
h.      Zakat Barang temuan dan barang tambang;
Terdapat perbedaan ( variasi ) penyebutan harta yang wajib dizakati menurut UU Nomor 23 Tahun 2011 dengan Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Akan tetapi, menurut hemat penulis, perbedaan penyebutan tersebut, tidak bersifat prinsipil.
3.    Orang yang Berhak menerima zakat
Al Qur’an telah menyebutkan secara limitatif orang yang berhak menerima zakat, yaitu sebagaimana termaktub dalam surat Al-Taubah ( 9 : 60 ) :

$yJ¯RÎ) àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pköŽn=tæ Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏB̍»tóø9$#ur Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$# ( ZpŸÒƒÌsù šÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur íOŠÎ=tæ ÒOÅ6ym ÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].

Menurut ayat tersebut, ada 8 kelompok orang yang diberi legitimasi  sebagai mustahik ( berhak menerima zakat) yaitu:
1.    Orang fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi penghidupannya.
2.    Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3.    Amil (Pengurus zakat): orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan membagikan zakat. Dalam konsep zakat, Amil mempunyai dua posisi sekaligus, yaitu berposisi sebagai mustahiq (objek )dan berposisi sebagai wakil pemerintah yang berfungsi sebegai kolektor dan pengelola zakat ( subjek ).
4.    Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5.    Memerdekakan budak ( Riqab ) : mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir.
6.    Gharim (Orang berhutang): orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu membayarnya.
7.    Sabilillah (Pada jalan Allah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan lain-lain.
8.     Ibnu Sabil (Orang yang sedang dalam perjalanan) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya.[14]
4.    Peran Negara dan Eksistensi Amil
Menurut pandangan Islam pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah mengemban amanah Allah dan rakyatnya sekaligus. Dalam kaitan zakat ini, Islam memberikan wewenag kepada pemerintah untuk mengatur, mengelola, dan menyampaiakan zakat sesuai tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam.[15]Keterlaksanaan zakat tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa suatu negara.
Secara historis, hal ini sudah dapat dilihat sejak zaman Rasulullah SAW. Pada masa ini, ada sejumlah sahabat yang secara khusus ditugasi oleh Rasulullah SAW untuk memungut zakat seperti : Ibnul Lutabiyah, Abu Mas’ud, Uqbah bin Amir, dan Ubadah bin Shamit. Bahkan Umar bin Khattab ra sendiri pernah diutus oleh Rasulullah SAW memungut zakat.[16]
Praktik di zaman Nabi tersebut juga dilanjutkan pada zaman kholifah yang empat. Mereka membuat lembaga ‘amalah ( pegawai ) untuk mengumpulkan zakat.[17]
Dengan demikian adanya campur tangan penguasa dalam hal keterlaksanaan zakat adalah sangat mutlak. Praktik yang fenomenal tentang keharusan kepedulian penguasa dalam hal zakat adalah ketika Khalifah Abu Bakar al-Shiddiq memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat pascakewafatan rasulullah SAW.
Keterlibatan penguasa tersebut juga memeberikan pengertian  bahwa, secara ideal,  zakat sudah masuk wilayah urusan publik.
Prof. Hasbi menyatakan, bahwa usaha pengumpulan zakat itu masuk dalam tugas penguasa. Oleh karenanya tidak boleh membiarkan pemilik harta menyelesaikan sendiri urusan pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk melindungi nasib orang fakir, dan memelihara keamanan, agama , dan negara.[18]
Menurut Hasbi As-Shiddieqy amil mempunyai 4 fungsi, yaitu :
a.  Hasyarah ( Pengumpul );
b. Katabah ( Mendata );
c.  Qasamah ( Membagi );
d. Khazanah ( manjaga dan memelihara )[19]
Untuk Indonesia, dengan telah diundangkannya UU Nomor 23 Tahun 2011 peran Negara terhadap pelaksanaan zakat ini semakin jelas. Pasal 5 UU tersebut tegas-tegas mengamanatkan, bahwa untuk melaksanakan pengelolaan zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS dengan tugas pokok sebagaimana ketantuan Pasal 6 yaitu melakukan pengelolaan zakat secara nasional dengan fungsi sebagaimana tersebut Pasal 7 yaitu :
a.     Perencanaan pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat;
b.    Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan pendyagunaan zakat;
c.     Pengendalian pengumpulan, pendistribusian, dan pendayagunaan zakat;
d.    Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan zakat;
D.    POTENSI MASALAH
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan terdahulu, bahwa objek zakat saat ini mengalami perkembangan. Hal ini wajar, sebab memang seiring dengan perkembangan peradaban manusia berkembang pula produk yang dihasilkannya. Bebarapa di antaranya dahulu belum ada, atau bahkan belum terbayangkan. Jika dalam kitab-kitab fikih klasik bahkan al-Hadits tidak secara eksplisit menyebut variasi objek zakat seperti yang ada sekarang lebih disebabkan oleh keterbatasan peradaban waktu itu. Akan tetapi, bukan berarti bahwa yang harus dikeluarkan zakat hanya terbatas pada  jenis harta yang ada waktu itu.
Islam adalah agama yang mengandung ajaran rahmatan lil alamin, yang dalam implementasinya, salah satunya, mengajarkan kepedulian sosial. Islam sangat membenci umatnya yang tidur kekenyangan sementara ada tetangga yang tidak bisa tidur karena kelaparan. Islam mengajarkan apabila seseorang memasak daging hendaklah diperbanyak kuahnya dan kemudian memberikan sebagiannya kepada tetangganya. Ajaran demikian memberikan pengertian, bahwa, apapun yang dirasakan enak oleh sesorang mestinya orang lain juga bisa ikut merasakan. Syari’at zakat diwajibkan antara lain adalah dalam konteks demikian.
Saat ini jelas banyak sektor jasa. Pendapatan yang dahulu tidak ada tetapi saat ini lebih membuat sejahtera bagi seseorang. Profesi dokter, pengacara, hakim, konsultan yang dalam hitungan jam dapat menghasilkan uang ratusan juta. Pada saat yang sama petani yang dengan sudah payah kepanasan penghasilannya hanya impas saja, atau bahkan mengalami defisit jika dibanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Badan Amil Zakat selaku lmbaga yang dipercaya oleh agama mengumpulkan zakat suatu saat mungkin juga tidak sepenunya bisa melaksanakan tugasnya secara optimal. Sebagai ilustrasi, misalnya ketika BAZ harus mendatangi wajib zakat agar mengeluarkan zakatnya. Seorang muzakki, meskipun menurut penilaian BAZ sudah waktunya menunaikan zakat, bisa saja berdalih bahwa dia merasa belum wajib zakat atau menyatakan bahwa dia sudah merasa mengeluarkan zakat[20] dengan cara diberikan secara langsung kepada mustahiq.
Pertanyaan juga muncul, bagaimana seandainya amil ternyata juga tidak amanah dan pada saat yang sama para mustahiq memerlukan dana zakat tersebut.
Dari ilustrasi tersebut dapat diperoleh gambaran kasus, bahwa terdapat banyak potensi masalah pada pelaksanaan zakat. Potensi masalah tersebut bisa dikategorikan sebagai berikut [21]:
1.      Masalah yang terjadi antara lembaga ( BAZ) dengan Muzakki;
Sebagai ilustrasi adalah apabila ada fenomena, antara lain, sebagai berikut :
a.       Ada seseorang yang menurut persepsi sudah wajib zakat akan tetapi ternyata orang tersebut tidak pernah terlihat membayar zakat. Sebagaimana diketahui tugas BAZ sebagai petugas resmi yang dibentuk sebagai perpanjangan tangan pemerintah berhak untuk bersikap proaktif dengan sistem jemput bola dalam pengumpulan zakat. Seorang muzakki ketika didatangi BAZ bisa saja berdalih, bahwa yang bersangkutan telah membagi zakatnya sendiri kepada mustahiq. Atau, bisa saja muzakki berdalih bahwa dia masih belum wajib zakat sebab sekalipun terlihat kaya tetapi juga banyak hutang-hutang atau menjadi debitur di berbagai bank. Sedangkan setelah dikalkulasi antara aktiva dan pasivanya belum mencapai senisab.[22]
Terlepas dari apakah alasan muzakki itu dapat dibenarkan memang nantinya masuk wilayah pembuktian di Pengadilan Agama. Tetapi, yang jelas BAZ punya potensi hak mengadukan muzakki tersebut ke Pengadilan Agama.
b.      Apabila muzakki merasa bahwa zakat yang disetorkan tidak ditasarufkan sesuai peruntukannya.
Muzakki yang menasarufkan harta zakat sudah barang tentu ingin agar zakat yang dikeluarkan ditasarufkan kepada yang berhak ( mustahiq ). Ketepatan sasaran harta zakat pasti akan melegakan para muzakki. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi sebaliknya. Muzakki merasa kecewa, ketika zakat yang dekeluarkan tidak atau belum disalurkan kepada yang semestinya menerima.
Terlepas dari apakah yang dipersepsikan muzakki tersebut benar atau apakah tindakan BAZ yang dianggap merugikan muzakki tersebut menurutnya dapat dibenarkan, Pengadilan Agamalah yang akan memutuskan setelah mendengar keterangan kedua belah pihak dan berikut bukti-bukti yang diajukan. Dengan demikian, memang dapat dimungkinkan muzakki mengadukan BAZ ke Pangadilan.
2.      Masalah antar mustahiq dengan BAZ
Sebagai ilustrasi adalah apabila terjedi fenomena antara lain sebagai berikut :
a.       Mustahiq yang belum pernah mendapat bagian zakat dari BAZ setempat. Mustahiq sebagai individu atau sebagai kelompok tentu merasa dirugikan akibat sikap BAZ.
Contoh kasus :  si A sorang pengusaha. Semula dia memang berkecukupan. Dengan tampilan rumah yang terlihat mewah dan penampilan sehari-hari yang bersih dan rapi, tidak seorangpun menyangka bahwa dia orang miskin. Tetapi, karena resesi ekonomi usaha yang dibangunnya hancur. Akhirnya, ia menjadi orang kaya yang bangkrut. Dia perlu bangkit untuk membangun kembali usahanya. Oleh karena itu dia perlu modal untuk itu. Dia pun meminjam modal kepada siapapun yang mau menolongnya. Pada saat yang sama dia melihat di daerahnya ada BAZ. Dalam kondisi demikian dimungkinkan dia mengadukan nasibnya ke Pengadilan Agama dengan tujuan utama : pertama agar dinyatakan oleh Pengadilan Agama menyatakan dia sebagai gharim, dan kedua mohon agar BAZ memberikan bagian zakat kepadanya.
Kasus seperti ini bisa diambil model pada mustahiq lain, seperti muallaf, sabilillah, dan ibnu sabil.
Pada saat yang sama, meskipun tidak ada yang membantah keberadaan 8 asnaf tersebut sebagai penerima zakat, akan tetapi peraturan perundang-undangan yang ada tampaknya belum secara jelas dan tegas memberikan definisi masing-masing kelompok dari 8 asnaf tersebut. Pendefinisian masing-masing kelompok mustahiq tersebut juga berpotensi timbulnya gugatan ke Pengadilan Agama.
b.      Seorang mustahiq merasa dirugikan oleh kepengurusan BAZ dan berikut mustahiq mohon agar pengurus yang bersangutan diberhentikan dan diganti dengan pengurus yang baru. Sebagaimana diketahui, dalam Pasal 11 UU Nomor 23 untuk dapat diangkat sebagai BAZ dan LAZ diperlukan kualifikasi tertentu.[23] Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata seorang anggota BAZ tidak memiliki kualifikasi tersebut dan mustahiq atau masyarakat merasa dirugikan oleh keberadaannya. Pada kasus seperti ini juga dimugkinkan pihak yang marasa dirugikan mengadukannya ke Pengadilan Agama.
3.      Masalah antar muzakki dan Mustahiq melawan BAZ
Sebagaimana telah disinggung di muka bahwa muzakki berhak untuk mengontrol secara sosial zakat-zakat yang pernah diserahkan kepada lembaga pengumpul zakat. Sangat mungkin terjadi lembaga pengumpul zakat tersebut menurut penilaian muzakki tidak ditasarrufkan tepat sasaran. Sebagai buktinya, muzakki yang kebetulan orang terpandang karena kekayaannya mendapat pengaduan dari para mustahiq. Dalam kondisi demikian ada dua kelompok orang yang merasa dirugikan akibat perbuatan BAZ.
Dari ilustrasi ini juga dapat diprediksikan bahwa ada kemungkinan perkara zakat ini dilakukan dengan bentuk class action, dalam hal ini para mustahiq dari baik dari satu kelompok mustahiq ( beberapa orang fakir miskin, misalnya ) atau berbagai kelompok mustahiq ( fakir, miskin, sabilillah ) kepada Pengadilan Agama.
E.     ZAKAT  DALAM  KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
1.      Kewenangan
Sebagaimana di ketahui dalam hukum acara dikenal 2 kompetensi mengadili, yaitu : Kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 2011 berbunyi :

Setiap orang yang dengan sengaja melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 40 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 41 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 42 berbunyi :
(1)     Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 merupakan kejahatan.

Pada Undang-undang lain disebutkan :
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 :
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.

Dari contoh muatan kedua undang-undang tersebut dapat diambil pengertian bahwa persoalan zakat bisa menjadi kompetenti absolut antar badan peradilan, yaitu antar Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dalam hal ini tergantung jenis perkaranya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 memang tidak secara tegas menyebut bahwa ketentuan pidana menjadi kewengan Peradilan Umum. Akan tetapi, membaca pasal tersebut harus dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Pasal UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.
Oleh karena yang diatur dalam pasal-pasal UU tersebut masalah pemidanaan masalah zakat yang berkaiatan dengan ketentuan pidana jelas menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Kemudian, apakah di luar masalah itu mutlak ( secara absolut ) otomatis menjadi kompetensi peradilan agama ?.
Pasal 49 tegas menyebutkan bahwa zakat menjadi salah satu kewenagan Pengadilan Agama. Kewenangan tersebut secara operasional disebut dalam ketentuan Pasal 684 Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam pasal ini dimuat ketentuan sebagai berikut :
Barang siapa yang melanggar ketentuan zakat maka akan dikenai sanksi sebagaimana diatur sebagai berikut :
a.    Barang siapa yang tidak menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan jumlah tidak melebihi dari besar zakat yang wajib dikeluarkan;
b.    Denda sebagaimana dimaksud dalam angka (1) didasarkan pada putusan pengadilan;
c.    Barang siapa yang menghindar dari menunaikan zakat, maka dikenakan denda dengan jumlah tidak melebihi 20 persen dari besar besarnya zakat yang harus dibayarkan
d.    Zakat yang harus dibayarkan ditambah dengan denda dapat diambil secara paksa oleh juru sita untuk diserahkan kepada badan amil zakat;

Kata “pengadilan” dalam pasal tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka ( 8 ) Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah, harus dibaca “Pengadilan Agama.”
Dari ketentuan pasal tersebut, kaitannya dengan zakat ini, Pengadilan Agama jelas-jelas mempunyai kompetensi absolut menangani persoalan denda yang berkaitan dengan zakat. Padahal, selama ini lembaga denda menjadi kompetensi pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Lantas diajukan ke Pengadilan Agama manakah sebuah gugatan atau permohonan menegenai perkara yang berkaitan dengan zakat?
Sebagaimana telah dikemukakan pada pembahasan sebelumnya, bahwa hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah hukum acara yang beraku di peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena undang-undang ini hanya mengatur bidang perceraiaan, maka di luar itu harus tunduk pada hokum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian perkara yang berkaitan sengketa zakat harus tunduk pula pada hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hukum Acara dimaksud sudah barang tentu HIR dan RBg.
Dengan mengacu kepada ketentuan hukum acara tersebut, dapat diketahui ke pengadilan agama manakah sebuah perkara mengenai zakat diajukan.
Menurut ketentuan Pasal 142 HIR diperoleh pengertian sebagai berikut :
a.    Gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
b.    Jika tempat tinggal tidak diketahui diajukan di tempat tinggal yang sebenarnya;
c.    Jika tergugat berada di wilayah beberapa Pengadilan Agama, gugatan diajukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat salah seorang Tergugat; dst
2.      Hukum Acara
Hukum Acara pada hakikatnya mengatur bagimana agar hukum materiil dapat dijalankan sehingga apabila didalamnya terdapat hak dan kewajiban bagaimana hak dan kewajiban tersebut dapat ditegakkan. Sesuai ketentuan Pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 hukum yang berlaku di Pengadilan Agama adalah hukum acara di Pengadilan Umum kecuali yang diatur secara khusus oleh UU ini.
Sebagaimana di ketahui yang secara khusus diatur oleh UU ini hanya masalah perceraian. Atau, dengan kata lain UU tersebut, secara khusus, tidak mengatur hukum acara mengenai zakat. Dengan demikian hukum acara mengenai pelaksanaan zakat ini harus mengacu hukum acara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, dalam hal ini menggunakan HIR[24] untuk Jawa dan Madura atau RBg[25] untuk luar Jawa dan Madura.
3.      Pengetahuan Teknis dan Kreativitas Beracara
Secara filosofis adanya gugatan ke pengadilan adalah karena ada pihak yang dirugikan hak-haknya. Pada saat yang sama hukum materiil memberikan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diberikan kepada yang seharusnya menerima. Ketika hak-hak tersebut tidak didapatkannya dan ternyata yang menyebabkannya adalah orang lain atau lembaga, maka orang lain atau lembaga tersebut berhak dijadikan pihak untuk digugat. Alasannya, merekalah yang menyebabkan ia terhalang memperoleh hak-hak tersebut. Dalam hal ini pihak yang menyebabkan hak seseorang  terhalang atau tidak diadapat adalah pihak yang menyebabkan kerugian, yang oleh karenanya perlu digugat, dan pihak yang terhalang memperoleh haknya adalah pihak yang dirugikan dan oleh karenanya perlu menggugat.
Hanya saja dalam praktik memang tidak mudah membuat formulasi atau rumusan gugatan tersebut. Sebab, rumusan sebuah gugatan terikat dengan formalitas tertentu, seperti bagaimana membuat sebuah gugatan yang benar (merumuskan posita atau petitum). Hal ini sudah menyangkut masalah teknik hukum yang apabila tidak dipatuhi dapat menyebabkan kegagalan seseorang memperolah hak yang digugat di pengadilan. Dengan demikian, diperlukan pengatahuan teknis mengenai hal ini bagi siapa saja yang akan mengajukan gugatan ke pengadilan.
Sekalipun demikian, pengetahun teknis masih belum cukup. Masih diperlukan kreativitas teknis beracara. Banyak persoalan hukum dan telah menjadi kasus riil di masyarakat yang mestinya, secara hukum acara,  bisa diajukan ke pengadilan, tetapi jarang atau tidak pernah muncul. Penyebabnya adalah kekurangkreativan pihak masyarakat, dalam hal ini juga termasuk para lawyer.[26]
Demikian juga masalah zakat ini. Pelaksanaan di lapangan mengenai cara beracara, selain diperlukan pengetahuan teknis yang lebih penting adalah daya kreativitas para pengaju perkara. Kreativitas dimaksud adalah kemampuan ‘mereka-reka’  sebuah persoalan sehingga muncul sebuah kasus yang dapat diajukan di pengadilan dan dimungkinkan secara hukum, baik hukum materiil maupun formil. Hal ini dikemukakan bukan dalam konteks mencari-cari perkara, tetapi harus difahami dalam konteks penegakan hukum yang muaranya tidak lain demi penegakan keadilan di masyarakat.
4.      Peran Hakim Peradilan Agama
Hakim Peradilan Agama adalah hakim di mata hukum dan ulama di mata masyarakat. Jargon ini terlanjur melekat pada profil hakim pengadilan agama. Dia selain harus mempunyai kesalehan secara institutusional juga harus mempunyai kesalehaan secara sosial. Kesalehan secara institusiaonal adalah ‘kepatuhan’ setiap hakim peradilan agama dalam mememenihi standar kualifikasi keilmuan, keterampilan, dan moralitas dalam melakukan tugas teknis sebagai seorang hakim pada umumnya.
Kaitannya dengan persoalan lembaga hukum zakat ini, hakim peradilan agama tidak boleh menolak mengadili karena hukum tidak jelas. [27]Hal ini jelas menuntut hakim peradilan agama memiliki keluasan dan penguasaan ilmu mengenai hukum, baik mareriil maupun formil. Apabila tidak ditemukan dalam hukum tertulis Hakim Pengadilan Agama harus bisa menggali melalui hukum-hukum tak tertulis.[28]
Ketika persoalan zakat ini masuk di pengadilan agama, harus dilihat dari berbagai perspektif baik secara yuridis formal dan yuridis material. Dan, oleh karena masalah zakat adalah salah satu masalah agama yang sangat urgen, hakim yang menangani perkara zakat juga harus melihatnya dari perspektif ilmu keagamaan (perspective of religious knowledge)
Dari perspektif yuridis, formal hakim peradilan agama yang menangani zakat harus menggali nilai-nilai hukum yang ada di masyarakat dengan cara melalukan penemuan hukum. Secara sosial, hakim peradilan agama perlu melihat dampak jika zakat tidak terlakasana. Dari perspektif ilmu keagamaan hakim peradilan agama harus tahu visi dan misi tentang syariat zakat, antara lain, bahwa syari’at zakat apabila tidak dilaksanakan tidak saja berdampak merugikan mustahiq, tetapi juga berdampak negatif bagi muzakki, baik di dunia maupun akhirat.
Ilustrasi berfikir tersebut kiranya dapat dijadikan motivasi bagi Hakim untuk ikut mempunyai tanggung jawab moral terhadap keterlaksanaan zakat sesuai kompetensi yang dimilikinya. Tanggung jawab tersbut, diwujudkan dalam bentuk tanggung jawab hukum berikut penuangannya dalam putusan. Seberapa integritas keilmuan hakim akan tercermin pada bentuk lahir dan ruh putusan yang dibuat.
5.      Teknik beracara
5.1.          Pengaju Perkara
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam perkara perdata pihak yang mengajukan perkara adalah pihak yang berkepentingan  berkedudukan secara hukum. Apababila masalah zakat sebagai perkara kontensius, maka pihak yang berkepentingan secara hukum adalah orang merasa dirugikan. Tatacaranya dapat dimungkinkan terjadi dengan cara.
-          Individual. Yaitu diajukan oleh seseorang atau Kuasanya guna mewakili kepentingannya;
-          Badan Hukum, seperti BAZ atau LAZ yang dalam hal ini diwakili oleh seorang atau beberapa Kuasa Hukum yang sah.
-          Gugatan Perwakilan Kelompok (GPK) sebagaimana diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2002 atau lazim dikenal sebagai Class Action. GPK ini dimungkinkan karena sesuai ketentuan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun 2011, masyarakat dapat berperan serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ. Akibat peluang dalam bentuk peran pembinaan dan pengawasan memungkinkan masyarakat yang merasa dirugikan oleh BAZ atau LAZ mengajukan perkara ke Pengadilan Agama dalam bentuk GPK.
5.2.Jenis perkara
Sebagaimana diketahui perkara perdata yang diadili oleh Pengadilan Agama digolongkan menjadi 2 jenis perkara, yaitu perkara volunter yang biasanya diputus dengan produk hukum penetapan dan perkara kontensius yang biasanya diputus dengan produk putusan. Pertanyaan apakah perkara zakat bisa meliputi 2 jenis perkara tersebut?
Sebelum memberikan jawaban ada baiknya dikemukakan contoh ketentuan dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai berikut:


Pasal 17 :
Untuk membantu BAZNAZ dalam pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan zakat, masayarakat dapat membentuk LAZ.
Pasal 18 :
“Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri atau Pejabat yang ditunjuk menteri.
Untuk mempeoleh izin tersebut diperlukan sejumlah syarat sebagaiman tersebut pada ayat (2).[29]

Dari ketentuan mengenai LAZ tersebut terdapat 2 hal yaitu : pertama legalitas dan syarat memperoleh legalitas. Bisa jadi LAZ telah memperoleh legalitas karena telah dibentuk secara resmi oleh ormas tertentu akan tetapi persyaratan memperleh legalias belum terpenuhi.
Perkara yang mungkin muncul dari kasus tersebut adalah perkara gugatan dalam bentuk kontensius yaitu menggugat ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak berkekuatan hukum. Atau bisa saja terjadi yang berangkutan telah merasa telah mempnyai lehalitas tetapi pemerintah tidak mengakui dan sikap pemerintah tersebut diwujudkan dalam suatu tindakan berupa tidak memberikan izin beroprasi secara tertulis.
Dalam kasus ini perkara yang mungkin muncul adalah adanya permohonan ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut dinyatakan sah  sebagai LAZ. Dalam hal ini, perkara yang masuk bisa berupa permohonan murni ( volunter ). Dari sisi hukum acara, persoalan yang mungkin timbul adalah apakah Pengadilan Agama berwenang menerima dan mengadili perkara ini. Sebab, menurut asas, pengadilan pada prinsipnya dilarang mengadili suatu perkara volunteer kecuali secara tegas disebutkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadilinya.
Begitu perkara tersebut masuk ke Pengadilan Agama, Hakim tentu tidak boleh menolak untuk mengadili. Tentang, apakah diterima atau tidak diterima, dikabulkan atau ditolak, sudah barang tentu sangat bergantung dengan ijtihad Hakim yang bersangkutan. Dan, hal ini kadang-kadang juga sangat bergantung dengan kedalaman ilmu dan keluasan wawasan sang Hakim.
5.3.Pihak Yang digugat
Dalam persoalan perdata pihak yang dijadikan sebagai tergugat adalah pihak yang dianggap merugikan penggugat. Tentang siapa saja yang dianggap merugikan tersebut telah diilustrasikan dalam pembahasan sebelumnya.
5.4.Format gugatan
Mengenai format permohonan atau gugatan mengenai persoalan zakat ini dapat mengacu pada ketentuan mengenai cara beracara perdata pada umumnya, yaitu :
-          Dari segi cara pengajuannya : diajukan secara tertulis sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR ayat (1) / Pasal 142 ayat (1) RBg  atau diajukan secara lisan sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg;
-          Dari segi isinya : harus memuat identitas, fundamentum petendi dan petitum. [30]
Dalam pembahasan ini penulis sengaja tidak mengemukakan secara detail dengan asumsi bahwa hal tersebut dapat dilihat secara detail dalam buku-buku hukum acara perdata dengan berbagai ragam pembahasan yang ada.
F.      KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di muka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1.      Bahwa masalah zakat yang dapat  menjadi persoalan litigatif pada pokoknya berkaitan dengan 3 unsur mustahik, muzakki, dan amil;
2.      Kaitannya dengan pengadilan masalah zakat bisa berbentuk volunter dan kontensius;
3.      Oleh karena persoalan zakat ini masuk dalam ranah hukum perdata maka teknik beracaranya sama dengan teknik persoalan perdata lainnya.
G.    PENUTUP
Demikian pembahasan ini dikemukakan semoga dapat ikut memperkaya khazanah pemikiran di bidang hukum. Sekalipun keberadaan undang-undang mengenai penegakan hukum zakat sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 3 Tahun 2006 ini masih belum sempurna, akan tetapi dengan kreativitas  insan-insan yang bekerja di Pengadilan kekurang sempurnaan tersebut dapat ditutup. Dalam konteks ini kiranya masih relevan ungkapan yang mengatakan, bahwa  kesempurnaan suatu perangkat hukum sangat bergantung kepada kesempurnaan wawasan dan dedikasi dan motivasi pelaksananya. Perangkat hukum yang jelek akan menjadi baik dan berdaya guna di tangan aparat hukum yang tulus yang memiliki etos kejuangan dan integritas profesionalisme para penegak hukum tersebut. Walla a’lam
---------------------------------------------------------------------------------------

BIO DATA PENULIS

Gambar(8)
Nama                                       : Asmu’i Syarkowi
Tempat/Tgl Lahir                    : Banyuwangi/ 15 Oktober 1962
Pendidikan                              : 
1.      SD Negeri Sumberjo
2.      MTs Negeri Srono
3.      PGAN Situbondo
4.      PP Misbahul Ulum Situbondo
5.      PP Wahid Hasyim Gaten Yogyakarta
6.      Bachelor of Art (BA)        : Fak. Syari’ah IAIN Yogya tahun 1985;
7.      Doctorandus (Drs.)           : Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta tahun 1988;
8.       Magister Hukum (M.H.)   : Universitas Muslim Indonesia Makassar tahun 2001.
Pekerjaan                                 :
- Hakim/ Ketua Pengadilan Agama Waingapu ( 2004-2007 )
- Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A; ( 2008-2011 )
- Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A ( 2011-2016 )
- Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas I A ( 2016- sampai sekarang );
Alamat                        : Pandan RT 01 RW 04, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi.




[1] Penulis adalah Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi.
[2] Masyfuk Zuhdi, 1992, Masail Fiqhiyyah, PT Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, hlm 219.
3 Menurut Pasal  44   UU Nomor 23 Tahun 2011, semua Peraturan Perundang-undangan tentang Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.


[4] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi 2, halaman 184-185.
[5] Taqiyyudin, Kifayat al-Akhyar, Juz I, hal. 172
[6] Ibid
[7] Yusuf al Qardhawy, Fiqh al Zakat, al- Risaalah, Beirut, 1981, 994
[8] Dr. Tengku H.Muslim Ibrahim, Hubungan Antara Zakat dan Pajak ( makalah dalam Zakat dan Pajak), hal,170-171.
[9] Al Kasaany, Bada-i’ al-Shanaa’iy, Al Ilmiyah Cairo, 1327 H, Juz II halaman 11 Bandingkan dengan Msyfuq Zuhdi dalam  Masail Fiqhiyyah , halaman  215
[10] Tengku H Muslim Ibrahim, halaman 177.
[11] Ibid, halaman 183.
[12] Hasbi Ash Shiddiqie, Pedoman Zakat, Bulan Bintang Jakarta, 1991, halaman 234
[13] Disebarluaskan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Menurut hemat penulis, memasukkan lembaga Hukum Zakat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dari segi rumusannya memang  kurang sejalan ( sinkron ) dengan undang-undang. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 zakat dibahas secara terpisah. zakat, di satu pihak dan ekonomi syari’ah, di pihak lain. Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah zakat merupakan bagian (spesies) dari ekonomi syari’ah.
[14] Catatan kaki sebagai penjelasan terjemahan ayat tersebut.
[15] Ibrahim Hosen, Hubungan Zakat dan Pajak dalam Islam, ( Makalah dalam Zakat dan Pajak ), PT Bina Rena Pariwara, Jakarta, halaman 149.
[16] Hasbi, Pedoman Zakat, 78
[17] Ibid
[18] Ibid 86.
[19] Hasbi, halaman 184-185
[20] Sebagaimana diketahui menurut Pasal  21 ayat (1) UU NOmor 23 Tahun 2011 muzakki diberi kewenangan melakukan penghitungan sendiri.
[21]Potensi masalah mengenai kasus zakat ini telah diprediksikan oleh Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA/o32/SK/IV/2006 tanggal 4 April 2006 jo Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 012/KMA/SK/II 2007 tanggal 5 Februari 2007. Hanya saja dalam Buku II tersebut belum dijelaskan secara detail. ( vide : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama, halaman 175.
[22] Ini sangat mungkin terjadi sebab menurut ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 pada prinsipnya muzakki dapat melakukan penghitungan sendiri kewajiban zakatnya.
[23] Menurut Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 2011 untuk dapat diangkat sebagai BAZ harus memenuhi syarat : a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertakwa kepada Allah SWT; d. berakhlak mulia; e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak menjadi anggota partai politik; h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan i. tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.

[24] Atau disebut juga Reglemen Indonesia yang diperbaharui (RIB)  yang keberlakuannya berdasarkan Stb. 194 No.44.
[25] Atau disebut juga Reglemen Daerah Seberang yang keberlakuannya berdasarkan Stb. No. 227 Tahun 1927.
[26] Banyak contoh mengenai hal ini, antara  lain : masalah takliq talak dengan alasan suami selama tiga bulan lamanya tidak memberikan nafkah wajib kepada istri , masalah gugat provisi nafkah untuk istri dan anak selama proses percaraian, sita marital bersararkan Pasal 75 KHI terhadap harta bersama karena alasan suami pemboros, penjudi, dsb.
[27] Sebagaimana telah diamanatkan oleh UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 (1) tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[28] Sebagaimana diisyaratkan  oleh  Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009. :Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
[29] Pada ayat (2)  pasal yang sama disebutkan :
Iizin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan paling sedikit : a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.b. berbentuk lembaga berbadan hokum. c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS
[30] M.Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 48-68. Dalam Buku ini secara panjang lebar telah dikupas mengenai kaidah-kaidah seputar formulasi sebuah gugatan yang benar. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar