Oleh : Drs. H. Asmu’i Syarkowi, M.H.[1]
A.
PENDAHULUAN
Zakat merupakan lembaga
hukum Islam yang sangat penting. Sebab, di samping sebagai salah satu rukun
Islam yang berdimensi vertikal ( hablun minallah ) juga berdimensi horisontal ( hablun
minan nas ). Itulah sebabnya dalam Al Qur’an penyebutan
kata “zakat” diulang-ulang puluhan
kali. Menurut Abbas Kararah, dalam kitabnya Al Din Wa
al Zakat sebagaimana dikutip oleh Prof. Masjfuk Zuhdi, bahwa di dalam Al
Qur’an kewajiban zakat diwajibkan bersama kewajiban salat pada 82 tempat.[2] Ketika rasulullah SAW
wafat dan kepemimpinan umat Islam digantikan oleh Abu Bakar as Shiddiq ada
sekelompok orang yang oleh khalifah diagendakan untuk diperangi. Mereka itu
adalah orang yang ingkar untuk membayar zakat.
Keadaan tersebut menjadi bukti bahwa zakat merupakan bagian ajaran agama
Islam yang sangat penting dan karenanya tidak dapat diabaikan oleh setiap kaum muslimin. Karenanya
pula, di negara-negara Islam zakat dijadikan sebagai salah sarana untuk
memajukan kesejahteraan rakyatnya, di samping wakaf. Di negara kita, sebagai
negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, meskipun bukan negara Islam,
juga telah menaruh kepedulian terhadap salah satu aspek syari’at yang
diwajibkan sejak tahun ketiga hijriyah ini. Kepedulian tersebut, sebagai
puncaknya, adalah ketika diundangkan Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Zakat yang kemudian diganti dengan Undang-undang
Nomor 23 Tahun 2011[3]. Entah bagaimana ceritanya dalam undang-undang tersebut
sama sekali tidak disinggung ‘peran’ Pengadilan Agama kaitannya dengan
penegakan hukumnya. Undang-undang tentang peradilan Agama memang telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 50 Tahun
2009. Akan tetapi sejauh mana keterkaitan Undang-Undang Peradilan Agama ini
dengan Undang-undang zakat dari segi penegakan hukumnya tampaknya belum
sepenuhnya tersosialisasi dengan baik. Parameternya adalah sejak undang-undang
zakat diundangkan belum ada satu kasuspun yang masuk menjadi kasus hukum di
Pengadilan Agama. Menurut hemat penulis, ketiadaan kasus yang masuk di pengadilan bukan
berarti tidak ada persoalan di masyarakat, tetapi karena faktor kebelumtahuan
masyarakat pencari keadilan pada tataran teknis beracara.
Makalah berikut dimaksudkan untuk mengajak para
pembaca untuk mewacanakan hal tersebut dengan harapan menjadi salah satu bahan
acuan Pengadilan Agama melaksanakan kewenangan mengadili perkara zakat di satu pihak dan memberikan pencerahan bagi
masyarakat pencari keadilan, di pihak lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
Untuk memulai dan
menyelesaikan
pemeriksaan persengketaan perkara perdata yang terjadi di masyarakat, salah
satu pihak yang bersengketa, harus mengajukan permintaan pemeriksaan kepada
pengadilan. Permintaan pemeriksaan atas persengkataan yang terjadi ke
pengadilan, dalam bentuk surat permohonan atau gugatan, inilah yang kemudian menjadi perkara
pengadilan. Tanpa ada permintaan salah satu pihak agar pengadilan melakukan
pemeriksaan tidak mungkin pengadilan ikut campur sengketa yang tidak diajukan
di pengadilan.[4]
Kaitannya dengan kewenangan zakat ini, penulis mengemukan rumusan masalah yang
perlu dibahas sebagai berikut:
1. Masalah apakah yang
berpotensi diajukan ke Pengadilan Agama?
2. Termasuk perkara apakah
perkara zakat itu?
3. Bagaimana teknik
beracaranya?
C.
SELUK
BELUK ZAKAT
1.
Pengertian Zakat
dan dasar Hukumnya
Menurut Bahasa Zakat berarti al-namuwu, al
barakah, dan katsrat al-khair[5]. Menurut Istilah :
Sebutan untuk kadar harta tertentu
yang ditasarufkan kepada ashnaf dengan syarat-syarat tertentu.[6]
Al Qardhawi, mendefinisikan zakat sebagai berikut :
Hak tertentu yang diwajibkan Allah SWT pada harta-harta orang Islam
untuk diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al
Qur’an, seperti fakir, miskin, dan lain-lain sebagai rasa syukur kepada nikmat
Allah SWT, cara untuk bertaqarub kepadanya, pembersihan jiwa dan harta.[7].
Dari definisi tersebut setidaknya ada 5 unsur zakat, yaitu:[8]
a.
Hak tertentu.
Maksudnya, hak itu telah ditentukan bentuk dan kadarnya, yaitu 2,5
persen, 5 persen, 10 persen sehingga kalau ada seruan untuk mengambil zakat itu
lebih dari kadar yang ditentukan maka kelebihannya itu bukan zakat. Kadar
persentasi tersebut dikeluarkan setelah mencapai nisab misalnya senilai 85 gram
emas. Nilai harta itu yang dihitung tersebut setelah dipotong seluruh kebutuhan
pokok pemilik harta dan nafkah semua orang yang menjadi tanggungannya.
Kebutuhan pokok itu meliputi : perumahan, perabot, pakaian, kendaraan, buku/kitab,
alat-alat ketrampilan dalam batas yang sekedar mencukupi.[9]
b.
Zakat diiwajibkan Allah SWT.
Sekalipun zakat diwajibkan akan tetapi pemenuhannya
tetap mempertimbangkan sumber penghasilan, beban tanggungan, hutang, dan
lain-lain.[10]
c.
Zakat diambil dari harta orang Islam.
Maksudnya harta milik non Islam tidak wajib
dizakati sekalipun harta itu berada ditangan orang Islam. Oleh karena itu dalam
konsep Islam Muzakki dapat mengontrol pemanfaatannya. Malahan, tidak salah jika
zakat itu dibagi sendiri oleh muzakki.[11]
d.
Zakat
diberikan kepada pihak-pihak yang telah ditentukan oleh Allah dalam Al Qur’an.
e.
Zakat dikeluarkan sebagai sarana bertqarrub kepada Allah SWT.
2.
Harta Yang Wajib
dizakati
Dalam sejarah zakat
dapat diketahui bahwa zaman rasulullah SAW zakat hanya diwajibkan atas 5 macam
harta saja, yaitu : emas/perak, barang perniagaan, binatang-binatang yang
mencari makan sendiri ( unta, sapi, dan kambing ), tanaman dari tumbuh-tumbuhan
dan barang logam dan barang simpanan Jahiliyah. Pembicaraan mengenai kadar
nisab serta kadar yang wajib pada tiap-tiap nisab semuanya menganai 5 macam
harta tersebut[12]
Dalam perkembangan berikutnya banyak bermunculan
jenis barang yang menurut pendapat ulama ( baca : Ulama Kontemporer ) wajib
dizakati pula.
Terlepas dari perbedaan tersebut di Indonesia,
tentang harta yang wajib dizakati telah secara limitatif disebutkan dalam UU
Nomor 23 Tahun 2011 Pasal 4 ayat (2) yaitu :
a.
Emas, perak, dan logam mulia lainnya;
b.
Uang dan surat berharga lainnya;
c.
Perniagaan
d.
Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
e.
Peternakan dan perikanan;
f.
Pertambangan
g.
Perindustrian;
h.
Pendapatan dan jasa;
i.
Rikaz.
Menurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah[13]
benda yang wajib dizakati selain zakat fitrah adalah sebagaimana tertuang pada
Pasal 670 sampai dengan 680 yaitu :
a.
Emas Perak
b.
Uang dan yang senilai dengannya
c.
Zakat perdagangan
d.
Zakat Pertanian
e.
Zakat Pendapatan
f.
Zakat Madu dan sesuatu yang dihasilkan dari
binatang
g.
Zakat Profesi
h.
Zakat Barang temuan dan barang tambang;
Terdapat perbedaan ( variasi ) penyebutan harta
yang wajib dizakati menurut UU Nomor 23 Tahun 2011 dengan Kompilasi Hukum
Ekonomi Syari’ah. Akan tetapi, menurut hemat penulis, perbedaan penyebutan
tersebut, tidak bersifat prinsipil.
3.
Orang yang
Berhak menerima zakat
Al Qur’an telah menyebutkan secara limitatif
orang yang berhak menerima zakat,
yaitu sebagaimana termaktub dalam surat Al-Taubah ( 9 : 60 ) :
$yJ¯RÎ)
àM»s%y¢Á9$# Ïä!#ts)àÿù=Ï9 ÈûüÅ3»|¡yJø9$#ur tû,Î#ÏJ»yèø9$#ur $pkön=tæ
Ïpxÿ©9xsßJø9$#ur
öNåkæ5qè=è% Îûur É>$s%Ìh9$# tûüÏBÌ»tóø9$#ur
Îûur È@Î6y «!$# Èûøó$#ur È@Î6¡¡9$#
(
ZpÒÌsù ÆÏiB «!$# 3 ª!$#ur
íOÎ=tæ
ÒOÅ6ym
ÇÏÉÈ
60. Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang
fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk
hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan
Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana[647].
Menurut ayat tersebut, ada 8 kelompok orang
yang diberi legitimasi sebagai mustahik
( berhak menerima zakat) yaitu:
1. Orang
fakir: orang yang Amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga
untuk memenuhi penghidupannya.
2. Orang
miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan.
3.
Amil (Pengurus zakat): orang yang diberi tugas untuk mengumpulkan dan
membagikan zakat. Dalam konsep zakat, Amil mempunyai dua posisi sekaligus,
yaitu berposisi sebagai mustahiq (objek )dan berposisi sebagai wakil
pemerintah yang berfungsi sebegai kolektor dan pengelola zakat ( subjek ).
4. Muallaf: orang kafir yang ada harapan masuk Islam
dan orang yang baru masuk Islam yang imannya masih lemah.
5. Memerdekakan
budak ( Riqab ) : mencakup juga untuk melepaskan Muslim yang ditawan oleh orang-orang
kafir.
6. Gharim (Orang berhutang): orang yang berhutang karena untuk kepentingan yang bukan maksiat dan
tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara
persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu dengan zakat, walaupun ia mampu
membayarnya.
7. Sabilillah (Pada jalan Allah): Yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. di antara
mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga
kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit dan
lain-lain.
8. Ibnu Sabil (Orang yang sedang dalam perjalanan) yang bukan maksiat mengalami kesengsaraan dalam
perjalanannya.[14]
4.
Peran Negara dan
Eksistensi Amil
Menurut pandangan
Islam pemerintah bertanggung jawab terhadap kesejahteraan rakyatnya. Pemerintah
mengemban amanah Allah dan rakyatnya sekaligus. Dalam kaitan zakat ini, Islam
memberikan wewenag kepada pemerintah untuk mengatur, mengelola, dan
menyampaiakan zakat sesuai tuntutan dan petunjuk-petunjuk Islam.[15]Keterlaksanaan
zakat tidak bisa lepas dari campur tangan penguasa suatu negara.
Secara historis, hal ini sudah dapat dilihat sejak zaman Rasulullah
SAW. Pada masa ini, ada sejumlah
sahabat yang secara khusus ditugasi oleh Rasulullah SAW untuk memungut zakat
seperti : Ibnul Lutabiyah, Abu Mas’ud, Uqbah bin Amir,
dan Ubadah bin Shamit. Bahkan Umar bin Khattab ra sendiri pernah diutus
oleh Rasulullah SAW memungut zakat.[16]
Praktik di zaman Nabi tersebut juga dilanjutkan
pada zaman kholifah yang empat. Mereka membuat lembaga ‘amalah ( pegawai ) untuk
mengumpulkan zakat.[17]
Dengan demikian adanya campur tangan penguasa dalam
hal keterlaksanaan zakat adalah sangat mutlak. Praktik yang fenomenal tentang
keharusan kepedulian penguasa dalam hal zakat adalah ketika Khalifah Abu
Bakar al-Shiddiq memerangi orang-orang yang ingkar membayar zakat pascakewafatan
rasulullah SAW.
Keterlibatan penguasa tersebut juga memeberikan
pengertian bahwa, secara ideal, zakat sudah masuk wilayah urusan publik.
Prof. Hasbi menyatakan, bahwa usaha pengumpulan zakat itu masuk dalam tugas
penguasa. Oleh karenanya tidak boleh membiarkan pemilik harta menyelesaikan
sendiri urusan pemberian zakat, karena zakat itu adalah untuk melindungi nasib
orang fakir, dan memelihara keamanan, agama , dan negara.[18]
Menurut Hasbi As-Shiddieqy amil mempunyai 4 fungsi, yaitu :
a. Hasyarah
( Pengumpul );
b. Katabah
( Mendata );
c. Qasamah
( Membagi );
Untuk Indonesia, dengan telah diundangkannya UU Nomor
23 Tahun 2011 peran Negara terhadap pelaksanaan zakat ini semakin jelas. Pasal
5 UU tersebut tegas-tegas mengamanatkan, bahwa untuk melaksanakan pengelolaan
zakat, Pemerintah membentuk BAZNAS dengan tugas pokok sebagaimana ketantuan
Pasal 6 yaitu melakukan pengelolaan zakat secara nasional dengan fungsi
sebagaimana tersebut Pasal 7 yaitu :
a.
Perencanaan pengumpulan, pendistribusian dan
pendayagunaan zakat;
b.
Pelaksanaan pengumpulan, pendistribusian, dan
pendyagunaan zakat;
c.
Pengendalian pengumpulan, pendistribusian,
dan pendayagunaan zakat;
d.
Pelaporan dan pertanggungjawaban pelaksanaan
pengelolaan zakat;
D.
POTENSI MASALAH
Sebagaimana telah
dikemukakan pada pembahasan terdahulu, bahwa objek zakat saat ini mengalami
perkembangan. Hal ini wajar, sebab memang seiring dengan perkembangan peradaban
manusia berkembang pula produk yang dihasilkannya. Bebarapa di antaranya dahulu
belum ada, atau bahkan belum terbayangkan. Jika dalam kitab-kitab fikih klasik
bahkan al-Hadits tidak secara eksplisit menyebut variasi objek zakat seperti yang ada
sekarang lebih disebabkan oleh keterbatasan peradaban waktu itu. Akan tetapi,
bukan berarti bahwa yang harus dikeluarkan zakat hanya terbatas pada jenis harta yang ada waktu itu.
Islam adalah agama yang
mengandung ajaran rahmatan lil alamin, yang dalam implementasinya, salah
satunya, mengajarkan kepedulian
sosial.
Islam sangat membenci umatnya yang “tidur kekenyangan sementara ada tetangga yang
tidak bisa tidur karena kelaparan”. Islam mengajarkan apabila seseorang
memasak daging hendaklah diperbanyak kuahnya dan kemudian memberikan
sebagiannya kepada tetangganya. Ajaran demikian memberikan pengertian, bahwa, apapun yang
dirasakan enak oleh sesorang mestinya orang lain juga bisa ikut merasakan.
Syari’at zakat diwajibkan antara lain adalah dalam konteks demikian.
Saat ini jelas
banyak sektor jasa. Pendapatan yang dahulu tidak ada tetapi saat ini lebih
membuat sejahtera bagi seseorang. Profesi dokter, pengacara, hakim, konsultan
yang dalam hitungan jam dapat menghasilkan uang ratusan juta. Pada saat yang
sama petani yang dengan sudah payah kepanasan penghasilannya hanya impas saja, atau bahkan mengalami defisit jika
dibanding dengan biaya produksi yang dikeluarkan.
Badan Amil Zakat selaku lmbaga yang dipercaya oleh
agama mengumpulkan zakat suatu saat mungkin juga tidak sepenunya bisa
melaksanakan tugasnya secara optimal. Sebagai ilustrasi, misalnya ketika BAZ
harus mendatangi wajib zakat agar mengeluarkan zakatnya. Seorang muzakki, meskipun menurut penilaian BAZ sudah
waktunya menunaikan zakat, bisa saja berdalih bahwa dia merasa belum wajib zakat atau menyatakan bahwa dia
sudah merasa mengeluarkan zakat[20]
dengan cara diberikan secara langsung kepada mustahiq.
Pertanyaan juga muncul, bagaimana seandainya amil
ternyata juga tidak amanah dan pada saat yang sama para mustahiq memerlukan
dana zakat tersebut.
Dari ilustrasi tersebut dapat diperoleh gambaran
kasus, bahwa terdapat banyak potensi masalah pada pelaksanaan zakat. Potensi
masalah tersebut bisa dikategorikan sebagai berikut [21]:
1.
Masalah yang terjadi antara lembaga ( BAZ) dengan
Muzakki;
Sebagai ilustrasi
adalah apabila ada fenomena, antara lain, sebagai berikut :
a.
Ada seseorang yang menurut persepsi sudah
wajib zakat akan tetapi ternyata orang tersebut tidak pernah terlihat membayar
zakat. Sebagaimana diketahui tugas BAZ sebagai petugas resmi yang dibentuk
sebagai perpanjangan tangan pemerintah berhak untuk bersikap proaktif dengan sistem
jemput bola dalam pengumpulan zakat. Seorang muzakki ketika didatangi BAZ bisa
saja berdalih, bahwa yang bersangkutan telah membagi zakatnya sendiri kepada
mustahiq. Atau, bisa saja muzakki berdalih bahwa dia masih belum wajib zakat
sebab sekalipun terlihat kaya tetapi juga banyak hutang-hutang atau menjadi
debitur di berbagai bank. Sedangkan setelah dikalkulasi antara aktiva dan pasivanya belum mencapai
senisab.[22]
Terlepas dari apakah alasan muzakki itu dapat
dibenarkan memang nantinya masuk wilayah pembuktian di Pengadilan Agama.
Tetapi, yang jelas BAZ punya potensi hak mengadukan muzakki tersebut ke
Pengadilan Agama.
b.
Apabila muzakki merasa bahwa zakat yang
disetorkan tidak ditasarufkan sesuai peruntukannya.
Muzakki yang menasarufkan harta zakat sudah barang tentu ingin agar zakat yang dikeluarkan
ditasarufkan kepada yang berhak ( mustahiq ). Ketepatan sasaran harta
zakat pasti akan melegakan para muzakki. Akan tetapi, sangat mungkin terjadi
sebaliknya. Muzakki merasa kecewa, ketika zakat yang dekeluarkan tidak atau
belum disalurkan kepada yang semestinya menerima.
Terlepas dari apakah yang dipersepsikan muzakki
tersebut benar atau apakah tindakan BAZ yang dianggap merugikan muzakki
tersebut menurutnya dapat dibenarkan, Pengadilan Agamalah yang akan memutuskan setelah mendengar keterangan
kedua belah pihak dan berikut bukti-bukti yang diajukan. Dengan demikian,
memang dapat dimungkinkan muzakki mengadukan BAZ ke Pangadilan.
2.
Masalah antar mustahiq dengan BAZ
Sebagai ilustrasi adalah apabila terjedi fenomena
antara lain sebagai berikut :
a.
Mustahiq yang belum pernah mendapat bagian
zakat dari BAZ setempat. Mustahiq sebagai individu atau sebagai kelompok tentu
merasa dirugikan akibat sikap BAZ.
Contoh kasus :
si A sorang pengusaha. Semula dia memang berkecukupan. Dengan tampilan
rumah yang terlihat mewah dan penampilan sehari-hari yang bersih dan rapi,
tidak seorangpun menyangka bahwa dia orang miskin. Tetapi, karena resesi
ekonomi usaha yang dibangunnya hancur. Akhirnya, ia menjadi orang kaya yang
bangkrut. Dia perlu bangkit untuk membangun kembali usahanya. Oleh karena itu
dia perlu modal untuk itu. Dia pun meminjam modal kepada siapapun yang mau
menolongnya. Pada saat yang sama dia melihat di daerahnya ada BAZ. Dalam
kondisi demikian dimungkinkan dia mengadukan nasibnya ke Pengadilan Agama dengan
tujuan utama : pertama agar
dinyatakan oleh Pengadilan Agama menyatakan dia sebagai gharim, dan
kedua mohon agar BAZ memberikan bagian zakat kepadanya.
Kasus seperti ini bisa diambil model pada mustahiq
lain, seperti muallaf, sabilillah, dan ibnu sabil.
Pada saat yang sama, meskipun tidak ada yang
membantah keberadaan 8 asnaf tersebut sebagai penerima zakat, akan tetapi
peraturan perundang-undangan yang ada tampaknya belum secara jelas dan tegas
memberikan definisi masing-masing kelompok dari 8 asnaf tersebut. Pendefinisian
masing-masing kelompok mustahiq tersebut juga berpotensi timbulnya gugatan ke Pengadilan
Agama.
b.
Seorang mustahiq merasa dirugikan oleh
kepengurusan BAZ dan berikut mustahiq mohon agar pengurus yang bersangutan
diberhentikan dan diganti dengan pengurus yang baru. Sebagaimana diketahui,
dalam Pasal 11 UU Nomor 23 untuk dapat diangkat sebagai BAZ dan LAZ diperlukan
kualifikasi tertentu.[23]
Pertanyaannya adalah, bagaimana jika ternyata seorang anggota BAZ tidak
memiliki kualifikasi tersebut dan mustahiq atau masyarakat merasa dirugikan
oleh keberadaannya. Pada kasus seperti ini juga dimugkinkan pihak yang marasa
dirugikan mengadukannya ke Pengadilan Agama.
3.
Masalah antar muzakki dan Mustahiq melawan
BAZ
Sebagaimana telah
disinggung di muka bahwa muzakki berhak untuk mengontrol secara sosial
zakat-zakat yang pernah diserahkan kepada lembaga pengumpul zakat. Sangat
mungkin terjadi lembaga pengumpul zakat tersebut menurut penilaian muzakki
tidak ditasarrufkan tepat sasaran. Sebagai buktinya, muzakki yang kebetulan
orang terpandang karena kekayaannya mendapat pengaduan dari para mustahiq.
Dalam kondisi demikian ada dua kelompok orang yang merasa dirugikan akibat
perbuatan BAZ.
Dari ilustrasi ini
juga dapat diprediksikan bahwa ada kemungkinan perkara zakat ini dilakukan
dengan bentuk class action, dalam hal ini para
mustahiq dari baik dari satu kelompok mustahiq ( beberapa orang fakir miskin,
misalnya ) atau berbagai kelompok mustahiq ( fakir, miskin, sabilillah ) kepada
Pengadilan Agama.
E.
ZAKAT
DALAM KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
1.
Kewenangan
Sebagaimana di ketahui dalam hukum acara dikenal 2
kompetensi mengadili, yaitu : Kompetensi absolut dan kompetensi relatif.
Pasal 39
UU Nomor 23 Tahun 2011 berbunyi
:
Setiap orang yang dengan sengaja
melawan hukum tidak melakukan pendistribusian zakat sesuai dengan ketentuan
Pasal 25 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 40 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja
dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau pidana denda
paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 41 berbunyi :
Setiap orang yang dengan sengaja
dan melawan hukum melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38
dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 42 berbunyi :
(1)
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
dan Pasal 40 merupakan kejahatan.
Pada Undang-undang lain disebutkan :
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 :
Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Dari contoh muatan kedua undang-undang tersebut
dapat diambil pengertian bahwa persoalan zakat bisa menjadi kompetenti absolut antar badan peradilan,
yaitu antar Peradilan Umum dan Peradilan Agama, dalam hal ini tergantung jenis
perkaranya. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 memang tidak secara tegas
menyebut bahwa ketentuan pidana menjadi kewengan Peradilan Umum. Akan tetapi,
membaca pasal tersebut harus dikaitkan dengan UU Nomor 1 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang-undang Hukum Acara Pidana dan Pasal UU Nomor 38 Tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
Oleh karena yang diatur dalam pasal-pasal UU
tersebut masalah pemidanaan masalah zakat yang berkaiatan dengan ketentuan
pidana jelas menjadi kompetensi absolut Peradilan Umum. Kemudian, apakah di luar
masalah itu mutlak ( secara absolut ) otomatis menjadi kompetensi
peradilan agama ?.
Pasal 49 tegas
menyebutkan bahwa zakat menjadi salah satu kewenagan Pengadilan Agama.
Kewenangan tersebut secara operasional disebut dalam ketentuan Pasal 684
Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah. Dalam pasal ini dimuat ketentuan sebagai
berikut :
Barang siapa yang melanggar ketentuan zakat maka
akan dikenai sanksi sebagaimana diatur sebagai berikut :
a.
Barang siapa yang tidak
menunaikan zakat maka akan dikenai denda dengan jumlah tidak melebihi dari
besar zakat yang wajib dikeluarkan;
b.
Denda sebagaimana dimaksud dalam
angka (1) didasarkan pada putusan pengadilan;
c.
Barang siapa yang menghindar dari
menunaikan zakat, maka dikenakan denda dengan jumlah tidak melebihi 20 persen
dari besar besarnya zakat yang harus dibayarkan
d.
Zakat yang harus dibayarkan
ditambah dengan denda dapat diambil secara paksa oleh juru sita untuk
diserahkan kepada badan amil zakat;
Kata “pengadilan” dalam pasal
tersebut, sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka ( 8 ) Kompilasi Hukum Ekonomi
Syari’ah, harus dibaca “Pengadilan Agama.”
Dari ketentuan pasal tersebut, kaitannya dengan zakat ini, Pengadilan
Agama jelas-jelas mempunyai kompetensi absolut menangani persoalan denda yang
berkaitan dengan zakat. Padahal, selama ini lembaga denda menjadi kompetensi
pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.
Lantas diajukan ke Pengadilan Agama manakah sebuah
gugatan atau permohonan menegenai perkara yang berkaitan dengan zakat?
Sebagaimana telah dikemukakan pada
pembahasan sebelumnya, bahwa hukum acara yang berlaku di Peradilan Agama adalah
hukum acara yang beraku di peradilan umum kecuali yang diatur secara khusus
oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989. Oleh karena undang-undang ini hanya mengatur
bidang perceraiaan, maka di luar itu harus tunduk pada hokum acara yang berlaku
di lingkungan peradilan umum. Dengan demikian perkara yang berkaitan sengketa
zakat harus tunduk pula pada hukum
acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Hukum Acara dimaksud sudah barang
tentu HIR dan RBg.
Dengan mengacu kepada ketentuan hukum acara
tersebut, dapat diketahui ke pengadilan agama manakah sebuah perkara mengenai
zakat diajukan.
Menurut ketentuan Pasal 142 HIR diperoleh pengertian sebagai berikut :
a.
Gugatan diajukan ke Pengadilan Agama yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman Tergugat;
b.
Jika tempat tinggal tidak diketahui diajukan
di tempat tinggal yang sebenarnya;
c.
Jika tergugat berada di wilayah beberapa
Pengadilan Agama, gugatan diajukan di Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat
salah seorang Tergugat; dst
2.
Hukum Acara
Hukum Acara pada hakikatnya
mengatur bagimana agar hukum materiil dapat
dijalankan sehingga apabila didalamnya terdapat hak dan kewajiban bagaimana hak
dan kewajiban tersebut dapat ditegakkan. Sesuai ketentuan Pasal 54
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 hukum yang berlaku di Pengadilan Agama adalah
hukum acara di Pengadilan Umum kecuali yang diatur secara khusus oleh UU ini.
Sebagaimana di ketahui
yang secara khusus diatur oleh UU ini hanya masalah perceraian. Atau,
dengan kata lain UU tersebut, secara
khusus, tidak mengatur hukum
acara mengenai zakat. Dengan demikian hukum acara mengenai pelaksanaan zakat
ini harus mengacu hukum
acara pada pengadilan di lingkungan peradilan umum, dalam hal ini menggunakan HIR[24]
untuk Jawa dan Madura atau RBg[25]
untuk luar Jawa dan Madura.
3.
Pengetahuan Teknis dan Kreativitas Beracara
Secara filosofis adanya gugatan ke pengadilan
adalah karena ada pihak yang dirugikan hak-haknya. Pada saat yang sama hukum
materiil memberikan ketentuan bahwa hak-hak tersebut harus diberikan kepada
yang seharusnya menerima. Ketika hak-hak tersebut tidak didapatkannya dan
ternyata yang menyebabkannya adalah orang lain atau lembaga, maka orang lain
atau lembaga tersebut berhak dijadikan pihak untuk digugat. Alasannya, merekalah yang menyebabkan ia
terhalang memperoleh hak-hak tersebut. Dalam hal ini pihak yang menyebabkan hak
seseorang terhalang atau tidak diadapat
adalah pihak yang menyebabkan kerugian, yang oleh karenanya perlu digugat, dan pihak yang terhalang memperoleh haknya
adalah pihak yang dirugikan dan oleh karenanya perlu menggugat.
Hanya saja dalam praktik memang tidak mudah membuat formulasi atau rumusan gugatan
tersebut. Sebab, rumusan sebuah gugatan terikat dengan formalitas tertentu,
seperti bagaimana membuat sebuah gugatan yang benar (merumuskan posita atau
petitum). Hal ini sudah menyangkut masalah teknik hukum yang apabila tidak dipatuhi dapat menyebabkan
kegagalan seseorang memperolah hak yang digugat di pengadilan. Dengan demikian,
diperlukan pengatahuan teknis mengenai hal ini bagi siapa saja yang akan mengajukan
gugatan ke pengadilan.
Sekalipun demikian, pengetahun teknis masih belum cukup. Masih diperlukan
kreativitas teknis
beracara. Banyak persoalan hukum dan telah menjadi kasus riil di masyarakat yang
mestinya, secara hukum acara, bisa diajukan ke pengadilan, tetapi jarang atau
tidak pernah muncul. Penyebabnya adalah kekurangkreativan pihak masyarakat, dalam hal ini juga termasuk
para lawyer.[26]
Demikian juga masalah zakat ini. Pelaksanaan di lapangan
mengenai cara beracara, selain diperlukan pengetahuan teknis yang lebih penting
adalah daya kreativitas para pengaju perkara. Kreativitas dimaksud adalah
kemampuan ‘mereka-reka’ sebuah persoalan
sehingga muncul sebuah kasus yang dapat diajukan di pengadilan dan dimungkinkan
secara hukum, baik hukum materiil maupun formil. Hal ini dikemukakan bukan dalam konteks
mencari-cari perkara, tetapi harus difahami dalam konteks penegakan hukum yang
muaranya tidak lain demi penegakan keadilan di masyarakat.
4.
Peran Hakim Peradilan Agama
Hakim Peradilan Agama adalah hakim di mata hukum
dan ulama di mata masyarakat. Jargon ini terlanjur melekat pada profil hakim
pengadilan agama. Dia selain harus mempunyai kesalehan secara institutusional
juga harus mempunyai kesalehaan secara sosial. Kesalehan secara institusiaonal
adalah ‘kepatuhan’ setiap hakim peradilan agama dalam mememenihi standar
kualifikasi keilmuan, keterampilan, dan moralitas dalam melakukan tugas teknis
sebagai seorang hakim pada umumnya.
Kaitannya dengan persoalan lembaga hukum zakat ini,
hakim peradilan agama tidak boleh menolak mengadili karena hukum tidak jelas. [27]Hal
ini jelas menuntut hakim peradilan agama memiliki keluasan dan penguasaan ilmu
mengenai hukum, baik mareriil maupun formil. Apabila tidak ditemukan dalam
hukum tertulis Hakim Pengadilan Agama harus bisa menggali melalui hukum-hukum
tak tertulis.[28]
Ketika persoalan zakat ini masuk di pengadilan
agama, harus dilihat dari berbagai perspektif baik secara yuridis formal dan
yuridis material. Dan, oleh karena masalah zakat adalah salah satu masalah
agama yang sangat urgen, hakim yang menangani perkara zakat juga harus melihatnya dari perspektif ilmu
keagamaan (perspective of religious knowledge)
Dari perspektif yuridis, formal hakim peradilan
agama yang menangani zakat harus menggali nilai-nilai hukum yang ada di
masyarakat dengan cara melalukan penemuan hukum. Secara sosial, hakim peradilan
agama perlu melihat dampak jika zakat tidak terlakasana. Dari perspektif ilmu
keagamaan hakim peradilan agama harus tahu visi dan misi tentang syariat zakat,
antara lain, bahwa syari’at
zakat apabila tidak dilaksanakan tidak saja berdampak merugikan mustahiq, tetapi juga berdampak negatif bagi muzakki, baik di dunia maupun akhirat.
Ilustrasi berfikir tersebut kiranya dapat dijadikan
motivasi bagi Hakim untuk ikut mempunyai tanggung jawab moral terhadap keterlaksanaan
zakat sesuai kompetensi yang dimilikinya. Tanggung jawab tersbut, diwujudkan
dalam bentuk tanggung jawab hukum berikut penuangannya dalam putusan. Seberapa integritas keilmuan hakim
akan tercermin pada bentuk lahir dan ruh putusan yang dibuat.
5.
Teknik beracara
5.1.
Pengaju Perkara
Sebagaimana diketahui, bahwa dalam perkara perdata
pihak yang mengajukan perkara adalah pihak yang berkepentingan berkedudukan secara hukum. Apababila masalah
zakat sebagai perkara kontensius, maka pihak yang berkepentingan secara hukum adalah orang merasa dirugikan. Tatacaranya
dapat dimungkinkan terjadi dengan cara.
-
Individual. Yaitu diajukan oleh seseorang
atau Kuasanya guna mewakili kepentingannya;
-
Badan Hukum, seperti BAZ atau LAZ yang dalam
hal ini diwakili oleh seorang atau beberapa Kuasa Hukum yang sah.
-
Gugatan Perwakilan Kelompok (GPK) sebagaimana
diatur oleh PERMA No. 1 Tahun 2002 atau lazim dikenal sebagai Class
Action. GPK ini dimungkinkan karena sesuai ketentuan Pasal 35 UU Nomor 23 Tahun
2011, masyarakat dapat berperan
serta dalam pembinaan dan pengawasan terhadap BAZNAS dan LAZ. Akibat peluang
dalam bentuk peran pembinaan dan pengawasan memungkinkan masyarakat yang merasa
dirugikan oleh BAZ atau LAZ mengajukan perkara ke Pengadilan Agama dalam bentuk
GPK.
5.2.Jenis perkara
Sebagaimana diketahui perkara perdata yang diadili
oleh Pengadilan Agama digolongkan menjadi 2 jenis perkara, yaitu perkara volunter
yang biasanya diputus dengan produk hukum penetapan dan perkara kontensius yang
biasanya diputus dengan produk putusan. Pertanyaan apakah perkara zakat bisa
meliputi 2 jenis perkara tersebut?
Sebelum memberikan jawaban ada baiknya dikemukakan
contoh ketentuan dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 sebagai berikut:
Pasal
17 :
Untuk membantu BAZNAZ dalam pelaksanaan
pengumpulan, pendistribusian, pendayagunaan zakat, masayarakat dapat membentuk
LAZ.
Pasal
18 :
“Pembentukan LAZ wajib mendapat izin Menteri
atau Pejabat yang ditunjuk menteri.
Untuk mempeoleh izin tersebut diperlukan
sejumlah syarat sebagaiman tersebut pada ayat (2).[29]
Dari ketentuan
mengenai LAZ tersebut terdapat 2 hal yaitu : pertama legalitas dan syarat
memperoleh legalitas. Bisa jadi LAZ telah memperoleh legalitas karena telah
dibentuk secara resmi oleh ormas tertentu akan tetapi persyaratan memperleh
legalias belum terpenuhi.
Perkara yang mungkin
muncul dari kasus tersebut adalah perkara gugatan dalam bentuk kontensius yaitu
menggugat ke Pengadilan Agama agar LAZ tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak
berkekuatan hukum. Atau bisa saja terjadi yang berangkutan telah merasa telah
mempnyai lehalitas tetapi pemerintah tidak mengakui dan sikap pemerintah
tersebut diwujudkan dalam suatu tindakan berupa tidak memberikan izin beroprasi
secara tertulis.
Dalam kasus ini
perkara yang mungkin muncul adalah adanya permohonan ke Pengadilan Agama agar
LAZ tersebut dinyatakan sah sebagai LAZ.
Dalam hal ini, perkara yang masuk
bisa berupa permohonan murni ( volunter ). Dari sisi hukum acara, persoalan yang
mungkin timbul adalah apakah Pengadilan Agama berwenang menerima dan mengadili
perkara ini. Sebab, menurut asas,
pengadilan pada prinsipnya dilarang mengadili suatu perkara volunteer kecuali secara
tegas disebutkan oleh peraturan perundang-undangan untuk mengadilinya.
Begitu perkara
tersebut masuk ke Pengadilan Agama, Hakim tentu tidak boleh menolak untuk
mengadili. Tentang, apakah diterima atau tidak diterima, dikabulkan atau
ditolak, sudah barang tentu sangat bergantung dengan ijtihad Hakim yang
bersangkutan. Dan, hal ini kadang-kadang juga sangat bergantung dengan
kedalaman ilmu dan keluasan wawasan sang Hakim.
5.3.Pihak Yang digugat
Dalam persoalan perdata pihak yang dijadikan
sebagai tergugat adalah pihak
yang dianggap merugikan penggugat. Tentang
siapa saja yang dianggap merugikan tersebut telah diilustrasikan dalam
pembahasan sebelumnya.
5.4.Format gugatan
Mengenai format permohonan atau gugatan mengenai
persoalan zakat ini dapat mengacu pada ketentuan mengenai cara beracara perdata
pada umumnya, yaitu :
-
Dari segi cara pengajuannya : diajukan secara
tertulis sesuai dengan ketentuan pasal 118 ayat (1) HIR ayat (1) / Pasal 142 ayat
(1) RBg atau diajukan secara lisan
sesuai dengan ketentuan Pasal 120 HIR/Pasal 144 Rbg;
Dalam pembahasan ini penulis sengaja tidak
mengemukakan secara detail dengan asumsi bahwa hal tersebut dapat dilihat
secara detail dalam buku-buku hukum acara perdata dengan berbagai ragam
pembahasan yang ada.
F. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan di muka dapat disimpulkan sebagai
berikut :
1.
Bahwa masalah
zakat yang dapat menjadi persoalan litigatif
pada pokoknya berkaitan dengan 3 unsur mustahik, muzakki, dan amil;
2.
Kaitannya
dengan pengadilan masalah zakat bisa berbentuk volunter dan kontensius;
3.
Oleh karena
persoalan zakat ini masuk dalam ranah hukum perdata maka teknik beracaranya
sama dengan teknik persoalan perdata lainnya.
G. PENUTUP
Demikian
pembahasan ini dikemukakan semoga dapat ikut memperkaya khazanah pemikiran di
bidang hukum. Sekalipun keberadaan undang-undang mengenai penegakan hukum zakat
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 3 Tahun 2006 ini masih belum sempurna, akan tetapi dengan
kreativitas insan-insan yang bekerja di
Pengadilan kekurang sempurnaan tersebut dapat ditutup. Dalam konteks ini
kiranya masih relevan ungkapan yang mengatakan, bahwa kesempurnaan suatu perangkat hukum sangat
bergantung kepada kesempurnaan wawasan dan dedikasi dan motivasi pelaksananya.
Perangkat hukum yang jelek akan menjadi baik dan berdaya guna di tangan aparat hukum yang tulus yang
memiliki etos kejuangan dan integritas profesionalisme para penegak hukum
tersebut. Walla a’lam
---------------------------------------------------------------------------------------
BIO DATA PENULIS
Nama : Asmu’i
Syarkowi
Tempat/Tgl Lahir : Banyuwangi/ 15 Oktober
1962
Pendidikan :
1. SD Negeri Sumberjo
2. MTs Negeri Srono
3. PGAN Situbondo
4. PP Misbahul Ulum Situbondo
5. PP Wahid Hasyim Gaten
Yogyakarta
6.
Bachelor of
Art (BA) : Fak. Syari’ah
IAIN Yogya tahun 1985;
7. Doctorandus (Drs.) : Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta tahun 1988;
8.
Magister
Hukum (M.H.) : Universitas Muslim
Indonesia Makassar tahun 2001.
Pekerjaan :
- Hakim/ Ketua Pengadilan Agama Waingapu ( 2004-2007 )
- Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A; ( 2008-2011 )
- Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A ( 2011-2016 )
- Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas I A ( 2016- sampai sekarang );
Alamat : Pandan RT 01 RW 04, Kembiritan, Genteng,
Banyuwangi.
3 Menurut Pasal
44 UU Nomor 23 Tahun 2011, semua Peraturan Perundang-undangan tentang
Pengelolaan Zakat dan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999
tentang Pengelolaan Zakat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
164; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3885) dinyatakan masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
[4] Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan
Acara Peradilan Agama, Sinar Grafika, Jakarta, Edisi 2, halaman
184-185.
[8] Dr. Tengku H.Muslim Ibrahim, Hubungan
Antara Zakat dan Pajak ( makalah dalam Zakat dan Pajak), hal,170-171.
[9] Al Kasaany, Bada-i’ al-Shanaa’iy, Al
Ilmiyah Cairo, 1327 H, Juz II halaman 11 Bandingkan dengan Msyfuq Zuhdi
dalam Masail Fiqhiyyah , halaman
215
[13] Disebarluaskan
berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008. Menurut hemat penulis,
memasukkan lembaga Hukum Zakat dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah dari segi
rumusannya memang kurang sejalan (
sinkron ) dengan undang-undang. Dalam UU Nomor 3 Tahun 2006 zakat dibahas
secara terpisah. zakat, di satu pihak dan ekonomi syari’ah, di pihak lain.
Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syari’ah zakat merupakan bagian (spesies)
dari ekonomi syari’ah.
[15] Ibrahim Hosen, Hubungan Zakat dan Pajak dalam
Islam, ( Makalah dalam Zakat dan Pajak ), PT Bina Rena Pariwara, Jakarta,
halaman 149.
[20] Sebagaimana diketahui
menurut Pasal 21 ayat (1) UU NOmor 23
Tahun 2011 muzakki diberi kewenangan melakukan penghitungan sendiri.
[21]Potensi masalah mengenai kasus zakat ini telah
diprediksikan oleh Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor :KMA/o32/SK/IV/2006
tanggal 4 April 2006 jo Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor 012/KMA/SK/II
2007 tanggal 5 Februari 2007. Hanya saja dalam Buku II tersebut belum
dijelaskan secara detail. ( vide : Pedoman Pelaksanaan Tugas dan
Administrasi Peradilan Agama, halaman 175.
[22] Ini sangat mungkin terjadi sebab menurut
ketentuan Pasal 21 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2011 pada prinsipnya muzakki
dapat melakukan penghitungan sendiri kewajiban zakatnya.
[23] Menurut Pasal 11 UU Nomor 23 Tahun 2011 untuk dapat
diangkat sebagai BAZ harus memenuhi syarat : a. warga negara Indonesia; b. beragama Islam; c. bertakwa kepada Allah SWT; d.
berakhlak mulia; e. berusia minimal 40 (empat puluh) tahun; f. sehat jasmani dan rohani; g. tidak menjadi anggota
partai politik; h. memiliki kompetensi di bidang pengelolaan zakat; dan i.
tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
[24] Atau disebut juga Reglemen Indonesia yang
diperbaharui (RIB) yang keberlakuannya
berdasarkan Stb. 194 No.44.
[25] Atau disebut juga Reglemen Daerah Seberang yang
keberlakuannya berdasarkan Stb. No. 227 Tahun 1927.
[26] Banyak contoh mengenai
hal ini, antara lain : masalah takliq
talak dengan alasan suami selama tiga bulan lamanya tidak memberikan nafkah
wajib kepada istri , masalah gugat provisi nafkah untuk istri dan anak selama
proses percaraian, sita marital bersararkan Pasal 75 KHI terhadap harta bersama
karena alasan suami pemboros, penjudi, dsb.
[27] Sebagaimana telah diamanatkan
oleh UU Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 10 (1) tentang Kekuasaan Kehakiman,
bahwa Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
[28] Sebagaimana diisyaratkan oleh
Pasal 5 UU Nomor 48 Tahun 2009. : ”Hakim dan hakim
konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Iizin
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya diberikan apabila memenuhi persyaratan
paling sedikit : a. terdaftar sebagai organisasi kemasyarakatan Islam yang
mengelola bidang pendidikan, dakwah, dan sosial.b. berbentuk lembaga berbadan
hokum. c. mendapat rekomendasi dari BAZNAS
[30] M.Yahya Harahap, Hukum
Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, halaman 48-68. Dalam Buku ini
secara panjang lebar telah dikupas mengenai kaidah-kaidah seputar formulasi
sebuah gugatan yang benar.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar