Kamis, 25 Agustus 2016

LGBT, mengapa ada?


Oleh : H. Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Klas I A)

Beberapa waktu yang lalu mencuat wacana seputar lesbian, gay, biseksual, dan transgender yang lazim disingkat LGBT. Persoalan tersebut menjadi kontroversial ketika ternyata ada sejumlah tokoh yang nota bene orang terdidik dengan terus terang mendukung eksistensinya. LGBT tidak bertentangan dengan al-Qur’an karena tidak ada satu teks-pun yang secara tegas melarangnya, begitu katanya. Isu HAM juga dijadikan salah satu argumentasinya. Padahal, pada saat yang sama hampir mayoritas masyarakat menganggap bahwa LGBT adalah perilaku menyimpang. Kontroversi inipun secara vulgar juga pernah dijadikan salah satu topik diskusi terbuka di salah satu stasiun TV swasta bergengsi di negeri ini.
Terlepas dari adanya pro dan kontra terhadap eksistensi LGBT, bagaimana pendangan terhadapnya dari sisi ilmu jiwa agama ( psychoreligy )?
ADANYA suara-suara yang menghalalkan perkawinan sejenis (homoseksual dan lesbian) sebenarnya lebih bersumber dari jiwa yang sakit, emosi yang tidak stabil dan nalar yang sakit. Demikian dikatakan pakar kedokteran jiwa dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK-UI) Prof. DR. dr. H. Dadang Hawari, Psikiater. Profesor ini, sebagaimana tertuang dalam bukunya, Pendekatan Psikoreligi pada Homoseksual, menyebutkan bahwa penyakit homo/lesbi ini bisa diobati. Kasus homoseksual tidak terjadi dengan sendirinya, melainkan melalui proses perkembangan psikoseksual seseorang, terutama faktor pendidikan keluarga di rumah dan pergaulan sosial. “Homoseksual dapat dicegah dan diubah orientasi seksualnya, sehingga seorang yang semula homoseksual dapat hidup wajar lagi (heteroseksual).”
Prof. Dadang Hawari mengimbau, bagi mereka yang merasa dirinya homoseksual atau lesbian dapat berkonsultasi kepada psikiater yang berorientasi religi, agar dapat dicarikan jalan keluarnya, sehingga dapat menjalani hidup ini dan menikah dengan wajar.
Sementara itu dikatakan Peneliti INSISTS, Henri Shalahuddin, LGBT (lesbian, gay, biseksual, dan transgender) termasuk masalah yang jelas-jelas menyimpang, baik ditinjau dari akal sehat maupun ajaran agama. Bahkan QS. Al’Araf: 80-84 secara gamblang menjelaskan perbuatan laknat ini yang tidak mungkin ditafsirkan selain perilaku homoseksual.
Dalam pandangan ulama klasik, sebagaimana dalam tafsir Al Kasysyaf, al-Imam Zamakhsyary (wafat 1143 M) menjelaskan makna “al-fahisyah” dalam QS. Al-A’raf : 80 tersebut sebagai tindak kejahatan yang melampaui batas akhir keburukan. Sedangkan ayat ata’tuna al-fahisyata (mengapa kalian mengerjakan perbuatan fahisyah itu) adalah bentuk pertanyaan yang bersifat pengingkaran dan membawa konsekuensi yang sangat buruk. Sebab, perbuatan faahisyah itu tidak pernah dilakukan siapapun sebelum kaum Nabi Luth. Maka janganlah mengawali suatu perbuatan dosa yang belum dilakukan kaum manapun di dunia ini. Rasulullah SAW  bersabda: “Barangsiapa mendapati orang yang melakukan perbuatan seperti kaum Nabi Luth, maka bunuhlah kedua-duanya, baik subjek maupun objeknya,” (HR. Tirmidzi).
Mengomentari berbagai teks-teks agama tersebut Henri akhirnya berkomentar: “Maka hukuman bagi perilaku seksual yang menyimpang dan menyalahi hukuman dan hikmah penciptaan, seperti homo dan lesbi dalam Islam adalah sangat jelas dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Itulah kejahilan yang hakiki, yaitu memandang baik sesuatu yang mestinya buruk dan memandang buruk hal yang semestinya baik.”  
Oleh karena itu, dengan mengacu kepada pendapat psikhiater dan teks-teks agama tersebut, jelaslah, bahwa LGBT bukanlah fitrah tetapi tidak lebih dari salah satu bentuk penyakit dari penyakit-penyakit pada umumnya. Sebagai penyakit  dapat masuk ke berbagai stadium dari yang rendah sampai yang tinggi. Dan, yang pasti,  ada garansi dari yang ahli di bidangnya, bisa diobati. Hanya saja, penyakit itu bisa menjadi sesuatu yang alamiyah seolah fitrah apabila tidak disadari oleh pengidapnya. Apalagi, jika sampai pengidap tersebut sudah pada tahap menikmatinya. Ini pula yang membedakan LGBT dengan penyakit pada umumnya.
Atau, jika  dengan memakai pendekatan perintah dan larangan, LGBT jelas menjadi salah satu bentuk larangan Allah seperti larangan berzina, larangan mencuri, dan larangan berjudi. Seorang yang sudah terbiasa berzina atau melakukan larangan-larangan itu akan menjadi terbiasa dan pada tahap tertentu akan menikmatinya. Seorang yang residivis akan terus melakukan tindak kriminal karena sudah demikian menikmatinya, sekalipun sadar hal itu dilarang.
Pertanyaan kita, mengapa kelompok yang dahulu kita anggap sebagai a-sosial ini kini seolah mendapatkan tempat?
Tidak dapat dipungkiri arus globalisasi dengan segala kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi ikut menjadi biangnya. Informasi apapun, baik yang positif maupun negatif mempunyai peluang yang sama untuk kita serap atau bahkan menguasai pikiran kita. Persoalannya, tinggal bagaimana sikap kita,  mau memilah dan memilih atau tidak. Untuk anak-anak kita, memilihkan pendidikan dengan  basis agama yang kuat, akan sangat membantu anak memilah dan memilih  setiap informasi yang masuk. Proteksi diri ( selfprotection ) anak hanya akan diharapkan dari model pendidikan demikian.
Semoga kita dan anak keturunan kita terlindung darinya, amin.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar