Kamis, 26 Maret 2009

Daftar Pemilih Tetap ( DPT) Pemilu

DPT SALAH, SIAPA YANG SALAH?

Oleh : Asmu’i Syarkowi

(Hakim PA Jember)

Pemilihan umum ( Pemilu ) sudah tinggal menghitung hari. Tetapi sejumlah persoalan masih menghadang, seperti pelaksanaan kampanye 40 lebih partai peserta pemilu yang tentunya semuanya ingin menang. Mengatur jadwal sekian banyak partai beserta masanya tentu bukan persolan gampang. Salah me-manaj bisa-bisa menjadi malapetaka tidak saja bagi pelaksanaan pemilu, tetapi juga bagi seluruh bangsa. Sehingga, tidak berlebihan jika hari-hari ini adalah hari menegangkan bagi para piranti Negara. Panwaslu, Kepolisian, dan KPU adalah sebagian piranti Negara yang kini paling merasakan ketegangan itu.

Salah satu persoalan yang dihadapi KPU saat ini adalah merebaknya daftar pemilih tetap ( DPT ) yang belum dapat dianggap tetap. Dikatakan belum tetap karena akurasi DPT ini masih disangsikan oleh banyak pihak. Isu seputar DPT ini antara lain merebak dari Jatim. Puncaknya, terkuak ketika sang Irjen Polisi mantan Kapolda Jatim mengundurkan diri. Saking jengkelnya, ada banyak pihak termasuk parpol tertentu mengusulkan agar pelaksanaan pemilu ditunda saja.

Melihat perkembangan demikian kitapun lantas bertanya, mengapa sampai muncul DPT yang tidak akurat, apapula kerja KPU, dan perlukah pelaksanaan pemilu ditunda?

Munculnya DPT salah akibat adanya sebagian persoalan mendasar bangsa yang sampai saat ini belum diatasi. Apa itu? Tidak lain adalah masalah semrawutnya data kependudukan kita. Betapa tidak. Hingga kini Indonesia belum mempunyai data base kependudukan yang akurat. Negara mencanangkan pembuatan kartu tanda penduduk (KTP). KTP ini begitu urgen, hinga setiap mengalami transaksi apa saja, mengurus hak-hak keperdataan, dan melamar menjadi caleg, harus mempunyai KTP. Bagitu pentingnya KTP sampai ada semacam ‘sindikat’ pembuatan KTP. Sindikat tersebut melibatkan masyarakat tertentu dan para oknum tertentu di pemerintahan. Akibat urgennya KTP dan adanya sindikat tersebut tidak jarang seseorang dapat mempunyai lebih dari satu KTP. Bahkan, ada orang yang mempunyai KTP sampai lebih dari 1 buah dan sama-sama masih berlaku. Ironis. Sebagai bangsa yang telah merdeka lebih dari 60 tahun dan sudah mengenal manfaat teknologi informasi tidak saja ironis tetapi juga memprihatinkan. Padahal, juga sudah ada piranti pemerintahan dari yang paling bawah bernama RT/RW. Mestinya Negara sudah mulai mendata semua warganya berikut identitas yang diperlukan. Selanjutnya, data tersebut dimasukkan semacam data base yang dikelola secara on line. Seorang bernama si Badu apabila dibuka aparat yang berkompeten dapat melihat segala file identitasnya secara lengkap. Termasuk ketika pernah mempunyai pengalaman di bidang kriminalitas. Kita dapat belajar di Negara maju lewat filem. Misalnya, ketika ada seorang masuk kawasan penting seperti bandara. Orang tersebut terlihat mencurigakan. Kamera CCTV yang telah terpasang di setiap sudut dinding langsung merekam. Rekaman tersebut dicocokkan dengan foto yang berada di data base kependudukan yang ada. Ternyata cocok. Pada saat itu juga regu aparat kemanan dengan sigap membuntuti dan mengamankan orang yang mencurigakan tersebut. Jadi, data base kependudukan tidak berguna bagi ketertiban administrasi tetapi juga bagi keamanan Negara. Negara lain bisa mengapa kita tidak.

Kinerja KPU selama ini juga patut dipertanyakan. Mestinya begitu terbentuk, agenda pertama yang harus dilaksanakan adalah melakukan evaluasi kinerja KPU sebelumnya. Saya yakin KPU sudah melakukannya. Akan tetapi kebiasaan pemimpin kita memang sering bersikap over confidence. Selalu merasa bahwa apa yang dilakukan adalah baik dan benar. Kurang atau bahkan tidak mau mendengar pendapat pihak lain. Padahal sudah pasti, apa yang dianggap baik dan benar oleh mereka belum tentu baik dan benar menurut kita. Ini sudah semacam kaidah umum. Mau mendengar kritik dan saran sejak dini adalah kunci mendekati kebenaran dan kabaikan yang menjadi tujuan. Bagi KPU kebenaran dan kebaikan tersebut adalah suksesnya penyelenggaraan Pemilu. Orang yang kini mengkritisi DPT adalah tidak hanya pihak yang merasa dirugikan akibat DPT yang dianggap salah ini. Akan tetapi, juga pihak akademisi. Yang disebut terakhir ini tidak mempunyai pamrih apapun kecuali agar pelaksanaan pemilu yang –bagi perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara—sepenting ini dapat berjalan dengan sukses. Pertanyaannya, sudahkah dari awal KPU melibatkan mereka untuk ‘mengelola’ DPT ini?. Jawabannya ada di pihak KPU sendiri. Tapi melihat gelombang protes terhadap DPT yang ada, adalah akibat terlalu percayanya KPU terhadap data sebelumnya. Tanpa kesediaan mem-verifikasi ulang. Ibarat orang makan, KPU cukup puas dengan sajian pihak catering. Dan, catering tersebut oleh KPU dianggap pihak yang sudah bonafide. Kalau sudah demikian salahkah KPU? Selanjutnya akibat DPT yang kontroversi ini pemilu ditunda?.

Sesuai agenda pemilu seharusnya harus sudah terlaksana pada tanggal 9 April mendatang. Sebelum munculnya isu DPT ini juga sudah muncul wacana penundaan pemilu. Alasannya, pelaksanaan pemilu beriringan dengan hari raya keagamaan agama tertentu. Akan tetapi, segera dijawab sang petinggi KPU sendiri dengan meberikan penegasan yang intinya, bahwa tanggal 9 April sudah final. Keinginan penundaan pemilu dari sekelompok masyarakat tersebutpun tenggelam dengan sendirinya. Berapa tokoh agama mereka malah lebih jauh menghimbau agar ummatnya tidak golput. Tetapi isu DPT ini tampaknya bukan main-main. Beberapa tokoh parpol peserta pemilu tertentu bahkan melontontarkan semacam ultimatum. Jika mereka sudah tahu bahwa tahapan pemilu sudah terencana. Tahapan yang sudah tersusun oleh KPU juga sudah diketahui, termasuk keberadaan ‘calon’ DPT ini. Pertanyaan kita, mengapa dari awal para pengkritik DPT ini tidak segera mewacanakan. Terhadap masalah sepenting DPT ini, mestinya dari awal semua pihak juga mewacanakannya. Khususnya para fungsionaris parpol peserta pemilu. Bukankah mereka paling berkepentingan tarhadap akurasi DPT. Menyangsikan akurasi DPT saat ini sebenarnya ibarat mengurungkan pertempuran akibat jumlah pasukan tidak komplit sementara musuh sudah di depan mata.

Fenomena ini akan menguatkan stigma bahwa kita adalah bangsa yang telmi ( telat mikir). Telat mikir atau karena pura-pura telat mikir ?. Keinginan penundaan pemilu harus ditanggapi ekstra hati-hati oleh semua pihak, termasuk KPU. Ada apa di balik itu? Apakah karena adanya hasil-hasil polling oleh sejumlah LSM yang merugikan mereka, atau karena ada pihak yang mencoba menggagalkan pemilu, atau dari pihak siapa? Sejumlah pertanyaan patut diajukan untuk menyikapinya. KPU diharap bijak. Di sini integritas KPU diuji. Lantas siapa yang salah?.

Tanpa bermaksud membela pihak manapun, yang jelas, dari realitas di muka, tampaknya ketidakakurasian DPT seperti yang ramai diwacanakan sekarang, harus menjadi tanggung jawab tidak hanya KPU tetapi juga pengelola data kependudukan dan para parpol peserta pemilu. Bahkan, kita semua ?.


Bio Data Penulis :

Nama : Drs.H.Asmu’i Syarkowi, M.H.

Tempat & Tgl Lahir : Banyuwangi, 15 Oktober 1962

Pendidikan : S-1 Fak.Syari’ah IAIN Yogyakarta 1988

S-2 Hukum UMI Makassar 2001

Jabatan : Mantan Ketua Pengadilan Agama Waingapu NTT sekarang Hakim Pengadilan Agama Jember

Alamat e-mail :asmui.15@gmail.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar