PERWAKAFAN MENURUT FIKIH DAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Oleh : H.Asmu’i Syarkowi
(Hakim Pengadilan Agama Jember)
A. Pendahuluan
Dewasa ini kondisi ummat Islam masih lemah secara ekonomi. Secara kasat mata hal ini dapat diketahui dari kondisi riil kaum muslimin di berbagai belahan bumi dan pada akhirnya secara umum dapat disimpulkan bahwa sinyalemen tersebut memang benar adanya. Sebagai contoh, hampir sebagaian besar negara-negara miskin, adalah negara yang berpunduduk muslim. Baberapa negara Islam kaya di timur Tengah, misalnya ternyata tidak cukup untuk menghapus kesan kemiskinan umat Islam pada umumnya.
Ummat Islam Indonesia tentunya tidak bisa dikecualikan dari fenomena kemiskinan tersebut. Yang memprihatinkan adalah ketika kita mengetahui bahwa ummat Islam adalah mayoritas di negeri ini. Bukankah dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kemiskinan ummat Islam tersebut juga menjadi potret kemiskinan bangsa. Maraknya berbagai bencana yang melanda ‘negeri sejuta pulau’ ini tampaknya juga semakin memperparah kondisi tersebut.
Pada saat demikian inilah pada akhirnya mengharuskan ummat Islam untuk menelaah dan mengkaji lagi tentang hubungan ajaran agama dengan salah satu problem pokok kehidupan terkini, yaitu kemiskinan tersebut. Kajaian ini diawali dengan sebuah pertanyaan mendasar, sejauhmana kontribusi ajaran Islam dalam memecahkan problem kemiskinan tersebut. Pertanyaan tersebut penting, sebab secara tekstual banyak ajaran-ajaran Islam yang menjanjikan kesejahteraan hidup setiap orang beriman, tidak saja di akhirat tetapi juga di dunia. Pertanyaan berikut, kalau demikian, mengapa terjadi kesenjangan apa yang seharusnya ( das Sollen ) dengan kenyataan ( das Sein )? Di mana letak kesalahannya?
Salah satu aspek ajaran agama yang perlu mendapat kajian tersebut adalah ajaran Wakaf. Lembaga agama ini di samping secara tekstual telah lebih 15 abad disyari’atkan juga diharapkan mampu “menghapus” kemiskinan ummat Islam. Mengapa?. Sebagaimana tercatat dalam sajarah, lembaga ini pada abad ke 8 dan 9 Hijriyah telah mencapai zaman keemasannya. Pada masa itu wakaf meliputi berbagai benda dan di bawah pengawasan dan pembinaan para Sultan.[1]
Tetapi, lembaga inipun kini masih belum bisa diharapkan terlalu banyak untuk mensejahterakan umat Islam. Pada hal kuantitas ummat Islam yang mayoritas, banyaknya ummat Islam yang relatif berhasil secara ekonomi, dan dukungan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan mestinya menjadi potensi bagi tercapainya kesejahteraan ummat Islam, bahkan bangsa Indonesia, melalui lembaga wakaf ini.
Kiranya dalam konteks itulah kita yang hadir di sini perlu untuk mengkaji ulang ajaran wakaf ini. Tulisan berikut secara deskriptif analitik menyajikan pembahasan tersebut dengan mengemukakan pembahasan secara garis besar mengenai sisi akademis dan praktisnya.
B. Pengertian Wakaf
1. Menurut bahasa
Kata Wakaf berasal dari bahasa Arab waqafa yang menurut bahasa beberti “menahan” atau “berhenti”[2].
Dalam Kamus Besar bahasa Indonesia wakaf diberi arti : tanah negara yang tidak dapat diserahkan kepada siapapun dan digunakan untuk tujuan amal, benda bergerak atau tidak bergerak yang disediakan untuk kepentingan umum sebagai pemberian yang ikhlas; hadiah atau pemberian yang bersifat suci.[3]
2. Menurut Istilah Fuqaha
Sejak dulu telah terjadi perbedaan pendapat tentang pengertian wakaf. Dengan demikian memang belum ada satu pengertian mengenai hal itu yang disepakati. Akibat perbedaan dalam memberi pengertian wakaf tersebut pada akhirnya menimbulkan perbedaan akibat hukum yang ditimbulkan. Bukan sekedar berbeda dalam hal redaksi.
Untuk menambah cakrawala pengetahuan, berikut dikemukakan pengertian wakaf dari para Fuqaha dalam 4 madzhab, yaitu :
a. Menurut Ulama Hanafiyyah
Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.[4]
b. Menurut Ulama Malikiyyah
Menjadikan manfaat benda yang dimiliki, baik yang berupa sewa atau hasilnya untuik diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh yang mewakafkan.[5]
c. Menurut Ulama Syafi’iyyah
Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.[6]
d. Menurut Ulama Hanabilah
Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta itu sedangkan manfaatnya dimanfaatkan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.[7]
Dari pengertian yang dikemukakan fukaha tersebut paling tidak dapat diterik kesimpulan, yaitu :
- bahwa terdapat dua pendangan dalam memberi pengertian wakaf. Dua pengertian tersebut sangat bertolak belakang akibat hukumnya, yaitu menurut ulama Hanafiyyah dan Malikiyyah di satu pihak dan menurut Ulama Syafiiyyah di pihak lain.
- Pendapat pertama berakibat hukum bahwa benda wakaf tidak mengakibatkan barang yang diwakafkan keluar dari kepemilikan wakif, sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa wakaf dapat mengakibatkan yang diwakafkan keluar dari kepemilikannya.[8]
3. Pengertian Wakaf Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia[9]
a. Menurut PP 28 Tahun 1977
Dalam ketentuan Umum Wakaf diberi pengertian sebegai berikut :
“adalah perbutan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannyayang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.[10]
b. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004
Dalam ketentuan umum wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/ atau menyerahkan sebagian hartabenda miliknya untuk dimanfaatkan selamanaya atau jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/ atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[11]
c. Menurut UU Nomor 3 Tahun 2006
Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Prubahan UU Nomor 7 Tahun 1989 wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“Yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang ( Wakif ) untuk memisahkan dan/ ataumenyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentusesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[12].
d. Menurut Kompilasi Hukum Islam( KHI )
Sebagaimana termuat dalam BUKU II KHI, wakaf diberi pengertian sebagai berikut :
“adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagaian dari benda miliknya dan melembagaaakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.[13]
Dari pengertian-pengertian dapat ditarik kesimpulan, antara lain :
1. Bahwa pengertian wakaf yang ada di Indonesia sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh Madzhab Syafi’i dan Hambali.
2. Bahwa cakupan wakaf yang diatur dalam PP Nomor 28 Tahun 1977 lebih sempit dibanding dengan cakupan yang diatur dalam UU Nomor 3 tahun 2006 dan KHI. Menurut PP 28 Tahun 1977 benda yang diwakafkan hanya sebatas tanah milik, sedangkan menurut aturan selainnya benda yang diwakafkan tidak hanya sebatas tanah milik tetapi juga harta benda lainnya.
C. Dasar Hukum Wakaf
Lembaga wakaf merupakan salah satu ajaran yang diyari’atkan. Hal ini dapat diketahui dari adanya dalil, antara lain sebegai berikut :
1. Al Qur’an
a. Surat Al Baqarah ayat 267
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah ( di jalan Allah )sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan dari sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya pada hal kamu sendiri tidak mau memgambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
b. Surat Ali Imran ayat 96
Kamu sekali-sekali tidak sampai kepada kebajikan ( yang sempurna ) sebelum kamu manafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.
c. Surat Al Maidah ayat 2
Dan tolong menolonglah kamu dalam ( mengerjakan ) kebajikan dan ketaqwaan.
d. Surat Al Hajj ayat 77
Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Rabmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapatkan kemenangan.
2. Al Sunnah
a. Hadits Riwayat dari Ibnu Umar r.a.
Diiriwayatkan dari Ibnu Umar r.a. ia berkata, bahwa Umar mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, lalu ia pergi kepada Rasilullah SAW seraya berkata : Saya mendapatkan bagian tanah yang belum pernah saya dapatkan harta yang paling saya sayangi sebelumnya dari harta itu. Apakah yang akan Nabi peintahkan kepada saya ? Rasulullah menjawab : Jika Engkau mau tahanlah dzat bendanya dan sedekahkan hasilnya. Kemudian Umar menyedekahkan dan ( menyuruh )supaya tidak dijual, dihibahkan dan diwariskan sedangkan manfaat benda itu diberikan kepada fuqara’, sanak kerabat, hamba sahaya, sabilillah tamu dan pelancong. Sdan idak ada dosa bagi yang mengurusi harta tersebut makan secara wajar atau meberi makan kepada temannya dengan tidak bermaksud memilikinya.
Azhar Basyir membeikan komentar terhadap hadits tersebut, sebagai berikut :
- Hadits itulah yang secara spesifik mejnjadi dasar hukum lembaga wakaf dalam Islam.
- Harta wakaf tidak dapat dipindahkan kepada orang lain, baik dengan diperjual belikan, diwariskan, maupun dihibahkan;
- Harta wakaf dinggap terlepas dari orang yang wakaf;
- Tujuan wakaf harus jelas;
- Harta wakaf bisa dikuasakan kepada pengawas dan mempunyai hak untuk mengambil manfaat dari wakaf seperlunya, tidak berlebih-lebihan.[14]
D. Macam-macam Wakaf
Dalam kitab-kitab fikih dikupas, bahwa bila ditinjau dari segi ditujukan kepada siapa, wakaf dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu :
1. Wakaf Ahli atau wakaf Dzurri
Disebut demikian karena wakaf ini ditujukan kepada orang-orang tertentu, baik seorang atau lebih atau baik keluarga si wakif sendiri atau bukan.[15]
2. Wakaf Khairi
Yag dimaksud dengan wakaf khairi adalah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan, seperti wakaf yang diserahkan untuk kepentingan pembangunan masjid, sekolahan, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim, dan lain-lain.[16]
E. Rukun dan Syarat Pelaksanaan Wakaf
Dalam fikih wakaf biasanya dikemukakan , bahwa suatu wakaf sah apabaila terpenuhi rukun dan syaratnya.
1. Rukun Wakaf ada 4 macam, yaitu :
a. Wakif, yaitu orang yang berwakaf.
b. Maukuf bih, yaitu barang yang diwakafkan.
c. Maukuf ‘alaih, yaitu pihak yang diberi wakaf atau peruntukan wakaf.
d. Shighat, yaitu pernyataan atau ikrar wakif seagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagaian harta bendanya.[17]
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, pelaksanaan wakaf harus dipenuhi 6 unsur-unsur, yaitu :
a. Wakif;
b. Nadzir;
c. Harta benda wakaf;
d. Ikrar wakaf;
e. Peruntukan harta benda wakaf;
f. Jangka waktu wakaf[18]
2. Syarat Wakaf
a. Syarat bagi Wakif
Orang yang mewakafkan disyaratkan harus cakap berindak dalam membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak ini meliputi 4 ( empat ) kreteria, yaitu :
- Merdeka
- Berakal sehat
- Dewasa
- Tidak berada di bawah pengampuan.[19]
Syarat-syarat di atas adalah dieruntukkan bagi perorangan. Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, wakif tidak sebatas perorangan tapi juga bisa organisasi dan badan badan hukum. Jika wakif berupa perorangan sayat syarat yang harus dipenuhi wakif adalah : dewasa, barakal sehat, tidak terhalang melakukan perbuatan hukum, dan pemilik sah harta wakaf.[20]
Jika wakif berupa berupa organisasi atau badan hukum, tampaknya UU menyerahkan persyaratan wakif kepada anggaran dasar organisasi yang besangkutan jika wakif berupa organisasi dan ketentuan badan hukum jika wakif berupa badan hukum.[21]
b. Syarat Maukuf bih
Benda yang diwakafkan dipandang sah untuk diwakafkan apabila memenui syarat sebagai berikut :
- Harus mempunyai nilai/ berguna;
- Benda tetap atau benda bergerak yang dibenarkan untuk diwakafkan.
- Benda yang diwakafkan harus diketahui ketika diakadkan.
- Benda yang diwakafkan telah menjadi milik tetap si wakif ketika diakadkan.[22]
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, barang yang diwakafkan hanya diberikan ketentuan yang bersifat umum yaitu bahwa harta benda tersebut harus dimiliki dan dikuasai wakif secara sah.[23] Hanya saja mengenai jenis dan macamnya telah disebut secara limitatif.[24]
c. Syarat Maukuf Alaih
Tujuan wakaf atau peruntukan wakaf disyaratkan dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan diperbolehkan menurut Syari’at Islam.[25]
Faisal Haq, mengemukakan bahwa yang dimaksud mahkum alaih ini menurut Fikih di samping apa tujuan wakaf juga siapa penerima wakaf tersebut.
Adapun syarat penerima wakaf tersebut, menurutnya adalah harus dinyatakan secara tegas dan jelas pada saat ikrar wakaf diucapkan. Apabila wakaf ahli harus disebutkan nama atau sifat maukuf alaih sebara jelas dan jika wakaf itu wakaf khairy atau ditujukan untuk umum, suatu badan hukum atau tempat ibadah, harus ada nadhir/pengawas yang ditunjuk untuk mengelola wakaf tersebut.[26]
Menurut UU Nomor 41 Tahun 2004, pada ketentuan Pasal 22 secara limitatif telah ditegaskan, bahwa peruntukan wakaf adalah sebagai berikut :
a. sarana ibadah dan kegiatan ibadah;
b. sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan;
c. bantuan kepada fakir miskin, anak terlantas, yatim piatu, bea siswa;
d. kemajuan dan peningkatan ekonomi umat, dan atau
e. kemajauan kesejahteraan umum lainnya yang tidsak bertentangan dengan syari’ah dan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan peruntukan tersebut, dengan mengacu kepada ketentuan huruf d tampaknya bukan ketentuan yang bersifat kumulatif tetapi hanya alternatif. Artinya, dalam praktek misalnya ketika seseorang ingin mewaklafkan harta bendanya dan harus menyebut peruntukannya, maka dapat memilih salah satu peruntukan yang diinginkan sesuai dengan kondisi harta yang ingin diwakafkan.
d. Syarat Shighat
Sighat akad ialah segala ucapan, tulisan atau isyarat dari orang yang berakad untuk menyatakan kehendak dan menjelaskan apa yang diinginkannya. Oleh karena wakaf merupakan salah satu bentuk tasharruf/ tabarru” maka sudah dinggap selesai dengan adanya ijab saja meskipun tidak diikuti dengan qabul dari penerima wakaf.[27]
Sedangkan tujuan wakaf harus ditujuan untuk ibadah dan mengharapkan balasan/pahala dari Allah SWT.
Menurut Fikih lafad shighat wakaf tersebut ada 2 macam, yaitu :
- lafad yang jelas ( sharih ), seperti :ﺤ
( Aku mewakafkan, aku menahan, aku mendemarkan )[28]
- Lafad kiasan ( kinayah ), seperti :
( Aku mensedekahkan, aku melarang, aku mengekalkan )[29]
Adapun syarat sahnya shighat ijab, baik berupa ucapan atau tulisan ialah :
- shighat harus terjadi seketika /selesai ( munjazah )
- shigat tersebut tidak diikuti dengan syarat yang bathil, yaitu syarat yang menodai dasar wakaf. Misalnya, “Saya wakafkan rumah ini untuk diri saya sendiri seumur hidup, kemudian setelah saya meninggal untu anak-anak dan cucu saya dengan syarat bahwa saya boleh menggadaikannya kapan saja saya kehendaki... atau jika saya meninggal wakaf ini menjadi harta waris bagi para ahli waris saya.
- Shighat tidak diikuti pembaytasan waktu terentu.
- Tidak mengandung pengertian untuk mencabut kembali wakaf yang suidah dilakukan.
Menurut Faisal, syarat tersebut pada prinsipnya telah disepakati oleh semua golongan Ulama, keculai para Ulama Madzhab Maliki. [30]
Dalam UU Nomor 41 Tahun 2004, rukun dan syarat wakaf memang tidak dirinci sebagaimana dalam fiqih. Sekalipun demikian tidak berarti karena itu UU tersebut kurang memperhatikan keabsahan pelaksaan wakaf dari aspek syari’at. Sebab, dalam UU tersebut ditegaskan bahwa : “ Wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syari’ah”. Dengan demikian, UU tetap memberikan kewenangan terhadap syari’at Islam untuk menilai keabsahan pelaksanaan wakaf, termasuk dalam hal syarat dan rukun wakaf ini.
F. Persoalan-persoalan Wakaf Menurut Fukaha
1. Tentang Benda yang diwakafkan
- Menurut Malikiyyah, diperbolehkan mewakafkan segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat kepada orang yang diberi wakaf, baik berupa benda tetap maupun bergerak, baik untuk selamanya atau untuk waktu tertentu.
- Menurut Syafi’iyyah, barang diwakafkan haruslah barang yang kekal manfaatnya baik barang tak bergerak atau barang bergerak.
- Menurut Hanabilah, barang yang diwakafkan adalah semua barang yang sah diperjual belikan. Dengan kata lain, semua benda yang sah diperjual belikan sah pula diwakafkan.[31]
2. Pengalihan harta wakaf
Pengalihan yang dimaksud penulis di sini dapat berarti menjual atau menukar. Mengenai hal ini juga telah menjadi perdebatan para ulama fuqaha. Perbedaan tersebut berangkat dari adanya hadits qauly yang disampaikan oleh rsulullah ketika awal disyariatkannya lembaga wakaf. Rasulullah bersabda : “ Tanah wakaf itu tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan, dan tidak pula dihibahkan”.[32]
Dalam memahami hadits tersebut secara garis besar terdapat dua kelompok pendapat. Pertama, yang mamahmi secara harfiyah. Menurut pendapat ini wakaf tidak boleh dipejual belikan atau ditukarkan atau diubah. Konsekuensinya, menurut pendapat ini masjid atau peralatan masjid sebagai wakaf meskipun sudah tidak dapat digunakan, tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukarkan harta wakaf berarti memutuskan harta wakaf. Si wakif hanya mendapat aliran pahala wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari benda lain tukarannya.Yang berpendapat seperti ini antara lain sebagian pengikut Imam malik dan sebagian pengikut Imam Syafi’i.[33]
Kedua, yang memahami secara substansial. Menurut pendapat ini larangan menjual harta wakaf dalam hadits itu hanyalah bagi harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan suatu kebutuhan. Adapun harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan lagi boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya. Pendapat seperti ini dikemukakan oleh Imam Ahmad bin Hambal.[34] Adapun menukar harta wakaf untuk diwakafkan juga, selain wakaf masjid, menurut segolongan pengikut Imam Ahmad diperbolehkan. Sedangkan untuk wakaf masjid yang masih dapat dipergunakan menurut riwayat Imam Ahmad tersebut terdapat dua pendapat, yaitu ada yang membolehkan dan ada yang tidak membolehkan. Ibnu Taimiyah memilih pendapat ang membolehkan.[35]
3. Menarik kembali harta wakaf
- Menurut Hanafi dan Maliki, harta yang diwakafkan boleh ditarik kembali, sebab menurut mereka wakaf tidak menyebabkan harta yang diwakafkan keluar dari kepemilikannya.
Akan tetapi, menurut Madzhab Hanafi, harta yang diwakafkan tidak dapat ditarik kembali jika ada alasan sebagai berikut :
- Bila pelaksanaan wakaf dengan jalan wasiyat.
- Bila wakaf diperuntukkan untuk kepentingan tempat ibadah, seperti masjid atau mushalla
- Apabila ada kepetusan pengadilan yang memutuskan bahwa harta wakaf itu tidak boleh ditarik kembali.
- Menurut Madzhab Syafi’i dan Hanbali harta yang sudah diwakafkan tidak dapat ditarik kembali. Menurut mereka wakaf meneyebabkan harta yang diwakafkan keluar dari keepemilikannya.[36]
4. Wakaf untuk Non Muslim atau sebaliknya
- Menurut Madzhab Maliki, wakaf dari non muslim hukumnya sah jika merupakan ibadah menurut agama mereka, walaupun menurut hukum Islam bukan merupakan ibadah. Tetapi, jika mereka mawakafkan untuk untuk masjid tidak sah, sebab hal itu bukan merupakan ibadah menurut agama mereka.
- Menurut Madzhab Syafi’i dan Hambali, wakaf non muslim hukumnya sah jika merupakan ibadah menurut hukum Islam, walaupun menurut agama mereka tidak merupakan ibadah, misalnya : wakaf untuk masjid atau syi’ar Islam lainnya.[37]
5. Menjual Harta Wakaf
Ulama berbeda pendapat tentang hukum menjual harta wakaf, yaitu :
- Menurut pendapat Malikiyyah dan sebagian Syafi’iyyah tidak boleh menjual harta wakaf. Menurut pendapat ini, masjid atau peralatan masjid meskipun sudah tidak dapat digunakan tidak boleh dijual atau ditukarkan. Menjual atau menukar harta wakaf bebarti memutuskan harta si wakif. Wakif hanya akan mendapat aliran pahala wakafnya dari benda yang diwakafkannya, bukan dari dari benda lainnya penggantinya. Oleh sebab itu, batu atau tembok reruntuhan dinding masjid yang dibongkar bila tidak dapat digunakan sebagai dinding, bisa difungsikan untukyang lain buat kepentingan masjid, bukan untuk dijual.
Menurut Prof. Dr. Satria Efendi M. Zain, pendapat tersebut timbul akibat memahami hadits yang melarang menjual harta wakaf secara harfiyyah.[38]
- Menurut pendapat Ahmad bin Hanbal, harta wakaf yang sudah tua atau hampir tidak dapat dimanfaatkan, boleh dijual dan uangnya dibelikan lagi penggantinya. Sebab, larangan menjual wakaf sebagaimana tertuang dalam hadits yang dimaksud adalah menjual harta wakaf yang masih dapat dimanfaatkan.
Menurut Prof.Dr. Satria Efendi, pendapat demikian timbul karena memahami hadits-- yang melarang menjual harta wakaf—dengan lebih berorientasi kepada hal-hal yang bersifat substansial.[39]
6. Peralihan Harta Wakaf.
G. Pelaksanaan Wakaf dan Pengadilan
Sebagaimana disinggung di muka bahwa tampaknya pelaksanaan wakaf ini tidak bisa dipisahkan dengan lembaga peradilan. Hal ini wajar sebab, wakaf adalah menyangkut harta benda yang terkait dengan kepemilikan seseorang. Di samping itu, dalam pengelolaannya juga rawan dengan kesalahan atau bahkan kecurangan yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak kejahatan.
Sebagaimana diketahui bahwa di Indonesia terdapat 4 sistem peradilan, yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.[40] Keempat peradilan tersebut disamping semuanya merupakan peradilan negara yang sederajat akan tetapi telah ditetapkan wilayah yurisdiksi masing-masing.
Pertanyaannya adalah lembaga peradilan manakah apabila di kemudian hari terdapat persoalan wakaf.
Pada Pasal 62 UU Nomor 41 Tahun 2004 terdapat ketentuan :
Ayat (1) : “Penyelesaian sengketa perwakafan ditempuhmelaui musyawarah untuk mufakat”
Aya (2) : “Apabila penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksu pada ayat (1) tidak berhasil sengketa dapat diselesaikan melaui mediasi, arbitrase, atau pengadilan.
Ketentuan pasal tersebut diberi penjelasan, bahwa yang dimaksud pengadilan tersebut adalah Pengadilan Agama dan Mahkamah Syar’iyyah.
Pada saat yang sama Pasal 67 juga memuat ketentuan sebagai berikut :
Ayat (1):Setiap orang yang dengan sengaja menjaminkan, menghibahkan, menjual, mewariskan mengalihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya harta benda wakaf yang telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 atau tanpa izin menukar harta benda wakaf yag telah diwakafkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41dipidana dengan pidana paling lama 5 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,- ( Limaratus juta rupiah ).
Ayat ( 2 ), ayat ( 3 ) dst.
Sekalipun tidak disebutkan dan tidak ditemukan dalam penjelasan pasal, kiranya dengan melihat kewenangan lembaga-lembaga peradilan yang ada, dapat diketahui bahwa peradilan megenai adanya tindak pidana yang terjadi seputar wakaf menjadi yurisdiksi Peradilan Umum. Atau, dengan kalimat lain, yang berwenang mengadili perkara mengenai ketentuan pidana tersebut adalah lembaga Peradilan Umum.
H. Penutup
Demikianlah sekelumit pembahasan mengenai wakaf ini dengan harapan dapat menjadi bahan diskusi bagi para peserta sosialisasi. Semoga bermanfaat.
Waingapu, 5 Agustus 2006
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
BIO DATA PENULIS
Nama : H. Asmu’i Syarkowi
Tempat/Tgl Lahir : Banyuwangi/ 15 Oktober 1962
Pendidikan : Bachelor of Art (BA). dari Fak. Syari’ah IAIN Yogya tahun 1985;
Doctorandus (Drs.) dari Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta tahun 1988;
Magister Hukum (M.H.) dari Universitas Muslim Indonesia Makassar tahun 2001.
Pekerjaan : Hakim Pengadilan Agama Jember Klas I A, mantan Ketua Pengadilan Agama Waingapu NTT
Alamat : Jln Letjen Suprapto RT 01 RW 02 Kebonsari, Sumbersari, Jember
E-mail : asmui.15@gmail.com
[1] Proyek Pemberdayaan Wakaf Dijen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, Fikih Wakaf, Halaman 85
[2] Satria Efendi, Problematika Huum Islam Kontemporer, Departemen Agama RI, Jakarta,halaman 425
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002 : 1266
[4] Ibnu Najim, Al Bahr al Raiq, Juz V, Dar al Kutub al Arabiyah al Kubra, Mesir, halaman 187
[5] Sayyid Ali Fikry, Al Muamalat al Maddiyyah wa al Adabiyyah, Juz II, Dar al Kuutub al Arabiyyah, Beirut, halaman 304.
[6] Al Syarbiny, Mughni al Muhtaj, Juz II, Mustafa al Bab al Halaby, Mesir, 376.
[7] Sayyid Ali Fikri, halaman 312
[8] Bandingkan dengan Staria Efendi M Zein, Problematika Hukum Keluarga Kontemporer, halaman 416-420.
[9] Sebelum berlalakunya UU Perwakafan
[10] Pasal 1 angka (1)
[11] Pasal 1 angka ( 1 )
[12] Penjelasan Pasal 49 huruf ( e )
[13] Pasal 215 ayat ( 1 )
[14] Azhar Basyir, halaman 6
[15] Faisal Haq, 3
[16] Ibid, halaman 6
[17] Fikih Wakaf, halaman 19
[18] Pasal 6
[19] Faisal Haq, dkk, Hukum Wakaf dan Perwakafan di Indonesia, PT Garuda Buana, Pasuruan, halaman 17-18.
[20] Pasal 8 ayat (1)
[21] Pasal 8 ayat ( 2 dan 3 )
[22] Ibid, halaman 22-24
[23] Pasal 15
[24] Pasal 16
[25] Fikih Wakaf, halaman 44
[26] Faisal Haq, 24-25
[27] Faisal Haq, halaman 26.
[28] Ibid,
[29] Ibid
[30] Ibid, halaman 27-28
[31] Ibid, halaman 23
[32] HR Bukhary
[33] Satria Efendi, halaman 436-437
[34] Ibid, halaman 637.
[35] Ibid.
[36] Satria Efendi, halaman 416-419
[37] Faisal Haq, halaman 26
[38] Satria Efendi, halaman 436-437
[39] Ibid.
[40] Pasal 24 UUD 1945
Tidak ada komentar:
Posting Komentar