Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Nama Rocky Gerung boleh dibilang kurang dikenal sebelum adanya program
diskusi elit bernama Indonesia Lawyer Club --yang lebih dikenal dengan
singkatan ILC—di TV One. Kehadirannya baru sangat fenomenal setelah program
‘diskusi panas’ yang dipandu Karni Ilyas itu sering menjadikannya sebagai nara
sumber. Gaya bicaranya yang rapi dan artikulasi yang jelas serta pemilihan
setiap kata yang ‘cermat’ memang sangat mengesankan sebagai orang yang punya cita
rasa seni bicara. Pembawaannya yang kalem dan serius serta jarang tersenyum juga mengesankan bahwa
dia seorang ilmuwan yang punya selera humor rendah dan bahkan oleh sebagian
temannya pernah dikesankan sebagai orang yang angkuh dalam berdebat dan
mempertahankan pendapatnya. Tidak hanya itu. Di balik itu semua, publik sering
menyaksikan, isi pembicaraannyapun
sangat pedas. Pria berkaca mata-- yang berprofesi sebagai staf pengajar di
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia-- ini memang sangat akrab dengan
dunia pemikiran. Jawaban-jawaban yang
disampaikan ketika Karni Ilyas sang host ILC mengajukan pertanyaan
‘nakal’, disampaikan, tidak hanya dengan tanpa tedheng aling-aling,
tetapi juga dengan penuh filosofis. Tetapi, pemilihan diksi untuk menggambarkan
fenomena tertentu yang ia maksud, sering mengundang detak jantung orang lawan
bicara semakin cepat dan membuat telinga sangat
panas. Salah satu kontroversi yang pernah disampaikan adalah ketika ia
dengan santai tetapi serius mengatakan “pembuat hoax terbaik adalah penguasa”. “Lugas” dan “pedas”
barangkali sangat pas untuk memberikan kesan cara bicara dan isi
pembicaraannya.
Akan tetapi kesan seperti itu selain membuat sang tokoh yang konon ahli
filsafat-- yang dulu sering berdiskusi dengan tokoh-tokoh sosialis, seperti
Marsilam Sumanjutak, Sjahrir, dan Arif Budiman-- itu kini tampaknya bukan tanpa
masalah. Kali ini isi pembicaraan tokoh-- yang lahir 20 Januari 1959 di
Manado-- ini harus berurusan dengan hukum. Pasalnya ilmuwan itu kini sudah
dilaporkan dan telah dimintai ‘keterangan’ oleh polisi terkait dengan sebagian
isi pernyataannya. Pernyataan mana yang membuatnya kesandung hokum? Tidak lain
adalah pernyataannya yang juga ‘kontrovesial’ yaitu ketika mengatakan “kitab
suci itu fiksi”.
Bagaikan petir di siang bolong. Banyak orang terperangah mendengar
kalimat sang tokoh yang oleh Ruhut Sitompul kini disebut sebagai profesor fiksi. Pro kontrapun terjadi dalam menaggapi
ucapannya yang disaksikan oleh jutaan orang di TV One beberapa bulan lalu. Yang
pro dapat memahami ucapan Rocky. Karena sebelum mengatakan kitab suci itu fiksi
dia memberikan definisi sendiri yang dia maksud fiksi. Menurutnya fiksi bermakna
positif karena menimbulkan imajinasi. Imajinasi itu adalah fakultas dalam pikiran
manusia yang diberikan agar manusia dapat berfikir melebihi kenyataan. Dalam
kitab suci semua agama, menurut penjelasannya, ada yang faktual berupa sejarah dan ada pula
pemaparan masa depan yang belum terjadi saat ini. Apa yang oleh ummat
diharapkan di depan itulah fiksi dan “dibidang sastra fiksi itu berlaku, di
dalam do’a itu berlaku. Menurutnya, fiksi berbeda dengan fiktif. Jika fiksi
berkonotasi positif tetapi fiktif berkonotasi negatif. Kata fiksi berkonotasi negatif
seperti yang dikenal sekarang karena telah mengalami peyorasi akibat ulah para
politisi. Menurutnya, apa yang oleh orang kebanyakan disebut khayalan itulah
yang disebut “fiktif”. Oleh karena itu fiktif memang berkonotasi negatif.
Inilah asal
mula kenapa ‘profesor’ nyentrik itu berani mengatakan kitab suci itu fiksi.
Dengan penjelasan itu seolah dia ingin mengatakan, bahwa dengan menyebut kitab
suci fiksi dia sama sekali tidak bermaksud menistakan agama manapun. Dan, dia
memang juga tidak menyebut kitab suci agama manapun.
Bagi yang kontra, tetap saja beranggapan bahwa ucapan Rocky mengandung dugaan
menyebarkan informasi bermotif SARA untuk menimbulkan rasa kebencian. Oleh
karena itu dia dapat dilaporkan ke pihak berwajib. Dalam laporan itu Rocky
dijerat ancaman pelanggaran Pasal 28 Ayat 2 juncto Pasal 45A Ayat 2
Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 11 Tahun
2008 tentang ITE. Dasar laporan itu adalah berangkat dari pengertian “fiksi”
menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menjadi ‘kitab suci’ acuan
setiap penulisan dan pengucapan Bahasa Indonesia yang selama ini dianggap
paling sahih di negeri ini. Dalam KBBI, ada tiga definisi untuk fiksi: cerita
rekaan (roman, novel, dan sebagainya); rekaan, khayalan, tidak berdasarkan
kenyataan; pernyataan yang hanya berdasarkan khayalan atau pikiran.
Sementara fiktif didefinisikan:
bersifat fiksi, hanya terdapat dalam khayalan.
Dari pengertian KBBI
paling tidak ada dua kesimpulan yang dapat dikemukan. Pertama, “fiksi”
dan “fiktif” secara substansi sama. Yaitu, sama-sama dapat berkonotasi positif
tetapi bisa negatif. Tergantung konteks penggunaannya. Dan, yang pasti akan
berkonotasi negatif, jika harus disandingkan dengan kata kitab suci. Kedua, perbedaan
fiksi dan fiktif hanya berbeda dari segi jenis kata. “Fiksi” kata benda tetapi “fiktif”
kata sifat, seperti kolusi dan kolutif, korupsi dan koruptif.
Lantas, apa yang dapat
dipetik dari pro kontra tersebut ? Yang
pasti, tanpa harus memihak kelompok manapun, polemik seputar fiksi dan fiktif Rocky
Gerung, harus semakin membuka kesaadaran kita, setidaknya mengenai 3 hal. Pertama, dalam setiap mengemukakan
pendapat, seilmiah apapun kita harus berhati-hati. Pemilihan diksi harus
dilakukan setepat mungkin. Karena kalau tidak dan akibat kesalahan kita memilih
diksi membuat orang atau kelompok lain lain tersinggung akan menyeret kita
berurusan hukum. Kalau sudah masuk ranah hukum bersiap mentallah agar dikuatkan
tenaga pikiran dan harta saudara. Sebab, dalam dunia hukum praktis terkadang
bukan soal salah dan benar. Yang benar bisa dianggap salah dan yang salah bisa
dianggap benar. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi vonis sang hakim. Kedua,
ketika bicara atau menyaampaikan pendapat apapun perlu melihat lingkungan di
mana kita bicara. Sekasar apapun kita bicara tetapi jika di dengar oleh sahabat
karib kita, pasti tidak akan berpengaruh apa-apa. Bahkan, oleh teman akrab kita
jangan-jangan malah dianggap humor (banyol : Jawa). Sebaliknya, sehalus
apapun kalimat yang kita ucapkan jika diucapkan kepada orang yang tidak
menyukai kita, pasti tetap akan dicari-cari titik lemahnya. ‘Musuh’ kita pasti siap
menunggu dengan sabar sampai kita membuat kalimat salah. Jika dengan kalimat
yang halus saja potensi kita untuk dijatuhkan masih ada, lalu bagaimana jika
dengan sengaja kita membuat ‘kesalahan’?. Rocky Gerung masuk wilayah ini. Ketiga,
di era tahun politik ini gejala apapun bisa ‘digoreng’. Persoalannya,
tinggal menunggu kompor dan api untuk
menentukan kapan gejala itu dapat ‘digoreng’ dengan tepat. Tentu kita setuju
tidak ingin menjadi korban akibat gorengan tersebut. Pada akhirnya, ujung-ujungnya
memang hanya satu, yaitu kembali kepada masalah pertama : berhati-hatilah
bicara!!!
Super Sekali....
BalasHapusGa bosen2 saya bacanya pak ...