Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
Acara
pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ( PCNU ) Banyuwangi boleh dibilang
cukup sukses. Kesuksesan itu setidaknya dilihat dari 3 hal. Pertama,
dari segi undangan yang hadir. Acara itu tidak hanya dihadiri oleh masyarakat
aktivis NU Banyauwangi, tetapi juga di hadiri ‘aktivis’ NU lintas Banyuwangi,
atau sebut saja kehadiran Bupati Kutai Timur. Terlepas dari apa motivasinya, kesediaan
hadir pada even level kabupaten untuk orang sekelas Bupati kaya ini tentu
merupakan kehormatan tersendiri bagi warga nahdliyyin Banyuwangi. Kedua,
dari segi kehadiran elite organisasi. Pelantikan ini juga dihadiri tidak saja oleh
pengurus wilayah tetapi juga orang nomor wahid di tubuh organisasi ormas
terbesar di tanah air ini. Di setiap kegiatan organisasi kehadiran pengurus
yang secara struktural lebih tinggi, apalagi oleh orang pertama dalam
organisasi, merupakan bagian dari keberhasilan
sebuah even kegiatan organisasi. Dan, ketiga, tingkat partisipasi
masyarakat. Sejak pagi masyarakat sangat antusias mengikuti acara. Padahal,
mereka tidak memperolah undangan resmi. Apabila mereka ditanya secara acak
siapa yang menyuruh mereka datang ke acara ini, mereka rata-rata pasti akan
menjawab, bahwa mereka datang karena ada pengumuman di majelis taklim dan
pengumuman sebelum solat Jum’at. Mereka datang tanpa ada yang mengerahkan dan
membiayai seperti pada even kegiatan
parpol.
Akan
tetapi, di balik semarak acara ini ada sesuatu yang ironis. Pasalnya ada
sejumlah Kyai dan beberapa warga NU yang membuat acara bersamaan. Tidak
tanggung-tanggung diadakan di Banyuwangi. Acara sekelompok Kyai ini menjadi ironis
kerana 2 hal.
Pertama,
acara tersebut, tidak hanya dilaksanakan di pusat ibu kota kabupaten yang
menjadi pusat pemerintahan pemerintah kabupaten tetapi juga pusat pemerintahan
PCNU Banyuwangi. Padahal, para pengurus terasnya
sedang punya hajat tertinggi yaitu pelantikan pengurus organasisi yang juga
dihadiri pengurus pusat.
Kedua,
acara tersebut secara tidak langsung sebagai acara tandingan sekaligus bentuk
pembangkangan. Sikap yang sangat tabu bagi organisasi para kyai ini. Sikap
mereka juga menyimpang dari tradisi NU selama ini, yaitu yang biasa
mengedepankan islah ketimbang
pecah. Mbah Muchit Muzadi sering menggambarkan tradisi para pengurus NU
ini, bahwa sekalipun para Kyai itu waktu musyawarah biasa gegeran (
bersitegang ) tetapi akhirnya pasti ger-geran ( saling guyonan ). Akan
tetapi kali ini di Banyuwangi yang terjadi benar-benar lain. Tidak berakhir
dengan ger-geran ( guyonan ). Tetapi, persitegangan muscab terus berlangsung
sampai pelantikan. Masalah yang menjadi penyebab konon sirius, yaitu ada kasus risywah
( suap ) pada acara Muscab yang melahirkan kepengurusan sekarang.
Akan
tetapi, lepas dari pro dan kontra realitas tersebut para elite NU ada baiknya
introspeksi. Kebenaran tudingan yang kontra hasil muscab perlu segera
diselesaikan. Penyelesaian tersebut memang bisa melaui jalur hukum dan bisa
pula melalui jalur kultural versi NU sendiri. Penyelesaian melaui jalur hukum,
misalnya pihak yang selama ini menuding adanya dugaan suap secara jantan melaporkan
ke Polisi dan pihak yang dilaporkan jika merasa ada unsur pemcemaran nama baik,
juga bisa melaporkan balik ke Polisi. Sedangkan penyelesaian melaui jalur
kuktural versi NU sendiri adalah kesediaan para elite Kyai untuk mau duduk
bersama lagi membicarakan hal itu dengan sama-sama beritikad baik untuk mencari
penyelesaian terbaik pula dengan mediator pengurus wilayah atau bahkan pengurus
besar. Cara pertama memang akan memberi
kepastian. Akan tetapi, di samping akan memakan waktu lama, para Kiyai yang terlibat di pusaran konflik
tersebut pasti akan membayar mahal. Mereka akan dipandang sebagai kyai yang tidak
punya integritas sebagai Kyai NU yang disegani lagi. Atau, bahkan akan ditinggalkan
umatnya. Di mata umatnya para kyai tersbut akan dipandang sebagai Kyai yang
rebutan pangkat dan jabatan. Padahal, rebutan pangkat dan jabatan dalam tradisi
NU adalah suatu yang sangat tabu. Tabu karena pangkat dan jabatan adalah
amanat Allah dan bukan kenikmatan dan
anugerah. Oleh karena, itu mungkin penyelesaian kedua lebih tepat. Tradisi
musyawarah mufakat yang merupakan ciri berorganisasi para Kyai ini, di samping
martabat Kyai tetap terjaga,
perselisihan itu juga tidak terlihat lebih jauh oleh umatnya sendiri apalagi
oleh umat lain.
Terlepas
akan dipilih cara yang mana, semua pihak harus sama-sama sepakat, bahwa
persatuan dan kesatuan harus tetap di atas segala-galanya. Kalau tidak apa
artinya sebagai orang NU yang dari awalnya telah berkomitmen tidak saja menjaga
persatuan umat tetapi persatuan dunia
seperti tertera dalam lambang NU. Wallu a’lam.
ini tulisan agak lama. Ditulis segera setalah ada konflik kecil di kalangan elite NU pasca Muscab
BalasHapus