Rabu, 21 Oktober 2009

Kasus Manohara dan Harga Diri Kita

Oleh : Asmu’i Syarkowi
(Hakim PA Jember)

Lega sudah. Barang kali perasaan itulah yang dirasakan ibu manohara. Perjuangan untuk bisa bertemu sang putri kini sudah berhasil. Perjuangan tersebut memang hampir naïf. Hal ini disebabkan usahanya minta bantuan kepada berbagai pihak tidak mendapat hasil sesuai yang diharapkan. Permohonan bantuan juga dilayangkan kepada pemerintah. Namun sama, pemerintahpun tampaknya tidak merespon sebagaimana layaknya. Hal ini tidak mengherankan sebab di dalam negeri sendiri tampaknya pemerintah disibukkan oleh sejumlah agenda besar. Kasus Antasari, isu Daftar Pemilih Tetap (DPT) bermasalah, protes sejumlah perserta pemilu yang mengalami kekalahan. Hiruk pikuk persiapan pemilihan presiden ( pilpres ) sepertinya ikut menenggelamkan upaya perjuangan Sang Besan Raja Kelantan ini. Nyonya Desipun seolah putus asa.
Di saat mengalamai kegalauan segera ingin mengetahui kepastian nasib putri cantiknya, sang Ibupun sempat mendapat kritik dari sekelompok masyarakat. Nasib yang menimpa anaknya adalah akibat ulah dari kesalahannya sendiri. Ada juga yang menyebut bunda Manohara materialistis. Ada yang menyebut upayanya tidak lebih dari sekedar mencari sensasi demi popularitas.
Apaun komentar orang, Manohara sudah berada dipelukan Nyonya Desi, sang ibunda. Sebagai pribadi atau sebagai bangsa tentu kita harus pandai mengambil hikmah dari semua peristiwa yang kita alami, khususnya di balik kasus Manohara ini. Lantas, apa yang dapat dipetik sebagai pelajaran dari kasus Manohara?.
Berbagai hikmah tentunya dapat kita petik dari kasus ini. Akan tetapi setidaknya ada satu hal yang selama ini kita lupa, yaitu bahwa kita, baik sebagai pribadi ataupun sebagai bangsa sejatinya mempunyai harga diri. Harga diri ini adalah fitrah yang diberikan Tuhan menyertai dengan keterciptaan kita yang memang diciptakan sebagai makhluq yang paling sempurna. Harga diri ini secara naluri biasanya kita pertahankan sedemikian rupa. Bahkan nyawapun sering dikorbankan secara membabi buta demi satu kata : “harga diri”. Seorang anak menjadi yatim, istri menjadi janda, karena sang ayah atau suami mati demi membela harga diri.
Namun, sayang harga diri yang sangat berharga tersebut sering kita lupakan. Kelupaan tersebut begitu terjadi begitu saja akibat kita sudah terbiasa lebih mudah mengagumi pihak lain atau karena motif-motif sesaat. Pada saat demikian kita sering tidak sadar mengorbankan harga diri, baik sebagai pribadi atau sebagai bangsa. Lihat saja, betapa orang ingin cepat kaya seseorang rela bolak balik ke rumah dukun, padahal dia seorang sarjana atau orang berpendidikan. Karena ingin segera mendapat uang perbuatan apapun dilakukan. Karena sebuah popularitas, dengan tanpa berfikir kompleksitas dampaknya, mau menikah atau dinikahi orang asing. Beberapa waktu lalu ada tren di kalangan selebriti wanita kita. Mereka beramai ramai menikah dengan orang bule. Di Lombok pernah ada ada bujangan yang rela menikah dengan seorang nenek kaya dari Australia yang kebetulan berprofesi sebagai peneliti. Dampaknya sikap ‘nekat’ kita terkadang harus kita bayar terlalu mahal. Gara-gara menjadi pembantu rumah tangga di negeri orang, ada yang harus pulang dengan cacat, bahkan sampai meninggal. Beberapa tahun lalu kita juga sempat pilu saat menyaksikan ratusan ribu TKI illegal harus diusir secara hina dari negeri jiran. Pemerintahpun juga seperti ikut menambah daftar panjang TKI bermasalah ketika mengirim warganya sebagai TKI di luar negeri untuk sektor-sektor informal, seperti tukang batu dan pembantu rumah tangga. Kontrol pemerintah terhadap merekapun menjadi susah, ketika mereka harus bekerja di bawah pengawasan perorangan ini. Tidak seperti negara tetangga kita, seperti Filipina. Negera ini sepertinya lebih sreg jika rakyatnya bekerja di sektor formal. Seperti di kantor-kantor, rumah sakit, dan hotel.
Akibat sikap terlalu murah kita terkadang memang tragis. Seperti disinggung di muka, kitapun harus rela bangsa dihinakan orang lain, seperti disiksa atau diperkosa majikan. Perlindungan kepada mereka sulit dilakukan. Karena tidak tahan mereka harus terjun dari ketinggian gedung. Akibatnya jelas, ada yang sampai meninggal. Meninggal sebagai pahlawan devisa?. Sayang, peristiwa demi periatiwa memilukan ini sering kita lupakan. Kitapun sering lupa pepatah bijak : Hujan batu di negari sendiri lebih baik dari pada hujan mas di negeri orang. Tetapi mengapa masih saja kita berbondong-bondong menjadi pembantu rumah tangga di luar negeri. Sementara di dalam negeripun banyak orang kaya yang susah mencari pembantu. Apa motif kita? Karena prestise atau ekonomi? Atau apakah memang benar, bahwa harga diri kita ini sedang mengalami reduksi. Jangan-jangan karena itu pula Malaysia berani ‘menggoda’ kita di Ambalat.
Akhirnya, refleksi mengenai hal ini perlu mulai kita lakukan lagi sebelum kita terpuruk lebih dalam atau terlalu jauh dilecehkan oleh bangsa lain.
Awal Juni 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar