Sesuai Pasal 49 UU No. 7 Tahun 1989 sebagaimana diubah oleh UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama lembaga hukum itsbat tersebut menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama (PA).Lembaga hukum tersebut kini juga sama-sama ikut menyemarakkan kondisi perkara di PA.Para pencari keadilan mengajukan perkara tersebut dengan motif yang bermacam-macam.
Akan tetapi, ternyata banyak pencari keadilan yang kurang memahami urgensi serta akibat hukum itsbat nikah. Pada saat yang sama ada praktek di masyarakat pelaksanaan nikah masal. Kedua lembaga hukum tersebut sebenarnya mempunyai kelebihan dan kekurangan. KHususnya apabila ditinjau dari segi kepentingan pencari keadilan.Kekurangan itsbat nikah tidak lebih dari segi prosedur saja. KHususnya apabila dengan proses beracara di Pengadilan. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa masyarakat umumnya merasakan sulitnya berperkara di pengadilan. Segala macam tetek bengek yang berkaitan dengan administrasi pengadilan, mulai dari harus mendaftar sendiri, harus membayar biaya perkara yang relatif besar, sampai keharusan sidang-sidang pengadilan yang dirasakan berbelit. Akan tetapi jika itsbat ini ditempuh justru akan mengenakkan pencari di kemudian hari. Sebab, keputusan tentang keabsahan nikah dianggap berlaku sejak kapan pernikahan senyatanya dilaksanakan. Sebagai contoh, seorang menyatakan bahwa dia telah menikah seseorang pada tanggal 1 Juni 1960. Sekalipun perkara tersebut baru diajukan pada 1 januari 2007, jika permohonan tersebut dikabulkan pengadilan, maka keputusan pengadilan tentang sahnya pernikahan tersebut tetap berlaku sejak 1 Juni 1960, bukan dihitung sejak kapan perkara tersebut diputus. Berbeda dengan nikah masal. Akibat hukumnya berlaku sejak senyatanya pernikahan tersebut dilakukan. Persoalannya, adalah ketika para pelaku nikah masal tersebut sebelumnya telah merasa nikah secara islam secara sah dan telah mempunyai anak. Bagaimana nasib anak-anak tesebut. Menurut UU Perkawinan anak-anak tersebut jelas dianggap bukan anak sah. Dari sinilah sejumlah persoalan mulai timbul. Akibatnya, anak tersebut juga tidak dapat dimintakan akte kelahiran akibat perkawinan ayah ibunya. Dia tetap dianggap sebagai anak tidak sah yang akibat hukumnya hanya dapat mempunyai hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkannya. Termasuk dalam hal waris. Lain halnya jika diajukan isbat nikah. Anak yang lahir jelas dianggap sah. SEbab, keabsahan pernikahan dihitung sejak pernikahan senyatanya terjadi.
Oleh karena itu, maraknya pernikahan masal yang kini marak terjadi harus mempertimbangkan akibat hukum-akibat hukum tersebut. Itsbat memang relatif berbelit tetapi kemudian membawa sejumlah kemudahan. Sedangkan nikah masal memang relatif berprosedur sederhana tetapi kemudian membawa sejumlah persoalan. Dan, pada intinya memang jangan sampai terjadi nikmat membawa sengsara, tetapi sebaliknya seperti salah satu judul Roman Marah Rusli : Sengsara membawa nikmat.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar