Saat ini kita boleh bangga dengan pemain-pemain top dunia, seperti Messi, Ronaldo, Ibarhimovic, Pele, tetapi agaknya kita tidak boleh lupa bahwa kita juga pernah punya pemain legenda nasional. Salah satu diantaranya adalah bernama Ramang, pemain berbakat alam dari Sulawesi. Di saat kita sedang prihatin karena kesebelasan kita tidak lagi pernah kampiun di kancah internasional lagi, tampaknya kita perlu berkaca pada sang legenda kita. Berikut gambaran singkat riwayat Ramang pemain nasional yang pernah melalang buana yang saya himpun dari berbagai sumber.
Ramang mulai memperkuat PSM Makassar pada tahun 1947, waktu itu masih bernama Makassar Voetbal Bond (MVB). Melalui sebuah klub bernama Persis (Persatuan sepak bola Induk Sulawesi) ia ikut kompetisi PSM. Pada sebuah pertandingan, ia mencetak sebagian besar gol dan membuat klubnya menang 9-0. Sejak itulah ia dilamar bergabung dengan PSM. Ramang memang sudah mulai menendang-nendang buah jeruk, gulungan kain dan bola anyaman rotan dalam permainan sepak raga sejak berusia 10 tahun. Ayahnya, Nyo'lo, ajudan Raja Gowa Djondjong Karaenta Lemamparang, sudah lama dikenal sebagai jagoan sepakraga. Bakat Ramang memang menurun dari sang ayah. Mulanya ia memperkuat Bond Barru, kota kelahirannya, namun menjelang proklamasi 1945, ia membawa keluarganya pindah ke Ujungpandang dan meninggalkan usaha warung kopi yang ia bangun bersama istrinya.
Pekerjaan lain
Sambil melakoni profesinya sebagai pemain sepak bola, Ramang juga menjadi seorang kenek truk dan tukang becak. Namun dalam sebuah wawancara di Majalah Tempo (7/10/1978), Ramang mengatakan bahwa ia terpaksa meninggalkan profesinya sebagai penarik becak karena sibuk bermain bola. Hal itu membuat kondisi keluarganya yang tinggal menumpang di sebuah rumah temannya menjadi sangat memprihatinkan. "Namun apapun yang terjadi, coba kalau isteri saya tidak teguh iman, mungkin sinting," kata macan bola itu. Ramang memang tak bisa lepas dari lapangan sepak bola. Baginya, meninggalkan lapangan sepak bola sama saja menaruh ikan di daratan. "Hanya bisa menggelepar-gelepar lalu mati," katanya.Setahun setelah kemenangan klubnya 9-0 dalam kompetisi PSM, Ramang sudah keliling Indonesia bermain bola. Tapi ketika ia kembali ke Makassar seorang datang melamarnya bekerja sebagai opas di Dinas Pekerjaan Umum (DPU). Gajinya? Tak pernah naik tetap saja Rp 3.500. Untungnya hanya satu: ia masih tetap bisa main bola.
Karir di tim nasional sepak bola Indonesia
Pada tahun 1952 ia
menggantikan Sunardi, kakak Suardi
Arlan mengikuti latihan di Jakarta. Ini menyeretnya menjadi pemain
utama PSSI. Didampingi Suardi Arlan di kanan dan Nursalam di kiri, ia bagai
kuda kepang di tengah gelanggang. Permainannya sebagai penyerang tengah sangat
mengagumkan. Maka setahun kemudian ia keliling di beberapa negeri asing.
Namanya meroket menjadi pemain favorit penonton dan disegani pemain lawan.Pada lawatannya tahun 1954 ke berbagai negeri Asia (Filipina, Hongkong, Muangthai, Malaysia) PSSI hampir menyapu seluruh kesebelasan yang dijumpai dengan gol menyolok. Dari 25 gol (dan PSSI hanya kemasukan 6 gol) 19 di antaranya lahir dari kaki Ramang.
Berkat prestasi Ramang, Indonesia masuk dalam hitungan kekuatan bola di Asia. Satu demi satu kesebelasan Eropa mencoba kekuatan PSSI. Mulai dari Yugoslavia yang gawangnya dijaga Beara (salah satu kiper terbaik dunia waktu itu), klub Stade de Reims dengan si kaki emas Raymond Kopa, kesebelasan Rusia dengan kiper top dunia Lev Jashin, klub Locomotive dengan penembak maut Bubukin, sampai Grasshopers dengan Roger Vollentein. "Tapi itu bukan prestasi saya saja, melainkan kerjasama dengan kawan-kawan," ujar Ramang merendah, sembari menyebut nama temannya satu per satu: Maulwi Saelan, Rasjid, Chaeruddin, Ramlan, Sidhi, Tan Liong Houw, Aang Witarsa, Thio Him Tjiang, Danu, Phoa Sian Liong dan Djamiat.
Ramang dikenal sebagai penyerang haus gol. Ramang memang penembak lihai, dari sasaran mana pun, dalam keadaan sesulit bagaimana pun, menendang dari segala posisi sambil berlari kencang. Satu keunggulan yang masih diidamkan oleh setiap pemain bola kita hingga saat ini, terutama tembakan salto. Keahlian itu tampaknya karunia alam untuk pribadi Ramang seorang sebagai bekas pemain sepakraga yang ulung. Gol melalui tendangan salto yang indah dan mengejutkan seringkali dipertunjukkan oleh Ramang. Satu di antaranya saat PSSI mengalahkan RRC dengan 2-0 di Jakarta. Kedua gol itu lahir dari kaki Ramang, satu di antaranya tembakan salto. Itu pertandingan menjelang Kejuaraan Dunia di Swedia, 1958. Pertandingan kedua dilanjutkan di Peking, Indonesia kalah dengan 3-4, sedang yang ketiga di Rangoon (juga melawan RRC) dengan 0-0. Sayang sekali lawan selanjutnya ialah Israel (yang tak punya hubungan diplomatik dengan Indonesia) maka PSSI terpaksa tidak berangkat.
Mendengar kehebatan Ramang di lapangan sepak bola, tak heran jika di tahun 50-an, banyak bayi lelaki yang lahir kemudian diberi nama Ramang oleh orangtuanya.
Jika Ramang ditanya mengenai pertandingan paling berkesan, di sejumlah media, ia menyebut ketika PSSI menahan Uni Soviet 0-0 di Olimpiade Melbourne 1956. "Ketika itu saya hampir mencetak gol. Tapi kaus saya ditarik dari belakang," kata Ramang.
Akhir karier
Kejayaan Ramang
ternyata singkat saja, tahun 1960, sesudah namanya sempat melangit ia dijatuhi
skorsing. Ramang dituduh makan suap. Tahun 1962 ia dipanggil kembali, tapi
pamornya sudah berkurang. Pada tahun 1968, dalam usia 40 tahun, Ramang bermain
untuk terakhir kalinya membela kesebelasan PSM di Medan, yang berakhir dengan
kekalahan. Meskipun setelah itu kariernya di sepak bola tidaklah betul-betul
mati. Saat ia sedang menggelepar-gelepar seperti ikan di daratan, ia
mendapatkan panggilan Bupati Blitar untuk menjadi pelatih di sana.
Karir kepelatihan
Karier kepelatihan
Ramang juga tercatat di PSM dan Persipal Palu. Sewaktu
menjadi pelatih di Persipal, ia bahkan pernah dihadiahi satu hektar kebun
cengkeh oleh masyarakat Donggala,
Palu, karena prestasinya membawa Persipal menjadi satu tim yang disegani di
Indonesia. Penghargaan seperti ini tak pernah ia dapatkan di PSM Makassar.
Tetapi menjadi pelatih sepak bola ternyata tidak mudah bagi seorang tamatan
Sekolah Rakyat seperti Ramang. Ia kemudian harus disingkirkan pelan-pelan hanya
karena ia tidak memiliki sertifikat kepelatihan. Dalam melatih, Ramang hanya
mengajarkan pengalamannya ditambah dengan teori yang pernah ia dapatkan dari
mantan pelatih PSSI, Tony Pogacknic, yang ia sangat hormati.
Ramang pernah
menyebut bahwa pemain sepak bola sepertinya tidak lebih berharga dari kuda
pacuan. "Kuda pacuan dipelihara sebelum dan sesudah bertanding, menang
atau kalah. Tapi pemain bola hanya dipelihara kalau ada panggilan. Sesudah itu
tak ada apa-apa lagi," katanya dengan kecewa. Namun Ramang sudah
berketetapan hati menutup kisah masa lampaunya itu. "Buat apa mengenang
masa-masa seperti itu sementara orang lebih menghargai kuda pacuan?"
katanya. Kekecewaan itu tampaknya begitu berat merundungnya, hingga ia seringkali
sengaja sembunyi hanya untuk mengelak wawancara dengan seorang wartawan. Meski
banyak dorongan dan tawaran buat menulis biografinya, ia selalu menggelengkan
kepala. Dulu katanya, memang pernah ada seseorang yang menerbitkan riwayat
hidupnya. Tapi ia sendiri sudah lupa judul buku dan nama penulisnya.
Meninggal
dunia
Suatu malam di
tahun 1981, sehabis melatih anak-anak PSM, Ramang
pulang dengan pakaian basah dan membuatnya
sakit. Enam tahun ia
menderita sakit di paru-parunya
tanpa bisa berobat ke Rumah sakit
karena kekurangan biaya. Pada tanggal 26 September 1987, di usia 59 tahun, mantan pemain sepak
bola legendaris itu meninggal
dunia di rumahnya yang sangat sederhana yang ia huni bersama anak,
menantu dan cucunya yang semuanya berjumlah 19 orang. Ramang dimakamkan di TPU Panaikang. Untuk mengenang jasanya, sebuah patung di lapangan Karebosi dibuat untuknya. Selain itu hingga sekarang salah
satu julukan PSM
Makassar adalah Pasukan Ramang.Ironis memang mengetahui kisah hidup mantan bintang sepak bola itu. Apalagi Ramang kini hanya diapresiasi dengan sebuah patung yang dibuat seadanya, yang berdiri di pintu utara Lapangan Karebosi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar