Oleh : H. Asmu’i
Syarkowi
( Hakim
Pengadilan Agama Lumajang Kelas IA)
Beberapa waktu lalu di
berbagai daerah semarak dilaksanakan istbat nikah masal. Dengan dukungan
pemerintah daerah setempat tampaknya
program itu sangat sukses. Pengadilan Agama seperti mendapat pekerjaan
ekstra.
Istilah itsbat nikah memang telah lama
dikenal, terutama dalam kitab-kitab fikih klasik. Sekalipun demikian, oleh
karena masalah itsbat adalah masalah fikih qadha’i, implementsinya akan bersentuhan dengan peradilan.
Dalam tradisi hukum Indonesia, istilah itsbat
baru dikenal luas ketika pemerintah mengeluarkan Inpres Nomor 1 Tahun 1991,
yang antara lain, berisi perintah menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam
(KHI). Dalam KHI, yang oleh para pakar
Hukum Islam disebut sebagai fikih
Indonesia ini, pada Pasal 7 ayat 3
dikemukakan : “Itsbat nikah dapat
diajukan ke Pengadilan Agama terbatas mengenai hal-hal yang berkenaan dengan :
a. Adanya perkawinan dalam raangka penyelesaian perceraian, b. Hilangnya akta
nikah, c. Adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat
perkawinan, d. adanya perkawinan yang terjadi sebelum belakuknya Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974, e. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidk
mempunyai halangan perkawinan
menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974;
Dewasa ini, realitas
itsbat nikah dilatarbelakangi oleh banyaknya masyarakat yang telah merasa
menikah secara hukum Islam sebagaimana diatur oleh Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1
Tahun 1974, akan tetapi belum dicatat sebagaimana diamanatkan oleh ayat 2 pada
pasal yang sama. Padahal, pada saat yang sama, kini kebutuhan akan kepastian,
bahwa sahnya perkawinan sekaligus dengan bukti akte nikah sangat diperlukan.
Banyak transaksi, lalu lintas komunikasi baik yang menyangkut kepentingan
regional maupun internasional, keberadaan akta nikah sebagai bukti adanya
perkawinan sah mutlak diperlukan. Sebagai contoh, saat dilakukan program e-KTP.
Salah satu syarat dapat diterbitkannya KTP elektronik berikut dokumen
kependudukan lainnya, seperti kartu keluarga (KK), bagi yang telah menikah dan
bermaksud memasukkan anak-anaknya dalam kartu keluarga harus mempuynyai akta nikah.
Masyarakat yang belum mempunyai akta nikah, pdahal telah merasa menikah sahpun,
kemudian berbondong-bondong ke Pengadilan Agama. Booming para
pengaju perkara isbat itu tampaknya tidak dapat ditangani dengan cara biasa.
Diperlukan waktu ekstra untuk menyelesaikan problem perkawinan masyarakat itu.
Mahkamah Agung tampaknya segera merespon
fenomena ini. Segera kemudian diterbitkan SEMA Nomor 03/Bua.6/Hs/SP/III/2014 tentang
Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah dalam
Pelayanan Terpadu. Sesuai dengan namanya tujuan utama diterbitkannya SEMA ini
adalah demi malaksanakan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan dan Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tetang Persyaratan dan Tatacara Pendaftaran Penduduk dan
Pencatatan Sipil untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan secara
nasional guna memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap penentuan status
pribadi dan status hukum atas setiap peristiwa kependudukan dan peristiwa
penting yang dialami penduduk. Pada saat yang sama realitas menunjukkan masih
banyak pasangan suami istri yang pernikahannya belum tercatat, padahal telah
menikah secara sah menurut hukum Islam sebagaimana ketentuan Pasal 2 ayat 1
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kaitannya dengan praktik peradilan,
setidaknya ada 3 yang menarik dalam SEMA ini yaiu: pertama, sidang dapat dilaksanakan di luar gedung pengadilan; kedua, sidang dapat dilaksanakan dengan hakim tunggal; dan ketiga, putusan hakim bisa langsung
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijsde );
Di samping untuk
keperluan hal-hal di atas sebenarnya banyak manfaat isbat nikah. Aspek hukum
lain, seperti hukum waris. Sebagai contoh, dua orang suami istri sebut saja A
dan B mempunyai anak sebut saja C. Oleh karena, perkawinan A dan B ‘belum sah’,
maka C hanya mempunyai hubungan keperdataan dengan B ( ibunya) sedangkan A
hanyalah berstatus sebagai ayah biologis. Apabila kemudian A meninggal maka C
tidak akan mendapat warisan dari A. Tetapi jika sebelumnya atau kemudian status perkawinan A dan B diistbaatkan oleh pengadilan, maka C adalah
anak sah A dan B. Konsekuensinya, apabila A meninggal C mendapat warisan dari A
sebagai anak. Dampak isbat nikah dalam kasus ini sangat antagonis karena dari
yang semula bukan ahli waris menjadi ahli waris. Putusan isbat nikah memberikan
legitimasi keabsahan perkawinan seseorang—beserta akibat hukumnya--dari sejak
kapan perkawinan dilakukan menurut Pasal 2 ayat 1 Tahun 1974 dilakukan. Orang yang belum pernah menikah menurut aturan
tersebut tidak boleh dimintakan isbat.
Isbat nikah masal
sangat berbeda dengan nikah masal. Nikah masal pada hakikatnya seperti nikah
biasa. Akibat hukumnya, berlaku sejak pernikahan tersebut dilaksanakan. Konsekuensinya, bila sebelumnya pasangan tadi
telah melahirkan anak, secara hukum anak tersebut hanya mempunyai hubungan
hukum dengan ibu yang melahirkannya. Dalam konteks ini, lembaga isbat nikah
bisa berbahaya. Yaitu, ketika pengadilan harus mengesahkan perkawinan seseorang
yang sejatinya belum pernah melaksanakan pernikahan sah. Ini bisa terjadi kalau
pengaju perkara lihai sedangkan pengadilan, dalam hal ini hakim, juga tidak
cermat. Atau bisa saja, pengadilan ‘ditipu’ oleh seseorang yang minta
perkakwinannya diisbatkan pengadilan, padahal, orang tersebut sebenarnya masih
terikat perkawinan sah dengan wanita atau laki-laki lain, seperti seorang yang
menikah lagi dengan perempuan atau laki-laki lain, dengan cara menyembunyikan
status perkawinannya dengan istri/suami sahnya (mengaku lajang), sebagaimana
dimaksud Pasal 279 KUHPidana. Kalaupun dia berhasil mengelabuhi pengadilan
agama tetapi bukan berarti msalahnya selesai. Ancaman pidana menantinya.
Pesan yang ingin
disampaikan dari tulisan ini terkandung 2 hal. Pertama, bagi siapa saja yang telah
merasa menikah sah menurut ketentuan agama Islam tetapi belum tercatat oleh KUA
yang berwenang, mengajukan isbat nikah ke Pengadilan Agama merupakan solusi
yang benar. Menikah baru dengan trend nikah masal seperti yang terjadi
masa lalu bukanlah solusi yang cerdas karena akan menjadi problem bagi anak
yang dilahirkan akibat pernikahan di bawah tangan yang ada. Kedua, jangan
mencoba ‘mempermainkan’ lembaga isbat nikah. Sebab, bisa-bisa mendatangkan
kesulitan di kemudian hari. Tidak hanya
akan mendatangkan persoalan pidana tetapi juga rusaknya stabilitas keluarga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar