Minggu, 01 September 2013

MAKANAN DAN PROFESI KITA Oleh : H. Asmu’i Syarkowi

MAKANAN DAN PROFESI KITA
Oleh : H. Asmu’i Syarkowi

Manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna. Kesempurnaan  manusia antara lain terlihat dari segi keterciptaannya. Dia diciptakan dengan bentuk yang paling baik. ( laqad khalaqnal insane fi ahsani taqwim, QS, 95:4 ). Selanjutnya kesempurnaan bentuk ciptaan manusia tersebut menjadikan manusia oleh makhluq yang paling dimuliakan di muka bumi ini. ( walaqod karromna bani adama  QS,  18: 70).
Sikap ingin maju dan berkembang tersebut berikut juga menyebabkan manusia tidak mau tinggal diam (forceful). Manusia boleh jadi bisa diam secara jasmani, tetapi mungkin tidak bisa diam secara rohani. Dan sebaliknya. Bahkan, ada manusia yang sulit diam baik secara jasmani maupun rohani.
Aktivitas manusia tersebut pada akhirnya, di satu pihak, membuat dunia penuh dengan kesibukan dan, di pihak lain, membuat manusia memerlukan kebutuhan penunjang.  Salah satu kebutuhan penunjang  tersebut adalah kebutuhan terhadap makanan. Bahkan, pada skala tertentu dan bagi manusia tertentu, soal makanan tersebut justru menjadi tujuan hidup itu sendiri.  Pada saat yang sama, dibanding dengan makhluq Allah lainnya, jenis makanan manusia juga lebih beragam. Bahkan, secara maknawi, apapun bisa dimakan oleh manusia.
Agar tidak terjadi kekacauan akibat berebut soal makanan, maka perlu ada aturan yang mengatur manusia mengenai hal ini. Adanya aturan hukum yang dibuat manusia di berbagai bangsa, antara lain, juga bertujuan mengatur manusia dalam soal tata cara mencari makanan tersebut.
Pertanyaan kita adalah, adakah Islam memberikan tuntunan tentang soal makanan tersebut ?.
Agama Islam, sebagai agama yang kita yakini sempurna dan paripurna, telah mengatur prinsip-prinsip semua aspek kehidupan manusia, termasuk soal makanan ini.
Dalam Surat Al Baqarah ayat 168 Allah berfirman :
 $ygƒr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# (#qè=ä. $£JÏB Îû ÇÚöF{$# Wx»n=ym $Y7ÍhsÛ Ÿwur (#qãèÎ6®Ks? ÏNºuqäÜäz Ç`»sÜø¤±9$# 4 ¼çm¯RÎ) öNä3s9 Arßtã îûüÎ7B ÇÊÏÑÈ  



Artinya : Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.

Apakah “halal” dan apa pula “tayyib” ?. Ada ulama yang berpendapat, bahwa kedua kata tersebut, yakni “halal” dan “tayyib” adalah searti. Tetapi ada pula, yang membedakan antara “halal” dan “tayyib”. Al Qurtuby dalam tafsirnya Al Jami’ li Ahkamil Qur’an, menjelaskan, bahwa suatu makanan disebut halal jika dia terbebas dari larangan yang melarangnya untuk dimakan. Sedangkan tayyib menurut arti bahasa bisa berarti baik. Makanan yang tayyib bararti makanan yang baik. Makanan yang baik tersebut untuk konteks sekarang mungkin dapat kita artikan “makanan bergizi”.
Suatu makanan mungkin halal tetapi tidak tayyib. Ikan adalah halal, tetapi tidak tayyib jika ikan tersebut sudah busuk. Bisa jadi pula, suatu makanan tayyib tetapi tidak halal. Daging hewan babi ( bagi orang Islam ), menurut pengertian tadi, mungkin bisa dibilang tayyib karena terdapat protein atau lemak di dalamnya, tetapi tidak halal, karena Allah melarang untuk memakannya kecuali dalam keadaan darurat. Kedaan darurat tersebut, seperti  tidak ada makanan sama sekali, sedangkan kalau tidak makan daging tersebut seseorang bisa mati.
Tentang halalnya makanan ini Sahal bin Abdullah, sebagaimana  juga dikutip oleh Al Qurthuby, berkata : ‘Tidak bisa makan halal secara benar, kecuali mengetahui ilmunya dan suatu harta tidak bisa disebut halal kecuali telah terbebas dari enam hal, yaitu : Pertama terbebas dari riba, kedua terbebas dari barang haram, ketiga, terbebas dari usaha yang curang, keempat terbebas dari praktek korupsi, kelima terbebas dari perkara yang makruh, dan keenam terbabas dari perkara syubhat.”
Dari nasihat tersebut dapat kita ambil pelajaran, bahwa suatu makanan bisa disebut halal, disamping bendanya memang halal, cara mendapatkannyapun harus pula halal. Sepotong roti yang kita makan sebenarnya adalah halal, tetapi roti yang kita makan tersebut bisa menjadi tidak halal jika kita memperolehnya dengan cara yang tidak halal, seperti dari hasil mencuri milik orang lain.
Bahkan Islam mengatur, bahwa suatu makanan menjadi halal tidak saja dilihat dari segi bendanya dan cara memperolehnya, tetapi juga dilihat dari cara memakannya. Sepotong ayam goreng adalah halal, karena ayam tersebut memang hewan yang boleh dimakan dan kita dapatkan dengan cara yang halal pula. Tetapi, akan menjadi tidak halal, apabila ayam tersebut kita goreng begitu saja tanpa kita dahului dengan sembelihan yang sesuai dengan aturan syara’.
Pertanyaan kita selanjutnya mungkin adalah, mengapa soal halal dan tidak halal ini perlu diatur oleh Islam. Ada beberapa sebab yang menjadi alasannya, antara lain adalah karena makanan yang kita akan mempengaruhi perilaku kita.
Rasulullah bersabda :”Barang siapa yang makan barang halal akan lembut hatinya, dan yang biasa makan haram akan keras hatinya.”
Lebih jauh Hujjatul Islam Al Ghazali menerangkan kepada kita, bahwa kekenyangan dengan perkara halal bisa mengakibatkan kerasnya hati, bisa merusak kecerdasan, menghilangkan hafalan, memberatkan anggota tubuh untuk melakukan ibadah kepada Allah dan mencari ilmu, serta menjadi penolong pasukan setan, seperti suka berbuat dhalim, suka melalaikan amanat, dan suka berkhianat. Selanjutnya beliau mengatakan : 
“Jika kekenyangan dengan makanan halal saja bisa menjadi sumber dari setiap kejahatan, maka bagaimana pula jika diri kita kekenyangan dengan makanan haram ?”. Naudzu billah. (pen. )

Mengapa pula, agama mengatur soal makanan ini, sebab makanan yang kita makan akan berpengaruh buruk kepada nilai ibadah yang setiap hari kita lakukan.
Diriwayatkan oleh Hafidz bin Mardawaih dari Ibnu Abbas, suatu ketika Saad bin Abi Waqas memohon kepada rasululah SAW agar dijadikan oleh Allah sebagai orang yang selalu terkabul doanya. Rasulullah SAW hanya menjawab :                                   
( Hai Saad! Perbaikilah urusan makananmu, niscaya engkau menjadi orang yang selalu terkabul setiap doanya ).

Selanjutnya rasulllah SAW melanjutkan nasihatnya seraya bersumpah : “Demi Dzat yang diri Muhammad berada dalam genggamannya! Jika seorang laki memasukkan sesuap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima doanya selama 40 hari, dan setiap hamba yang dagingnya tumbuh dari makanan haram atau riba, maka neraka lebih layak untuk melayaninya .”
Lantas, sudahkah kita menyeleksi makan kita sehari-hari lebih-lebih untuk buka puasa dan sahur, atau menu sehari-hari  bagi keluarga kita?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar