MENEBAR KATA BERBAGI RASA,
MENEBAR SENYUMAN PERBANYAK TEMAN
Rabu, 29 April 2009
opini
Kehendak Rakyat Versus Kehendak Politisi
Oleh : Asmu’i Syarkowi
Pemilu legislatif ( pileg ) telah usai. Sekalipun KPU belum secara resmi mengumumkan hasil akhir, namun kita sudah dapat menebak, bahwa Partai Demokrat bakal menjadi pemenangnya. Tebakan tersebut setidaknya berdasarkan dua alasan. Pertama, karena telah diketahuinya hasil akhir hitung cepat dari sejumlah lembaga survei. Hasil survey, yang sejak pra pileg awal April lalu telah dipublikasikan, ternyata memang benar adanya. Orang kini mulai mempercayai keajaiban Ilmu Statistika ini. Kedua, kondisi para politisi. Kita lihat semua politisi dari berbagai parpol yang telah berfikir ke depan menghadapi pilpres. Mereka kini sibuk merencanakan koalisi. Dengan demikian mereka secara tidak langsung telah mengakui kemenangan dan kekalahan masing-masing. Kini seolah mereka juga tidak mempermasalahlan lagi keabsahan penyelenggaraan pileg yang relatif kacau ini.
Suara yang diperoleh Demokrat memang cukup sigifikan. Tidak tanggung-tanggung. Selisihnya lebih lima persen dengan partai calon pemenanag kedua, GOLKAR. Suatu angka yang sepadan dengan capain mantan partai besar PKB pada pileg tahun ini.
Sekalipun kemenagan tersebut sudah diduga sebelumnya, tampaknya PDIP dan Golkar heran. Mereka seolah tidak percaya dengan realitas ini. Kedua partai besar tersebut kini berubah seperti dua raksasa ompong yang hanya berjalan lunglai ke sana ke sini. Sebagai mantan-mantan raksasa tampakanya juga masih berusaha mengumpulkan sisa-sisa kedigdayaan mereka. Kali ini segala upaya tersebut dilakukan dengan satu tujuan : ‘melawan’ Demokrat dan SBY. Mengapa demikian?. Demokrat yang kini di atas angin tampaknya bersikap seolah agak jual mahal dengan partai lain. Sambil sesekali bersiul duduk manis menikmati kemenangan. Dia cenderung bersikap pasif. Seolah dia hanya mau menerima tamu dan tidak mau bertamu, hanya mau diajak bicara tidak mengajak bicara,hanya mau memeberi syarat tetapi tidak mau diberi syarat. Jual mahal, kesan inilah yang dirasakan partai-partai lain, khususnya dua mantan partai raksasa tersebut.
Sekalipun persepsi ini belum tentu benar—apalagi manakala melihat gaya bicara Anas Urbaningrum yang kalem dan cenederung merendah--kesan terhadap performance Demokrat malah menambah daftar panjang pemirsa TV yang simpati terhadap Demokrat. Tetapi hal tersebut pasti membuat partai kuning dan merah tersebut semakin sewot dankebakaran jenggot. Makajengan heran jika kudua partai tersebut dengan berbagai manuvernya kini terus kasak kusuk untuk mengeroyok Demokrat dan SBY. Manuver tersebut kadang-kadang begitu kasarnya atau menggelikan kita. Lihat saja langkah yang dilakukan dari bagaimana kubu Golkar mau ‘sowan’ ke PDIP mantan ‘seteru kronis’nya sampai sikap Wiranto yang mau berpelukan dengan mantan ‘bawahan bandel’ Prabowo. Semua langkah politik mereka tersebut dibungkus dengan kemasan indah : demi bangsa dan negara. Upaya mereka menghambat rekapitulasi, menuduh pemilu penuh kecurangan, sampai menggugat lagi eksistenti DPT tampaknya telah dirasa tidak cukup ampuh menghambat laju SBY menggapai RI satu lagi. Menyadari hal ini kini mereka mencoba membuat jurus lain dengan rencana koalisi besar mereka.
Akan tetapi, terlepas dari benar tidaknya dugaan tersebut, yang jelas fenomena calon kemenangan Demokrat yang fantastis pada pileg tersebut, mengelitik kita untuk bertanya. Mnegapa Demokrat bisa menang?. Para pengamat tentu punya jawaban beragam dengan sejumlah argument yang kompleks. Akan tetapi, bagi rakyat ‘ndeso’—sebagai pemilih mayoritas di negeri ini—sangatlah sederhana. Rakyat tidak mau repot. Rakyat tidak mau dijadikan kelinci percobaan. Negara besar ini butuh keamanan dan kenyamanan. Barang-barang mahal tidak mengapa asal jangan ribut. Rakyat juga tidak suka pemimpin yang suka menjelek-jelekan pemimpin lain. Rakyat tidak suka pemimpin yang terkesan sombong. Merasa besar pada hal tidak besar, merasa tinggi pada hal cebol, merasa bisa pada hal belum tentu. Kualifikasi rakyat tentang pemimpin ideal tersebut tampaknya semua ada pada SBY. Meminjam istilah Efendi Gozali, pencitraan terhadap tokoh bernama SBY--dengan kegantengan dan kesantunannya di setiap even-- berhasil dengan gemilang. Demokrat dan para calegnya dapat berkahnya. Mereka dipilih dan menang. Realita ini yang tampaknya belum juga tidak difahami oleh sejumlah elite politik parpol, khususnya oleh Golkar dkk.
Kini giliran tahap pemilihan presiden ( pilpres). Sekalipun belum dilaksanakan, akan tetapi hampir semua orang dapat menebak hasilnya. Berpasangan dengan siapun SBY pasti terpilih dan menang. Bukan mendahuli takdir, tetapi karena rakyat tidak mau repot dan seterusnya tadi. Ketika melihat ulah para politisi di TV kasak kusuk ke sana dan kemari mungkin rakyat menertawakan mereka. Silahkan kasak kusuk, kami akan tetap milih SBY. Dan, bagi ‘penonton’ seperti kita, memang hanya bisa membuktikan sampai hari “H”-nya nanti. Siapakah yang akan menang : kehendak rakyat versus kehendak para politisi. Selamat menunggu.
1. RIWAYAT KELAHIRAN
Lahir di Banyuwangi, 15 Oktober 1962, tepatnya di Dusun Sumberjo, Desa Kepundungan, Kecamatan Srono. Saya adalah putra kelima 9 bersaudara dari pasangan suami istri Moh. Syarkowi ( 1925-1987 ) dan Fathonah (1935-2015).Ayah wafat tahun 1987 ketika saya sedang KKN.
2. RIWAYAT PENDIDIKAN : a.Formal :
- SDN Sumberejo ( 1970-1975 ), MTsN Srono ( 1976-1979 ), PGAN Situbondo ( 1979-1982 ), IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari'ah/Sarjana Muda (1982-1985 ), IAIN Sunan Kalijaga Fakultas Syari'ah/Sarjana Lengkap Jurusan Peradilan Agama (1985-1988 ), Magister Ilmu Hukum ( S-2 ) Fakultas Hukum Universitas Makassar tamat 2001. b. Non Formal : -Nyantri di Pondok Pesantren Misbahul Ulum Patokan Situbondo asuhan K.H.Saifullah Saleh (1979-1982) dan Pondok Pesantren Wahid Hasyim Gaten Yogyakarta ( 1982-1990 ) asuhan K.H.Abdul Hadi. 3. PEKERJAAN : Sejak 1991-sampai sekarang menjadi Pegawai Pengadilan Agama. Alamat e-mail : asmui.15@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar