Oleh
: Drs. H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Angka perceraian di Indonesia, dari tahun ke tahun, terus mengalami kanaikan. Informasi ini dapat kita lihat dari data statistik laporan tahunan Mahkamah Agung, dalam hal ini pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Republik Indonesia. Pengadilan Agama Surabaya, Kabupaten Malang, dan Banyuwangi merupakan 3 Pengadlan Agama di Jawa Timur termasuk yang ikut menjadi ‘juara’ angka perceraian secara nasional karena selalu menjadi “the top ten” .
Mengingat dari sisi dampaknya, kenaikan ini tentu membuat kita miris sekaligus mengundang pertanyaan banyak pihak. Padahal, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam memberi ketentuan, bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah yang menurut syari’at Islam sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bertujuan mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah;
Adanya unsur ikatan batin, di samping ikatan lahir, merupakan unsur yang paling esensi. Unsur itulah yang melandasi unsur-unsur lain. Apabila, unsur ikatan batin ini sudah tidak ada lagi, maka pada hakikatnya perkawinan itu sebenarnya sudah tidak ada lagi. Sebab, unsur lain seperti terbentuknya rumah tangga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin akan terwujud, jika ikatan batin antara suami istri tidak ada. Ketidakbolehan adanya paksaan bagi masing-masing yang akan melaksanakan pernikahan adalah juga membuktikan pentingnya keberadaan unsur ikatan batin ini.
Dalam ranagka mencapai tujuan perkawinan, undang-undang telah menetapkan sejumlah asas-asas atau prinsip-prinsip kerkawinan. Salah satu asas penting dalam undang-undang adalah prinsip untuk “mempersukar terjadinya perceraian”. Mahkamah Agung lewat berbagai ‘kebijakannya’ telah ‘menghimbau’ yang pada pokoknya agar para hakim ‘tidak mudah mengabulkan perceraian’, misalnya melalui Peraturan Mahkamah Agug Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi. Dalam perma ini pada pokoknya setiap perkara yang masuk, termasuk perkara perceraian, selain perkara tertentu, wajib menempuh mediasi. Tujuannya, selain dalam rangka memaksimalkan implementasi Pasal 130 HIR, adalah untuk agar perkara yang masuk ke pengadilan dapat selesai tanpa harus berakhir dengan putusan hakim. Konteksnya dengan perceraian, agar meningkatnya kasus perceraian dari sisi kuantitas dapat ditekan sedemikian rupa. Terakhir Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu isi edaran tersebut yang menyangkut bidang hukum keluarga adalah, bahwa perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah terbukti.
Sebagaimana kita ketahui, pada saat yang sama peraturan perundang-undangan telah menetapkan sejumlah alasan yang dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah menyebut 6 item alasan perceraian yaitu : a. salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kaitannya dengan edaran di atas, tampaknya hanya alasan pada huruf (f) saja yang singkron dengan ‘kebijaksanaan’ Mahkamah Agung.
Tampaknya, Mahkamah Agung berusaha menafikan semua alasan perceraian yang ada dalam undang-undang kecuali alasan perceraian yang tercantum dalam huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975.
Mengingat begitu selektif dan ketatnya alasan perceraian, lantas mengapa dari tahun ke tahun angka perceraian cenderung meningkat?
Keabadian ikatan perkawinan dalam bentuk keutuhan rumah tangga pasti menjadi dambaan setiap pasangan yang menikah. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya karena alasan tertentu memang bisa saja ikatan batin tersebut terlepas, sehingga apabila hal ini terjadi pada hakikatnya ikatan perkawinan itu juga sudah tidak ada lagi. Memang belum ada penelitihan yang bersifat nasional, yang secara spisifik, menemukan faktor-faktor dominan penyebab terjadinya perceraian. Akan tetapi, dari pengalaman empiris para hakim yang diketahui selama persidangan tampak pasangan itu tidak bahagia dengan pasangannya. Karena tidak bahagia itulah akhirnya mencari sejumlah alasan. Bahkan, alasan itu terkesan dicari-cari. Pertanyaan berikutnya mengapa tidak bahagia?
Beberapa ilustrasi dapat digunakan membantu menjawab. Ada pasangan yang hidup dengan penghasilan pas-pasan. Suami hanya bekerja sebagai buruh istri hanya ibu rumah tangga. Mereka bisa memelihara keharmonisan rumah tangga. Rumah tanggapun langgeng. Ada pasangan yang hidup sangat berkecukupan, suami istri berpenghasilan lebih dari cukup tetapi rumah tangganya harus kandas di tengah jalan. Dari dua ilustrasi ini dapat disimpulkan, bahwa kebahagiaan memang bukan soal materi. Kekurangan materi dan hidup kekurangan tampaknya bukan menjadi alasan tidak bahagia, apalagi harus bercerai. Sebaliknya, kelebihan materi juga bukan jaminan sebuah perkawinan dapat bertahan. Persoalannya hanyalah menyangkut urusan hati. Karena menyangkut urusan hati inilah, saat ini dalam kasus perceraian Pengadilan tidak lagi melihat siapa yang salah atau pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Akan tetapi, adanya fakta mengenai telah benar pecahnya rumah tangga yang menjadi pertimbangan hakim. Berbeda dengan jaman dulu pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran tidak boleh sebagai pengaju gugatan. Misalnya, seorang istri yang selingkuh tidak boleh sebagai pengaju perceraian.
Terlepas dari persoalan di atas, yang kita khawatirkan adalah apabila maraknya perceraian ini disebabkan dari adanya gejala gaya hidup hedonis. Hedonis adalah sebuah gaya hidup yang timbul akibat munculnya aliran hedonisme. Pengertian hedonisme semula berasal dari Bahasa Yunani “hedone” yang berarti “kepuasan”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, “Hedonism” diartikan sebagai “the belief that pleasure should be the main aim in life.“
Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?" Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja—seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
Dalam perkembangan selanjutnya, hedonis tampaknya muncul dengan modus gaya hidup asal bahagia. Yang menjadi pemicunya, lebih banyak karena faktor globalisasi informasi. Globalisasi informasi memang telah menempatkan dunia dan isinya seperti sebuah bola kecil yang dapat dilihat dari semua sisi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan globalisasi informasi, manusia dapat melihat ‘keindahan’ isi dunia ( bisa lewat dunia maya atau dunia nyata). Keindahan yang ditawarkan sering membuat manusia untuk memimpikan dan kemudian berusaha meraihnya tanpa adanya kemauan mengukur diri. Kemudian tampaknya, banyak manusia belum siap menyikapi hal itu, termasuk para suami dan istri. Dalam konteks perceraian, pasangan yang telah ‘terusik’ dengan gaya hidup hedonis ini akhirnya terkesan mencari-cari alasan untuk bercerai. Kecukupan materi, paras ayu dan ganteng bukan lagi jaminan bagi kelanggengan rumah tangga. Istri minta cerai karena masalah nafkah tetapi bukan karena kurang makan dan minum, serta tempat tinggal atau suami tidak punya penghasilan. Orang tidak senang dengan pasangannya, dan kemudian bertengkar terus, bukan karena pasangannya tidak cantik atau tidak tampan. Suami sering marah dan berbuat kekerasan kepada istrinya bukan karena istrinya tidak patuh atau kurang cantik. Pendek kata, semua alasan perceraian terkesan dicari-cari karena sebuah obsesi kebahagiaan yang berlebihan yang dirasa tidak didapatkan dari pasangan. Mereka tidak sadar, bahwa apa yang ada pada diri pasangannya mungkin pemberian terbaik dari Allah SWT yang belum tentu dapat diperoleh dari pasangan baru, apabila mereka menikah lagi. Kiranya segmen inilah yang sering luput dari pengamatan kita dan perlu menjadi bahan kajian para pembuat kebijakan dan tokoh agama untuk menekan angka perceraian. Oleh karena itu, apapun pemikiran dan upaya ke arah itu tanpa mencermati hal terakhir ini, mungkin akan sia-sia. Ibarat memberikan obat kepada pasien sebelum mendiagnosisnya. Wallahu a’lam.