Ada penelitian bahwa kemelut rumah tangga mempati ranking pertama sebagai masalah yang paling membuat seseorang frustasi. Penemuan ini tentu perlu kita uji lagi secara empiris di lapangan. Benarkah?
Sebuah perkawinan dibangun memang atas dasar suka sama suka. Sejuata harapan telah menjadi idaman bayang-bayang indah. Tidak ada kata jelek mengenai pasangannya. Wajah, penampilan, kekayaan, prestise, dan segala yang ada pada calon pasangan semua terlihat nyaris sempurna. Namun benarkah bayang-bayang indah tersebut kemudian akan menjadi kenyataan? Pada awal-awal berseminya rasa cinta, sama sekali tidak terpikirkan oleh pasangan yang sedaang terbakar api asmara.
Akan tetapi, seiring dengan semakin layunya persemaian cinta, sedikit-demi sedikit salah satu atau kedua-duanya, mulai melihat merasakan kekurangan pasangannya. Hidung yang dulu pesek mulai terlihat pesek atau bahkan hidung yang sudah mancungpun terlihat begitu membosankan. Belum lagi melihat dan merasakan keaslian karakter pasangan. Yang dulu lembut dan ramah, mulai terlihat tanda-tanda sifat kasar dan kebengisannya. Gaya penampilan pada waktu keluar rumah yang dulu menarik terlihat menjemukan. Yang dulu sering bertegur sapa dengan penuh gairah, sekarang berubah menjadi tegur sapa tanpa isi dan makna. Komentar-komentar indah yang dulu disamapaikan pasangan, sekarang berubah menjadi komentar biasa dan bahkan menyakitkan. Pendek kata, semua muncul begitu saja seiring dengan perjalanan waktu yang menumbuhkan rasa jemu.
kalau sudah begitu, apa yang terjadi kemudian? Bagi yang dahulu perkawinannya dibangun diatas ketulusan, akan menerima keadaan itu dengan biasa dan alami saja. Tetapi bagi yang perkawinannya dibangun di atas nafsu ( nafsu birahi ) semata, perubahan rasa terhadap pasangan tersebut pasti dirasa semakin menyiksa. Bagi kelompok pertama mengatasinya dengan usaha membangun lagi mahligai perkawinan dengan berbagai cara. Ada yang mencari kegiatan dengan ikut pengajian-pengajian, ada yang membikin acara rekreasi setiap seminggu sekali, ada berusaha mendatangi guru spiritual. Semuanya dibingkai dalam satu komitmen, bahwa hidup ini terus berjalan. Semuanya akan usai. Tidak ada yang bisa melawan waktu. Oleh karena itu, hanya perlu mengisi sisa-sisa kesempatan hidup ini dengan kegiatan yang bermanfaat bagi kehidupan berikutnya. Kehidupan abadi yang sesungguhnya. Akherat! Akan tetapi bagi kelompok kedua........
( bersambung )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
PESAN MALAIKAT MAUT UNTUK NABI YAKUB AS
BalasHapusNabi Yakub adalah putra Nabi Ishak dan cucu Nabi Ibrahim. Ia dikenal juga dengan nama Isra’il, sehingga anak keturunannya disebut Bani Isra’il. Konon, Nabi Yakub bersaudara dengan Malaikat Maut.
Suatu hari, Malaikat Maut datang mengunjungi Nabi Yakub. Melihat kedatangan malaikat itu, Nabi Yakub bertanya, “Wahai Malaikat Maut, engkau datang untuk mencabut nyawaku atau hanya sekedar berkunjung?”
“Aku datang hanya untuk berkunjung saja,” jawab Malaikat Maut.
“Baiklah kalau begitu,” kata Nabi Yakub. Dalam percakapan selanjutnya, Nabi Yakub bertanya pada Malaikat Maut, “Bolehkah aku memohon satu permintaan kepadamu?”
“Apa permintaanmu, wahai Nabi Allah?”
“Jika sudah tiba waktunya nanti, ketika engkau telah diutus untuk mencabut nyawaku, tolong berilah tanda kepadaku sebelumnya.”
“Baiklah,” jawab Malaikat Maut menyanggupi permintaan Nabi Yakub.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, dan tahun pun berganti tahun. Malaikat Maut datang kembali dan bertemu Nabi Yakub. Seperti biasa, Nabi Yakub bertanya, “Apakah kedatanganmu untuk mencabut nyawaku atau sekedar berkunjung?”
“Kali ini aku diutus untuk mencabut nyawamu.”
“Bukankah engkau telah berjanji untuk memberi tanda sebelum saat ini terjadi?” kata Nabi Yakub.
“Benar, dan aku telah melakukan itu. Hanya saja kamu tak menyadarinya. Bukankah kemarin aku datang menjemput keponakanmu, sementara engkau berada di sana?” Ia kemudian melanjutkan, “Aku pun telah mengirim utusan kepadamu. Rambutmu yang dulu hitam kini telah memutih. Tubuhmu yang dulu kekar dan kuat kini melemah. Dulu kamu berjalan dengan tubuh tegak sekarang menjadi bungkuk. Tidakkah kau sadar, semua itu adalah utusanku pada anak Adam sebelum ajal menjemputnya?”
[Dinukil dari kitab al-Buka’ min Khasyatillah karangan Syaikh Abdurrahman as-Sinjari. Juga kisah dari kitab Zahri Riyadh.] diakses oleh H.Fathur Rohman Ms.