Senin, 13 September 2021

GAYA HIDUP DAN PERCERAIAN

 



Oleh : Drs. H. Asmu’i Syarkowi, M.H.

Angka perceraian di Indonesia, dari tahun ke tahun, terus mengalami kanaikan. Informasi ini dapat kita lihat dari data statistik laporan tahunan Mahkamah Agung, dalam hal ini pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Republik Indonesia. Pengadilan Agama Surabaya, Kabupaten Malang, dan Banyuwangi merupakan 3 Pengadlan Agama di Jawa Timur termasuk yang ikut menjadi ‘juara’ angka perceraian secara nasional karena selalu menjadi “the top ten” .

Mengingat dari sisi dampaknya, kenaikan ini tentu membuat kita miris sekaligus mengundang pertanyaan banyak pihak. Padahal, menurut ketentuan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan ialah ikatan  lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga  (rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan, Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam memberi ketentuan, bahwa perkawinan menurut Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah yang menurut syari’at Islam sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam bertujuan mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah;

Adanya unsur ikatan batin, di samping ikatan lahir, merupakan unsur yang paling esensi. Unsur itulah yang melandasi unsur-unsur lain. Apabila,  unsur ikatan batin ini sudah tidak ada lagi, maka pada hakikatnya perkawinan itu sebenarnya sudah tidak ada lagi. Sebab, unsur lain seperti terbentuknya  rumah tangga yang bahagia berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa, tidak mungkin akan terwujud, jika ikatan batin antara suami istri tidak ada. Ketidakbolehan adanya paksaan bagi masing-masing yang akan melaksanakan pernikahan adalah juga membuktikan pentingnya keberadaan unsur ikatan batin ini.

Dalam ranagka mencapai tujuan perkawinan, undang-undang telah menetapkan sejumlah asas-asas atau prinsip-prinsip kerkawinan. Salah satu asas penting dalam undang-undang adalah prinsip untuk “mempersukar terjadinya perceraian”. Mahkamah Agung lewat berbagai ‘kebijakannya’ telah ‘menghimbau’ yang pada pokoknya agar para hakim ‘tidak mudah mengabulkan perceraian’, misalnya melalui Peraturan Mahkamah Agug Nomor 1 Tahun 2016 tentang mediasi. Dalam perma ini pada pokoknya setiap perkara yang masuk, termasuk perkara perceraian, selain perkara tertentu, wajib menempuh mediasi. Tujuannya, selain dalam rangka memaksimalkan implementasi Pasal 130 HIR, adalah untuk agar perkara yang masuk ke pengadilan dapat selesai tanpa harus berakhir dengan putusan hakim. Konteksnya dengan perceraian, agar meningkatnya kasus perceraian dari sisi kuantitas dapat ditekan sedemikian rupa. Terakhir Mahkamah Agung telah pula mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan. Salah satu isi edaran tersebut yang menyangkut bidang hukum keluarga adalah, bahwa perceraian hanya dapat dikabulkan jika perkawinan sudah pecah (broken marriage) dengan indikator yang secara nyata telah terbukti.

Sebagaimana kita ketahui, pada saat yang sama peraturan perundang-undangan telah menetapkan sejumlah alasan yang dapat dijadikan alasan mengajukan perceraian. Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, sebagai peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, telah menyebut 6 item alasan perceraian yaitu : a. salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena karena hal lain di luar kemampuannya; c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/ istri;  f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Kaitannya dengan edaran di atas, tampaknya hanya alasan pada huruf (f) saja yang singkron dengan ‘kebijaksanaan’ Mahkamah Agung.

Tampaknya, Mahkamah Agung berusaha menafikan semua alasan perceraian yang ada dalam undang-undang kecuali alasan perceraian yang tercantum dalam huruf (f) PP Nomor 9 Tahun 1975.

Mengingat begitu selektif dan ketatnya alasan perceraian, lantas mengapa dari tahun ke tahun angka perceraian cenderung meningkat?

Keabadian ikatan perkawinan dalam bentuk keutuhan rumah tangga pasti menjadi dambaan setiap pasangan yang menikah. Akan tetapi, dalam perkembangan berikutnya karena alasan tertentu memang bisa saja ikatan batin tersebut terlepas, sehingga apabila hal ini terjadi pada hakikatnya ikatan perkawinan itu juga sudah tidak ada lagi. Memang belum ada penelitihan yang bersifat nasional, yang secara spisifik, menemukan faktor-faktor dominan penyebab terjadinya perceraian. Akan tetapi, dari pengalaman empiris para hakim yang diketahui selama persidangan tampak pasangan itu tidak bahagia dengan pasangannya. Karena tidak bahagia itulah akhirnya mencari sejumlah alasan. Bahkan, alasan itu terkesan dicari-cari. Pertanyaan berikutnya mengapa tidak bahagia?

Beberapa ilustrasi dapat digunakan membantu menjawab. Ada pasangan yang hidup dengan penghasilan pas-pasan. Suami hanya bekerja sebagai buruh istri hanya ibu rumah tangga.  Mereka bisa memelihara keharmonisan rumah tangga. Rumah tanggapun langgeng. Ada pasangan yang hidup sangat berkecukupan, suami istri berpenghasilan lebih dari cukup tetapi rumah tangganya harus kandas di tengah jalan. Dari dua ilustrasi ini dapat disimpulkan, bahwa kebahagiaan memang bukan soal materi. Kekurangan materi dan hidup kekurangan tampaknya bukan  menjadi alasan tidak bahagia, apalagi harus bercerai. Sebaliknya, kelebihan materi juga bukan jaminan sebuah perkawinan dapat bertahan. Persoalannya hanyalah menyangkut urusan hati. Karena menyangkut urusan hati inilah, saat ini dalam kasus perceraian Pengadilan tidak lagi melihat siapa yang salah atau pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran. Akan tetapi, adanya fakta mengenai telah benar pecahnya rumah tangga yang menjadi pertimbangan hakim. Berbeda dengan jaman dulu pemicu terjadinya perselisihan dan pertengkaran tidak boleh sebagai pengaju gugatan. Misalnya, seorang istri yang selingkuh tidak boleh sebagai pengaju perceraian.

Terlepas dari persoalan di atas, yang kita khawatirkan adalah apabila maraknya perceraian ini disebabkan dari adanya gejala gaya hidup hedonis. Hedonis adalah sebuah gaya hidup yang timbul akibat munculnya aliran hedonisme. Pengertian hedonisme semula berasal dari Bahasa Yunani “hedone” yang berarti “kepuasan”. Dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary, “Hedonism” diartikan sebagai “the belief that pleasure should be the main aim in life.“

Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang menjadi hal terbaik bagi manusia?"  Hal ini diawali dengan Sokrates yang menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia. Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan tentang  'kesenangan'  (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup kesenangan badani saja—seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.

Dalam perkembangan selanjutnya, hedonis tampaknya muncul dengan modus gaya hidup asal bahagia.  Yang menjadi pemicunya, lebih banyak karena faktor globalisasi informasi. Globalisasi informasi memang telah menempatkan dunia dan isinya seperti sebuah bola kecil yang dapat dilihat dari semua sisi dalam waktu yang sangat singkat. Dengan globalisasi informasi, manusia dapat melihat ‘keindahan’ isi dunia ( bisa lewat dunia maya atau dunia nyata). Keindahan yang ditawarkan sering membuat manusia untuk memimpikan dan kemudian berusaha meraihnya tanpa  adanya kemauan mengukur diri. Kemudian tampaknya, banyak  manusia belum siap menyikapi hal itu, termasuk para suami dan istri. Dalam konteks perceraian, pasangan yang telah ‘terusik’ dengan gaya hidup hedonis ini  akhirnya  terkesan mencari-cari alasan untuk bercerai. Kecukupan materi, paras ayu dan ganteng bukan lagi jaminan bagi kelanggengan rumah tangga. Istri minta cerai karena masalah nafkah tetapi bukan karena kurang makan dan minum, serta tempat tinggal atau suami tidak punya penghasilan. Orang tidak senang dengan pasangannya, dan kemudian bertengkar terus, bukan karena pasangannya tidak cantik atau tidak tampan. Suami sering marah dan berbuat kekerasan kepada istrinya bukan karena istrinya tidak patuh atau kurang cantik. Pendek kata, semua alasan perceraian terkesan dicari-cari karena sebuah obsesi kebahagiaan yang berlebihan yang dirasa tidak didapatkan dari pasangan. Mereka tidak sadar, bahwa apa yang ada pada diri pasangannya mungkin pemberian terbaik dari Allah SWT yang belum tentu dapat diperoleh dari pasangan baru, apabila mereka menikah lagi. Kiranya segmen inilah yang sering luput dari pengamatan kita dan perlu menjadi bahan kajian para pembuat kebijakan dan tokoh agama untuk menekan angka perceraian. Oleh karena itu, apapun pemikiran dan upaya ke arah itu tanpa mencermati hal terakhir ini, mungkin akan sia-sia. Ibarat memberikan obat kepada pasien sebelum mendiagnosisnya. Wallahu a’lam.

Rabu, 08 April 2020

ANAK ANGKAT DAN HARTA WARISAN


Oleh : Drs.H. Asmu'i Syarkowi, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Lumajang Kelas I A)
Pengangkatan anak--yang oleh orang Jawa disebut “mupu anak” dan dalam hukum Barat disebut adopsi-- telah sering  dipraktikkan oleh masyarakat.  Mengapa ‘harus’ mengangkat anak, alasan mereka bisa berbeda-beda. Salah satunya, ada yang karena dalam keluarga memang tidak ada anak. Tidak ada anak bisa karena alasan memang belum memperoleh anak atau—bagi yang secara medis divonis mandul-- memang tidak bisa memperoleh anak. Bagi yang belum dengan mengangkat anak diharapkan dapat segera memperoleh keturunan. Tindakan mengangkat anak dimaksudkan sebagai “pancingan” memperoleh katurunan. Bagi yang memang tidak bisa memperolah anak kandung, dengan mengangkat anak, dimaksudkan agar dapat memperoleh sandaran kelak di hari tua.  Ada pula yang mengngkat anak  semata-mata karena alasan kemanusiaan agar dapat lebih mensejahterakan anak di kemudian hari.
Akan tetapi,  apapun tujuan yang menjadi motivasi mengangkat anak banyak masyarakat yang belum sadar, bahwa tindakan tersebut akan berakibat tidak saja sosial tetapi juga berakibat hukum di kemudian hari. Itulah sebabnya terkait dengan ini pernah terbit beberapa aturan mengenai pengangkatan anak, seperti Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979, SEMA RI Nomor 6 Tahun 1983, Kepurtusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984, SEMA RI Nomor 3 Tahun 2005,  dan terakhir diberlakukan Keputusan Menteri Sosial Nomor 110/HUK/2009, selain mencabut Keputusan Menteri Sosial Nomor 13/HUK/1993 jo Keputusan Menteri Sosial Nomor  2/HUK/1995 merupakan penjabaran dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2007. Pada zaman Penjajahan Belanda telah pula terbit Staatsblad 1917 Nomor 129 yang diberlakukan bagi golongan Tionghoa. Lantas, bagaimana menurut  pandangan Islam?
Sebagaimana dikemukakan oleh Mahmud Syaltut , pakar  fikih kontemporer sekaligus mantan Rektor Universitas  Al Azhar, bahwa setidaknya ada 2 pengertian pengangkatan anak (adopsi). Pertama, mengambil anak orang lain untuk diasuh dan didik dengan penuh perhatian dan kasih sayang, tanpa diberikan status “anak kandung” kepadanya. Hanya saja  ia diperlakukan oleh orang tua angkatnya sebagai anak sendiri. Kedua, mengambil anak orang lain sebagai anak sendiri dan ia diberi status sebagai “anak kandung”, sehingga ia berhak memakai nama keturunan ( nasab) orang tua angkatnya, dan saling  mewarisi harta peninggalan, serta hak-hak lain sebagai akibat hukum antara anak angkat dan orang tua angkatnya.
Ulama telah sepakat bahwa  hukum Islam tidak mengakui lembaga anak angkat yang mempunyai akibat hukum seperti praktik pengangkatan anak yang dipraktikkan  masyarakat Jahiliyah.
Al Qurthubi dalam tafsirnya, Al Jami’ li Ahkam al-Qur’an, mengemukakan, bahwa sebelum kenabian rasulullah SAW pernah mengangkat seorang anak lak-laki, bernama Zaid anak Haritsah,  menjadi anaknya. Pengangkatan anak tersebut dimumkan sendiri oleh rasulullah SAW di depan kaum Quraisy. Nabi juga menyatakan, bahwa dirinya saling mewarisi. Bahkan, dalam panggilan sehari-hari nama panggilan Zaid ditukar dengan nama Zaid bin Muhammad, bukan bin Haritsah, ayah kandungnya. Para sahabat pun memanggil Zaid dengan panggilan Zaid bin Muhammad sampai akhirnya turunlah wahyu (Al Qur’an) ayat ke-4 dan ke-5 Surat al Ahzab yang pada pokoknya mengandung larangan memberi status anak angkat sebagai “anak kandung” dengan  segala konsekuensi hukumnya.
Di Indonesia setelah Kompilasi Hukum Islam (KHI) diberlakukan dengan Inpres Nomor 1 Tahun 1991. tampaknya ada babak baru mengenai lembaga anak angkat ini. Kompilasi Hukum Islam yang muatannya menjadi materi fikih khas Indonesia secara eksplisit memperkenalkan istilah “anak angkat”. Pada KHI ini anak angkat diberi pengertian: “Anak yang dalam hal pemiliharaan  untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagaimnya beralih dari tanggung jawab nya dari oreang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan ( Pasal 171 huruf h ). Di samping itu, sebagaimana telah disinggung di muka, dewasa ini mengenai pengangkatan anak  ini juga telah diberlakukan PP Nomor 54 Tahun 2007. Muatan aturan hukum dalam PP tersebut tampaknya ikut melegkapi materi hukum yang ada dalam KHI.
Salah satu hal yang sering menjadi pertanyaan masyarakat adalah, apakah anak angkat dapat menjadi ahli waris orang tua angkatnya? Dengan mengacu kepada pengertian anak angkat di atas sebenarnya telah jelas, bahwa anak angkat tidak menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya. Sebab, pengangkatan  anak pada hakikatnya hanya tindakan “peralihan tanggung jawab” dari “orang tua asal” kepada “orang tua angkat”. Hal itu sebagaimana telah ditegaskan Pasal 4 PP 54 Tahun 2007 di atas, bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah dengan orang tua kandungnya. Jika hubungan darah dengan orang tua kandung tidak boleh hilang, maka secara a contrario anak angkat tidak boleh membuat hubungan nasab baru dengan orang tua angkatnya. Kalau hal itu terjadi dan secara sengaja dilakukan oleh orang tua angkat, dapat dipandang sebagai tindakan penggelapan asal-usul ketururunan yang dapat diancam pidana, sebagaimana diatur oleh Pasal 278 KUH Pidana. Itu pula sebabnya ketika KHI merumuskan siapa-siapa yang menjadi ahli waris  dan seberapa kadar bagiannya, tidak termasuk di dalamnya, anak angkat. Sebagai konsekuensi, bahwa pengangkatan anak tidak memutus hubungan biologis (nasab) dengan orang tua asal, maka hubungan saling mewarisi dengan orang tua asal dan keluarganya juga tidak putus. Dengan kalimat lain, anak angkat tetap mendapat hak waris dari kedua orang tua asal dan keluarganya, sama seperti ketika dia belum berstatus sebagai anak angkat orang lain. Dan, hal demikian berlaku sebaliknya.
Lantas, kaitannya dengan harta peninggalan orang tua angkatnya, bagaimana memberikan keadilan kepada anak angkat ini? Akankah anak yang telah dipelihara bertahun-tahun dengan kasih sayang  dan telah memelihara dan merawat orang tua angkatnya menjelang kematiannya, tidak mendapat bagian harta yang ditinggalkannya?
Ternyata ketika KHI membicarakan lembaga hukum “wasiat”  telah memberikan jalan keluar. Pada Pasal 209 diatur mengenai hubungan hukum antara anak angkat dengan orang tua angkatnya. Hubungan dimaksud ialah hubungan saling menerima harta peninggalan melalui lembaga wasiat, dalam hal ini “wasiat wajibah”. Secara sederhana wasiat wajibah dapat diartikan  “wasiat yang secara hukum dinggap (harus) ada sekalipun orang yang akan meninggal tidak pernah berwasiat”. Konsekuensinya, anak angkat dapat memperoleh harta peninggalan orang tua angkatnya melalui lembaga hukum wasiat, bukan jalan waris. Akan tetapi, anak angkat sebenarnya orang yang beruntung. Terkait dengan harta peninggalan, dia akan mendapat bagian harta dari dua jalur. Pertama, dari orang tua asal dan keluarganya melalui “jalur waris” dan kedua, mendapat harta peninggalan orang tua angkatnya melalui jalur “wasiat wajibah”.
Hal ini perlu ditegaskan agar jangan sampai terjadi kekeliruan. Kekeliruan dimaksud ialah kekeliruan  memilih pintu masuk ketika harus berperkara ke Pengadilan Agama. Oleh karena anak angkat bukan ahli waris orang tua angkatnya, maka seorang anak angkat jelas tidak bisa mengajukan gugatan waris kepada almarhum orang tua angkatnya dengan nomenklatur “perkara kewarisan”. Menurut hukum acara, keberadaan anak angkat kaitannya dengan harta warisan orang tua angkatnya bukanlah orang yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) dalam perkara kewarisan. Akan tetapi, sesui dengan ketentuan Pasal 209, kalau dia ingin memiliki harta peninggalan orang tua angkatnya dan bermaksud memperkarakannya, dapat mengajukan gugatan wasiat (wajibah). Bukankah sesuai asas personalitas keislaman mengadili perkara wasiat yang terjadi antara orang Islam juga menjadi kompetensi absolut Pengadilan Agama? Dengan demikian, anak angkat tidak (boleh) menjadi ahli waris orang tua angkatnya tetapi bisa mendapat harta yang ditinggalkannya. Bukan sebagai ahli waris tetapi sebagai penerima wasiat (wajibah), yang menurut Pasal 209 ayat (2) KHI, kadar bagian yang dapat diperoleh paling banyak sepertiga bagian. Wallahu A’lam.

BIO DATA PENULIS
Penulis, saat ini (2020) adalah Hakim pada Pengadilan Agama Lumajang Kelas 1 A. Sebelum bertugas di Bumi Minak Koncar mulai tahun 2016, penulis selama 4 tahun bertugas di Pengadilan Agama Banyuwangi Kelas 1 A. Alumni Strata-1 UIN Sunan Kalijaga Yogya dan Strata-2 UMI Makassar ini mengawali tugasnya sebagai Hakim di Pengadilan Agama Atambua NTT dan kemudian berturut-turut menjadi Wakil Ketua dan Ketua Pengadilan Agama Waingapu Kelas II. Dia mengawali karis sebagai hakim di Pulau Jawa pada tahun 2007 sampai tahun 2011 ketika dimutasi ke di PA Jember.

Kamis, 07 Maret 2019

CERAI, SOLUSI ATAU FRUSTASI

Angka percaraian dari tahun mengalami peningkatan baik kuantitas maupun kualitas. Peningkatan kualitas, dapat dilihat dari data statistik. Yang dahulu hanya puluhan menjadi ratusan, yang dahulu ratusan menjadi ribuan. Data stistik di setiap Pengadilan Agama menunjukkan, bahwa hampir semua PA yang mengalami lonjakan perkara. Bahkan ada PA yang jumlah aparatnya tidak sebanding dengan peningkatan perkara masuk. Sehingga tidak mengherankan jika banyak Pengadilan Agama yang kualahan menghadapi overload jumlah perkara ini. Dari segi kualitas, alasan perceraian tampaknya tidak sesederhana dahulu. Problem baru mengenai rumah tangga yang dulu tidak ada kini bermunculan. Orang yang ingin berperkarapun tidak bisa menghadap sendiri. Alasannya, di samping gak mau repot bolak-balik Pengadilan, kompleksitas persoalan yang muncul juga menjadi alasan.
Fenomena tersebut jelas menimbulkan pertanyaan, mengapa semakin banyak orang cerai dan apa apa pula alasannya?
Tentang mengapa perceraian meningkat, memang belum ada hasil penelitian khusus melaporkan. Tetapi sebagai orang yang berkecimpung di 'dunia perceraian' penulis secara empirik tahu. Pengalaman penulis menunjukkan bahwa ada kecenderungan kini orang menggampangkan perceraian. Gaya hidup tampaknya menjadi salah satu pemicu. Perubahan gaya hidup ini diakibatkan oleh ketidaksiapan orang menghadapi kemajuan dunia global dan kemajuan teknologi yang demikian pesat. Sebagai contoh, dulu mau nonton TV sangat susah. Sekarang semua orang bisa melihat TV. Dari TV orang dapat belajar semua hal. Mulai dengan cara hidup, cara berpakaian, dan cara berumah tangga. Orang lupa bahwa itu hanya tontonan. Tetapi, suguhan acara yang hanya dimaksudkan sebagai tontonan dijadikannya tuntunan. Adegan kekerasan, cara berkata, cara berpakaian para selebriti di filem hanyalah sebuah tontonan fiksi belaka. Tetapi orang mempraktekkannya di dunia nyata. Pada saat yang sama suami atau istri terlihat seperti biasa. Obsesi keindahan yang didapat dari menonton TV atau filem jelas tidak dapat dalam rumah tangganya. Melihat istri kok tidak halus seperti Shahrini atau melihat suami kok tidak maco seperti Ade Ray. Kebosanan melihat pasanganpun timbul.
Mobilitas manusia yang mudah juga menjadi pemicu. Dulu orang sulit bepergian. Sekarang, orang bisa kemanapun mau. Mau keliling Indonesia atau bahkan dunia, pasti bisa. Tergantung dua hal : Kamauan dan Duit. Kesempatan untuk melanggar komitmen perkawinanpun sangat luas alias terbuka lebar. Tergantung mau atau tidak. Pada saat bepergian jauh, baik suami atau istri mempunyai kesempatan sama untuk melanggar komitmen itu. Sekali lagi, tergantung mau atau tidak. Bagi laki-laki, ada yang bilang, iman boleh kuat tapi 'imron' mana tahan. Dan sebaliknya, pancingan perselingkuhan terbuka lebar di depan mata. Anak dan suami jauh di sana. Di depan hanya ada sang pujaan yang siap memberikan mimpi indah, Setelah, pada saatnya harus kembali ke kampung kesan itu tetap terbawa. Sesamapai di kampung kecurigaan melihat perubahan gaya hidup pasanganpun mulai timbul. Tutur kata dan cara berpakaian menambah sejuta tanda tanya bagi pasangan. Akibatnya, kecemburuanpun muncul dan membuka pintu pertengkaran. Pertengkaran kali ini bukan sekedar pertengkaran penyedap romantika rumah tangga. Tetapi, pertengkaran yang menjadi awal karamnya bahtera rumah tangga. ( bagian pertama