Demokratis
Foto ini diambil dalam pemilihan ketua Pondok Pesantren Wahid Hasyim di gaten Yogyakarta tahun 1990. Segera setelah saya memenangi pemilihan dengan sistem votting tertutup, saya diangkut beramai-ramai oleh sejumlah team sukses. Mereka-mereka itulah yang paling berambisi menjadikan aku sebagai pengganti Ketua pondok sebelumnya. Mereka adalah, Masruri ( Lampung ), Zaenuri ( Pati ), Imam Makruf ( Lampung ) Bisri Mustofa ( Ngawi ). Kenapa mereka berambisi? Yang jelas mareka tidak berkepentingan apapun seperti dukung-mendukung para politisi seperti sekarang. Dukungan mereka semata-mata lillahi ta'ala. Tradisi pemilihan ketua dengan sistem votting seperti itu sudah melembaga di Pesantren Wahid Hasyim. Biasanya dilakukan dalam 2 tahap. Sudah barang tentu pemungutan suara ini dilakukan setelah tahap pengesahan tata tertib rapat yang -- layaknya sidang DPR--pengesahannya berjalan sanagat alot dan memakan waktu berjam-jam. Tahap pertama, tahap pencalonan. Hanya calon yang memenuhi quota suara tertentu saja yang boleh diajukan ke tahap berikutnya. Biasanya terdiri dari 2 sampai 4 calon. Tahap kedua, tahap final. Pada tahap ini hasil penyaringan calon pada tahap pencalonan dipilih melalui pemungutan suara setelah sebelumnya setiap calon dimintai kesediaannya. Dan, hampir semua dengan nada elegan atau vulgar hampir semua calon menyatakan ketidak sediaannya. Hanya saja, ketidak sediaan itu biasanya diabaikan oleh para peserta rapat. Votting tertutuppun kemudian dilakukan. calon yang memperolah suara terbanyak 'harus mau' memimpin Pondok. Sebuah pembelajaran berdemokrasi yang berharga. Rapat pemilihan ketua pondok yang dimulai sekitar pukul 19.30 ini biasanya selesai sekitar pukul 02.00 dini hari. Bandingkan dengan demokrasi dalam dunia politik sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar