Senin, 04 Juli 2011

PENERAPAN LEMBAGA MEDIASI MENURUT PERMA NOMOR 01 TAHUN 2008 ( Telaah Kritis Tentang Pemberlakuannya di Pengadilan Agama )

A. PENDAHULUAN


Telah menjadi rahasia umum, bahwa dunia peradilan kini banyak menuai kritik. Penyebab datangnya kritik tersebut memang sangat kompleks. Akan tetapi, jika kita hendak mengambil salah satu contoh di antaranya, dan ini harus diakui oleh insan peradilan, adalah banyaknya tunggakan perkara di Mahkamah Agung yang dari tahun ke tahun kian menggunung. Kritik itu muncul, karena akibat tunggakan perkara tersebut, secara langsung, telah dirasakan oleh para pencari keadilan. Keadilan yang segera didambakan tidak segera mereka dapatkan. Fenomena ini tentunya dirasakan sebagai ironi. Sebab, pada saat yang sama, dunia peradilan selalu mengumandangkan jargon: peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Akan tetapi, kenyataannya untuk memperoleh keadilan yang didambakan tidak sesederhana, secepat, dan seringan yang dibayangkan. Akibat semua itu, muncullah stigma negatif, bahwa lembaga peradilan adalah lembaga yang berbelit-belit lamban dan berbiaya mahal.
Latar belakang inilah yang mendasari pemikiran terbitnya PERMA Nomor : 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Tujuan utama penerbitan PERMA ini sebagaimana tertuang dalam konsiderans huruf b adalah dalam rangka ikut mengatasi masalah penumpukan perkara di Pengadilan serta memperkuat dan memakssimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa di samping proses pengadilan yang bersifat memutus ( ajudikatif ).
Tulisan berikut dimaksudkan untuk mengetahui efektivitas dan efisiensi penerapan lembaga mediasi pada Peradilan Agama.
B. SELUK BELUK MEDIASI
1. Pengertian Mediasi
Kata madiasi atau dalam bahasa Inggris mediate, mediation, berarti: (tak langsung, perantaraan ).
Menurut istilah, mediasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui perundingan dengan bantuan pihak ketiga netral ( mediator ) guna mencari bentuk penyelesaian yang dapat disepakati para pihak.
Sebenarnya masih banyak pengertian mediasi yang dikemukakan para pakar. Semua pengertian tersebut pada intinya menurut penulis tidak ditemukan perbedaan yang prinsip. Akan tetapi, masing-masing justru saling melengkapi.
Dalam tulisan ini, selanjutnya dikemukakan pengertian yang ada dalam PERMA Nomor 2 Tahun 2003, yang pada prinsipnya sama dengan batasan di atas, yaitu :
Mediasi adalah penyelesian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Oleh karena pembicaraan mediasi dalam tulisan ini beranjak dari PERMA tersebut, maka pembicaraan mediasi berikutnya juga hanya akan beranjak dari dan menitik beratkan kepada segenap ketentuan yang ada dalam PERMA tersebut.
2. Unsur-unsur dan Asas-asas Mediasi
Dari pengertian mediasi sebgaimana dikemukakan di atas dapat diperoleh gambaran mengenai unsur-unsur sebagai berikut :
a. Mediasi merupakan penyelesaian sengketa dengan melibatkan pihak ketiga.
Pihak ketiga tersebut adalah pihak yang dalam pelakasanaan mediasi disebut mediator. Selanjutnya, siapa mediator dan siapa yang boleh bertindak sebagai mediator, siapa yang berkompeten mengangkat, apa kewajiban mediator.
Siapa Mediator itu ?
Yang disebut mediator adalah pihak yang bersifat netral dan tidak memihak yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa.
Yang boleh sebagai mediator
Menurut PERMA mediator ini terdiri dari 2 macam. Yaitu mediator dari dalam Pengadilan dan dari luar pengadilan . Mediator dari dalam Pengadilan bisa dari kalangan hakim dan bukan hakim. Hakim yang boleh bertindak sebagai mediator ini adalah Hakim yang tidak menangani perkara yang bersangkutan. Sedangkan, siapa mediator yang bukan hakim, pada PERMA tersebut tidak ada ketentuannya. Akan tetapi, yang penting dalam hal ini adalah, baik mediator dari kalangan Hakim maupun non Hakim adalah mereka yang telah memiliki sertifikat mediator. Yang dimaksud sertifikat mediator adalah dokumen yang menyatakan, bahwa seorang telah mengikuti pelatihan atau pendidikan mediasi yang dikeluarkan oleh lembaga yang telah diakreditasi oleh Mahkamah Agung.
Tentang siapa yang boleh bertindak sebagai mediator dari luar pengadilan, dalam PERMA ini memang tidak ada ketentuan. Akan tetapi, melihat fungsinya sebagai penengah, tampaknya siapa saja memang memungkinkan bertindak sebagai mediator dari luar pengadilan ini. Yang penting, orang tersebut mampu dan dari kalangan pihak ketiga, serta yang lebih penting lagi adalah bisa bersikap netral dan tidak memihak sebagaimana dikehendaki oleh ketentuan Pasal 1 angka 5.
Yang berkompeten mengangkat mediator
Pada Pasal 4 ayat (1) PERMA Nomor 02 Tahun 2003 diberikan ketentuan sebagai berikut :
“Dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama para pihak atau kuasa hukum mereka wajib berunding guna memilih mediator dari daftar yang dimiliki oleh Pengadilan atau mediator di luar daftar pengadilan”.

Dari ketentuan tersebut dapat diketahui, bahwa pada prinsipnya yang berkompeten mengangkat mediator adalah para pihak sendiri atau kuasa hukumnya. Mekanisme seperti ini kiranya tepat jika kita mengingat bahwa mediasi merupakan penyelesaian sengketa oleh para pihak sendiri. Ketika mereka bermaksud menarik pihak ketiga sebagai mediator, otoritas untuk menentukan siapa yang akan dipilih sudah barang tentu juga dimiliki oleh mareka sendiri.
Hanya saja, dalam praktek mungkin tidak selalu mulus. Bisa saja para pihak tidak kunjung sepakat dan bahkan berujung ke jalan buntu hanya untuk menentukan mediator. Mengenai hal ini tampaknya telah diantisipasi oleh PERMA Nomor 02 Tahun 2003. Apabila hal seperti terjadi, menurut PERMA tersebut, maka kewenangan menentukan mediator tidak lagi berada pada para pihak tetapi berpindah kepada ketua Majelis.
Kewajiban Mediator
Menurut PERMA Nomor 02 Tahun 2003 seorang mediator berkewajiban melakukan hal-hal, antara lain, sebagai berikut :
1) Menentukan jadwal pertemuan untuk penyelesaian proses mediasi.
2) Mendorong para pihak untuk menelusuri dan menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang terbagi para pihak.
3) Merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak.
4) Memeriksa materi kesepakatan, sebelum ditandatangani para pihak, untuk menghindari adanya kesepakatan yang bertentangan dengan hukum.
5) Menyatakan secara tertulis, jika proses mediasi gagal dan memberitahukan kegagalan tersebut kepada hakim.
b. Ada sengketa yang perlu diselesaikan.
Mediasi timbul karena adanya sengketa yang perlu diselesaikan. Jadi adanya sengketa dan sengketa tersebut perlu penyelesaian merupakan hal yang harus ada dalam mediasi. Keduanya tidak bisa dipisah-pisahkan satu sama lain. Ada sengketa tetapi para pihak tidak perlu menyelesaikannya adalah sesuatu yang tidak mungkin adanya mediasi. Atau, ada yang perlu diselesaikan tetapi tidak ada sengketa juga tidak mungkin ada mediasi. Contoh pertama adalah seperti ada dua orang berkelai di pasar. Setelah berkelai mereka lalu pulang ke rumah masing-masing. Contoh kedua adalah perkara volunter, yaitu perkara yang bukan sengketa.
c. Ada Proses.
Pelaksanaan mediasi, pada padasarnya adalah langkah-langkah untuk menyelesaikan perkara. Para pihak dianjurkan menempuh langkah-langkah penyelesaian perkara itu sebelum perkara tersebut diperiksa oleh majelis hakim. Target yang ingin dicapai dalam pelaksanaan mediasi ini adalah tercapainya perdamaian. Untuk mencapai tujuan ini sudah barang tentu tidak mudah. Oleh karena itu dalam palaksaanannya mediasi membutuhkan proses. Proses ini, menurut PERMA Nomor 02 Tahun 2003 dimualai sejak diadakannya sidang pertama. Secara lebih rinci proses mediasi, tersebut antara lain sebagai berikut :
1) Perintah hakim kepada para pihak, pada sidang pertama, yang mewajibkan mereka menempuh mediasi.
2) Para pihak atau kuasa hukumnya, dalam waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang pertama harus sudah berunding untuk menentukan mediator.
3) Pelaksanaan mediasi, seperti melakukan kaukus dan mengundang ahli hukum bila diperlukan, perumusan kesepakatan dan pemberitahuan hasil mediasi kepada hakim.

C. PENERAPAN LEMBAGA MEDIASI DI PENGADILAN AGAMA
Segera setelah terbitnya SEMA nomor 1 Tahun 2002 memang banyak Pengadialn Agama yang serta merta menerapkan lembaga mediasi tersebut. Pelaksanaan mediasi tersebut, beberapa di antaranya adalah juga karena instruksi Pengadilan Tingkat Banding. Bahkan, dengan penuh idealisme beberapa nara sumber dari Mahkamah Agung juga memberikan sosialisasi upaya penerapan mediasi ini. Akan tetapi, efektif dan efisienkah penerapan lembaga tersebut. Untuk mengetahui hal tersebut perlu dilihat pelaksanan dilapangan selama ini dan secara ideal dalam konteks kewenangan Peradilan Agama?. Analisis berikut kiranya dapat untuk mengukur sejauh mana efektivitas dan efisiensi tersebut.
1. Penerapan di lapangan
Sebagaimana diketehui bahwa penerapan lembaga mediasi selama ini dijumpai praktek sebagai beriut :
a. Penunjukan mediator.
Mediator ditunjuk oleh Ketua Pengadilan dengan penetapan. Penetapan ini biasanya berlaku untuk satu kasus, perkara. SEMA tersebut memang tidak menjelaskan menganai hal ini. Akan tetapi dalam PERMA dijelaskan bahwa mediator ditujuk sendiri para pihak. Sebagaaaimana telah dikemukakan di atas, apabila para pihak tidak menemukan jalan buntu dalam menentukan mediator ini, maka kewenangan menunjuk mediator beralih ke Ketua Majelis. Malah ada terjadi, di Pengadilan Agama tertentu, mediator ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama yang waktunya hampir bersamaan ketika Penetapan Majelis Hakim ( PMH ) dibuat.
b. Yang bertugas sebagai mediator.
Menurut SEMA mengenai mediasi ini, yang ‘berkompeten’ menjadi mediator adalah hakim yang tidak menangani perkara. Dalam praktek yang ditunjuk sebagai mediator oleh Ketua justru bukan hakim. Alasannya, mungkin karena di PA setempat memang Hakim yang akan ditunjuk memang tidak ada, sebab, hakim yang ada semuanya menangani perkara yang bersangkutan ( hanya satu majlis saja ). Ketidakharusan Hakim ini kini tampaknya dibenarkan oleh PERMA. Hal ini memang tidak menjadi soal. Akan tetapi, dengan menilik kondisi PA sekarang, SDM bukan hakim tampaknya sulit diharapkan menjadi mediator ideal sebagaimana dikehendaki PERMA. Apalagi, jika kita mengingat mengenai idealnya seorang mediator yang sebenarnya disyaratkan harus bersertifikat sebagai mediator. Untuk hakim saja bisa diragukan kemampuannya jika belum memiliki kreteria tersebut, apalagi yang bukan hakim.
Pertanyaan kita adalah, pernahkah untuk kepentingan itu diadakan penataran atau semacam pelatihan bagi aparat Pengadilan Agama. Sebagai tolok ukurnya barang kali kita dapat melihat kondisi persiapan penerapan lembaga ini di Peradilan Umum. Kenyataannya, memang jangankan bagi aparat Peradilan Agama, untuk aparat peradilan dari lingkungan peradilan umumpun, yang menurut SEMA berkewajiban menerapkan mediasipun, juga belum pernah terdengar diadakan semacam pelatihan guna memenuhi target SDM bagi pelaksanaan mediasi ini.
Dengan demikian, secara teori SDM aparat Peradilan Agama, baik secara kuantitas maupun kualitas, memang belum ada yang memenuhi syarat.

c. Biaya Mediasi
Biaya mediasi selama ini dikumulasikan dengan panjar biaya perkara. Konsekuensinya, panjar biaya perkara, setelah diterapkan mediasi ini, lebih besar dari biasanya. Akibat labih jauh adalah bahwa pembengkakan biaya perkara ini akan mebebani para pihak. Kenaikan ini akan menjadi sia-sia jika tujuan kenaikan tersebut tidak tercapai. Tujuan yang ingin dicapai dengan kenaikan biaya akibat diterapkannya lembaga mediasi ini adalah agar para pihak bisa damai sebelum perkara dilanjutkan. Jika perkara damai pada awal-awal persidangan tentuya pemkaian panjar juga akan berkurang. Akan tetapi kenyataannya dari sekian perkara yang melalui tahap mediasi jarang, kalau tidak boleh disebut tidak ada sama sekali, yang berakhir damai melalui mediasi. Apalagi jika hal ini dikaitkan dengan SDM yang akan didayagunakan sebagai mediator. Dari segi ini, jika dipaksakan dengan kondisi yang ada selama ini, penerapan mediasi justru menjadi kontra produktif, seperti membuang-buang waktu, tenaga, pikiran dan, tentunya, biaya.
2. Mediasi dan Kewenangan PA
Sebgaimana diketahui bahwa kewenangan PA telah disebutkan pada pasal 49 ayat 1 UU Nomor 7 tahun 1989, dan khusus untuk bidang perkawinan kwenagan tersebut secara limitative telah disebut dalam penjelasan Pasal 49 ayat..
Dari segi jenis perkara yang diterima di peradilan,kewenangan tersebut dibedakan menjadi dua macam yaitu, kewenangan terghadap jenis perkara volunteer dan jeis perkara contensius. Pembahasan mediasi sudah barang tentu tidak akan meneyentuh jenis perkara volunteer, sebab sesuai dengan unsure mediasi salah satunya adalah ada sengketa. SEdangkan perkara volunteer tidak terdapat sengketa.
Untuk jenis perkara kontensius jelas lembaga mediasi secara ideal dapat diterapkan di PA. Perkara yang dapat memakai mediasi tersebut misalnya :
- Perkara perceraian
- Perkara pembagian harta bersama;
- Perkara penguasaan anak di bawah umur;
- Perkara kewarisan;
- Perkara gugatan harta wakaf
- Dst.
Beberapa macam perkara contensius tersebut dapat dibedakan mejadi dua, yaitu perkara :
- perkara perceraian murni;
- perkara yang bersangkut paut dengan sengketa kebendaan atau penguasaan anak.
Untuk masalah sengketa perkawinan, dalam hal ini menyangkut perceraaian murni, sekalipun dapat, penerapan mediasi tampaknya kurang tepat. Sebab, dalam kasus ini sebanarnya ada lembaga yang secara sistemik terkait dengannya. Lembaga ini tidak lain adalah lembaga hakam. Penerapan lembaga mediasi dalam kasus demikian, di satu sisi, akan menyebabkan tumpang tindih dan di sisi yang lain, dan ini yang lebih harus dicermati oleh insan peradilan Agama, akan menghilangkan salah satu idiom – idiom Islam yang salah satunya adalah keberadaan lembaga hakam. Yang ironis adalah apabila sampai terjadi bahwa penggunaan lembaga hakam dalam kasus syiqaq hanya bersifat fakultatif, tetapi justru penggunaan lembaga mediasi justru bersifat imperatif.
Pada saat yang sama sebenarnya penjelasan Pasal 31 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 telah menyebut orang atau badan lain dalam mendamaikan para pihak yang akan bercerai. Siapa orang atau badan lain tersebut, dalam pasal tersebut, memang tidak ditentukan dengan jelas. Dengan menyimak aspek histories keberadaan Pengadilan Agama selama ini, penulis berasusmsi bahwa yang dimaksud orang tersebut adalah bisa saja tokoh-tokoh informal, seperti Ulama, Kyai dan atau tokoh Islam berpengaruh lain setempat. Sedangkan, yang dimaksud dengan badan lain tersebut bisa saja BP4 yang ada di Departemen Agama. Apabila hal ini bisa berjalan optimal keberadaan PA yang seatap di bawah Mahkamah Agung bersama peradilan lain, tidak akan kehilangan akar sosiologis dan historisnya. Akar sosiologis dimaksud adalah keberadaan PA sebagai institusi umat Islam, yang kantornya sebagai salah satu syiar Islam dan Hakimnya adalah ulama di mata masyarakat. Ini bisa terwujud bila hubungan PA dengan pemuka Islam setempat terus terjaga. Salah satunya adalah ikut melibatkan mereka dalam ‘menangani’ kasus perceraian tersebut. Sedangkan, yang dimaksud akar historis adalah keberadaan PA yang sebelumnya di bawah naungan Departemn Agama. Dengan ikut memerankan BP4 diharapkan tidak saja memelihara hubungan kerja secara lintas sektoral, tetapi lebih dari itu akan memelihara hubungan historis tersebut, di samping, tentunya dengan KUA yang selama ini memang terjalin secara yuridis.
Untuk masalah yang berkaitan dengan penguasaan kebendaan atau anak, tampaknya mediasi, welcome. Hanya saja tumpukan perkara di peradilan tingkat pertama dan pada saat yang sama tenaga yang diperlukan sangat terbatas harus menjadi pertimbangan. Di pengadilan Agama dengan volume perkara yang rata-rata perbulan 100 perkara dengan tenaga hakim yang hanya 3 atau majelis, pengefektifan lembaga mediasi di Peradilan Agama justru akan menjadi masalah. Masalah yang paling jelas adalah ketika Pengadilan harus menyiapkan tenaga ahli sebagai mediator.
Penggunaan mediator dalam pengadilan juga akan mengganggu kelancaran pelaksanaan penanganan perkara di Pengadilan. Hal ini khususnya terjadi di Pengadilan Agama yang tenaga hakimnya kurang. Urusan teknis yang bersifat pribadi, akan menyebabkan hakim atau panitera yang diehendaki sebagai mediator akan apatis. Urusan teknis tersebut misalnya harus membuat agenda-agenda sidang perkara yang dibebankan Ketua, membuat putusan, dan tugas lain. Urusan sendiri saja menumpuk, kenapa harus membantu urusan orang lain?, begitulah kira-kira gumam mereka jika dipilih sebagai mediator. Dan, yang lebih penting lagi adalah itulah makna salah satu ketentuan PERMA bahwa penggunaan lembaga di selain peradilan umum tidak wajib.
D. KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Dari uraian di muka dapat disimpulkan sebagai berikut.
a. Penggunaan lembaga mediasi di PA dapat diterapkan dengan melihat sifat perkara;
b. Untuk perkara perceraian murni, tidak perlu diterapkan mediasi karena justru kontra poduktif dan bisa tumpang tindih dengan lembaga semacamnya yang sudah ada;
c. Penggunaan lembaga mediasi pada perkara lain dapat dilaksankan. Akan tetapi, jika melihat kenyataan PA sekarang tidak efektif dan efisien.
2. Saran
a. agar lembaga mediasi dieterapkan hanya pada perkara kebendaan yang memang perlu;
b. Perlu diadakan SDM yang memadai bagi pelaksanaan mediasi; seperti pelatihan, kursus, dan kegiatan lain yang berkaitan dengan penyiapan mediator yang ideal;
c. Dalam kasus perceraian agar dioptimalkan fungsi lembaga hakam dan isi penjelasan ketentuan Pasal 31 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975.
d.
E. PENUTUP.
Demikianlah makalah sederhana ini dapat disajikan. Harapan kami substansi makalah ini dapat menjadi pancingan diskusi rekan seprofesi.
Sekian semoga manfaat, Amin. Walla a’lam.


KEPUSTAKAAN
Mahkamah Agung RI, 2004, Mediasi dan Perdamaian.
Suparto Wijoyo,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar