“Akhirnya bisa dimulai,”ujar Horst Koeler, Presiden Jerman, pada acara pembukaan Piala Dunia 2006 di Muenchen (Kompas, 10/6/2006 ). Tepukan gemuruh pun muncul dari 66.000 penonton di stadion menyambut teurnamen olah raga terbesar di dunia ini. Terbesar ? Ya even ini harus dibilang terbesar. Mengapa ? Kemunculannya kali ini konon ditonton lebih dari 1,5 milyar penduduk dunia. Fantastis bukan ?. Kepopuleran olah raga yang menggunakan 11 pemain ini bukan hanya terjadi sekarang. Tetapi, sudah tampak sejak dulu. Mungkin itulah sebabnya mengapa tahun 1920 Jules Rimet, si Presiden FIFA waktu itu, mengusulkan agar pertandingan sepak bola ini dijadikan sebagai turnamen yang terpisah dengan Olimpiade. Meskipun agak lama akhirnya usul tersebut goal juga ketika pesta olah raga ini digelar untuk pertama kalinya pada tahun 1930 di Uruguay dan si tuan rumah berhasil keluar sebagai kampiunnya. Gelar tersebut sekaligus sebagai hadiah ulang tahun ke-100 kemerdekaan negara tersebut.
Selanjutnya, even empat tahunan tersebut memang telah menjelma menjadi industri hiburan global. Revolusi bidang teknologi informasi membuat dampak dari perhelatan sepak bola bukan hanya lebih mondial tetapi sajiannya juga lebih menghibur. Dampak yang diakibatkan penyelengaraannya tidak hanya sekedar hiburan, tetapi juga berdampak sosial, politik, dan ekonomi. Simak saja kehidupan para bintangnya. Kebintangan di dunia persepakbolaan telah menempatkan mereka setara dengan para tokoh kelas dunia. Orang-orang Inggris saja heran dan kadang tidak bisa menjawab, mengapa gaji seorang pemain bintang sepak bola bisa lebih tinggi dari gaji seorang perdana menteri. Mau contohnya? Bintang muda Inggris Wayne Rooney yang masih berusia 20 tahun itu mampu mengumpulkan kekayaan kebih dari 30 juta poundsterling atau sekitar 450 miliar. Sebuah kekayaan yang tidak mungkin bisa dikumpulkan oleh seorang PNS Indonesia golongan IV/e sekalipun jika, maaf, tidak mau korupsi.
Kejuaraan cabang olah raga, yang memperebutkan Piala Jules Rimet karya Abel Lafleur sang pematung Perancis, ini juga telah menjadi ikon budaya abad 20-21. Olah raga asal Inggris ini juga telah menjadi bagian simbolisme kebanggaan heroik bangsa di ranah global. Kehadirannya telah membuat hampir setiap orang tergila-gila dalam ilusi imajiner yang juga dengan cara yang gila-gilaan, seolah-olah semuanya nyata adanya. Tidak terkecuali kita tentunya.
Dalam konteks ini kita memang tidak akan mempersoalkan bagaimana Trinidad dan Tobago, gara-gara bola sebuah negara kecil yang terletak antara Amerika Utara dan Amerika Selatan dan hanya berpenduduk 1,3 juta jiwa ini tiba-tiba menjadi terkenal ke seantero dunia. Kita hanya menyoroti atau lebih tepat meratapi diri kita. Mengapa kita yang sedari dulu mengkalaim sebagai “negara yang paling” ini sampai sekarang hanya bisa menempati posisi penonton. Simbol-simbol kebanggan seperti Indonesia Raya, Pancasila Sakti, Indonesia yang kaya raya tidak pernah tampak nyata dalam even bernama sepak bola atau bahkan untuk sebagian besar cabang olah raga lainnya. Setiap empat tahun sekali kita hanya punya kebanggaan nonton bareng, menyisihkan sebagian uang kita untuk membeli alat penangkap siaran, dan semua jenis penunjang untuk yang bernama “nonton bola”.
Menjadi penontonpun kita mungkin belum tergolong penonton yang baik. Simak saja sejumlah bonek ( bondo nekad ) ketika timnya usai bertanding, baik menang apalagi kalah. Menang mereyakan dengan cara yang gila kalah pun mengamuk dengan cara yang gila pula. Jadi, gara-gara sepak bola, kita selalu “gila-gilaan”. Setiap usai pertandingan selalu saja kita baca berita pembakaran kendaraan, amuk masa di jalan, adu otot antar suporter, dan sejumlah peristiwa anarkhis lainnya. Tidak jarang peristiwa tersebut di samping menelan korban harta juga nyawa.
Sekalipun peristiwa seperti itu bukan monopoli penonton Indonesia, tapi untuk sebuah negara yang tidak pernah menjadi juara dunia seperti kita rasanya memang ironis. Mengapa ? Akibat yang ditimbulkan dengan sebuah kegiatan nonton bola sering harus dibayar mahal.
Pada Piala dunia ini kita memang tidak mungkin akan melakukan tindakan brutal seperti para suporter ketika Persebaya melawan PSIS, misalnya. Tetapi, kita harus “waspada” dengan perilaku kita juga. Ketika jiwa sudah mulai terjebak dengan jago menjagoi sebuah kesebelasan favorit kita, biasanya tanpa terasa ada sesuatu ketertarikan pula untuk berbuat sekedar menjagoi. Taruhan !. Ya, pada mulanya memang dimulai dari yang kecil-kecilan seperti mentraktir bakso atau membelikan sebungkus rokok. Tapi ketika ilusi kita sudah mulai terbangun, tanpa terasa sedikit demi sedikit omset taruhanpun semaikin besar. Tak urung, kebiasaan seperti itu sampai menimbulkan jargon “ kaya mendadak dan miskin mendadak”. Dulu pernah ada tetangga saya yang bercerai gara-gara nonton bola. Sang istri marah besar dan sangat kecewa dengan suaminya. Pasalnya, seekor sapi kesayangan keluarga tiba-tiba raib. Kemana ? Karena telah dipertaruhkan oleh sang suami ketika babak final berlangsung. Pada hal, semua orang kampung tahu dia adalah keluarga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Makanpun susah di dapatnya. Dengan bercermin pada contoh tetangga saya tersebut, setiap nonton bola ini, secara radikal, kita memang perlu selalu bertaya kepada diri kita : bola atau nasi ?. Nasi yang dimaksud di sini bisa berarti denotatif atau konotatif. Secara denotatif, yang dimaksud jelas nasi itu sendiri. Secara konotatif yang dimaksud nasi jelas sekedar simbol. Simbol dari sesuatu yang lebih urgen dalam hidup kita dari sekedar sepak bola. Konkretnya, bisa berupa waktu yang kita gunakan untuk mencari nafkah, jam yang kita gunakan untuk masuk kantor sebagai pelayan masyarakat, atau biaya pendidikan anak kita. Dan, perlu kita ingat bersama, piala dunia ini kebetulan memang terjadi pada saat menjelang tahun ajaran baru. Jangan sampai gara-gara berasyik masyuk dengan bola kita melupakan jadwal kita untuk berpikir mengenai pendidikan anak kita. Atau lebih konkret, jangan-jangan karena nonton bola pendidikan anak kita jadi terabaikan. Dan, kita semua tahu mutu pendidikan kita, saat ini, mengalami degradasi yang luar biasa. Sekali lagi, bola atau nasi ? Sekedar mengingatkan lo.
Waingapu, Medio Juni 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar