Senin, 29 November 2010

SIFAT AMARAH

Para hadirin jama’ah Jum’at rahimakumullah

Mengawali khutbah siang hari ini, perkenankanlah khatib mengajak kita semua untuk senantiasa bersyukur kapada Allah SWT. Selanjutnya rasa syukur tersebut marilah kita wujudkan dengan kesediaan kita untuk senantiasa meningkatkan taqwa kepada Allah SWT. Dalam arti menjalankan semua perintah Allah dan sebaliknya menjauhi larangan Allah SWT. Karena hanya dengan takwa itulah setiap manusia, termasuk kita, akan menjadi orang yang mulia dalam pandangan Allah SWT.

Ma’asyiral muslimin

Dalam kehidupan sehari-hari sering kita temukan kejadian demi kejadian yang kelihatannya sepele tetapi kemudian berubah menjadi persoalan besar atau bahkan berakibat sangat fatal. Penyebabnya memang bermacam-macam. Salah satu diantaranya yang akan kita sampaikan di sini adalah karena adanya sifat amarah pada manusia.

Ma’asyiral muslimin

Marah merupakan perasaan kejiwaan berupa rasa tidak senang terhadap sesuatu yang biasanya diekspresikan dalam bentuk ucapan, tindakan, dan sikap atau sikap, ucapan dan tindakan sekaligus.

Dalam kehidupan sehari marah timbul biasanya akibat seseorang tidak senang melihat atau merasakan sesuatu terjadi dan ketidaksenangan tersebut akhirnya menekan perasaan atau emosi yang secara phisik biasanya ditandai dengan naiknya tekanan darah. Sehingga, apabila sesutu yang tidak disenangi tersebut terjadi dan menekan perasaan, muncullah marah tersebut.

Seseorang tidak menginginkan anaknya bermain di jalan. Tetapi anak tersebut bermain juga. Maka marahlah orang tersebut. Kita tidak menginginkan seseorang mengotori masjid. Tetapi tiba-tiba datang anak-anak yang mengotori masjid. Maka marahlah kita.

Seorang suami tidak menginginkan istrinya diganggu. Tiba-tiba ada orang jahil mengganggu. Maka marahlah si suami tersebut.

Selanjutnya, perasaan marah tersebut biasanya diwjudkan dalam bentuk sikap, kata-kata, dan/atau perbuatan.

Ketika marah harus diwujudkan dalam bentuk ucapan itulah sangat memungkinkan terjadinya hal hal yng membahayakan baik kepada yang bersangkutan atau orang lain atau mungkin bagi kedua-duanya.

Sebagai contoh seorang bisa menyakiti orang lain hanya karena marah akibat kalah berebut uang 1000 rupiah. Akibat tindakan tersebut bisa juga berbalik membahayakan diri sendiri ketika orang yang disakiti tersebut membalas untuk menyakiti. Dengan alasan pembalasan lebih kejam, bisa saja akibat marah tersebut berubah menjadi malapetaka ketika kedua-duanya saling bersitegang dan bertindak lebih jauh seperti kedua-duanya berkelai dengan saling membawa senjata tajam. Akibat marah karena mempertahankan uang seribu, yang menurut ukuran normal sepele, bisa berakibat fatal karena dengan perkaleaian yang saling memanfaatkan senjata tajam tersebut risiko saling kehilangan nyawapun sangat mungkin terjadi.

Melalui tayangan mas media sering kita baca dan kita saksikan, seseorang tega menghabisi nyawa saudaranya hanya karena tersinggung akibat ucapan yang dilontarkan. Anak menghabisi nyawa orang tua hanya karena tidak dibelikan sepeda motor. Beberapa bulan yang lalu di Surabaya seorang bocah cerdas juga harus mati di tangan kedua orang tuanya Di harian Pos Kupang juga pernah diberitakan seorang anak balita juga harus kehilangan nyawa akibat dianiaya oleh kandungnya sendiri. Lagi-lagi hal itu akibat amarah yang tidak terkendali.

Maasyiral muslimin

Gambaran beberapa contoh peristiwa tadi hanya untuk memeberikan peringatan kepada kita bahwa perasaan marah yang tidak terkendali bisa berakibat fatal terhadap diri sendiri atau orang lain atau bahkan mungkin juga bisa berakibat buruk kepada masyarakat luas. Oleh karena sifat marah tersebut bisa dialami oleh siapa saja, maka akibat fatal marahpun juga sangat mungkin menimpa siapa saja, termasuk tentunya kita semua.

Mengingat bahaya yang ditimbulkan sifat amarah itulah agama kita perlu mengingatkan secara khusus mengenai hal tersebut.

Al Qur’an memberikan peringatan, bahwa mengendalikan marah menjadi salah satu ciri orang yang bertakwa. Oleh Al Qur’an orang yang sanggup mengendalikan marah disebut al kadhimin al ghaidho. Dan, orang yang biasa sanggup mengendalikan marah tersebut termasuk salah satu kelompok orang yang dijanjikan masuk surga.

Allah brfirman dalam surat Ali Imran ayat 133-134 :

Artinya : Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan bersegera kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa. Yaitu, orang-orang yang menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit,dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.

Rasulullah SAW bersabda :

Artinya : Orang yang kuat itu bukanlah orang yang dapat berkelai, tetapi orang kuat adalah yang dapat menguasai dirinya di waktu marah.

Dalam kitab shahih-nya, al Bukhary meriwayatkan bahwa, seorang laki-laki suatu ketika datang kepada rasulullah SAW agar ia diberi wasiyat. Rasulullah SAW berwasiyat kepada laki-laki tersebut dengan hanya mengatakan :

“Janganlah suka marah”

Wasiyat singkat tersebut beliau ulang sampai tiga kali.

Rasulullah SAW juga pernah berulang-ulang menasihati sahabat Mu’awiyah.

“Wahai Mu’awiyah jauhkan olehmu sifat amarah. Karena amarah itu dapat merusak iman seseorang sebagaimana makanan pahit merusakkan madu yang manis.”

Untuk mengatasi marah yang sedang melanda yang mungkin melanda manusia, rasullah SAW juga mengingatkan kita. Kata beliau, bahwa marah itu berasal dari syaitan dan syaitan dijadikan dari api. Api hanya bisa padam oleh air. Oleh karena itu, kata rasulullah SAW, apabila seseorang sedang marah handaknya segera mengambil air wudlu ( berwudlu ).

Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman :

Wahai anak Adam, sebutlah namaku (Allah) ketika engkau marah agar aku ingat pula kepadamu. Dengan demikian apabila engkau marah Aku tidak menimpakan adzab kepadamu.

Dari sabda rasulullah tersebut diperoleh pelajaran bahwa marah bisa menyebabkan datangnya adzab Allah. Adzab Allah yang paling mungkin terjadi adalah hal-hal yang bisa fatal akibat rasa marah kita. Agar hal-hal buruk dan fatal tersebut tidak terjadi, saat rasa marah mulai merasuki perasaan kita, kita diperintahkan untuk segera meneyebut asma Allah ketika marah tersebut datang.

Siakh Abu al-Laits As-Samarqandy dalam Tanbihul Ghafilin juga menulis sebuah hadits, bahwa dalam suatu kesempatan rasulullah SAW pernah memberikan nasihat dengan sabdanya :

Artinya : Bahwasanya amarah itu merupakan segumpal bara dari neraka. Jika salah seorang di antara kalian mendapati amarah itu ketika sedang berdiri, maka duduklah dan apabila mendapati amarah tersebut sedang dalam keadaan duduk, maka berbaringlah.

Para sufi sangat menaruh perhatian pada sifat marah ini dengan menyebutnya sebagai ghadlob.

Oleh kaum sufi ghadlab ( marah ) dikelompokkan ke dalam sifat-sifat tercela yang bisa menimbulkan maksiyat bathin.

Dalam pandangan sufi marah menjadi salah satu ukuran baik tidaknya seseorang. Ketika kita ingin mengetahui seseorang itu baik atau buruk maka perlu dilihat ketika orang tersebut sedang dalam keadaan marah, bukan di saat dalam suasana riang.

Selanjutnya, apakah hubungan marah dengan ketakwaan kita yang merupakan inti setiap khutbah Jum’at?

Para sufi berpandangan bahwa penyebab marah adalah karena seseorang lupa kepada Allah. Kalau dia ingat Allah tidak mungkin seseorang akan marah. Sebab, hanya Allahlah yang berhak marah ketika ada seseorang berbuat salah atau maksiyat.

Oleh karena itu ketika seorang mukmin sedang marah lantas ingat kepada Allah, mestinya marahnya bisa segera hilang. Ketika sudah menyebut asma Allah, tetapi tetap saja rasa marah meluap-luap maka sebanernya perlu kita pertanyakan ketakwaan kita.

Suatu ketika Umar Bin Khattab sedang meluap-luap amarahnya. Tetapi tiba-tiba luluh saat mendengar bacaan Al Qur’an, yang tidak lain adalah kalam Allah.

Kaum sufi juga mengajarkan kepada kita bahwa untuk menghilangkan marah yang terlanjur menjadi sifat kita sehari-hari, kita harus selalu mengingat kesabaran yang dimiliki oleh para rasul, nabi-nabi, para wali dan orang-orang salih.

Kesabaran yang dimiliki senantiasa sanggup mengalahkan perasaan marah yang mungkin datang sewaktu-waktu.

Suatu ketika Junaid Al Baghdady, seorang sufi, pernah disiram oleh orang dengan air cucian ikan tatkala ia keluar dari masjid sehabis salat Jum’at. Dengan tidak bereaksi sedikitpun beliau langsung pulang ke rumah berganti pakaian dengan pakaian istrinya. Beliaupun kemudian mengerjakan salat.

Sikap beliau itu tampaknya sejalan dengan sikap rasulullah SAW, yaitu ketika rasullah SAW tidak pernah ambil peduli terhadap wanita tua yang meludahi setiap beliau pergi ke masjid. Satu-satunya kepedulian rasulullah SAW kepada wanita jahat tersebut ialah ketika rasulullah SAW menjadi penjenguk pertama saat wanita tua malang itu jatuh sakit.

AKHIRNYA, mudah-mudahan khutbah ini dapat mengingatkan kita semua akan bahaya amarah, berikut dapat menjadikan kita tergolong orang-orang yang pandai mengendalikan amarah. Amin.

Waingapu, 3 September 2004



§ Teks khutbah ini disampaikan di sampaikan di Masjid At-Taqwa Kemalaputi pada tanggal 3 September 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar