Istilah Yurisprudensi lama dikenal dalam studi hukum. Khusus untuk studi hukum di Indonesia istilah tersebut tidak saja dikenal di kalangan perguruan tinggi umum tetapi juga Perguruan Tinggi Agama ( baca : Islam ). Istilah tersebut menjadi masalah yang terus relevan dilakukan kajian ketika bersentuan dengan praktik peradilan. Mengapa, sebab terkesan tidak ada kejelasan daan ketegsan dalam praktik pengadilan. Misalnya, apakah para hakim harus memedomani yurisprudensi atau tidak. Hal ini lebih mengusik kita ketika seorang mengaitkannya dengan salah satu tujuan hukum, yaitu adanya kepastian hukum.
Dalam suatu pidato pengukuhan sebagai guru besar, Prof. Mr. Oen Hock telah menguraikan secara mendalam dan ilmiyah tentang kedudukan Yurisprudensi sebagaai sumber hukum dengan mengacu kepada pendapat para sarjana dan Penulis Belanda, Perancis, Inggris, dan lain negara yang menerima Yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum. ( Lotulung, 1995 : 174 ). Alasan beliau, sebagaimana diungkap oleh Setiawan ( 1995 : 93 ) mengapa yurisprudensi dianggap sebagai salah satu sumber hukum adalah karena ketika melakukan tugasnya Hakim diperkenankan untuk menciptkan hukum. Menurutnya, sebagai akibatnya di samping hukum yang terdapat dalam undang-undang, terdapat pula hukum Hakim ( rechtersrecht ) yang biasa dikenal dengan yurisprudensi.
Pada saat yang sama seorang Hakim dalam menjalankan tugasnya juga harus mandiri. Keyakinannya tentang kebenaran yang ditemukan dari penilaian sebuah fakta dalam persidangan tidak boleh dipengaruhi dan dikte oleh siapapun. Kalimat “Demi Keadilan Berdasarakan Ketuhanan Yang Maha Esa” yang tertulis dalam setiap kepala putusan hakim mengisayaratkan, bahwa keptusan yang diambil, di samping cermin hasil pergolakan hati nuraninya, lebih dari, itu menjadi bukti bahwa kayakinannya tentang kebenaran yang diambil menjadi sebuah putusan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
SELUK BELUK YURISPRUDENSI
Sebagaimana telah dikenal dalam setiap studi Pengantar Ilmu Hukum, bahwa di dunia ini terdapat dua madzhab besar hukum, yaitu penganut system hukum Anglo Saxon atau Common Law dan penganut system Kodifikasi atau Sistem Hukum Eropa Kontinental atau juga disebut Sistem Civil-Law. Oleh karena itu sebelum kita membicarakan tentang yurisprudensi, terlebih dahulu perlu dijelaskan perbedaan penegertian istilah yurisprudensi pada kedua system hukum tersebut.
Menurut Sistem Hukum Anglo Saxon Yurisprudensi berarti Ilmu Hukum. Sedangkan menurut system hukum Eropa Kontinental yurisprudensi berarti putusan pengadilan. Yurisprudensi yang kita kenal sebagai putusan pengadilan dalam Sistem Hukum Anglo Saxon dikenal dengan istilah preseden. (Achmad Ali, 1996:136)
Pengertian yurisprudensi dalam uraian berikut adalah pengertian yurisprudensi menurut system Hukum yang kedua, yaitu yurisprudensi dalam arti putusan pengadilan. Atau, dengan kata lain, yurisprudensi menurut system hukum Eropa Kontinental.
1. Pengertian Yurisprudensi
Istilah Yurisprudensi, berasal bahasa Latin, yaitu dari kata “jurisprudentia” yang berarti pengetahuan hukum. Kata yurisprudensi sebagai istilah teknis peradilan sama artinya dengan kata” jurisprudentie” dalam bahasa Belanda dan “jurisprudence” dalam bahasa Perancis, yaitu peradilan tetap atau hukum peradilan. ( Purnadi Purbacaraka , dkk, 1995: 121 )
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 2001:1278 ) kata yurisprudensi diartikan : 1. ajaran hukum melalui peradilan, 2. himpunan putusan hakim.
Menurut istilah, terdapat berbagai definisi yang dikemukakan pada Ahli Hukum. Sebagai contoh berikut dikemukakan beberapa variasi definisi yurisprudensi :
- Menurut Kansil ( 1993: 20 ) yurisprudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
- Menurut Sudikno Mertokusumo ( 1991 : 92 ) yurisprudensi adalah pelaksanaan hukum dalam hal konkrit terjadi tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa dan siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan berwibawa. Secara ringkas singkat, menurut Sudikno, yurisprudensi adalah putusan pengadilan.
- Menurut Sudargo Gautama ( 1995 : 147 ), yurisprudensi adalah ajaran hukum yang dibentuk dan dipertahankan Pengadilan, dalam hal pengambilan suatu keputusan oleh Mahkamah Agung atas suatu yang belum jelas pengaturannya, yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, diikuti oleh Hakim bawahan, yang dihimpun secara sistematis.
- Menurut, A. Ridwan Halim (1998 : 57 ) yang dimaksud yurisprudensi adalah suatu putusan hakim atas suatu perkara yang belum ada pengaturannya dalam undang-undang yang untuk selanjutnya menjadi pedoman bagi hakim-hakim lainnya yang mengadili kasus-kasus serupa.
- Menurut Subekti ( 1974 : 117 ) yurisprudensi adalah putusan Hakim atau Pengadilan yang tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Kasasi atau putusan Mahkamah Agung sendiri yang sudah tetap.
Lantas, bagaimana pengertian yurisprudensi dalam praktik pengadilan?
Memang tidak ada statemen resmi dari institusi peradilan tentang pengertian yurisprudensi. Akan tetapi dalam berbagai pelatihan, para pejabat Mahkamah Agung memberikan pernyataan bahwa yang dimaksud yurisprudensi hanyalah putusan Mahkamah Agung. Dalam praktik, putusan-putusan Mahkamah Agung yang terhimpun dalam bentuk buku dengan judul : YURISPRUDENSI MAHKAMAH AGUNG RI itulah yang disebut sebagai yurisprudensi.
Dari pernyataan tersebut diperoleh pengertian bahwa cakupan yurisprudensi yang menurut definisi para ahli hukum agak luas mengalami reduksi.
2. Yurisprudensi dan Sumber Hukum
Salah satu yang menjadi pembahasan dalam studi ilmu hukum adalah mengenai sumber hukum. Sumber hukum adalah segala seuatu yang menimbulkan atau melahirkan hukum atau asal mulanya hukum. ( Ibid, 46 ) Selanjutnya, sumber hukum menurut Kansil ( 1993 : 14 ) dapat dilihat dari segi materiil dan segi formil.
Sumber hukum formil antara lain adalah ( Ibid, 15 ) :
- Undang-undang ( statute )
- Kebiasaan ( custom )
- Keputusan-keputusan hakim ( yurisprudensi )
- Traktat ( treaty )
Dari uraian tersebut diperoleh pengertian bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Sebagai salah satu sumber hukum, yurisprudensi dapat dimanfaatkan oleh :
a. Hakim-hakim lainnya dalam mengadili perkara yang sama;
b. Pembentukan peraturan perundang-undangan dalam membentuk atau menciptakan hukum tertulis ( Undang-undang );
c. Pemerintah;
d. Dunia ilmu pengetahuan ( pendidikan hukum ).
e. Masyarakat luas.
3. Yurisprudensi, Putusan Pengadilan, dan Undang-undang
Sebagaimana disampaikan di muka bahwa yurisprudensi adalah putusan pengadilan. Menurut Sudikno ( Ibid : 92 ) putusan pengadilan adalah hukum sejak dijatuhkan sampai dilaksanakan. Sejak dijatuhkan putusan pengadilan mempunyai kekuatan mengikat bagi para pihak yang berpekara, mengikat para pihak untuk mengakui eksistensi putusan tersebut. Setelah dilaksanakan putusan pengadilan tersebut hanyalah merupakan sumber hukum.
Jadi putusan pengadilan adalah cikal bakal yurisprudensi atau munculnya yurisprudensi akibat adanya putusan pengadilan.
Bedanya dengan undang-undang ialah kalau putusan pengadilan itu berisi peraturan-peraturan yang bersifat konkret dan mengikat orang tertentu saja, sedangkan undang-undang berisi peraturan-peraturan yang bersifat abstrak atau umum dan mengikat semua orang. ( Sudikno, Ibid ).
4. Yurisprudensi dan Aliran Hukum
Kaitannya dengan aliran hukum terdapat 3 pandangan tentang yurisprudensi :
a. Aliran Legisme
Meneurut aliran ini yurisprudensi tidak atau kurang penting. Aliran ini menganggap bahwa semua hukum sudah terdapat dalam undang-undang. Hakim dalam melakukan tugasnya terikat dengan undang-undang tersebut dengan menggunakan metode berfikir deduktif, Sebagai contoh :
Siapa yang membeli harus membayar ( Premis mayor / undang-undang )
Si A membeli ( premis minor / kasus )
Si A harus membayar ( konklusi/ penerapan hukum ).
Dengan demikian menurut aliran ini pengetahuan primer tentang hukum adalah pengetahuan tentang undang-undang sehingga mempelajari yurisprudensi merupakan masalah sekunder.
b. Aliran Freie Rechtsbewegung
Aliran ini beranggapan, bahwa dalam melaksanakan tugasnya Hakim bebas untuk melakukannya menurut Undang-undang atau tidak. Hal ini disebabkan, oleh karena pekerjaan Hakim adalah melakukan penciptaan hukum ( rechtsschepping ). Akibatnya adalah, bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer dalam mempelajari hukum, sedangkan Undang-undang merupakan hal sekunder.
c. Aliran Rechtsvinding
Menurut aliran ini, hakim memang terikat dengan undang undang, akan tetapi tetapi tidaklah seketat dengan yang dimakksudkan oleh aliran legisme. Hakim juga mempunyai kebebasan. Dalam malaksanakan tugasnya hakim mempunyai kebesan. Akan tetapi kebebasan yang dimakssud bukan seperti yang dimaksud oleh aliran kedua. Kebebasan hakim menurut aliran ketiga ini tetaplah kebebsan yang terikat. Kebebasan Hakim tercermin dalam praktik tercermin ketika dia mampu menyelaraskan undang-undang pada tuntutan zaman.
Menurut aliran ini, memahami hukum dalam perundang-undangan saja, tanpa mempelajari yurisprudensi tidaklah lengkap. Sehingga mengetahui yurisprudensi menurut aliran ini juga penting. Sebab, dalam yurisprudensi terdapat garis-garis hukum yang berlaku dalam masyarakat akan tetapi tidak terbaca dalam undang-undang.
5. Kriteria Yurisprudensi
Sebagaimana disampaikan di muka bahwa yurisprudensi adalah putusan pengadilan. Akan tetapi apakah semua putusan pengadilan dapat disebut yurisprudensi. Achmad Ali ( Ibid, 136 ) membedakan yurisprudensi ke dalam 2 macam :
a. Yuriprudensi ( biasa ) yaitu seluruh putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan pasti ( in kracht van gewijsde ), yang terdiri dari :
1) putusan perdamaian ( dalam perkara perdata )
2) putusan pengadilan negeri ( agama ) yang tidak dibanding,
3) putusan pengadilan tinggi ( agama ) yang tidak dikasasi,
4) seluruh putusan Mahkamah Agung.
b. Yurisprudensi tetap ( vaste jurisprudentie ), yaitu putusan hakim yang selalu diikuti oleh hakim dalam perkara sejenis.
Dengan demikian menurut Achmad Ali, semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap bisa disebut yurisprudensi, tidak peduli apakah putusan tersebut putusan peradilan tingkat pertama, putusan peradilan banding, atau putusan hakim kasasi. Juga tidak dibedakan apakah putusan itu diikuti oleh hakim-hakim berikutnya atau tidak ketika menghadapi perkara serupa.
Akan tetapi, menurut laporan hasil penelitian para Sarjana Hukum ( 1995 : 147 )dengan mengambil responden seluruh Hakim Pengadilan Negeri se wilayah Pengadilan Tinggi Jakarta tidak semua putusan dapat disebut sebagai yurisprudensi. Suatu putusan Hakim dapat disebut sebagai yurisprudensi apabila keputusan itu sekurang-kurangnya memiliki 5 unsur, yaitu :
a. Keputusan atas sesuatu yang belum jelas pengaturannya;
b. Keputusan tersebut harus sudah merupakan keputusan tetap;
c. Telah berulang kali diputus dengan keputusan dan dalam kasus yang sama,
d. Memenuhi rasa keadilan,
e. Keputusan itu dibenarkan oleh Mahkamah Agung.
Akan tetapi dengan melihat pengertian yurisprudensi yang terdapat dalam praktik sebagaimana dikemukakan di muka, diperoleh gambaran cakupan yurisprudensi di satu sisi lebih sempit, yaitu hanya putusan Mahkamah Agung RI. Di sisi lain, luas yaitu semua putusan Mahkamah Agung tanpa melihat apakah mengenai putusan mengenai sesuatu yang belum jelas pengaturanny, atau apakah itu putusan itu dijadikan alat memutus perkara yang sama oleh hakim berikutnya, atau apakah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
YURISPRUDENSI DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA
1. Yurisprudensi sebagai Sumber Hukum
Dalam sistem peradilan di Indonesia sumber hukum yang paling utama adalah undang-undang. Akan tetapi, sebagaimana disadari oleh pihak yang bergelut di bidang hukum bahwa undang-undang mempunyai sifat antara lain mudah mengalami keusangan dan oleh karena itu selalu ketinggalan zaman. Pada saat yang sama seiiring dengan perkembangan zaman, sebagai akibat arus globalisasi, terdapat persoalan baru muncul yang meliputi semua aspek kehidupan, seperti di bidang ekonomi dan keluarga. Persoalan baru yang muncul ini belum ada ketika undang-undang diundangkan. Sudah barang tentu jawaban dari masalah baru yang muncul itu juga tidak semuanya didapatkan dari undang-undang.
Terdapat salah satu asas hukum yang menempatkan Hakim sebagai orang yang dianggap tahu hukum ( ius curia novit ). Implementasi dari asas ini adalah Hakim sebagai salah satu penegak hukum tidak boleh menolak mengadili suatu perkara dengan alasan tidak ada atau kurang jelas hukumnya. Ketika dihadapkan kepadanya suatu perkara apapun dia harus memutusnya. Dan putusan itu selain dipertangungjawabkan kepada masyarakat juga akan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa, demikian?.
Persoalannya, bagaimana jika hukum itu oleh hakim tidak ditemukan dalam undang-undang atau undang-undang secara tekstual mengaturnya akan tetapi jika diterapkan bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat sekarang.
Pasal 28 ayat 1 Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ( Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 terakhir sebagaimana diubah dengan UU Nomor 38 Tahun 2009 ) memberikan peluang bagi hakim untuk menemukan hukumnya sendiri melalui ijtihad hukum. Ijtihad hukum ini jika nantinya dituangkan dalam putusan dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung lantas menjadi rujukan bagi hakim lain dalam mengadili perkara serupa menjadi yurisprudensi.
Menurut Yahya Harahap ( 1995 : 89-90 ) suatu yurisprudensi tersebut jika benar-benar mengandung common basic idea yang berdimensi ganda menampung nilai-nalai dasar cita-cita Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945 yang dipadu dengan cita-cita nilai globalisasi, dan kemudian perpaduan itu melahirkan rumusan hukum yang rasional, praktis, dan aktual, sudah selayaknya hakim mengikutinya. Hal itu menurut Yahya Harahap, sesuai dengan fungsi yurisprudensi, antara lain :
a. Yurisprudensi berfungsi menciptakan standar hukum,
b. Yurisprudensi berfungsi mewujudkan landasan hukum yang sama dan keseragaman pandangan hukum yang sama.
c. Menegakkan kepastian hukum,
Dalam praktik peradilan di Indonesia, terdapat beberapa contoh yurisprudensi yang dijadikan sumber hukum bagi hakim untuk mengadili, antara lain, sebagai berikut :
a. Dalam bidang hukum Perdata Umum.
1) Ne bis in idem.Putusan Nomor : 1226 K/Pdt/2001, tanggal 20 Mei 2002. Dalam putusan ini terdapat kaidah hukum : MESKI KEDUDUKAN SUBJEKNYA BERBEDA, TETAPI OBJEKNYA SAMA DENGAN PERKARA YANG DIPUTUS TERDAHULU DAN TELAH BERKEKUATAN HUKUM TETAP, MAKA GUGATAN DINYATAKAN NE BIS IN IDEM.
2) Pembayaran uang Asuransi. Putusan Nomor : 2831 K/ Pdt/1996, tanggal 7 Juli 1999. Dalam putusan ini Mahkamah Agung berpendapat bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan putusan melebihi yang dituntut dan Pemberian uang asuransi harus diberikan kepada tertanggung yang namanya tercantum dalam polis, sehingga sesuai dengan adagium setuap pembayaran asuransi harus selalu melihat polis secara transparan akan menunjuk siapa yang berhak mennerima uang klaim’. Pembayaran asuransi yang menyimpang dari ketentuan polis merupakan perbuatan melawan hokum.
3) Jual beli harta bersama. Putusan Nomor : 701 K/Pdt/1997, tanggal 24 Maret 1999. Dalam putusan ini Mahkamah Agung berpendapat, bahwa jual beli tanah yang merupakan harta bersama harus disetujui pihak istri atau suami.
b. Dalam bidang hukum keluarga ( Perdata Agama ) :
1) Putusan Nomor 249 K/AG/1996, tanggal 8 Januari 1998, Dalam putusan ini pada intinya Mahkamah Agung berpendapat, bahwa perkara yang Tergugatnya gila pemeriksaannya tetap dilanjutkan dengan diwakili oleh orang tua / walinya, pengampunya dengan tanpa menunggu adanya penetapan curator dari Pengadilan Negeri.
2) Putusan Nomor 34 K/AG/1997, tanggal 27 Juli 1998. Dalam putusan ini pada pokoknya Mahkamah Agung berpendapat, bahwa gugatan penggugat abscuur libel, karena identitas objek perkara yang tercantum dalam gugatan dan hasil pemeriksaan setempat berbeda, sedangkan Penggugat tidak mengadakan perubahan gugatan.
3) Putusan Nomor : 11 K /AG/ 2001 tanggal 29 Mei 2003, Pada putusan ini intinya Mahkamah Agung antara lain berpendapat bahwa tuntutan Penggugat atas penghentian pemotongan gaji Tergugat harus dinyatakan tidak dapat diterima, karena penghentian pemotongan gaji tersebut dilakukan oleh Atasan yang berwenang yang nota bene adalah pejabat tata usaha Negara. OLeh karena itu mestinya tuntutan penggugat diajukan kepada Peradilan Tatausaha Negara.
4) Tergugat Gila
Putusan Nomor : 249 K/AG/1996, tanggal 8 Januari 1998
Mahkamah Agung berpendapat bahwa pemeriksaan tarhadap perkara yang pihak tergugatnya gila tidak perlu menunggu adanya penetapan Kurator dari Pengadilan Negeri.
5) Waris
Putusan Nomor : 332 K/AG/2000, 3 Agustus 2005
- Dalam Perkara waris, untuk menetukan harta peinggalan terlebih dahulu harus jelas mana yang merupakan harta bawaan dan mana pula yang merupakan harta bersama. Harta bawaan kembali kepada saudara pewaris dan harta bersama yang merupakan hak pewaris menjadi harta warisan yang dibagikan kepada ahli wairs.
- Dalam membagi harta warisan harus dibagikan kepada ahli waris.
- Apabila dilakukan hibah kepada pihak lain terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli waris, maka hibah tersebut betal demi hokum karena salah satu syarat hibah adalah barang yang dihibahkan harus milik pemberi hibah sendiri, bukan merupakan harta warisan yang belum dibagi dan bukan pula harta yang masih terikat dengan suatu sengketa.
6) ..
2. Yurisprudensi dan Kebebasan Hakim
Tentang pengertian yurisprudensi telah dikemukakan dalam pembahasan sebelumnya. Lantas, apa yang dimaksud dengan kebebasan hakim?
Seorang Hakim adalah salah satu aparat yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melaksanakan kekuasaan kehakiman. Dalam melakanakan tugasnya dia merdeka dalam pengertian bebas dari campur tangan pihak kekuasaan negara lainnya, dan kebebasan dari paksaan, direktiva atau rekomendasi yang datang dari pihak ekstra judicial, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang.
Secara lebih konkret kebebasan Hakim mengandung 4 pengertian:
d. Tidak terpengaruh oleh pihak-pihak berperkara baik pihak meteriil maupun pihak formil,
e. Tidak terpengaruh oleh tekanan, paksaan direktiva atau rekomendasi pihak ekstra judicial dar siapapun dan dari badan apapun,
f. Bebas dan berani berinisiatif dan berimprofisasi dalam tugas pemeriksaan dan mengadili suatu perkara demi pengembangan hukum itu sendiri, demi keadilan dan kebenaran, demi pembangunan dan demi eksistensi negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat,
g. Kebebasan yang bertenggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, negara dan bangsa, masyarakat, nama baik korp dan diri sendiri. ( Mahkamah Agung RI, 1995 : 150 )
Akan tetapi sejauh mana jangkauan kebebasan Hakim tersebut?. Menurut Yahya Harahap ( 1995 : 87 ), jangkaun otonomi kebebasan Hakim dalam menyelenggarakan fungsi peradilan tersebut meliputi lima hal, yaitu :
a. Menafsir peraturan perundang-undangan,
b. Mencari dan menemukan asas-asas dan dasar-dasar hukum,
c. Mencipta hukum baru apabila menghadapi kekosongan perundang-undangan,
d. Melakukan contra legem apabila ketentuan suatu pasal perundang-undangan bertentangan dengan kepentingan umum,
e. Bebas mengikuti yurisprudensi,
Kaitannya dengan keberadaan tugas Hakim, suatu pertanyaan yang dapat diajukan adalah : apakah yurisprudensi mengikat hakim lain. Atau, seorang hakim harus terikat dengan keberadaan yurisprudensi?.
Menurut Sudikno Mertokusumo ( 93-94 ), dalam sistem hukum Indonesia pada asasnya seorang hakim tidak terikat pada putusan hakim terdahulu mengenai perkara atau persoalan hukum serupa dengan yang akan diputuskannya.
Sekalipun demikian, dalam praktik peradilan di Indonesia para Hakim bawahan selalu mengikuti pendapat Mahkamah Agung dalam menyelesaikan kasus serupa sebelumnya dengan alasan :
1. Mahkamah Agung merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman tertinggi yang diberi kewenangan membina peradilan.
2. Hakim Agung dianggap lebih mempunyai otoritas di bidang hukum.
3. Jika tidak mengikuti pendapat Mahkamah Agung, suatu putusan hakim bawahan berpotensi dibatalkan jika sampai ke Mahkamah Agung.
PENUTUP
Demikian sekilas pembahasan tentang yurisprudensi. Pembahasan ini hanyalah dimaksudkan sebagai pemandu. Keterbatasan waktu dan isi pembahasan ini mengharuskan para mahasiswa untuk memperdalam pengetahuan dan wasasan persoalan ini dengan menelaah kepustaakaan dan mencermati perkembangan praktik penegakan hukum.
Tulisan sederhana ini di beberapa bagian masih diperlukan kajaian lebih mendalam oleh Mahasiswa sendiri. Oleh karena itu para Mahasiswa diharapkan dapat menelusuri seluk beluk yurisprudensi ini pada studi kepustakaan yang sudah barang tentu sangat luas. Dengan demikian pengetahuan tentang yurisprudensi dapat diperoleh secara mendalam dan detail.
Semoga bermanfaat.
Jember, Oktober 2010
-------------------------------------------------------------------------------------------
FATWA HUKUM
A. Pengertian Fatwa
Kata “fatwa” berasal dari bahwa Arab “al-Fatwa” yang berarti petuah, nasihat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Bentuk jamak dari kata “al-fatwa” adalah “ al-Fatawa );
Menurut istilah ( dalam Ushul Fiqh ) adalah pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan pemninta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Pihak yang membrikan fatwa dalam praktik bisa : pribadi, lembaga, mapun masyarakat.
Dalam istilah fikih dan ushul fikih pihak yang memberi fatwa biasanya disebut “ al-mufti”, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut ”al-mustafti”
B. Dasar Hukum Fatwa
1. Al Qur’an :
Artinya : Bertanyalah kepada para ahli jika kamu tidak mengetahui. ( Al Anbiyak : 7 )
2. Al Sunnah :
Artinya : Barang siapa ditanyai suatu ilmu, lalu ia menyembunyikannya maka ia bakal dikendali pada hari kiyamat dengan kendali dari api neraka. ( HR Abu Dawud dan al-Turmudzi ).
3. Ijmak
Para ulama telah sepakat tentang kebaradaan lembaga hukum fatwa ini. Sebab fatwa merupakan salah satu sarana menyebarluaskan ilmu. Bagi orang yang berilmu dan kepadanya diajukan suatu pertanyaan tentang ilmu yang dia ketahui adalah haram hukumnya apabila ia tidak menyampaikannya. Keharaman ini dapat dilihat dari adanya qarinah dalam hadits rasulullah di atas yang memberikan ancaman siksa bagi siapa saja yang menyembunyikan ilmu.
C. Kedudukan Fatwa di negara Islam.
Di beberapa negara Islam saat ini, seorang mufti menduduki posisi penting dan merupakan salah satu lembaga resmi yang mengurus berbagai persoalan umat Islam, seperti di Mesir, Arab Saudi, Syuriah, dan Maroko. Di berbagai negara tersebut mufti merupakan salah satu jabatan keagamaan dan memberikan fatwa mereka tidak lagi terikat dengan salah satu madzhab melainkan bersifat komprehensif dengan mempertimbangkan berbagai pendapat madzhab. Fatwa yang dikeluarkan oleh seorang mufti bisanya selalu mempertimbangkan situasi dan kondisi masyarakat yang ada. Seorang mufti dalam memberikan fatwa juga terikat dengan perundang-undangan yang disusun oleh negaranya.
D. Prasyarat seorang Mufti
1. Kuat niyatnya. Seorang mufti dalam memberikan fatwa harus semata-mata karena Allah SWT.
2. Berpengetahuan, sabar, penuh hormat dan tenang.
3. Kuat terhadap yang dikuasainya dan terhadap yang diketahuinya. Maksudnya seorang mufti hendaknya orang yang mendalam ilmunya.
4. Mempunyai ekonomi yang cukup. Maksudnya penghidupannya tidak tergantung pada orang lain atau selalu memerlukan uluran tangan orang lain.
5. Mengenal masyarakat secara baik. ( Fatchurrahman, 405 )
E. Persamaan dan Perbedaan Fatwa dengan Putusan
1. Persamaan :
- Baik pada fatwa maupun putusan mufti dan hakim harus memahami peristiwa yang hendak dimintakan fatwa atau putusan.
- Baik pada fatwa atau putusan, seorang mufti dan hakim harus memahami hukum syar’i yang akan diterapkan pada peristiwa tersebut.
2. Perbedaan :
- Jangkauan fatwa lebih luas dari pada putusan. Fatwa dapat diberikan kepada siapa saja. Sedangkan putusan hanya kepada orang tertentu.
- Fatwa seorang mufti sifatnya tidak mengikat peminta fatwa ( al-mustafti) sedangkan putusan hakim bersifat mengikat dan harus dilaksanakan oleh pihak yang dihukum.
F. Pandangan Ulama tentang Berfatwa
- Berfatwa memakai hasil Ijtihad Mujtahid lain yang masih hidup
- Menurut Abu al-Husen al-Basri dan segolongan ulama ushul, seorang mufti dalam menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya tidak boleh mengambil pendapat hasil ijtihad seorang mujtahid yang masih hidup.
Alasannya : pertanyaan yang diajukan itu diajukan kepadanya, bukan mujtahid lain.
Menurut Fakhrudin ar-Razi dan Imam Al-Baidhowi, seorang mufti boleh saja memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan mengambil pendapat seorang mujtahid yang masih hidup. Alasannya : Al Qur’an memerintahkan untuk bertanya kepada orang yang ahli.
Lihat surat 16 : 43
- Mayoritas ( Jumhur Ulama ), berpendapat bahwa seorang mufti boleh saja memfatwakan pendapat mujtahid yang masih hidup dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum serta jalan fikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut.
- Berfatwa memakai hasil Ijtihad Mujtahid lain yang sudah wafat
Para ulama usul fikih sepakat, bahwa memfatwakan hasil ijtihad para mujtahid yang telah wafat boleh dengan syarat mufti tersebut mengetahui landasan hukum dan jalan pikiran yang dipergunakan mujtahid tersebut.
G.
KEPUSTAKAAN
Ensiklopedi Hukum Islam,
Harahap, M.Yahya, S.H. 1995, Peran Yurisprudensi sebagai Standar Hukum Sangan Penting Pada Era Globalisasi, ,( dimuat dalam Pustak Peradilan .
Hilman, Ridwan, Tanya jawab Ilmu Hukum, Galia Indonesia, Jakarta
Kansil, CTS, S.H. Tanya Jawab Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafiti, Jakarta.
Lotulung, Paulus Efendi, Prof.Dr, S.H., 1995,Yurisprudensi Dalam Perpektif Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia,( dimuat dalam Pustak Peradilan )
Mertokusumo, Sudikno, Prof. ,S.H. 1996, Mengenal Hukum, Liberty, Yogyakarta
Mahkamah Agung RI, 2006, Yurisprudensi Mahkamah Agung RI.
Purbacaraka, Purnadi, Prof.Dr. dkk, 1995, Perundang-undangan dan Yurisprudensi ( dimuat dalam Pustaka Peradilan )
Setiawan, S.H., 1995, Pengaruh Yurisprudensi Terhadap Peraturan Perundang-undangan, ,( dimuat dalam Pustak Peradilan).
* ) Disusun dan sampaikan sebagai bahan kuliah mahasiswa STAIN Jember 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar