Jumat, 14 September 2018


FIT AND PROPHER TEST, Quo vadis?

( Sekelumit Tentang ‘Urun Rembug’ Tehadap Upaya Badilag Menjaring Calon Pimpinan )

 (Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.)

Beberapa waktu yang lalu Ditjen Badilag mengeluarkan surat penting. Isi surat itu pada pokoknya mengundang setiap hakim dengan usia maksimal 54 tahun untuk mengikuti tes kelayakan menjadi pimpinan Pengadilan Agama Kelas I B.  Bahan materi tespun sudah diberitahukan. Dari sumber tidak resmi asal muasal terbitnya surat tersebut adalah dilatarbelakangi oleh banyaknya ‘kritikan’ seputar sistem rekrutmen para pimpinan pengadilan yang tidak transparan. Dan, yang lebih mendasar adalah karena selama ini tidak ada standar kualifikasi calon pimpinan yang jelas.

Sekalipun dari sejak awal, banyak yang pesimis akan efektivitas surat tersebut memperoleh sambutan dari para hakim, akan tetapi di luar dugaan, justru mendapat respon luar biasa dari para hakim. Hampir 300 hakim dari berbagai daerah di Indonesia terdaftar sebagai calon peserta. Semangat mereka seolah dibarengi dengan ikrar ingin membuktikan bahwa “kami”-lah yang layak menjadi pimpinan pengadilan. Tetapi benarkah? Motivasi mereka mendaftar sudah barang tentu hanya masing-masing yang tahu.

Yang kita pertanyakan sebenarnya waktu itu adalah, mengapa Badilag sampai membuat terobosan seperti itu? Mengapa untuk sebuah jabatan harus ditawarkan dengan kalimat “siapa yang ingin?”. Bukankah jabatan, dalam hal ini, menjadi pimpinan, terdapat tuntunan bahwa jabatan tidak boleh diminta?. Ataukah badilag sudah terperangkap dengan tradisi kenegaraan seperti bagaimana tradisi rekrutmen KPK, Komisioner HAM, Calon Hakim Agung.

Yang jelas, tradisi rekrutmen ini belum melembaga dan Badilag sedang membuat terobosan baru yang bagi sebagian besar hakim kurang menarik.  Mengapa tidak menarik atau bahkan menakutkan? Bagi hakim tertentu, meminta jabatan adalah sangat tabu. Mendaftar sebagai calon pimpinan berbeda dengan mendaftar sebagai hakim. Mendaftar sebagai pimpinan sama halnya minta jabatan sedangkan mendaftar sebagai hakim adalah mencari pekerjaan. Dalam tradisi keilmuan para hakim agama meminta jabatan bagian dari perbuatan tercela. Rasulullah SAW telah memperingatkan mengenai hal itu dengan sabdanya : “Janganlah meminta jabatan”.Tidak hanya itu, ketidak tertarikan itu juga karena adanya sikap traumatik adanya ancaman di akhirat bagi peminta jabatan. Hal itu pula yang selama ini didengungkan oleh para pembina, bahwa “jabatan bukanlah anugerah tetapi dia adalah amanah.” Tentu hal ini, terlepas dari adanya sebagian  oknum hakim agama yang justru  memburunya.

Terlepas, bahwa dalam praktik ketatanegaraan yang saat ini telah dilembagakan, eksistensi fit and proper test, menurtut saya hal itu tidak semestinya lantas membuat badilag serta merta mengikuti kebiasaan itu. Mengapa? Jabatan yang ditawarkan oleh negara adalah jabatan politis dan strategis. Keberadaan jabatan seperti di KPK dan sebagaimya bukanlah jabatan yang memungkinkan ditempuh melalui sistem karir. Di samping itu jabatan tersebut sangat bernilai strategis. Maksudnya, jabatan tersebut mempunyai kewenanagan yang luar biasa yang tidak bisa diaudit kecuali oleh rakyat melalui mekenisme kenegaraan yang ada. Pertanyaan kita adalah, apakah untuk jabatan sebagai pimpinan pengadilan seperti itu. Tidak sama sekali. Pimpinan pengadilan hanya dapat diaudit oleh pimpinan secara herarkhi dan terkadang sarat dengan nuansa budaya like dan dislike.

Jika pola pembinaan karir dilaksanakan secara transparan dan jujur sebenarnya tidak akan pernah ditemukan kesulitan untuk mencari calon pimpinan. Sebab selama ini sebenarnya sudah ada mekanisme yang mendukung itu. Dalam sistem kepegawaian yang ada, termasuk hakim, ada DUS ( Daftar Urut Senioritas) Hakim. Pola DUS ini sangat mambantu untuk dijadikan acuan rekrutmen calon pimpinan. Tidak dapat dipungkiri tidak semua yang menempati DUS tertinggi dengan alasan tertentu layak menjadi pimpinan. Akan tetapi, mereka harus tetap diberi kesempatan yang sama. Caranya, semua yang menempati DUS level tertentu dipanggil untuk mengikuti semacam pelatihan. Pada kesempatan itulah seleksi secara formal dilakukan. Pengamatan terhadap integritas baik keilmuan maupun moral selama mengikuti pelatihan dilakukan oleh yang berkompeten. Dan, pada akhirnya dilakukan postest sebagai salah satu unsur dari beberapa unsur penilaian selama pelatihan. Dari sini akan diketahui siapa yang layak atau tidak layak. Layak dan tidak layak ditentukan secara transparan dan adil. Yang lebih penting, penilaian itu didasarkan oleh kondisi riil seorang kandidat. Keuntungannya, dalam sistem ini tidak akan merusak sistem DUS dan  yang lebih penting tidak akan menjadikan gap psikologis di suatu kantor di kemudian hari. Nuansa sistem seperti ini, pernah ada pada kepemimpinan badilag tempo dulu. Waktu itu hakim dengan kepangkatan dan masa kerja tertentu didaftarkan untuk mengikuti pendidikan hakim senior. Hanya saja tidak pernah dijalankan secara konsisten. Banyak hakim senior yang mestinya layak memimpin dilampaui oleh yuniornya dengan alasan yang tidak jelas. Tidak sebatas itu, hakim yunior ini lantas membawahi hakim seniornya di satu satker. Akibatnya, gap psikologi terjadi. Hakim yunior ini juga kemudian malah ‘menyiksa’ seniornya dengan menghambat kenaikan pangkat yang mestinya diperoleh. Agar birokrasi sehat hal-hal seperti di muka mutlak harus dipertimbangkan.

Sekalipun, demikian iktikad baik Badilag, sebagai salah satu terobosan tetap kita dukung asal model seleksi calon pimpinan tersebut dalam konteks mencari pimpinan yang tepat yang akan membawa peradilan agama menuju peradilan yang bermartabat, terutama jika UU Jabatan Hakim nanti disahkan. Bahkan, dengan mengingat urgennya kepemimpinan peradilan, ke depan adanya keterlibatan campur tangan lembaga lintas sektoral, semacam Komisi Yudisial (KY) tampaknya juga perlu dipertimbangkan. Selama ini keterlibatan KY adalah sebatas penjaringan calon Hakim Agung. Langkah ini ditempuh oleh Undang-Undang, dengan tujuan antara lain dalam rangka menjaga kemuliaan dan martabat Hakim Agung. Sekalipun demikian, secara substansi sebenarnya hal itu dimaksudkan untuk semua lembaga peradilan sebagai satu-satunya institusi dengan predikat filter terakhir dari penegakan hukum. Realitas membuktikan, bahwa justru potret buram lembaga peradilan, lebih banyak diawali dari kepemipinan yang tidak sehat lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung. Praktik ‘aji mumpung’ oleh oknum, mislanya, lebih banyak terjadi pada lembaga peradilan di bawah Mahkamah Agung yang secara umum sulit dikontrol karena alasan letak geografis. Dalam konteks ini fit and propher test  dengan melibatkan psycholog juga sangat urgen. Dengan mengambil model seperti penerimaan calon hakim. Seorang polisi calon pemegang senjata api harus melalui tes psikologi. Tes ini bukan hanya dimaksudkan untuk mengatahui sehat dan tidaknya jiwanya tetapi juga untuk mengetahui layak tidaknya dia memegang senjata api yang sangat banyak risikonya itu. Pimpinan pengadilan juga calon pemegang senjata. Senjatanya bukan berupa pistol tetapi senjata kekuasaan.

Muara akhir dari upaya maksimal seleksi calon pimpinan harus dalam konteks untuk mewujudkan misi di atas. Dan yang lebih penting adalah juga dalam rangka mewujudkan visi Mahkamah Agung, yaitu :  Mewujudkan Peradilan Yang Agung. Visi mulia ini mustahil bisa dicapai jika ada satu saja lembaga peradilan yang tidak sehat yang dimulai dari kepemimpinan yang tidak sehat. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar