Rabu, 25 Oktober 2017

Mencari Sang ( Hakim ) Penegak Hukum

Oleh : Drs.H. ASMU'I SYARKOWI, M.H.
Beberapa waktu lalu marak berita kelam mengenai dunia hukum kita. Ada polisi yang biasa menangkap ditangkap, ada jaksa biasanya menuntut dituntut, dan hakim yang biasanya mengadili perkara diadili. Berita tersebut semakin kelam ketika justru pejabat sebuah lembaga tinggi negara di republik ini, sebut saja oknum Hakim MK ikutan ditangkap.  Modusnya hampir sama, soal uang. Sungguh  tragis sekaligus membuat kita miris.
Timbul pertanyaan di benak kita, mengapa bisa terjadi.? Apa yang salah tentang sistem seleksi selama ini. Mengingat, hampir semua para pejabat di negeri ini secara formal telah lolos menempuh serangkaian seleksi yang relatif ketat. Tetapi, masih saja banyak oknum penegak hukum yang bermasalah.
Peristiwa-demi peristiwa diadilinya para oknum penegak hukum itu seolah menambah daftar panjang pertanyaan di masyarakat yang tidak kunjung terjawab selama ini. Perangkat penegak hukum di negeri ini sudah lengkap, ada yang bagian menangkap, ada yang bagian menuntut, dan ada bagian yang mengadili, lalu mengapa anomali hukum masih saja terjadi di setiap lini. Di negeri inipun juga terkenal negeri yang banyak memproduksi undang-undang. Hampir semua Undang-Undang juga mencantumkan sanksi pidananya. Akan tetapi, setiap undang-undang dibuat saat itu pula terlihat celah bagi  pelanggar yang menginginkan dibuat undang-undang baru.. Sehingga, di negeri ini sangat memerlukan jutaan undang-undang guna mempersempit ruang gerak penjahat. Tetapi apa yang terjadi. Semakin banyak undang-undang justru semakin banyak pelaku kejahatan. Lembaga Pemasyarakatanpun di mana-mana sampai harus ‘mbludag’ ( over capacity). Untuk menggambarkan kondisi aturan hukum itu hanya cukup dengan satu kalimat pendek : belum efektif !
Mempertanyakan kenapa suatu aturan hukum tidak efektif memang dapat menimbulkan diskusi yang panjang. Dalam literatur-literatur sosiologi hukum dapat kita ketahui, bahwa telah banyak pakar mewacanakan hal ini. Akan tetapi, kita jadi ingat statmen Prof. Bagir dalam kapasitasnya sebagai ilmuwan, sebelum menjadi Ketua MA :” Aturan Hukum yang baik  akan menjadi huruf mati (doode letters ) apabila tidak disertai dengan penegak hukum yang baik pula. Bahkan aturan hukum yang kurang baik, kurang sempurna masih mempunyai harapan menjadi instrumen yang adil dan benar karena diterapkan oleh penegak hukum yang baik.“
Selanjutnya beliau menarik semacam kesimpulan bahwa aturan hukum dan penegakan hukum merupakan “two sides of one coin”.
Tentang bagaimana peran sentral penegak hukum kaitannya dengan penegakan hukum ini juga pernah  ditulis oleh Prof. Satjipto Rahardjo dalam majalah Gatra edisi 17 Agustus 1996, sebagaimana dikutip ulang oleh Prof. Achmad Ali[1]. Begawan sosiologi hukum dari Universitas Diponegoro itu  mengemukakan,  bahwa penegakan hukum itu erat kaitannya dengan perilaku hukum, khususnya pengak hukum. Menurutnya, hukum itu bukan RINSO yang bisa mencuci sendiri, melainkan sangat bergantung pada perilaku para penegak hukum, seperti polisi dan jaksa. Melalui aktivitas mereka itulah hukum, sebagaimana tertuang dalam  aturan hukum, bukan sekedar lagi huruf yang mati, melainkan menjadi hidup dan memenuhi janji-janji yang dikatakannya sendiri. Sekalipun, seribu kali undang-undang mengatakan bahwa mencuri dilarang dan diancam hukuman, tetapi jika polisi yang seharusnya bertindak tidak menagkap pencuri itu, undang-undang hanya akan tinggal menjadi sebuah karya sastra, bukan hukum.
Oleh karena itu jargon “two sides of one coin”.  Sebenarnya memang bukan hal yang baru. Tetapi dalam implementasinya sangat sulit. Bahkan, absurd, jika akar yeng menjadi penyebabnya tidak dikikis. Akar masalah itu adalah persoalan mentalitas sekaligus moralitas. Mental terimplementasi dalam bentuk komitmen sedangkan moralitas terimplementasi dalam bentuk perilaku baik perilaku yang tampak ( activity ) maupun perilaku yang tidak tampak ( mindset ).
Berbicara mengenai mentalitas dan moralitas ini jelas sangat  terkait dengan rasa keimanan ( religious ) dan integritas keilmuan. Rasa keimanan terkait dengan hubungan nurani sang penegak hukum itu  dengan Tuhan. Keimanan tersebut jelas bukan hanya sebatas pengetahuan verbal yang hanya terlihat dari penguasaannya kepada pengetahuan tentang ketuhanan. Tetapi, lebih dari itu, keimanan yang dimaksud adalah keberhasilan sang penegak hukum menginternalisasi sifat-sifat Tuhan dalam jiwanya. Implementasi dari harapan ini dapat diukur seberapa motivasi penegak hukum untuk menegakkan aturan hukum dengan penuh tanggung jawab apapun risikonya, termasuk ketakutan kepada Yang Maha Adil jika dia mencoba berperilaku culas dalam menegakkan hukum. Dengan demikian, kelulusan menempuh tes-tes keagamaan dengan keberhasilan memperoleh nilai 10--karena berhasil menjawab seluruh soal-soal ujian  dengan benar--jelas bukan menjadi parameter iman dan tidaknya sang penegak hukum.
Pertanyaan kita adalah, sudahkan para pembuat kebijakan di bidang hukum mencari formula bagaimana memperoleh para penegak hukum yang beriman? Atau memang urusan keimanan itu tidak penting, karena itu menyangkut wilayah abstrak yang sulit diukur.
Penulis sendiri pernah menulis sebuah opini, bahwa mengukur keimanan seseorang memang sulit. Akan tetapi, dapat dilihat dari beberapa indikator. Indikator konkret yang paling mudah dilihat adalah bagaimana praktik kebaragamaan seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Bagaimana tutur katanya, apakah sering berkata bohong atau tidak. Sebab, agama melarang berkata bohong. Apakah pernah berbuat zina? Sebab setiap agama melarang berbuat zina. Apakah pernah mengambil hak orang lain hak, sebab setiap agama melarang mengambil hak orang lain tanpa hak. Dan, yang paling fenomenal standar minimal untuk mengukur keberagamaan seseorang adalah dengan melihat apakah seseorang itu melakukan ritual pokok agama yang dianut dengan setia. Seperti kalau orang Islam apakah dia solat lima waktu dengan baik. Kalau Kristen apakah dia disiplin ke Gereja, kalau orang Hindu apakah dia rajin ke Pura.
Realitas yang terlihat lain. Bagaimana orang yang mengaku Islam dan salat dan puasanya bolong-bolong bisa menjadi penegak hukum. Bagaimana pula orang yang mengaku Kristen tetapi tidak pernah ke Gereja. Sekali lagi, praktik-praktik pengamalan ajaran agama memang tidak otomatis ekuivalen dengan keimanan seseorang, tetapi mengukur keimanan seseorang tanpa melihat praktik pengamalan ajaran agama jelas tidak mungkin. Maka benarlah sebagaimana diisyaratkan oleh firman Allah dalam surat al Ashr, bahwa iman dan amal saleh merupakan 2 hal yang tidak dapat dipisahkan sama lain. Ketika ada iman mesti ada amal saleh. Mustahil ada amal saleh jika tidak termotivasi oleh iman dalam hati. Rasulullah SAW juga pernah bersabda :”Iman itu dalam keadaan telanjang, bajunya adalah takwa, perhiasannya adalah rasa malu,dan buahnya adalah ilmu.”
Kedua, penegak hukum harus mempunyai integritas keilmuan yang memadai. Keilmuan yang dimaksud adalah bagaimana seorang penegak hukum terus menuntut ilmu dengan belajar apapun. Sekolah dengan strata tertinggi memang penting akan tetapi tidak mutlak. Sebab, untuk menjadi penegak hukum pengetahuan verbal jelas tidak cukup. Apalagi jika motivasi studi hanya sebatas menaikkan grade secara formal, bukan secara substansial. Seperti, yang pernah disindir oleh Prof Bagir Manan[2], bahwa kini banyak yang sekolah dengan strata tertinggi hanya sekedar “ingin mendapat perhatian khusus dari atasan”. 
Di samping tahu banyak soal pengetahuan seorang penegak hukum harus mahir menerapkannya. Dalam tataran ini mengenali masyarakat secara langsung sangatlah penting. Dalam konteks ini bukankah Cicero sudah mengingatkan, bahwa di mana ada masyarakat di situ ada hukum. Dengan demikian mengenal denyut nadi kehidupan masyarakat setempat sangat penting. Mengapa?, Inti penegakan hukum adalah menciptakan keadilan dan di setiap masyarakat biasa mempunyai rasa keadilannya sendiri. Sekalipun, tujuan penegakan hukum bukan semata-mata untuk keadilan. Mengenai hal ini Prof. Bustanul Arifin[3] dalam satu bukunya pernah mengingatkan seorang hakim ( penegak hukum ) di samping leaned in law juga harus skilled in law. Dengan kalimat lain,  maksud dari himabauannya itu mantan Hakim Agung ini seorang hakim di samping mempunyai pengetahuan yang memadai juga harus terampil menerapkan pengetahuannya itu ketika bertugas.
Kalau sudah demikian pertanyaan berikutnya adalah sudahkah rekruitmen penegak hukum saat ini mempertimbangkan dua aspek pokok tersebut?
Dengan bahasa lain, Prof. Bagir Manan pernah mengingatkan agar penerimaan penegak hukum hendaknya  menitik beratkan kepada pengalaman sila pertama Pancasila setalah semua persyaratan lain juga telah dipenuhi. Dalam konteks ini memang sudah waktunya Negara merekrut polisi, jaksa, hakim yang benar – benar  mengamalkan ajaran agamanya. Semoga kedepan institusi penegak hukum akan nbenar-benar diisi oleh manusia-manusia pilihan yang di samping mumpuni dari aspek pengetahuan juga mumpuni kesalehannya.





[1] Prof.Dr.H. Achmad Ali, S.H.,M.H., Menjelajahi Kajian Empiris Terhadap Hukum, PT Yasrif Matampone, Jakarta, halaman 216.
[2] Prof.Dr.H.Bagir Manan,  S.H.,M.C.L, Pendidikan Tinggi Hukum Sebagai Lembaga Ilmu Pengetahuan  ( Artikel dalam Varia Veradilan Tahun XXXII Nomor 373 Desember 2016 )
[3] Prof.Dr.H. Bustanul Arifin, S.H., Kedudukan dan Kewenangan Peradilan Agama, Graffity Pers 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar