Rabu, 25 Oktober 2017

DICINTAI SAHABAT VERSUS DICINTAI RAKYAT


Oleh : Drs.H. ASMU’I SYARKOWI, M.H.
(Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Klas I A)

Penetapan Budi Gunawan ( BG ) sebagai calon tunggal Kapolri tampaknya masih menjadi kontroversi yang belum berakhir.  Pencalonan itu menurut salah seorang pengamat bernuansa politis sebab di kalangan POLRI sebenarnya ada empat figur lain yang juga layak menjadi KPOLRI, yaitu : Komjen Dwi Priyatno ( 56 tahun ), Komjen Badrodin Haiti ( 57 tahun ),  Komjen Putut Eko Bayuseno (  54 tahun ) , dan Komjen Suhardi Alius ( 52 tahun). Ketika Presiden ‘tiba-tiba’ mengusulkan hanya satu nama dan ternyata bermasalah kitapun bertanya-tanya. Mengapa presiden memilih sikap seperti ini. Apalagi, sikap itu diambil tanpa sebelumnya terdengar setelah meminta ‘fatwa’ KPK. Berbeda ketika beliau mengawali memimpin negeri ini. Segera setelah dinyatakan  memenangi pilpres, mantan Gubernur DKI ini terlihat sangat berobsesi agar para calon pembantunya bebas dari kasus korupsi. Untuk itu dia berkolaborasi dengan lembaga “anti rasywah” KPK. Sekalipun, waktunya sangat singkat KPK pun sangat antusias  meraih uluran sang Presiden. Padahal, dalam ketatanegaraan  kita sama sekali tidak dikenal keharusan presiden meminta ‘pendapat MK’ untuk mengangkat menteri-menterinya. Itu perlu dilakukan dalam rangka memperoleh pembantu yang  bersih dari korupsi. Itulah sebabnya, hampir semua kita berpendapat, bahwa tindakan sang Presiden waktu itu sebagai langkah maju dan karena itu pulalah langkah ini sanggup merebut simpati rakyat. Para pengamatpun banyak yang mengelu-elukannya. Mereka mengganggap langkah presiden sebagai langkah yang sangat briliyan sekaligus komit dengan pemberantasan korupsi yang menjadi musuh rakyat sejak lama. Sejuta harapan ditunggu oleh rakyat.  Gerbong kabinet bersihnya diharapkan bisa membawa lebih 250 juta rakyat Indonesia menuju ke alam  Indonesia baru  yang penuh kesejahteraan.
Keceriaan rakyat  itu kini untuk sementara harus berakhir. Pasalnya, Presiden sudah terlanjur mengusulkan Jenderal yang secara resmi menjadi tersangka kasus korupsi. Segera setelah itu, DPR pun, kecuali Fraksi Demokrat, seperti berjamaah mengamini usulan Presiden. Yang menjadi tanda tanya besar dan hal ini harus dicermati oleh Presiden, mengapa Koalisi Merah Putih ( KPM) yang selama ini bersebarangan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH)  sepertinya malah lebih bersemangat mendukung BG menjadi Kapolri. Koalisi Merah Putih tampaknya bermain dalam kontroversi ini. KMP bisa saja berpendapat tugas DPR hanyalah melakukan fit and propertest untuk mengetahui visi dan misi calon.  Apabila ternyata berdasarkan tes tersebut menurut KMP layak itupun belum final sebab pemegang kunci terakhir di tangan sang Presiden. Masalah apakah yang bersangkutan tersaangkut masalah hukum tentu bukan ranah DPR. Sebab DPR bukan lembaga hukum, tetapi lembaga politik. Dari sisi politik, sikap KMP meluluskan BG sebagai calon Kapolri justru menguntungkan. Seperti sedang menendang bola api ke gawang Presiden. Presiden akan berada posisi dilematis. Dipegang akan membakar dirinya di lepas akan masuk gawang yang berarti maksud lain KMP juga berhasil, yaitu terbentuknya opini politis bahwa presiden tidak konsisten.  Menolak sendiri pilihannya.
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan kita terhadap sikap KMP tersebut, yang jelas sebagaimana dikemukakan oleh salah seorang pengamat bahwa pilihan Jokowi terhadap BG sebenarnya bukan pilihan hati Jokowi. Pilihan tersebut seperti dipaksakan oleh kekuatan  yang selama ini mendukung Jokowi. Sudah menjadi rahasia umum BG adalah dua kali menjadi ajudan orang nomor 1 di PDIP sewaktu menjadi Wakil Presiden dan  ( 1999-2001 ) dan ketika menjadi Presiden ( 2001-2004) .( vide : Opini Jawa Pos 19/01/15). Bahkan BG lah yang disebut-sebut yang berperan besar dalam penentuan duet Jokowi dan JK ( Tempo, 12-18 Januari 2015 ). Kekuatan politis ini sepertinya berhutang budi dan oleh karenanya ‘menekan’ presiden untuk memberinya penghargaan dengan menjadikannya sebagai orang nomor satu di Korp Bhayangkara. Betapa kuatnya tekanan itu sehingga Kapolri yang ada harus berhenti sebelum waktunya, termasuk menafikan kesempatan empat komjen lainnya.
Jika sikap KMP dengan meluluskan BG dalam fit and propertest sudah cukup membuat Presiden dalam posisi dilematis, maka sesungguhnya ada kondisi dilematis lain yang lebih sirius, yaitu : Tetap melantik BG atau membatalkan.  Di satu sisi, Presiden harus tetap melantik BG karena sudah lolos dari DPR dengan risiko ‘dikutuk’ oleh rakyat sebab menjadikan unsure pimpinan penegak hukum orang yang sedang bermasalah secara hukum, yaitu korupsi yang menjadi musuh rakyat. Di sisi lain, Presiden membatalkan usulannya, yaitu membatalkan melantik BG dengan risiko akan dimarahi ‘sahabat-sahabat’nya karena seperti kacang yang lupa kulitnya. Intgritas Jokowi sebagai pemimpin dipertaruhkan di sini. Bagaimana menyikapi hal ini dengan tepat. Wallahu A’lam.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar