Rabu, 25 Oktober 2017

APOTEK ATAU APOTIK?


Oleh : Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.
Judul itu hanya sebuah contoh penulisan kata yang sering menjadi persoalan ‘khilafiyah’ dalam praktik sehari-hari. Praktik ketidakteraturan pemilihan kosa kata itu sampai saat ini masih terus berlangsung. Yang menjadi pertanyaan kita, mengapa hal itu tidak hanya terjadi pada masyarakat umum tetapi juga di kalangan kaum intelektual?. Banyak kita jumpai dalam dokumen-dokumen ilmiyah, seperti makalah, skripsi, tesis, bahkan disertasi yang masih menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang baik dan benar, seperti pemilihan kata yang tidak standar. Anehnya, hal itu terjadi setelah 89 tahun sejak terpilihnya bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional tahun 1928. Lahirnya sumpah pemuda pada tahun itu disebut-sebut sebagai lahirnya bahasa Indonesia. Akan tetapi, secara resmi bahasa Indonesia baru dinyatakan resmi negara adalah sejak tanggal 18 Agustus 1945, yaitu sejak disahkannya UUD 1945. Pada Pasal 36 secara tegas dinyatakan : “Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia”
Dalam praktik setelah Indonesia merdeka Bahasa Indonesia memang terus mengalami perkembangan. Kita pernah mengalami beberapa tahapan ‘aliran’ dalam bahasa Indonesia.  Beberapa ejaan bahasa Indonesia pernah kita pakai. Yang pertama, pada era 1901 sampai 1947 kita pernah memakai ejaan  Van Ophuysen. Berikut, ejaan yang dipelopori oleh Prof.Charles van Ophuysen ini kemudian mengalami beberapa kali pergantian sebelum akhirnya kita kenal ejaan yang disempurnakan seperti sekarang yang secara resmi dipakai pada tanggal 17 Agustus 1972 berdasarkan putusan presiden  Nomor 57 Tahun 1972.
Sebagai bahasa nasional Bahasa Indonesia merupakan indentatas nasional sekaligus sebagai kebanggan bangsa. Itulah sebabnya pada seminar politik Bahasa Indonesia tanggal 25-28 Februari 1975 di Jakarta dinyatakan, bahwa Bahasa Indonesia selain sebagai bahasa resmi kenegaraan harus digunakan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan dan sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional.
Pada waktu kita masih di bangku sekolah SD sampai SLTA, jika ingin naik kelas, nilai Bahasa Indonesia adalah termasuk salah satu mata pelajaran yang tidak boleh mendapatkan nilai rapor merah. Di perguruan tinggi (strata-1) bahasa Indonesia menjadi salah satu mata kuliah wajib di semua fakultas.
Tetapi apakah tingkat kepedulian kita telah sebanding dengan urgensi eksistensi bahasa Indonesia?. Tenyata belum. Upaya guru Bahasa Indonesia dan pemerintah dalam memasyaratkan pemakaian bahasa Indonesia yang baik dan benar tampaknya belum maksimal. Contoh judul di atas  menjadi salah satu buktinya. Sering kita menggunakan, membuat, atau menuliskan istilah-istilah kata yang tidak baku.  Dalam tata pergaulan yang meliputi bidang ekonomi, politik, sosial, dan budaya sering kita jumpai contoh kekacauan itu. Dalam beberapa kasus kekeliruan itu terjadi akibat sikap egoisme sektoral, seperti dalih bahasa hukum, bahasa ilmiyah atau sejumlah alasan pembenar lainya.
Mengenai hal ini pernah dikeluhkan oleh mendiang Prof. Sutan Takdir Ali Sjahbana. Beliau mengeluhkan kita, antara lain karena sering menggunakan istilah-istilah yang tidak ada dalam kamus. Pembuatan akronim sering tidak memakai kaidah dan berakibat membingungkan. Banyak orang luar negeri bingung mempelajari bahasa Indonesia. Mereka sering tidak mengetahui banyak istilah yang tidak terdapat dalam kamus, seperti satu kata akibat pembuatan akronim-akronim yang tidak standar. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai acuan kita menuliskan kata berikut ejaannya sering kita abaikan.
Dalam perkembangan terakhir, di era teknologi informasi yang pesat ini, kekacauan itu semakin marak. Penulisan-penulisan kalimat atau penggunaan kata Bahasa Indonesia yang baik dan benar semakin sering dilanggar. Ironisnya, dunia akademik tampaknya juga kurang peduli. Banyak penyusun karya ilmiyah dalam bentuk naskah akademik yang masih belum bisa membedakan istilah yang telah mengalami pembakuan dan belum. Masih banyak sarjana atau bahkan pembimbing--sebuah karya akademik yang berkualifikasi karya ilmiyah--yang perlu dipertanyakan kemampuannya berbahasa Indonesia.  Banyak kita jumpai sebuah karya ilmiyah sulit difahami hanya lantaran pembuatan kalimat-kalimat yang tidak efektif, disebabkan oleh pembuatnya yang masih belum dapat membedakan jenis kalimat, seperti kalimat pasif atau kalimat aktif, kalimat langsung atau kalimat tidak langsung, tidak jelas subjek dan predikatnya, tidak dapat membedakan induk kalimat dan frasa. Mereka tidak sadar bahwa kalimat semrawut yang digunakan juga menunjukkan kekacauan logika berfikir.

Hal ini tentu sangat barbahaya. Letak bahayanya adalah ketika masyarakat menganggap hal itu sebagai suatu kebenaran. Pemerintah dan dunia pendidikan harus concern memerangi fenomena ini. Upaya pemerintah sebelum era reformasi dengan mencanangkan bulan oktober sebagai bulan bahasa dan memilih tokoh-tokoh tertentu sebagai role model kiranya perlu kita contoh. Kalau tidak, kita khawatir kekacauan yang terjadi akibat ketidakpedulian kita terhadap fenomena di atas, semakin menjadi-jadi. Yang kita khawatirkan berikutnya adalah suatu saat bahasa Indonesia akan kehilangan ruhnya, sehingga salah satu identitas bangsapun secara pelan hilang tanpa kita sadari. Ingat jargon : “Bahasa Menunjukkan Bangsa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar