Kamis, 19 Juli 2012

Perbedaan Ramadhan, Masih Perlukah Dirisaukan?


Awal ramadhan 1433 Hijriyah sudah dapat dipastikan terjadi perbedaan lagi. Muhammadiyah jauh-jauh hari telah menentukan akan berpuasa ramadhan pada hari Jum’at 20 Juli 2012. Sedangkan Pemerintah pada tanggal 19 Juli baru mengadakan sidang Isbat yang berarti masih belum dapat memastikan tanggal 20 Juli sebagai awal ramadhan. Berdasarkan hasil perhitungan hisab ketinggian hilal pada tanggal 20 Juli adalah kurang dari 2 derajat di bawah ufuk yang berarti masih di bawah imkanur rukyah yang disepakati hampir semua ormas Islam yang bernaung dibawah badan Hisab rukyat Departemen Agama RI. Muhammadiyah bersikukuh sekalipun belum bisa dirukyah tetapi pada hakikatnya hilal sudah muncul yang berarti pergantian bulan sudah terjadi.
Mengapa berbeda? Beberapa hal berikut, antara lain, adalah sebagai pemicu perbedaan.
1.      Sistem Hisab dan Rukyat
Dua sistem ini menjadi penyebab utama, aliran yang menggunakan Ilmu Hisab murni, seperti Muhammadiyah dan aliran Rukyat, seperti pemerintah, NU, dan hampir sebagian besar ormas Islam. Keduanya memang sama-sama menggunakan Ilmu Hisab modern. Akan tetapi, dalam tataran berikutnya mereka berbeda. Bagi pemerintah  CS, perhitungan hisab hanya sebagai alat. Yaitu alat yang membantu untuk melihat ( rukyat ) hilal ( awal bulan ). Sedangkan, Mumammadiyah hisab bukan digunakan sekedar melihat awal bulan tetapi lebih dari itu. Yaitu, untuk menentukan terjadinya pergantian bulan. Dalam konteks ramadhan adalah untuk memastikan kapan awal ramadhan mulai.
2.      Perbedaan metodologi memahami Nas
Puasa adalah ibadah mahdhoh. Segala sesuatunya telah diatur oleh Allah. Ummat Islam wajib mengikuti apa adanya. Rasulullah SAW juga telah menegaskan : Burpuasalah kamu karena telah melihat bulan dan berbukalah (juga) karena telah melihat bulan. Teks nas ini merupakan sesuatu yang sakral. Kedudukannya sama dengan teks perintah solat. Ruang ijtihad mengenai tatacara puasa dan solat tertutup. Dengan kalimat lain, menganai tacaranya kita harus berpuasa dan solat sebagai mana yang dilakukan dan diajarkan Rasulullah SAW. Dalam konteks puasa termasuk tatacara memulainya. Cara berfikir mamahami nas demikianlah akhirnya yang menempatkan Ilmu Hisab hanya sekedar alat. Yaitu alat untuk melihat bulan. Dalam nas memang Rasulullah SAW, dalam konteks puasa, memerintahkan rukyat. Pasti ada rahasia dan hikmah yang terkandung dalam perintah itu. Menurut pemahaman kelompok ini, perintah rukyat setara dengan perintah mengapa tayamum harus pakai debu.
Sedangkan Muhammadiyah mempunyai cara pemahaman lain. Allah memerintahkan berpuasa di bulan ramadlan. Rukyat hanya salah satu cara pendekatan untuk menentukan awal bulan, dalam hal ini adalah menentukan awal ramadhan. Sehingga menurut Muhammadiyah hadits tentang perintah rukyat tersebut masih bisa diperdebatkan ( interpretable ). Substansi perintah Allah SWT tentang puasa wajib ini adalah berpuasa pada bulan ramadhan. Kalau demikian pertanyaannya adalah kapan awal bulan ramadhon dimulai?. Muhammadiyah memberikan jawaban, kalau dulu dengan keterbatasan teknologi, dipakailah metode rukyat. Karena hanya dengan cara itulah yang bisa digunakan sebagai satu-satunya cara melihat awal bulan. Tetapi kini, sebagai gantinya dengan sudah canggihnya ilmu mate-matika modern cara penentuan awal bulan tidak bisa dengan cara rukyat lagi. Tetapi, bisa digantikan oleh Ilmu Hisab dengan berbagai kecanggihannya.
Berdebat menganai mana yang tepat dari dua system tersebut pasti tidak akan ada ujungnya. Karena, masing-masing pasti mempunyai sejuta argument. Akan tetapi ada sesuatu yang dapat kita garis bawahi. Apakah itu? Bahwa teks nas tentang puasa adalah masalah ijtihadi. Dalam konteks ajaran Islam dalam masalah ijtihad memang dibolehkan berbeda. Tetapi sebenarnya atas  kesadaran masing-masing dengan berbagai pertimbangan kemaslahatan bersama, bukan tidak mungkin dipersatukan. Kalaupun tidak bisa, dalam  perspektif hukum Islam, juga tidak haram.

3.      Kedudukan Negara
Lantas bagaimana kedudukan Negara dalam hal ini. Al Qur’an telah memerintahkan untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu ( Al Nisak, Q.S 4 : 59 ) Pertanyaan yang muncul adalah, siapakah yang dimaksudkan ulil amri dalam ayat tersebut?. Dalam wacana ilmu tafsir telah menjadi perdebatan panjang. Menurut Jumhur, yang dimaksud Ulil Amri adalah Umaro (pemerintah). Sedangkan, menurut Syi’ah yang dimaksud Ulil Amri adalah Ulama. Itulah sebabnya di Negara-negara penganut Syi’ah kedudukan Ulama menempati kedudukan utama dalam suatu Negara, seperti di Iran. Jadi ada dua aliran besar mengenai siapa ulil Amri. Yaitu, umaro’ ( pemerintah/Negara) dan Ulama. Apabila dalam suatu Negara terdapat beberapa perbedaan pendapat menganai satu masalah ijtihadiyah, seperti penentuan awal ramadhan, menurut perspektif hukum Islam, maka keputusan Ulil amri  wajib diikuti dan perbedaan tersebut harus dianggap tidak ada.
Persoalan berikutnya adalah, dalam konteks Indonesia, apakah pemerintah seperti sekarang dapat dipandang sebagai ulil amri sehingga punya otoritas penentu, dalam hal ini  termasuk menentukan awal ramadhan?.
Ternyata ummat Islam Indonesia, atau sebut saja ormas Islam, berbeda pendapat. Dua organisasi besar ormas Islam, NU dan Muhammadiyah, tampaknya sala-sama tidak mengakui secara konsisten pemerintah sebagai ulil amri. Sebagai contoh, beberapa kali warga NU pernah  berbeda pendapat  dengan pemerintah tentang awal hari raya. Sedangkan, Muhammadiyah jelas-jelas berpendapat bahwa dalam ursan agama eksistensi pemerintah bukanlah ulil amri. Ulil amri bagi warga Muhammadiyah dalam urusan keagamaan, adalah organisasi Muhammadiyah itu sendiri. Dalam praktik, keputusan Majelis Tarjih mengenai soal-soal keagamaan yang dilembagakan sebagai pendapat organisasi itulah yang harus diikuti  umatnya.
Jadi, perbedaan mengenai awal ramadhan di Indonesia, bukan disebabkan oleh urusan siapa presidennya atau siapa menterinya. Dalam konteks NU dan Muhammadiyah, bukan karena karena Muhammadiyah tidak senang dengan SBY atau karena menteri agamanya Surya Darma Ali yang NU itu. Akan tetapi, antara lain karena perbedaan pemahaman tentang hubungan Negara dengan urusan (ibadah) keagamaan umat Islam.
Kalau sudah demikian, dalam konteks Indonesia, perbedaan urusan ibadah seperti penentuan awal ramadhan, sangat wajar dan pasti akan terus terjadi. Persoalannya sekarang bagaimana perbedaan ini sebagai sesuatu yang normal-normal atau biasa-biasa saja. Bagaimana perbedaan itu tetap bisa kita tempatkan dalam bingkai ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah, dan ukhuwah basyariyah atau dalam bahasa kenagaraan tetap dalam bingkai BHINEKA TUNGGAL IKA. Semoga.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------

 BIO DATA PENULIS

Nama                           : Drs. H. Asmu’i Syarkowi, B.A., M.H.
Tempat/Tgl Lahir        : Banyuwangi/ 15 Oktober 1962
Pendidikan                  : B.A. :  Fak. Syari’ah IAIN Yogya 1985
Drs.  : Institut Agama Islam Negeri Yogyakarta 1988
M.H. : Universitas Muslim Indonesia Makassar 2001
Sekarang                     : Hakim Pengadilan Agama Banyuwangi Kelas IA
Alamat                                    : Pandan, Kembiritan, Genteng, Banyuwangi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar