Selasa, 10 April 2012

Tertinggalnya Gaji Hakim : Cermin Kebodohan Pejabat dan Kecuekan IKAHI



Akhir Maret 2012 ini ada gerakan lain dari biasanya. Mengapa ? Di tengah hiruk pikuk demo menentang kenaikan BBM, para Hakim dengan “dipelopori “ Hakim Sunoto berencana mogok sidang. UNtung demo BBM telah berakhir dan sukses menekan pemerintah untuk tidak memberlakukan kenaikan BBM per 1 April 2012. Andaikan demo BBM itu tidak berhasil, mungkin “demo” kenaikan gaji Hakim akan lenyap tertelan bumi. Sebab, ekses kanaikan harga BBM dan para penentang pasti terus berlanjut.
Sampai tulisan ini dibuat sejumlah Hakim dari berbagai daerah telah berhasil menghadap IKAHI dan Menpan. Menpan berjanji akan menyampaikannya ke KOmisi III DPR RI. Entah kenapa kali ini para Yang Mulia ini bertindak “keterlaluan”. Pertanyaan ini hanya dijawab oleh nurani pemerintah. Yang jelas, kenggrundelan setiap pemerintah menaikkan gaji PNS dan tidak termasuk Hakim selama lebih dari 5 kali, berubah menjadi kemarahan luar biasa. Sayapun lewat jejaring social Facebook tidak keinggalan menumpahkan kejengkelan tersebut. Dalam FB yang saya bagi-bagikan kepada sebagaian teman saya menulis antara lain, sebagai berikut:
”Tuntut Gaji Hakim naik?....Di negara demokrasi seperti Indonesia, Hakim memang berpotensi hidup termarjinalkan, secara politik, sosial, dan ekonomi. Kebiasaan bekerja indiviadualistis ( dalam satu majelis ) membuat Hakim memang kurang biasa bersuara dan tidak banyak punya kolega secara politis. Nilai tawarnya juga bersifat individualistis, bukan institusional. Berbeda dengan guru, misalnya. Rendahnya nilai tawar secara institusional inilah mungkin yang menyebabkan pemerintah, DPR, LSM, seolah bungkam dan buta terhadap keadaan banyak Hakim yang " menangis". Potret beberapa Hakim nakal dan korup, melengkapi kebutaan dan ketulian mereka untuk melihat penderitaan kehidupan para Hakim yang lain. Banyak Hakim nakal kaya, hidup bergelimang kemewahan dan harta berlimpah. Dikira semua hakim seperti itu. Mereka tidak tahu banyak hakim yang berdedikasi hidup di rumah dengan mengontrak, indekos, dan ke kantor jalan kaki atau naik angkot. Sementara, dia diberi label Pejabat Negara........, sampai kapan ironi ini akan berakhir??????. Tanggapan kawan jelas. Semuanya berkomentar setuju dengan komentar saya itu. Ada lagi yang menulis : “Hakim : Kami ini harimau yang dipaksa menjadi kucing...”
Pertanyaannya, akankah gerakan para pemegang palu keadilan ini berhasil?......Kita lihat saja nanti.
Tetapi di tengah kemarahan para Hakim ini ada pernyataan yang menurut saya lucu dan pasti membuat kita lebih marah. Komentar apakah itu? Yaitu adanya pejabat, yang masih belum tahu bahwa Gaji Hakim diatur dalam peraturan tersendiri. Dengan demikian, menurut pejabat tersebut, setiap pemerintah menaikkan gaji PNS dikiranya sudah termasuk di dalamnya gaji Hakim. Kebodohan pemerintah tersebut menurut saya juga andil dari sikap IKAHI, sebuah organisasi profesi yang tidak pernah mengurus nasib anggotanya selain hanya mengurus tagihan iuran setiap bulan dari para hakim. Mestinya, setiap pemerintah mengumkan kenaikan gaji PNS, IKAHI selalu bertanya kepada yang berwenang, mengapa Hakim tidak..........? Yang lebih ironi lagi, ketika ‘sowan’ ke Menpan, para pemakai lambang cakra ini, harus diantar orang lain ( baca : Komisi Yudisial )?.

1 komentar: