Bagian II
Pertengkaran, dalam suatu rumah tangga, memang sulit dihindari. Dua hati yang berbeda yang semula hidup terpisah, latar belakang pendidikan dan lingkungan, dan kerakteristik cara berfikir gender, manjadi beberapa alasan mengapa suami istri berselisih. Jangankan orang awam. Para panutan saja punya riwayat pernah berselisih dengan pasangannya. Hanya saja beliau-beliau itu, mampu mengatasinya dengan cara yang elegan. Beliau-beliau tahu dan faham betul pesan Al Qur’an : Al Imsak bil makruf atau al-tasrih bi ihsan. Artinya, seharusnya suami menggauli istri sebaik mungkin. Dan sebaliknya, istripun memperlakukan suami suami seindah mungkin. Dengan satu tekad, jika memang terus ingin hidup dalam satu rumah tangga yang diisyaratkan Kitab Suci : sebagai keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah. Segala kelebihan yang dimiliki pasangannya harus disyukuri, sebaliknya terhadap kekurangan yang kebetulan ada pada pasangan harus disikapi dengan penuh kesabaran. Bukankan tidak ada manusia yang sempurna seratus persen. Tidak ada manusia yang sepenunya baik, karena manusia memang bukan Malaikat. Sebaliknya, tidak ada manusia yang sepenuhnya jahat, karena manusia memang bukan setan. Kondisi seperti ini harus dicamkan oleh setiap pasangan, baik suami atau istri.
Tujuannya satu, supaya tidak membayangkan datangnya angin surga saja dari pasangannya tanpa menyadari bahwa kita sedang hidup di dunia. Di Surga memang tidak ada kesedihan dan kesusahan, sedangkan di dunia memang tempat kesusahan dan kesenangan. Kesusahan dan kesenangan bercampur aduk menjadi satu. Suatu saat kesenangan dan kesusahan akan terpisah. Kapan? Yaitu besuk di akhirat.
Selagi di dunia setiap orang pasti mengalami kesusahan dan kesengan itu. Perbedaan yang satu dengan yang lain hanya menyangkut porsinya saja. Ada orang yang kesenangannya lebih banyak dari kesusahannya, ada orang yang kesenangannya dan kesusahannya seimbang, dan orang yang kesusahannya lebih banyak dari kesenangannya. Kita mungkin membayangkan, si Anu itu. Alangkah enaknya hidup seperti dia. Mau apa saja terpenuhi. Tapi tahukan yang sesungguhnya tentang orang itu. Ternyata dia baru saja divonis dokter dia terkena penyakit lever. Atau, orang yang kita lihat hidup enak itu ternyata juga susah karena anaknya nakal-nakal.
Sebaliknya, kita merasakan kepedihan diri kita sendiri karena hidup serba kekurangan. Tetapi tetangga kita diam-diam iri pada kita. Mengapa? Tetangga kita iri melihat kita hidup damai walaupun dalam kekurangan. Jadi hidup ini hanya wang-sinawang, begitu jargon orang Jawa. Tidak ada orang yang sepenunya senang dan sebaliknya tidak ada orang sepenuhnya susah. Di saat senang pasti ada susahnya, entah kapan waktunya. Di saat susah pasti ada senangnya, juga kapan waktunya. Hanya saja sering hati kita tidak tanggap. Kita hanya mengedepankan keluhan dari pada syukur. Jika keluhan it uterus dibiasakan akan membuat hidup ini menyiksa.JIka siang matahari terasa menyengat waktu malam terasa gelap gulita. Jadi sama-sama nggak ada enaknya. Dunia terasa sempit. Sangking sempitnya seolah lebih sempit dari daun kelor.
Pada gilirannya cara pandang terhadap kehidupan seperti tadi juga berpengaruh terhadap kelanggengan atau kegagalan suatu pasangan suami istri. Bagi yang menyadari bahwa hidup ini memang tidak hanya menjadi tempat kesenangan tetapi juga tempat kesusahan, biasanya bisa syukur dan sabar. Berbeda dengan yang hanya menganggap dunia ini sebagai tempat kesengan atau kesusahan saja. Di saat senang dia lupa daratan di saat susah dia mudah frustasi. Cara pintas, bahkan terlalu gampang ditempuh. Termasuk bercarai………..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar