Kamis, 07 Maret 2019

WhatsApp dan Keseharian Kita



Namanya sebenarnya mudah diingat, Jan Koum. Imigran asal Ukraina ini relatif jarang dikenal oleh orang awam. Padahal, hampir semua manusia penghuni planet ini telah menikmati jasanya. Aplikasi WA-- yang diciptakan oleh WhatsApp Inc di kota San Jose California yang didirikannya pada 24 Februari 2009 itu--kini memang telah menjelma  jadi layanan pesan instan terbesar. Aplikasi ini manjadi layanan messaging gratis yang paling digemari. Sebelumnya, satu-satunya layanan messaging gratis lain yang tersedia adalah Black Berry Messenger. Namun, aplikasi ini hanya bisa digunakan di ponsel BlackBerry. Google G-Talk dan Skype juga ada, tetapi WA menawarkan keunikan tersendiri. Mekanisme login dilakukan melalui nomor ponsel pengguna. Kelebihan WA lain adalah karena penggunya ketika mengoperasikan aplikasi ini sama sekali tidak diribeti oleh iklan di dalamnya.  Hal ini tentu tidak lepas dari latar belakang Koum yang berasal dari mantan negeri Uni Sovyet. Di negeri “tirai besi” ini memang tidak pernah ada iklan. Dari sisi privacy WA juga relatif aman. Ketika diciptakan oleh penciptanya sudah diantisipasi kemungkinan penyadapan oleh NSA. Koum mengatakan, bahwa privasi pengguna WA sangat dijaga.
 Terlepas dari adanya kelebihan dan mungkin kekurangan yang dimiliki, kini WA sudah menjadi industri yang sangat menjanjikan. Menurut salah satu sumber (Kompas.com) kini WA telah memiliki  jumlah pengguna aktif  perbulan mencapai 450 juta. Setiap hari, sebanyak 18 miliar pesan dikirim melalui jaringannya. Semua itu ditangani dengan jumlah karyawan hanya 50 orang. Kini WA--  yang telah dibeli Facebook dengan nilai 19 miliar dollar AS (sekitar Rp 223 miliar) itu--telah menjadikan Koum memiliki  kekayaan 45 persen saham WA diperkirakan melonjak jadi 6,8 miliar dollar AS.  
Kekuasaan WA di jagad medsos sebagai yang kita kenal saat ini sebenarnya sangat kontras dengan sejarah penemunya. Tahun 1992, Jan Koum yang masih berusia 16 tahun tiba di Mountain View, Amerika Serikat. Didampingi oleh ibunya, Koum merupakan imigran yang memutuskan hijrah dari Kiev, Ukraina, dengan mimpi meraih kehidupan yang lebih baik. Di AS, mereka mengalami masa-masa sulit. Keluarga Koum tinggal di apartemen kecil dengan dua kamar tidur hasil bantuan pemerintah. Mereka terpaksa bergantung pada jaminan sosial dan mengantre kupon makanan karena tak punya uang. Koum pun bekerja sebagai tukang sapu di sebuah toko untuk memenuhi kebutuhan hidup, sementara ibunya mengambil profesi baru sebagai baby sitter.  Ayah Koum tak ikut bermigrasi. Pria yang bekerja di sektor konstruksi ini memilih untuk tetap tinggal di Ukraina. Begitu terpisah, Koum mengaku tidak bisa sering-sering menghubungi sang ayah karena mahalnya biaya telepon. Diapun sering berandai-andai bagaimana bisa menghubungi ayahnya dengan berkirim pesan yang  saat itu jauh berada di banua lain, Eropa.
Dinginnya alam di daerah asal Koum memang berbanding 180 derajat dengan kenyataan kehidupan masa kecilnya. Suasana kehidupan harus dijalani dengan sangat keras dan panas. Bayangkan, dia harus sering keluar berlari menyeberangi lapangan pada suhu minus 20 derajat celsius, sekedar untuk ke kamar kecil.  Sesampainya di rumah, Koum kecil juga terpaksa bergelap-gelap karena tidak ada sambungan listrik ataupun air panas. Itulah yang membuat Koum remaja berhijrah ke negeri musuh bebuyutan negerinya, Amerika. Sebuah negeri yang menjanjikan harapan manusia dari berbagai belahan dunia karena sering menjanjikan kebebasan. Keuletan dan ketangguhan mental yang ditempa oleh kondisi negeri asal membuatnya menjadi orang yang tangguh dan tidak mudah menyerah secara fisik dan mental. Sekalipun di negeri barunya prestasi studinya buruk, sebagaimana yang diakuinya sendiri, tetapi tidak membuatnya menyerah walaupun harus droup out dari kuliah ilmu komputer dan matematika. Koum sempat hidup sebatang kara setelah ibunya meninggal pada tahun 2000 dan sang ayah yang telah lebih dulu meninggal pada 1997.
            Terlepas dari duka cita masa lalu dan suka cita keberhasilan Koum saat ini, banyak manusia, termasuk kita, telah merasakan manfaat WA di berbagai bidang kehidupan pada keseharian kita. Seseorang  dapat mengirim pesan dan menjalin komunikasi dengan keluarga dan handai tolan yang jauh. Tidak hanya pesan teks tetapi juga gambar bahkan filem. Tidak hanya saudara dan teman dalam negeri tetapi bahkan  lintas negara. Di dunia pendidikan berkat WA dapat mengurangi salah satu pengeluaran, seperti seorang mahasiswa S-3 bisa konsultasi mengenai konsep disertasinya kepada promotornya degan jarak jauh via WA. Dari sisi ekonomi WA juga dapat dijadikan ajang promosi produk kepada teman. Konferensi jarak jauh kini juga bukan peristiwa elit seperti dulu. Kita dapat melakukannya sekalipun hanya sekedar ‘guyonan’ sambil minum kopi dengan beberapa teman.
            Akan tetapi sadarkah kita, bahwa akibat bermedsos ria ini berbagai dampai negatif juga mulai bermunculan. Bayak sedikitnya, parah tidaknya dampak negatif itu bagi kita kadarnya memang bisa berbeda-beda. Euforia bermedsos ria sering membuat kita sering tersandra sehingga banyak kehilangan waktu berharga kita. Pelajar sering malas belajar akibat kecanduan medsos. Kecelakaan di jalan raya relatif sering terjadi karena pengendara harus membaca pesan-pesan masuk di HP saat berkendara. Diakui atau tidak di antara kita juga sering tidur larut malam karena harus membaca dan membalas pesan dari teman baik secara pribadi atau teman yang tergabung dalam berbagai grup ( grup teman alumni, grup teman kantor, grup keluarga, dan sejumlah grup-grup lain yang terhitung jumlahnya ).
Karena WA seseorang juga harus berurusan hukum. Bagaimana narasinya? Seseorang berkirim pesan berbau ujaran kebencian atau SARA. Pesan ini  lalu dishare oleh pengguna WA lain. Pesan  ‘seksi’ yang semula dikirim ke teman dekat itupun akhirnya menjadi viral karena sudah tersebar di jagad maya via medsos. Karena bersinggungan dengan hukum, pesan itupun akhirnya oleh orang yang tidak suka diadukan ke polisi. Perlu diingat, bahwa untuk menemukan siapa pembuat pesan ‘haram’ itu polisi telah memiliki alat sangat canggih. Konon kecanggihan alat yang dimiliki polri bidang cyber crime ini terbaik se-Asia. Dengan alat ini polisi akan dengan mudah melacak, memukan dan kemudian menangkap pelaku kejahatan  seseorang di dunia maya. Akhirnya, memang bisa sangat tragis. Karena WA seseorang bisa harus beristirahat di hotel prodeo ( baca : penjara). Sebagai hakimpun penulis sempat terperangah ketika ada seorang suami menunjukkan pesan WA istrinya yang sempat dicurinya. Rupanya pesan itu tidak hanya berisi kata-kata mesra dengan laki-laki lain idamannya. Akan tetapi, juga perjanjian kencan dengan pria idaman lain tadi saat suami berangkat ke tempat kerja. Rumah tanggapun harus kandas karena WA. Beberapa ilurtrasi tersebut hanyalah sekelumit contoh. Sejumlah dampak negatif medsos, khususnya WA tentu tentu masih sangat banyak.
Akhirnya, kita patut bertanya, apakah dampak positif (manfaat) dan dampak negatif (mafsadat ) WA bagi kita. Pertanyaan ini  penting untuk  kita ajukan dengan maksud agar kita tidak terlalu larut dengan barbagai kemudahan yang diakibatkan oleh kemajuan teknologi tanpa menyadari bagaimana seharusnya menyikapi kehadiran teknologi. Tujuannya, agar teknologi itu kita kendalikan, bukan kita yang dikendalikan teknologi. Kita tetap harus ingat jargon “man behind the gun”. Jargon ini mengandung pesan, antara lain, bahwa apapun hasil kemajuan teknologi memang mendatangkan manfaat bagi kehidupan manusia. Akan tetapi, jika jatuh ke orang yang salah akan dapat mendatangkan keburukan. Tidak saja kepada orang lain, tetapi bahkan juga kepada diri sendiri. Ketika pertama John Dalton (1766-1844) menemukan atom mungkin belum terlintas jika kemudian pada abad ke-20  Robert Oppenheimer (AS) membuat bom dahsyat bernama “atomic bomb” yang menyebabkan luluh lantaknya 2 kota di Jepang, Nagasaki dan Hiroshima tahun 1945. Demikian juga nuklir. Di samping sebagai sumber energi yang bermanfaat bagi kemanusian, seperti pembangkit listrik ternyata belakangan dapat dijadikan senjata pemusnah masal. Jadi bagi keseharian kita keberadaan WA itu sejatinya juga tergantung kita. Atau, meminjam istilah Raja Dandut Rhoma Irama dalam salah satu lirik lagunya : “Semua Terserah Kita”. Mau kita gunakan kebaikan atau keburukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar