Kamis, 02 Maret 2017

MEREDAM ANGIN SEBELUM MENJADI BADAI (Upaya Mencari Penyelesian atas Kemelut Hasil Muscab NU Banyuwangi )




Oleh : H. ASMU’I SYARKOWI
Acara pelantikan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama ( PCNU ) Banyuwangi boleh dibilang cukup sukses. Kesuksesan itu setidaknya dilihat dari 3 hal. Pertama, dari segi undangan yang hadir. Acara itu tidak hanya dihadiri oleh masyarakat aktivis NU Banyauwangi, tetapi juga di hadiri ‘aktivis’ NU lintas Banyuwangi, atau sebut saja kehadiran Bupati Kutai Timur. Terlepas dari apa motivasinya, kesediaan hadir pada even level kabupaten untuk orang sekelas Bupati kaya ini tentu merupakan kehormatan tersendiri bagi warga nahdliyyin Banyuwangi. Kedua, dari segi kehadiran elite organisasi. Pelantikan ini juga dihadiri tidak saja oleh pengurus wilayah tetapi juga orang nomor wahid di tubuh organisasi ormas terbesar di tanah air ini. Di setiap kegiatan organisasi kehadiran pengurus yang secara struktural lebih tinggi, apalagi oleh orang pertama dalam organisasi, merupakan bagian dari keberhasilan  sebuah even kegiatan organisasi. Dan, ketiga, tingkat partisipasi masyarakat. Sejak pagi masyarakat sangat antusias mengikuti acara. Padahal, mereka tidak memperolah undangan resmi. Apabila mereka ditanya secara acak siapa yang menyuruh mereka datang ke acara ini, mereka rata-rata pasti akan menjawab, bahwa mereka datang karena ada pengumuman di majelis taklim dan pengumuman sebelum solat Jum’at. Mereka datang tanpa ada yang mengerahkan dan membiayai seperti  pada even kegiatan parpol.
Akan tetapi, di balik semarak acara ini ada sesuatu yang ironis. Pasalnya ada sejumlah Kyai dan beberapa warga NU yang membuat acara bersamaan. Tidak tanggung-tanggung diadakan di Banyuwangi. Acara sekelompok Kyai ini menjadi ironis kerana 2 hal.
Pertama, acara tersebut, tidak hanya dilaksanakan di pusat ibu kota kabupaten yang menjadi pusat pemerintahan pemerintah kabupaten tetapi juga pusat pemerintahan PCNU Banyuwangi.  Padahal, para pengurus terasnya sedang punya hajat tertinggi yaitu pelantikan pengurus organasisi yang juga dihadiri pengurus pusat.
Kedua, acara tersebut secara tidak langsung sebagai acara tandingan sekaligus bentuk pembangkangan. Sikap yang sangat tabu bagi organisasi para kyai ini. Sikap mereka juga menyimpang dari tradisi NU selama ini, yaitu yang biasa mengedepankan islah  ketimbang  pecah. Mbah Muchit Muzadi sering menggambarkan tradisi para pengurus NU ini, bahwa sekalipun para Kyai itu waktu musyawarah biasa gegeran ( bersitegang ) tetapi akhirnya pasti ger-geran ( saling guyonan ). Akan tetapi kali ini di Banyuwangi yang terjadi benar-benar lain. Tidak berakhir dengan ger-geran ( guyonan ). Tetapi, persitegangan muscab terus berlangsung sampai pelantikan. Masalah yang menjadi penyebab konon sirius, yaitu ada kasus risywah ( suap ) pada acara Muscab yang melahirkan kepengurusan sekarang.
Akan tetapi, lepas dari pro dan kontra realitas tersebut para elite NU ada baiknya introspeksi. Kebenaran tudingan yang kontra hasil muscab perlu segera diselesaikan. Penyelesaian tersebut memang bisa melaui jalur hukum dan bisa pula melalui jalur kultural versi NU sendiri. Penyelesaian melaui jalur hukum, misalnya pihak yang selama ini menuding adanya dugaan suap secara jantan melaporkan ke Polisi dan pihak yang dilaporkan jika merasa ada unsur pemcemaran nama baik, juga bisa melaporkan balik ke Polisi. Sedangkan penyelesaian melaui jalur kuktural versi NU sendiri adalah kesediaan para elite Kyai untuk mau duduk bersama lagi membicarakan hal itu dengan sama-sama beritikad baik untuk mencari penyelesaian terbaik pula dengan mediator pengurus wilayah atau bahkan pengurus besar.  Cara pertama memang akan memberi kepastian. Akan tetapi, di samping akan memakan waktu lama,  para Kiyai yang terlibat di pusaran konflik tersebut pasti akan membayar mahal. Mereka akan dipandang sebagai kyai yang tidak punya integritas sebagai Kyai NU yang disegani lagi. Atau, bahkan akan ditinggalkan umatnya. Di mata umatnya para kyai tersbut akan dipandang sebagai Kyai yang rebutan pangkat dan jabatan. Padahal, rebutan pangkat dan jabatan dalam tradisi NU adalah suatu yang sangat tabu. Tabu karena pangkat dan jabatan adalah amanat  Allah dan bukan kenikmatan dan anugerah. Oleh karena, itu mungkin penyelesaian kedua lebih tepat. Tradisi musyawarah mufakat yang merupakan ciri berorganisasi para Kyai ini, di samping martabat Kyai tetap  terjaga, perselisihan itu juga tidak terlihat lebih jauh oleh umatnya sendiri apalagi oleh umat lain.
Terlepas akan dipilih cara yang mana, semua pihak harus sama-sama sepakat, bahwa persatuan dan kesatuan harus tetap di atas segala-galanya. Kalau tidak apa artinya sebagai orang NU yang dari awalnya telah berkomitmen tidak saja menjaga persatuan umat  tetapi persatuan dunia seperti tertera dalam lambang NU. Wallu a’lam.

1 komentar:

  1. ini tulisan agak lama. Ditulis segera setalah ada konflik kecil di kalangan elite NU pasca Muscab

    BalasHapus