Seorang guru
mengeluhkan hasil ujian nasional (UN). “Mengapa
jadi begini?”, katanya. Dia tampaknya bingung melihat nilai hasil ujian para
siswanya. Kebingungannya timbul ketika melihat nilai ujian para siswa yang
kacau. Yang sehari-hari pandai memperolah nilai UN rendah, tetapi yang
biasa-biasa atau bahkan yang bodoh memperoleh nilai UN lebih tinggi.
Misalnya, yang sehari-hari pintar
mate-metika, pada UN memeperoleh nilai
6 sedangkan yang bodoh malah memperoleh nilai 9 bahkan ada yang memperolah nilai 10 (
sempurna ). Kegalauan sang guru tersebut tempaknya dirasakan oleh banyak guru
lainnya di hampir semua sekolah. Ironisnya, secara institusi sekolah seperti
tidak punya beban moral. Kepentingan pragmatis guna kepentingan-kepentingan
jangka pendek mengalahkan beban moral. Yang penting sekolah kami lulus 100
persen dan mendapat pujian masyarakat. Masyarakat tampaknya juga tidak peduli.
Penilaian grade sekolah dengan predikat sekolah favorit hanya diukur dari baik
tidaknya hasil UN yang diperoleh sekolah.
Memang ada sebagaian pimpinan sekolah
tertentu yang melarang siswa dengan perolehan nilai UN tinggi untuk masuk di
sekolah favorit. Alasannya, karena siswa tersebut sehari-hari berkualitas
rendah. Sekolah akan malu jika kuantitas hasil nilai UN tidak sebanding dengan
kualitas senyatanya. Tampaknya, pihak
sekolah takut jika divonis sebagai sekolah
yang culas. Dulu malah sering kita dengar anak yang secara akademis sudah
diterima di Perguruan Tinggi Negeri tertentu, ketika UN malah tidak lulus.
Lalu, apa yang salah tentang
UN?. Tentunya tulisan ini tidak hendak berpolemik mengenai purlu atau tidaknya
UN dipertahankan. Penulis masih sepakat dengan pendapat salah seorang pakar
pendidikan kita, Prof.Dr. Arif Rahman, dipertahankan nya pelaksanaan UN
sebenarnya ada hal-hal strategis bagi eksistensi negara, yaitu untuk menyatukan
kekuatan murid dan guru serta insan yang terlibat dalam dunia pendidikaan dalam
suasana NKRI yang menegakkan kebersamaan dan kedaulatan RI. Secara filosofis
dan akademis, menurutnya memang tidak ada jenjang pendidikan yang tidak
diselesaikan dengan evaluasi. Jadi, adanya evaluasi pendidikan yang berskala
nasional, menurutnya sangat urgen.
Kita semua tahu, UN
sudah berlalu. Puas atau tidak puas hasil UN harus diterima, tidak hanya oleh
pihak sekolah tetapi yang paling merasakan adakah para anak didik. Setelah
mengikuti UN ada tahapan berikut yang tidak kalah pentingnya yaitu, mencari
sekolah berikutnya. Atau, bagi yang telah lulus SLTA mencari Perguruan Tinggi
(PT) tempat studi berikutnya.
Tak pelak, setelah UN ini sejumlah
sekolah favorit menjadi sasaran serbuan
para calon siswa baru. Sejumlah sekolah favorit
tampaknya mensyaratkan nilai UN yang cukup tinggi. Anak-anak yang kurang
beruntung dengan perolehan nilai UN rendah seperti merasa pupus harapan untuk
dapat bersekolah favorit. Pada saat yang sama yang memperoleh UN tinggipun juga
merasa tidak “ pede” untuk bersekolah
favorit tersebut. Akibatnya, sejumlah sekolah tertentu berusaha dengan segala
cara agar para siswanya memperoleh nilai UN yang disyaratkan sekolah favorit
tersebut.
Gambaran seperti itu
mestinya sudah cukup memberikan pelajaran bagi sekolah-sekolah favorit untuk
tidak lagi mempercayai hasil UN. Dengan kalimat lain, pembuatan patokan standar
nilai UN tertentu, pada seleksi administrasi, menurut hemat penulis tidak lagi
urgen. Kalau hal ini dipaksakan, jika melihat cara perolehan nilai UN selama
ini, jelas sangat tidak realistis.
Sebagai gantinya, menurut hemat penulis,
di samping dilakukan seleksi tertulis, sekolah perlu meminta rekomendasi
sekolah asal. Isi rekomendasi ini pada intinya pihak sekolah menginformasikan
kepada sekolah favorit tujuan, bahwa
anak-anak yang bersangkutan dianggap mampu
mengikuti program pendidikan di sekolah tujuan. Dasar pemikirannya adalah,
karena sekolah dianggap paling tahu kondisi sebenarnya anak yang bersangkutan.
Bagaimana jika sekolah
membuat rekomendasi tersebut berbohong? Misalnya, anak yang diberi rekomenndasi
ternyata tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan oleh sekolah favorit
tujuan? Apabila ternyata sekolahpun berbohong dengan rekomendasi yang
dikeluarkan harus diberi sanksi. Sanksinya, dapat diterapkan semacam vonis.
Misalnya, sekolah yang bersangkutan dimasukkan daftar hitam dan kepada yang
sudah terlanjur diterima, kalau memang tidak layak, dapat dipindahkan ke
sekolah lain dengan grade di bawahnya.
Dua sanksi ini kiranya merupakan bentuk sanksi moral yang akan membuat sekolah
tidak jujur memberikan rekomnedasi. Karena di samping membuat malu juga membuat
tingkat kepercayaan sekolah tersebut di mata masyarakat hilang. Bagi sekolah,
hilangnya kepercayaan masyarakat adalah merupakan sanksi terberat.
Akhirnya,
penulis mengucapkan selamat kepada para siswa yang dapat diterima di sekolah
favorit dan berharap kepada siswa yang belum beruntung untuk tidak kecil hati.
Kegagalan masuk sekolah favorit tidak identik dengan kegagalan masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar