Rabu, 02 Juli 2014

MANAKAH YANG URGEN, Nilai UN atau Rekomendasi Sekolah?



Seorang guru mengeluhkan hasil ujian nasional (UN). “Mengapa jadi begini?”, katanya. Dia tampaknya bingung melihat nilai hasil ujian para siswanya. Kebingungannya timbul ketika melihat nilai ujian para siswa yang kacau. Yang sehari-hari pandai  memperolah nilai UN rendah, tetapi yang biasa-biasa atau bahkan yang bodoh memperoleh nilai UN lebih tinggi. Misalnya,  yang sehari-hari pintar mate-metika,  pada UN memeperoleh nilai 6  sedangkan yang bodoh malah memperoleh  nilai 9 bahkan ada yang memperolah nilai 10 ( sempurna ). Kegalauan sang guru tersebut tempaknya dirasakan oleh banyak guru lainnya di hampir semua sekolah. Ironisnya, secara institusi sekolah seperti tidak punya beban moral. Kepentingan pragmatis guna kepentingan-kepentingan jangka pendek mengalahkan beban moral. Yang penting sekolah kami lulus 100 persen dan mendapat pujian masyarakat. Masyarakat tampaknya juga tidak peduli. Penilaian grade sekolah dengan predikat sekolah favorit hanya diukur dari baik tidaknya hasil UN yang diperoleh sekolah.
Memang ada sebagaian pimpinan sekolah tertentu yang melarang siswa dengan perolehan nilai UN tinggi untuk masuk di sekolah favorit. Alasannya, karena siswa tersebut sehari-hari berkualitas rendah. Sekolah akan malu jika kuantitas hasil nilai UN tidak sebanding dengan kualitas senyatanya.  Tampaknya, pihak sekolah  takut jika divonis sebagai sekolah yang culas. Dulu malah sering kita dengar anak yang secara akademis sudah diterima di Perguruan Tinggi Negeri tertentu, ketika UN malah tidak lulus.
Lalu, apa yang salah tentang UN?. Tentunya tulisan ini tidak hendak berpolemik mengenai purlu atau tidaknya UN dipertahankan. Penulis masih sepakat dengan pendapat salah seorang pakar pendidikan kita, Prof.Dr. Arif Rahman, dipertahankan nya pelaksanaan UN sebenarnya ada hal-hal strategis bagi eksistensi negara, yaitu untuk menyatukan kekuatan murid dan guru serta insan yang terlibat dalam dunia pendidikaan dalam suasana NKRI yang menegakkan kebersamaan dan kedaulatan RI. Secara filosofis dan akademis, menurutnya memang tidak ada jenjang pendidikan yang tidak diselesaikan dengan evaluasi. Jadi, adanya evaluasi pendidikan yang berskala nasional, menurutnya sangat urgen.
Kita semua tahu, UN sudah berlalu. Puas atau tidak puas hasil UN harus diterima, tidak hanya oleh pihak sekolah tetapi yang paling merasakan adakah para anak didik. Setelah mengikuti UN ada tahapan berikut yang tidak kalah pentingnya yaitu, mencari sekolah berikutnya. Atau, bagi yang telah lulus SLTA mencari Perguruan Tinggi (PT) tempat studi berikutnya.
Tak pelak, setelah UN ini sejumlah sekolah  favorit menjadi sasaran serbuan para calon siswa baru. Sejumlah sekolah favorit  tampaknya mensyaratkan nilai UN yang cukup tinggi. Anak-anak yang kurang beruntung dengan perolehan nilai UN rendah seperti merasa pupus harapan untuk dapat bersekolah favorit. Pada saat yang sama yang memperoleh UN tinggipun juga merasa tidak “ pede” untuk bersekolah favorit tersebut. Akibatnya, sejumlah sekolah tertentu berusaha dengan segala cara agar para siswanya memperoleh nilai UN yang disyaratkan sekolah favorit tersebut.
Gambaran seperti itu mestinya sudah cukup memberikan pelajaran bagi sekolah-sekolah favorit untuk tidak lagi mempercayai hasil UN. Dengan kalimat lain, pembuatan patokan standar nilai UN tertentu, pada seleksi administrasi, menurut hemat penulis tidak lagi urgen. Kalau hal ini dipaksakan, jika melihat cara perolehan nilai UN selama ini, jelas sangat tidak realistis.
Sebagai gantinya, menurut hemat penulis, di samping dilakukan seleksi tertulis, sekolah perlu meminta rekomendasi sekolah asal. Isi rekomendasi ini pada intinya pihak sekolah menginformasikan kepada sekolah favorit  tujuan, bahwa anak-anak yang bersangkutan  dianggap mampu mengikuti program pendidikan di sekolah tujuan. Dasar pemikirannya adalah, karena sekolah dianggap paling tahu kondisi sebenarnya anak yang bersangkutan.
Bagaimana jika sekolah membuat rekomendasi tersebut berbohong? Misalnya, anak yang diberi rekomenndasi ternyata tidak memiliki kualifikasi yang diperlukan oleh sekolah favorit tujuan? Apabila ternyata sekolahpun berbohong dengan rekomendasi yang dikeluarkan harus diberi sanksi. Sanksinya, dapat diterapkan semacam vonis. Misalnya, sekolah yang bersangkutan dimasukkan daftar hitam dan kepada yang sudah terlanjur diterima, kalau memang tidak layak, dapat dipindahkan ke sekolah lain dengan grade di bawahnya. Dua sanksi ini kiranya merupakan bentuk sanksi moral yang akan membuat sekolah tidak jujur memberikan rekomnedasi. Karena di samping membuat malu juga membuat tingkat kepercayaan sekolah tersebut di mata masyarakat hilang. Bagi sekolah, hilangnya kepercayaan masyarakat adalah merupakan sanksi terberat.
Akhirnya, penulis mengucapkan selamat kepada para siswa yang dapat diterima di sekolah favorit dan berharap kepada siswa yang belum beruntung untuk tidak kecil hati. Kegagalan masuk sekolah favorit tidak identik dengan kegagalan masa depan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar