Jumat, 14 Juni 2013

SAMPAH DAN KEBIASAAN BURUK KITA ( Upaya Mempertahankan Adipura )

(Drs.H. Asmu’i Syarkowi, M.H.)

Keberhasilan demi keberhasilan telah diraih oleh Pemerintah Kabupaten Banyuwangi. nKeberhasilan terakhir ini tentu sangat menarik. Yaitu, ketika kota di ujung Timur Pulai Jawa ini kembali meraih Adipura yang akan diserahkan langsung oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta. Mengapa demikian? Sebab, penghargaan ini diterima hanya berselang sekitar 2 tahun Banyuwangi masuk dalam kategori kota kumuh--tidak hanya untuk Jawa, apalagi Jawa Timur tetapi—di Indonesia. Penghargaan itu seolah juga seperti menemukan kembali sesuatu yang hilang setelah kurang lebih 10 tahun piala supremasi kebersihan itu hilang. Mengapresiasi penghargaan ini dengan rendah hati Bupati Anas mengatakan, bahwa penghargaan itu pada hakekatnya adalah bukan untuk Bupati tetapi untuk seluruh rakyat Banyuwangi. Dengan kata lain Bupati ingin mengatakan bahwa torehan prestasi sekaligus tanggung jawab mempertahankan pada akhirnya berpulang kepada cara pembudayaan kita terhadap kebersihan. Oleh karena itu di tengah euphoria keberhasilan itu, ada satu masalah yang agaknya perlu tetap kita soroti sebagai antisipasi ke depan, yaitu masalah sampah.
Kita tidak ingin daerah kita banjir. Kita tidak ingin daerah kita kumuh. Kita tidak ingin daerah kita digenangi air. Sebaliknya, kita ingin lingkungan kita tetap bersih sehingga tetap nyaman kita tinggali. Tetapi tahukah ketiga hal yang tidak kita sukai tersebut salah satunya terjadi karena andil kita. Apakah itu?. Yaitu,  kesadaran kita terhadap pengelolaan sampah masih kurang. Di sekitar kita masih banyak orang yang membuang sampah sembarangan, meskipun sudah disediakan tempatnya. Kita juga masih belum terbiasa memilah sampah, mana sampah yang bisa diurai oleh bakteri dan mana yang tidak. Ketika kita berangkat kerja ke kantor, kita masih sering menyaksikan seseorang menenteng bungkusan kantong plastik yang ternyata sampah dan melemparkannya di sungai yang dilewati. Ketika kita di kantor, kita menyaksikan teman kerja yang membuang puntung rokok di sela-sela meja komputer ruang kerja. Ketika kita berada dalam kendaraan umum atau mobil pribadi dan kebetulan minum air mineral atau minuman kaleng lainnya, kita juga masih suka melempar botolnya di jalan dari jendela kaca mobil. Ketika kita dalam kapal laut kita masih suka membuang limbah apapun dalam laut.
Kita sadari atau tidak fenomena tersebut merupakan kebiasaan buruk yang sampai saat ini masih belum bisa kita hilangkan. Oleh karena kebiasaan tersebut hampir terjadi di setiap lini kehidupan kita dan terjadi di hampir di seluruh wilayah negara kita, maka tidak heran jika ada yang mengatakan bahwa kita memang masuk kategori bangsa yang jorok. Oleh karena tidak terbiasa, kitapun akhirnya heran jika ada suatu negara ( baca : Singapura ) yang memberikan denda tinggi kepada orang yang membuang sampah di dalam angkutan umum secara sembarangan sekalipun hanya sepuntung rokok.
Fenomena tersebut sekaligus juga paradoks dengan klaim kita sendiri. Kita sering mengklaim, bahwa kita adalah bangsa yang beradab, kita bangsa yang religius, kita bangsa yang santun. Tetapi dalam hal sampah, kenyataannya kita belum beradab, kita belum religius, dan kita juga belum santun. Bagaimana bisa dikatakan beradab jika kita melempar begitu saja botol dan limbah plastik minuman di jalan-jalan, di laut atau di sungai. Sementara di sana ada manusia atau makhluq lain yang terganggu dengan ulah kita tadi. Bagaimana kita dikatakan sebagai bangsa yang religius, kalau lingkungan kita masih belum dapat memandang bahwa kebersihan sebagian dari iman. Bagaimana kita bisa disebut sebagai bangsa yang santun, kalau kita masih suka melempar sampah di sembarang tempat dengan tanpa rasa malu. Fonomena sampah ini juga diperparah oleh adanya kenyataan, bahwa Negara juga belum punya konsep yang jelas  dan tegas mengenai sampah. Teknologi tapat guna mengenai sampah juga belum menjadi program penting. Sementara gangguan sampah secara pelan tapi pasti terus meningkat.
Kiranya hal-hal tersebut perlu terus dicermati, jika tidak ingin Adipura yang kita raih ini lenyap lagi yang berarti Banyuwangi kembali menjadi kota kumuh yang tidak lagi nyaman dihuni oleh rakyatnya sendiri.
Juni 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar