Rabu, 06 Juni 2012
Perceraian dan Akibatnya Terhadap Anak
Membina rumah tangga yang bahagia menjadi dambaan setiap manusia. Harapan ini dimulai sejak ketika mau memilih pasangan. Seorang pria membuat sejumlah kreteria tentang calon pasangan hidupnya, demikian juga seorang wanita. Seorang pria misalnya membuat criteria calon pendampingnya yaitu memilih wanita yang di samping cantik ( menarik ) harus lemah lembut, cerdas, tidak suka keluyuran. Seorang wanita misalnya, membuat criteria seorang calonnya yang di samping tampan haruslah bertanggung jawab, setia, ngayomi, punya penghasilan tetap. Masing-masing orang tentu bisa berbeda tentang criteria yang diajukan, akan tetapi semua dengan satu tujuan yaitu rumah tangga yang akan dibentuk nanti bisa bahagia, kaken-kaken, ninen-ninen, dan mimi lan mintuno.
Namun apakah semua idaman setiap orang itu bisa terwujud? Jelas, tidak. Faktanya banyak keluarga yang gagal di tengah jalan. Banyak pasangan yang bercerai, sekalipun perceraian itu tidak pernah ia rencanakan sebelumnya. Kita tidak menyangka, gemerlap pesta perkawinan yang dibuat oleh dua keluarga besar suami istri akhirnya tidak cukup mampu membendung keinginan kedua insan bernama suami istri itu bercerai. Biaya yang mahal yang dikeluarkan sekedar menghelat pesta pernikahan, banyaknya tamu terhormat yang harus dihadirkan waktu resepsi, dan segenap jerih payah memilih dan mempersiapkan calon pasangan seolah tidak cukup ampuh untuk menghapus keinginan menghakhiri perkawinan. Rumah tangga yang sampai tahap ini biasanya sudah sampai kepada situasi sangat darurat.
Kebaikan apapun yang pernah dibuat atau janji apapun yang akan diucapkan tidak akan mampu menggoyahkan niat bercerai. Akhirnya Pengadilan Agama menjadi kantor pilihan pertama untuk melegalkan perceraian itu.
Di balik upaya perceraian itu ada satu hal yang sering dilupakan oleh salah satu pihak atau bahkan kedua-duanya, yaitu masalah anak-anak yang dilahirkan akibat perkawinan mereka. Kebanyakan suami atau istri tidak peduli atau tidak berpikir panjang akibat perceraian yang ditempuh bagi anak-anaknya. Atau, mungkin mereka sudah mempertimbangkannya akan tetapi karena perceraian dipandang lebih darurat maka perceraianlah yang dipilih.” Toh, anak tetaplah anak”. ( bersambung )
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar