Rabu, 21 Oktober 2009

Di Balik Tingginya Angka Perceraian di PA Jember

Oleh : Asmu’i Syarkowi
Jumlah kasus perceraian di Pengadilan Agama ( PA ) Jember cukup tinggi. Setidaknya, apabila kita bandingkan dengan kasus serupa di kabupaten yang ada di Jawa Timur. Sesuai dengan data statistic tahun 2008 jumlah kasus percereaian di PA Jember berjumlah 4.331 perkara. Secara nasional, ternyata jumlah tersebut menempati urutan ketiga setelah Kabupaten Indramayu dan Banyuwangi. Dari tahun ke tahun ada kecenderungan jumlah kasus tersebut cenderung meningkat. Coba perhatikan, pada tahun 2005 jumlah kasus perceraian yang masuk di PA Jember berjumlah 2.899 kasus. Pada tahun 2006 berjumlah 3.072 kasus. Pada tahun 2007 berjumlah 3.247 kasus. Dan, pada tahun 2008 meningkat menjadi 4.331 kasus .
Fenomena tersebut tentu saja ironis. Mengapa ? Sebab setiap muslim pasti tahu, bahwa perkara halal yang paling di benci oleh Allah adalah perceraian. Kalimat tersebut adalah penggalan pernyataan Nabi Muhammad SAW dalam salah satu haditsnya. Hadits tersebut mengandung maksud antara lain, bahwa seorang yang telah menikah agar tetap mengusahakan tetap menjaga keutuhan rumah tangganya. Sebagai alasan, di samping karena lembaga perkawinan merupakan sesuatu perjanjian yang berdimensi ketuhanan (baca : sakral ), juga disebabkan oleh kompleksnya dampak dari suatu perceraian. Dampak negatif perceraian tidak hanya membuat goncaangan jiwa bagi pelaku, tetapi juga bagi anak-anak. Banyak peneletian menunjukkan bahwa maraknya anak-anak yang menjadi masalah sosial, seperti suka tawuran antar pelajar, pergaulan bebas, atau kini bahkan menjadi korban keganasan psikotropika, antara lain, disebabkan karena perceraian kedua orang tuanya (broken marriage ). Dalam contoh lain, kita dapat memberikan ilustrasi. Seorang suami istri bercerai dengan 4 orang anak yang masih kecil-kecil. Mantan suami tersebut lantas tidak mempedulikan keempat anaknya. Tinggallah mantan istri ( janda tersebut ) harus merawat membesarkan keempat anaknya. Sanak keluarganya juga tidak dapat berbuat banyak karena mereka sendiri juga harus bergulat menghadapi hidup yang serba sulit ini. Pada situasi demikian, apa yang akan dilakukan si janda tersebut? Pikiran untuk segera mendapatkan uang yang cukup dan dalam waktu cepat pastilah selalu menyelimuti dirinya. Selanjutnya kita dapat menebak. Si janda tersebut ada yang bersabar dan ada yang tidak bersabar. Bagi yang bersabar mungkin masih dapat terjaga dari perilaku negative. Akan tetapi, bagi yang tidak dapat bersabar ke mana lagi akan bebrbuat. Beberapa perikaku yang boleh dibilang nekat biasanya akan dilakoninya. Ketika kebutuhan mendasar seorang ibu dan anak-anaknya terus mendesak, sekalipun dulu dapat bersabar, pada akhirnya sipapun akan berbuat nekat juga. Sabar ada batasnya, kalimat ini pada kenyataannya sangat pas untuk mereka. Terjerumusnya janda menjadi wanita susila ( WTS ), menjadi korban kekerasan akibat menjadi TKW, isu perdagangan perempuan, adalah beberapa contoh kisah pilu akibat tekanan hidup yang sebagiannya disebabkan oleh kehancuran mahligai rumah tangga. Satu hal lagi, disadari atau tidak pihak perempuan adalah yang banyak menanggung risiko akibat terjadinya perceraian.
Menyadari dampak perceraian yang demikian, itulah kenapa Negara perlu mengaturnya. Tujuannya agar seseorang tidak serta merta melakukan perceraian. Kepedulian negara tersebut diwujudkan dengan menerbitkan sejumlah peraturan perundang-undangan, seperti UU nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Dalam peraturan-peraturan perundangan tersebut antara lain diatur : seseorang yang ingin bercarai haruslah mempunyai alasan-alasan, yaitu : a. salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. salah satu pihak meninggalkan pihak lain dan tanpa alasan yanag sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; c. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat dapat menjalankan kewajiban sebagai suami istri; f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.
Para praktisi hukum pada umumnya berpendapat, bahwa Pasal 19 huruf f tersebut merupakan ketentuan keranjang sampah. Artinya, keempat alasan sebelumnya baru akan ditempuh oleh seseorang yang akan bercerai ketika pada rumah tangganya telah terjadi seperti yang tergambar dalam Pasal 19 huruf ( f ) tersebut. Yaitu, berakibat perselisihan dan pertengkaran terus menerus yang tidak dapat diharapkan akan rukun lagi.
Di sinilah peran Pengadilan Agama. Sebagai salah satu peradilan negara--yang sebenarnya tidak hanya mempunyai kewenangan mengurus perceraian—PA, secara subjektif akan menilai apakah kehidupan rumah tangga sudah sampai ke tingkat tidak dapat diharapkan rukun lagi. Berbeda dengan peradilan perdata pada umumnya, dalam kasus perceraian, Pengadilan Agama tidak berposisi sebagai pemutus siapa yang salah dan siapa yang benar. Juga, bukan sebagai penentu siapa yang kalah dan siapa yang menang. Alasannya, urusan rumah tangga adalah urusan batin seseorang. Ketika kemelut sudah demikian parahnya yang menyebabkan salah satu pihak sudah tidak mau menerima kehadiran yang lain, biasanya Pengadilan Agama memang mengabulkannya dengan memutus cerai pasangan suami istri tersebut. Hanya saja, bagaimana agar masing-masing pihak setelah bercerai, khususnya pihak perempuan dan anak-anaknya dapat memperoleh hak-haknya, seperti uang pesangon ( mut’ah ), nafkah lampau yang belum terbayar, nafkah selama tiga bulan kedepan ( nafkah iddah ) seperti dalam kasus cerai talak. Undang-undang juga memberikan aturan mengenai jaminan masa depan anak sampai anak tersebut dewasa juga perlu dituntaskan. Yang terakhir inilah yang biasanya tidak disadari oleh suami pelaku perceraian. Secara filosofis, hak-hak tersebut perlu diberikan dengan membebankan kepada mantan suami adalah guna meminimalisasi dampak negatif perceraian seperti di muka.
Di balik fenomena tingginya perceraian ini, kitapun patut bertanya, mengapa bisa demikian ?.
Alasan perceraian, secara yuridis, memang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, dalam hal ini oleh penjelasan Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo Pasal 19 PP Nomor 9 tahun 1975 tersebut. Akan tetapi, secara empiris penyebab perceraian adalah karena terjadinya perselisihan dan pertengkaran karena faktor ekonomi. Karena ekonomi wanita menjadi TKW. Akibat suami ditinggal dalam waktu lama, suami berselingkuh. Perselingkuhan, juga dilakukan oleh istri dengan sesama TKI di luar negeri. Atau, setelah menjadi TKW dan berhasil si suami yang ‘ndeso’ digugat cerai dengan alasan tidak mampu memberi nafkah. Siapapun yang menjadi sebab, akibat kesulitan ekonomi muaranya satu, yaitu terjadinya perceraian.
Tetapi apakah pemicu perceraian tersebut murni masalah ekonomi?. Dari hasil pemeriksaan kasus-kasus yang ada diperoleh data, bahwa masalah ekonomi dimaksud sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ada masalah lain yang menyertai. Masalah tersebut adalah semakin berubahnya gaya hidup. Kecenderungan meniru gaya hidup ala orang kaya dan selebriti seperti yang terlihat di televisi menyebabkan tingginya standar gaya hidup. Daftar keinginan seolah dibiarkan bebas lepas tanpa melihat kemampuan yang ada.
Perubahan gaya hidup tersebut juga menimbulkan dampak terjadinya degradasi moral suami atau istri atau kedua-duanya sekaligus. Sebagai contoh Sumirah ( bukan nama sebenarnya ) yang ndeso bisa diceraikan suaminya hanya gara-gara sering menerima SMS atau telpon dari lelaki lain saat menjelang tidur.
Dari beberapa contoh pemicu perceraian tersebut akhirnya kita tahu, bahwa meminimalisasi perceraian dengan dengan segala akibat negatifnya bukan hanya menjadi tugas Pengadilan Agama, tetapi juga menjadi tugas aparat pemerintah dan para tokoh agama. Mengenai langkah kongkrit apa yang perlu dilakukan, memang sumonggo kerso.
Jember, 5 Mei 2009

1 komentar: